Tanpa ba bi bu, Papa menghampiri Mama dan bersabda, “Mamah sayang, ntar anak kita harus di kasih nama Reikhi. Papa baru saja dapat wangsit dari leluhur”.
Mama, “Pa, Pa, kamu tuh ya, anak kok di kasih nama apa itu Reikhi, aliran silat, kasih nama tokohnya kek lebih pas, Bruce Lee kek kan keren tuh ada nama bule-bulenya juga ada nama chinesenya. Kali-kali ntar anak kita seberuntung orang-orang China yang pintar berdagang”.
“Pokoknya harus ada Reikhi ya”, seru Papa.
Menjawab malas, “ya sudah, Mama mah manut sama imam aja”.
Pagi itu Papa tersenyum bahagia.
Enam jam berlalu, siang itu, Mama menonton berita di televisi. Berita dan bukan sinetron lho ya, beliau berkeyakinan kalau sedang hamil harus melihat serta mendengar hal-hal baik agar anaknya juga baik. Berita yang di nikmati tak kalah berat dari kandungannya, profil serta perjuangan Mahatma Gandhi. Seorang pejuang kemanusian di tanah India. Profil serta kisah mengiris hati Mahatma Gandhi berseliweran di layar kaca.
“Pak Gandhi kamu hebat sekali Pak. Hebat Pak”, seru Mama lirih tak kuasa air mata menetes.
“Mama sayanggg, Papa udah pulang”, teriak Papa.
“Pahh, anak kita Pahh”, ihik ihik, Mama terisak dengan kesenduan seberat truk traktor.
Papa bingung alang kepalang, mengguncang bahu Mama dan berteriak, “Mah, kenapa Mah?, kenapa dengan kandunganmu Mah, kenapa dengan anak kita Mahh?”
Papa tersedak, menangis tak kalah keras. Laki-laki juga manusia, Papaku juga manusia. Konser akbar berjudul ‘tangisan 2 anak manusia’ mendadak tergelar sore itu di rumah mungil yang hanya punya 2 kamar. Konser akbar sempurna di iringi hujan yang menderas tanpa henti dan petir menyambar. Konser 2 anak manusia dengan orkestra alam.