Langit biru terbentang di luar jendela pesawat, terlihat tenang dan kosong. Awan-awan tipis melayang tanpa arah, sama seperti pikirannya saat ini. Di balik suara samar mesin pesawat yang monoton, Zara menatap kosong, tenggelam dalam heningnya perjalanan di ketinggian ribuan meter. Namun, pikiran itu datang tanpa diminta, membawanya kembali ke masa lalu.
5 tahun yang lalu....
Zara berdiri gelisah di depan pintu kamarnya. Ia bisa mendengar suara ibunya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di ruang keluarga.
"Bagaimana bisa nilaimu turun sedrastis ini, Zara? Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sekolah?" suara ibunya terdengar marah.
Zara menggigit bibirnya. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Nilai-nilainya memang menurun tajam semester ini. Bukan karena ia malas belajar, tapi karena Zara mulai mempertanyakan arti kesuksesan yang selama ini ditanamkan oleh keluarganya.
Dengan mengumpulkan keberanian, Zara melangkah keluar kamar menuju ruang keluarga. Di sana, kedua orang tuanya duduk dengan wajah muram. Di meja, rapor Zara terbuka menampilkan deretan nilai yang jauh dari memuaskan.
"Zara, jelaskan pada kami apa yang terjadi," ucap ayahnya dengan nada tegas.
Zara menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku... aku hanya berpikir, apa arti sukses sebenarnya? Apakah hanya diukur dari nilai di sekolah?"
Matanya menatapku tajam. Zara bisa merasakan kemarahan yang terpancar dari tatapan ibunya.
"Apa maksudmu bicara seperti itu? Tentu saja nilai itu penting! Bagaimana kamu bisa masuk universitas bagus kalau nilaimu seperti ini?" ucap ibunya.
"Tapi Bu, apa gunanya nilai bagus kalau aku tidak bahagia? Aku merasa tertekan dengan semua ekspektasi ini," Zara mencoba menjelaskan.
"Tertekan? Jangan bicara omong kosong! Semua ini demi masa depanmu, Zara. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ayahnya turut bicara.
Zara mengepalkan tangannya, "Tapi apa yang terbaik menurut kalian belum tentu terbaik untukku! Aku punya cita-citaku sendiri!"
"Cukup! Mulai besok kamu harus les tambahan sepulang sekolah. Tidak ada bantahan!" tegas ibunya.
Zara menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak ada gunanya lagi berdebat.
Tanpa berkata apa-apa, Zara berbalik dan berlari ke kamarnya, membanting pintu dengan keras.
Di dalam kamar, Zara langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Air matanya mengalir deras membasahi bantal. Ia merasa tidak dipahami. Orang tuanya seolah tidak bisa melihat bahwa ada hal lain yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai.
Zara mangambil ponselnya, mencari nama Dafa di daftar kontak. Dafa adalah kekasih Zara, mereka telah berpacaran selama setahun. Selain sebagai kekasih, Dafa juga menjadi sahabat terdekat Zara, tempat ia selalu mencurahkan isi hatinya.
Zara merasa Dafa adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya saat ini. Dengan jari gemetar, ia menekan tombol panggil.
Setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya Dafa mengangkat telepon.
"Halo, Ra? Ada apa?" suara Dafa terdengar di seberang telepon.
"Daf... aku baru saja berdebat dengan orang tuaku. Mereka tidak pernah mengerti apa yang aku impikan," Zara terisak, suaranya penuh kesedihan.
"Hush, tenanglah. Ceritakan padaku apa yang terjadi," Dafa berusaha menenangkan.
Zara pun mulai menceritakan pertengkarannya dengan orang tua tadi. Ia merasa lega bisa berbagi dengan Dafa, orang yang selalu siap mendengarkan dan memberinya dukungan.
"Ra, aku mengerti perasaanmu. Tapi coba lihat dari sudut pandang orang tuamu juga. Mereka hanya ingin yang terbaik untukmu," kata Dafa setelah Zara selesai bercerita.
"Tapi Daf, aku merasa terkekang dengan semua ekspektasi mereka. Aku ingin bebas mengejar mimpiku sendiri," Zara mengeluh.
"Aku tahu. Tapi mungkin kamu bisa coba bicara baik-baik dengan mereka? Jelaskan apa yang kamu rasakan tanpa emosi. Aku yakin mereka akan mengerti," saran Dafa.
Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Dafa. Mungkin benar ia harus mencoba bicara lagi dengan orang tuanya dengan kepala dingin.
"Hmm, akan kucoba bicara lagi dengan mereka besok. Terima kasih ya, kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik," Zara tersenyum kecil.
"Sama-sama, Ra. Aku akan selalu ada untukmu," balas Dafa lembut.
Setelah menutup telepon, Zara merasa lebih tenang. Ia bersyukur memiliki Dafa di sisinya. Zara memejamkan mata, berharap besok akan menjadi hari yang lebih baik.
Keesokan harinya, Zara bangun dengan tekad baru. Ia akan mencoba bicara lagi dengan orang tuanya secara baik-baik. Sebelum berangkat sekolah, Zara menghampiri ibunya yang sedang menyiapkan sarapan di dapur.
"Bu, boleh aku bicara sebentar?" tanya Zara hati-hati.
Ibunya menoleh, ekspresinya masih terlihat kecewa. "Ada apa, Ra?"
Zara menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku minta maaf soal kemarin. Aku tahu Ibu dan Ayah hanya ingin yang terbaik untukku. Tapi... bisakah kita duduk bersama nanti malam dan membicarakan ini dengan tenang? Aku ingin Ibu dan Ayah mendengarkan apa yang kurasakan."
Ibunya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Nanti malam kita bicarakan lagi."
Zara tersenyum lega setelah mendengan perkataan itu. Setidaknya ini awal yang baik. Ia pun kemudian berangkat ke sekolah dengan perasaan lebih ringan, seolah langkahnya dipenuhi semangat baru.
Sesampainya di sekolah, Zara segera mencari Dafa, kekasihnya yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Ketika mata mereka bertemu, senyuman di wajah Dafa seolah menghapus semua kekhawatiran yang sempat mengganggu pikirannya.
"Bagaimana? Sudah bicara dengan orang tuamu?" tanya Dafa, matanya menatap Zara dengan penuh perhatian.
Zara mengangguk, "Sudah. Aku sudah minta maaf dan mengajak mereka bicara lagi nanti malam. Semoga kali ini mereka mau mendengarkanku."
Dafa menggenggam tangan Zara, memberikan dukungan. "Aku yakin kali ini akan berjalan baik. Kamu sudah melakukan hal yang benar dengan mengajak mereka bicara baik-baik."
Zara tersenyum, merasa beruntung memiliki Dafa di sisinya. Kehadiran Dafa membuat Zara merasa lebih kuat menghadapi masalahnya.
"Terima kasih, Daf. Entah apa jadinya aku tanpamu," ucap Zara tulus.
Dafa tersenyum, "Itu gunanya aku ada, Ra. Kita hadapi ini bersama, ya."
Sepanjang hari itu, Zara merasa lebih optimis. Ia bertekad untuk menjelaskan perasaannya pada orang tuanya nanti malam. Dalam hati, Zara bersyukur memiliki Dafa yang selalu mendukungnya.
Setelah pulang sekolah, Zara menghabiskan waktu untuk menyusun kata-kata yang akan disampaikannya pada orang tuanya. Ia ingin memastikan bahwa kali ini ia bisa mengungkapkan perasaannya dengan jelas tanpa emosi yang berlebihan.
Malam itu, setelah makan malam, Zara duduk bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga. Suasana terasa tegang, namun Zara berusaha untuk tetap tenang.
"Ayah, Ibu," Zara memulai, "aku ingin kalian tahu bahwa aku sangat menghargai semua yang telah kalian lakukan untukku. Aku tahu kalian ingin yang terbaik untukku."
Orang tuanya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tapi.... aku merasa terbebani dengan ekspektasi yang terlalu tinggi. Aku ingin kalian juga menghargai minat dan bakatku di luar akademis. Aku punya impian sendiri yang ingin kuraih," lanjut Zara.
Ayahnya menghela nafas dalam, lalu menatap Zara dengan serius.
"Zara, kami hanya ingin memastikan masa depanmu terjamin. Dunia ini keras, dan pendidikan yang baik adalah kunci kesuksesanmu nanti." ucap Ayahnya.
"Aku mengerti, Yah. Tapi bukankah kesuksesan bisa dicapai dengan berbagai cara? Aku ingin mengembangkan bakatku di bidang seni. Itu juga bisa menjadi karir yang menjanjikan," jawab Zara.
Ibunya pun turut angkat bicara, "Kami hanya khawatir, Nak. Bagaimana jika nanti kamu kesulitan mencari pekerjaan?"
"Bu, aku berjanji akan tetap serius dengan sekolahku. Tapi bisakah kalian juga mendukungku untuk mengembangkan minatku di bidang lain? Aku yakin dengan kerja keras, aku bisa sukses di jalur yang kupilih," Zara meyakinkan.
Setelah diskusi panjang, akhirnya orang tua Zara mulai menunjukkan pengertian. Mereka setuju untuk lebih terbuka terhadap minat Zara, asalkan ia tetap menjaga prestasi akademisnya.
Ibu mengangguk dan berkata, "Baiklah, kami akan mencoba untuk lebih terbuka terhadap minatmu, Zara..."
Ayah menambahkan, "Tapi kamu harus janji kepada kami, kamu akan tetap menjaga prestasi akademismu."
Zara tersenyum dan menjawab, "Aku janji, Yah, Bu. Aku akan berusaha seimbang antara minat dan akademikku."
Setelah diskusi itu, Zara merasa lega. Ia merasa bahwa dukungan orang tuanya adalah langkah awal yang baik untuk mengejar impiannya.
Beberapa minggu berlalu sejak pembicaraan Zara dengan orang tuanya. Hubungan mereka mulai membaik, dan Zara merasa lebih bebas mengekspresikan minatnya dalam seni. Ia bahkan mulai mengikuti kelas melukis di akhir pekan.
Suatu hari, saat Zara sedang berjalan pulang dari sekolah bersama Dafa, mereka melihat kerumunan orang di depan sebuah galeri seni.
"Ada apa ya?" tanya Zara penasaran.
"Ayo kita liat kesana," ajak Dafa sambil menunjuk ke arah kerumunan.
Ternyata, galeri tersebut sedang mengadakan pameran lukisan dari seniman muda berbakat. Zara terpesona melihat karya-karya yang dipajang. Matanya berbinar-binar saat melihat sebuah lukisan pemandangan yang menakjubkan.
"Wah, bagus banget lukisan ini," gumam Zara, matanya berbinar.
Seorang wanita paruh baya mendengar komentar Zara dan tersenyum. Dengan langkah yang lembut, ia menghampiri Zara yang masih terpesona oleh pemandangan di depannya.
"Kamu suka seni lukis?" tanyanya dengan ramah.
Zara mengangguk antusias. "Iya, saya baru mulai belajar melukis. Rasanya seru sekali bisa mengekspresikan diri lewat warna dan bentuk."
"Kebetulan sekali," ucap wanita itu. "Saya Ibu Rina, pemilik galeri ini. Kami sedang mencari asisten paruh waktu untuk membantu di galeri. Kamu tertarik?"
Zara terkejut sekaligus gembira. "Sungguh? Tentu saya tertarik, Bu!"
"Bagus," ucap Ibu Rina. "Datanglah besok setelah sekolah untuk wawancara ya."
Setelah menyampaikan pesannya, Ibu Rina mengangguk dengan ramah dan melangkah pergi, siap menyambut pengunjung lain yang menunggu di luar ruangan.
Zara kemudian menatap Dafa dengan mata berbinar penuh harapan.
"Daf, kamu dengar? Ini kesempatan bagus untukku!" ucap Zara.
Dafa tersenyum, tapi ada kekhawatiran di matanya. "Iya, Ra. Tapi... bagaimana dengan sekolahmu? Orang tuamu?"
Zara terdiam sejenak. Ia tahu ini akan menjadi tantangan baru. Namun, tekadnya sudah bulat.
"Aku akan bicara dengan orang tuaku. Ini kesempatan yang tak akan kulewatkan, Daf. Aku yakin bisa mengatur waktuku."
Dafa mengangguk, meski masih terlihat ragu. "Baiklah, Ra. Aku akan mendukungmu."
Malam itu, Zara bicara dengan orang tuanya. Awalnya mereka keberatan, tetapi setelah Zara menjelaskan betapa pentingnya kesempatan ini bagi masa depannya, mereka akhirnya setuju dengan syarat nilai sekolahnya tidak boleh turun. Mendengar persetujuan itu, Zara pun merasa lega.
Keesokan harinya, dengan hati yang berdebar, Zara datang untuk wawancara. Ia merasa campur aduk antara antusiasme dan kecemasan saat memasuki galeri.
Setelah melalui serangkaian pertanyaan dan diskusi yang mendalam, Zara meninggalkan tempat itu dengan harapan dan rasa tidak sabar.
Beberapa hari kemudian, ia menerima kabar baik bahwa ia diterima sebagai asisten paruh waktu di galeri. Dengan penuh rasa semangat, Zara menyambut kesempatan ini.
Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Zara menjalani rutinitas barunya dengan penuh semangat, membagi waktu antara sekolah dan pekerjaannya di galeri. Meski lelah, ia merasa bahagia bisa mengeksplorasi dunia seni yang selama ini hanya bisa ia impikan.
Suatu hari, saat Zara sedang merapikan lukisan-lukisan di galeri, seorang pria asing masuk. Pria itu berpenampilan rapi dengan setelan jas mahal, dan tampak sedang mengamati lukisan-lukisan dengan seksama.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sapa Zara sopan.
Pria itu menoleh dan tersenyum. "Ah, ya. Saya mencari Ibu Rina. Apakah dia ada?"
"Maaf, Ibu Rina sedang keluar sebentar. Mungkin Anda bisa menunggu? Atau ada pesan yang ingin disampaikan?"
"Baiklah, tidak apa-apa, saya akan menunggu," ucap pria itu.
Ia lalu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, nama saya Adrian. Saya kurator seni dari New York."
Zara terkejut. Ia pernah mendengar nama Adrian dari Ibu Rina sebagai salah satu kurator terkenal.
"Senang bertemu Anda, Pak Adrian. Saya Zara, asisten di galeri ini." ucap Zara.
Adrian tersenyum. "Kau tampak muda untuk bekerja di sini. Apa kau juga seorang seniman?"
"Saya... masih belajar melukis," jawab Zara malu-malu. "Tapi saya sangat menyukai seni," lanjutnya.
"Hmm, menarik," gumam Adrian.
Ia lalu melihat sebuah sketsa yang tergeletak di meja.
"Apakah ini karyamu?" tanya Adrian.
Zara mengangguk ragu. "I-iya, itu sketsa yang saya buat saat istirahat tadi."
Adrian mengamati sketsa itu dengan seksama. "Ini luar biasa. Kau punya bakat alami, Zara."
Wajah Zara memerah karena pujian itu. "Terima kasih, Pak."
"Dengar," Adrian mengatakan dengan serius. "Saya sedang mencari bakat-bakat muda untuk program seni di New York. Bagaimana kalau kau ikut seleksinya?"
Zara terkejut. Ini adalah kesempatan yang bahkan tak pernah ia impikan. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Ibu Rina sudah kembali ke galeri.
"Ah, Adrian! Maaf membuatmu menunggu," sapa Ibu Rina.
Sementara Ibu Rina dan Adrian berbincang, pikiran Zara berkecamuk. Ia merasa ragu, namun juga bersemangat dengan kesempatan yang diberikan.
Setelah beberapa saat, percakapan antara Adrian dan Ibu Rina pun berakhir, lalu Adrian kembali menghampiri Zara dengan senyum di wajahnya.
"Jadi, bagaimana, Zara? Tertarik untuk ikut seleksi program seni di New York?" tanya Adrian dengan senyum ramah.
Zara masih ragu, tapi ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja. "Saya... saya sangat tertarik, Pak. Tapi saya masih sekolah dan..."
"Ah, aku mengerti," potong Adrian.
"Program ini memang untuk seniman muda, tapi biasanya untuk mereka yang sudah lulus sekolah. Namun, melihat bakatmu, aku rasa kita bisa membuat pengecualian."
Bu Rina yang mendengar pembicaraan mereka ikut menimpali, "Zara, ini kesempatan langka. Kenapa tidak kau coba saja? Siapa tahu ini bisa jadi awal yang bagus untukmu!"
Zara mengangguk perlahan. "Baiklah, saya akan ikut seleksinya. Apa yang harus saya lakukan, Pak?"
Adrian menjelaskan prosedur seleksi. Zara harus mengirimkan portofolio karyanya dalam dua minggu kedepan. Jika lolos, ia akan diundang ke New York untuk tahap seleksi berikutnya.
Sore itu, Zara pulang dengan perasaan campur aduk. Ia sangat bersemangat dengan kesempatan ini, tapi juga cemas memikirkan reaksi orang tuanya.
Setibanya di rumah, Zara menceritakan semuanya kepada orang tuanya. Awalnya, mereka terkejut dan ragu. Ayahnya khawatir hal ini akan mengganggu pendidikan Zara, sementara ibunya cemas membayangkan putrinya pergi jauh ke luar negeri.
"Tapi Ayah, Ibu, ini kesempatan sekali seumur hidup," Zara mencoba meyakinkan.
"Aku janji akan tetap fokus pada sekolahku. Program ini bisa jadi batu loncatan besar untuk karirku di dunia seni," lanjutnya.
Setelah diskusi panjang, akhirnya orang tua Zara setuju untuk mendukungnya.
Keesokan harinya di sekolah, Zara menceritakan semuanya pada Dafa. Kekasihnya itu terlihat senang, tapi ada kekhawatiran di matanya.
"Aku senang untukmu, Ra. Tapi... bagaimana jika kamu benar-benar pergi ke New York? Kita... kita akan berpisah," ucap Dafa lirih.
Zara terdiam. Ia baru menyadari konsekuensi ini. Hubungannya dengan Dafa baru saja mulai berkembang, dan sekarang ia mungkin harus pergi jauh.
"Daf, aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi bisakah kita jalani saja dulu? Aku bahkan belum tentu lolos seleksi," Zara mencoba menenangkan Dafa, meski hatinya sendiri mulai bimbang.
Dafa mengangguk pelan, berusaha tersenyum.
"Hmm... mungkin kamu benar. Aku akan selalu mendukungmu, Ra. Apapun yang terjadi," ucap Dafa.
Setelah percakapan itu, semangat Zara semakin membara. Selama dua minggu berikutnya, Zara bekerja keras menyiapkan portofolionya, sambil tetap menjaga nilai-nilainya di sekolah. Ia bahkan sering begadang untuk menyelesaikan lukisan-lukisannya.
Akhirnya, tiba saatnya Zara mengirimkan portofolionya. Dengan jantung berdebar, ia menekan tombol 'kirim' di emailnya. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan berharap.
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti siksaan bagi Zara. Setiap hari ia mengecek emailnya dengan harap-harap cemas, berharap ada kabar dari panitia seleksi.
Suatu pagi, saat Zara sedang sarapan bersama keluarganya, ponselnya berbunyi. Ada email masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka email tersebut.
"Selamat kepada Zara Arunika. Anda telah lolos seleksi tahap pertama Program Seni New York..."
Zara tidak bisa menahan air matanya. Ia berteriak kegirangan, membuat orang tuanya terkejut.
"Aku lolos! Aku lolos seleksi tahap pertama!" ucap Zara sambil memeluk kedua orang tuanya.
Ayah dan ibunya tersenyum bangga, meski ada sedikit kekhawatiran di mata mereka.
"Selamat, sayang. Kami bangga padamu," ucap ibunya.
Email itu juga berisi undangan untuk mengikuti tahap seleksi berikutnya di New York selama satu minggu, dan Zara harus berangkat dalam waktu dua minggu kedepan.
Hari-hari berikutnya dihabiskan Zara untuk mempersiapkan segalanya. Ia mengurus paspor dan segala keperluan perjalanannya.
Di sekolah, Zara meminta izin kepada guru-gurunya untuk absen selama seminggu. Sebagian besar mendukungnya, meski ada beberapa yang khawatir ini akan mempengaruhi nilainya.
Saat memberitahu Dafa tentang keberangkatannya, Zara bisa melihat kesedihan di mata kekasihnya itu.
"Aku akan merindukanmu, Ra," ucap Dafa lirih.
"Ini hanya seminggu, Daf, tak perlu khawatir," Zara mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri berat.
Malam sebelum keberangkatannya, Zara tidak bisa tidur. Pikiran-pikiran menghantui benaknya. Rasa cemas tentang kemungkinan gagal terus mengganggu. Di sisi lain, jika berhasil, ia harus pindah ke New York, meninggalkan semuanya di belakang.
Perasaan campur aduk itu membuatnya gelisah. Ia menarik nafas dalam, berusaha menenangkan diri, berharap bisa menghadapi apa pun yang akan datang.
Keesokan paginya, di bandara, Zara berpamitan dengan keluarga dan Dafa. Air mata mengalir saat ia memeluk mereka satu per satu.
"Berjuanglah, sayang. Kami ada di sini untuk mendukungmu," ucap ibunya menyemangati.
"Tunjukkan bakat terbaikmu pada mereka," tambah ayahnya.
Ketika tiba giliran Dafa, mereka berdua terdiam sejenak. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan satu sama lain, tapi tidak banyak kata-kata yang terucap. Dalam keheningan itu, perasaan mereka seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap.
Akhirnya, Dafa memeluk Zara erat, seolah ingin mengikat semua harapan dan ketakutan yang menghantui mereka dalam satu pelukan hangat.
“Aku akan selalu ada untukmu,” bisik Dafa, memberikan ketenangan di tengah ketidakpastian.
Kata-kata itu menggema dalam hati Zara, memberi sedikit harapan di saat ini. Perlahan, nafasnya menjadi lebih tenang, dan rasa cemas yang sempat menyelimuti pikirannya mulai mereda.
Dengan hati yang berat, ia melangkah menuju gerbang keberangkatan. Meskipun tidak tahu apa yang menantinya di New York, tekadnya untuk memberikan yang terbaik semakin menguat.
Setelah penerbangan panjang, Zara akhirnya tiba di New York. Kota itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Gedung-gedung pencakar langit, kerumunan orang, dan hiruk pikuk kota besar membuatnya sedikit kewalahan.
Zara tiba di hotel yang telah disiapkan oleh panitia. Kamarnya kecil tapi nyaman, dengan jendela yang menghadap ke pemandangan kota.
Meskipun tubuhnya terasa lelah, semangatnya mengalahkan rasa lelah itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjelajahi sekitar hotel dan menikmati suasana baru yang menantinya.
Keesokan harinya, seleksi tahap kedua dimulai. Zara dan peserta lainnya berkumpul di sebuah galeri seni besar. Ada sekitar 50 peserta dari berbagai negara, semuanya tampak berbakat dan percaya diri. Zara merasa sedikit terintimidasi, tapi ia berusaha menenangkan diri.
Adrian, sang kurator, membuka acara dengan pidato singkat.
"Selamat datang, para seniman muda berbakat. Selama seminggu ke depan, kalian akan menjalani berbagai tes dan tantangan. Kami tidak hanya mencari bakat, tapi juga kreativitas dan kemampuan beradaptasi. Berjuanglah dengan sepenuh hati!" sambutnya.
Hari-hari berikutnya terasa begitu melelahkan bagi Zara. Ia menjalani berbagai tes, dari melukis dengan tema tertentu dalam waktu terbatas, hingga presentasi tentang filosofi seninya. Ia juga harus berkolaborasi dengan peserta lain dalam sebuah proyek.
Di sela-sela kesibukannya, Zara selalu menyempatkan diri untuk menghubungi keluarga dan Dafa. Meskipun jadwalnya padat, komunikasi dengan mereka memberikan rasa tenang dan dukungan yang sangat berarti. Dukungan tersebut memberinya kekuatan untuk terus berjuang dalam setiap tantangan yang dihadapinya.
Pada hari kelima, saat sedang istirahat makan siang, Zara berkenalan dengan seorang peserta dari Malaysia bernama Ariana. Mereka cepat akrab karena sama-sama merasa seperti 'orang luar' di antara peserta lain yang kebanyakan dari Amerika.
"Kurasa kau punya kesempatan besar untuk terpilih. Lukisanmu luar biasa," ucap Ariana sambil meminum kopinya.
Zara tersenyum malu. "Ah, terima kasih. Tapi peserta lain juga sangat berbakat."
"Memang, tapi karyamu punya sesuatu yang berbeda. Ada... kehangatan yang menarik. Kau masih muda kan? Berapa usiamu?"
"Aku baru 17 tahun," jawab Zara.
Ariana terkejut. "Benarkah!? Ternyata kau lebih muda dariku, usiaku 22 tahun dan kupikir aku yang paling muda disini."
Percakapan mereka terhenti ketika Adrian tiba-tiba menghampiri meja mereka.
"Zara, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya dengan serius.
Dengan jantung berdebar, Zara mengikuti Adrian ke ruang kerjanya.
"Zara," Adrian memulai, "kami sangat terkesan dengan bakatmu. Tapi ada satu hal yang perlu kita sampaikan..."
Adrian melanjutkan, "Kami baru menyadari bahwa usiamu masih 17 tahun dan masih sekolah. Ini membuat situasinya sedikit rumit."
Zara merasakan jantungnya berdebar kencang.
"Kami sangat ingin memberimu kesempatan ini, Zara. Bakatmu luar biasa dan kami percaya kau punya potensi besar. Tapi program ini biasanya untuk seniman yang sudah lulus sekolah," jelas Adrian.
Zara merasa harapannya mulai pupus. "Jadi... apakah ini berarti saya tidak bisa ikut program ini? Apakah saya akan didiskualifikasi?" tanyanya dengan suara bergetar.
Adrian tersenyum lembut. "Tidak, bukan itu maksudku. Kami ingin menawarkan sesuatu yang berbeda untukmu."
Zara mengangkat alisnya, penasaran.
"Bagaimana jika kami menawarkan program khusus untukmu? Semacam program mentoring jarak jauh selama setahun ini, sampai kau lulus sekolah. Kau akan tetap di Indonesia, tapi akan mendapat bimbingan dari kami melalui online,” Adrian menjelaskan idenya.
“Lalu, setelah kau lulus, kau bisa datang ke New York untuk menjalani program ini secara penuh," lanjut Adrian.
Mata Zara melebar mendengar tawaran itu. "Be... benarkah Pak?"
Adrian mengangguk. "Ya, kami pikir ini adalah solusi terbaik. Kau bisa menyelesaikan sekolahmu sambil tetap mengembangkan bakatmu di bawah bimbingan kami. Bagaimana menurutmu?"
Zara tidak bisa menahan senyumnya. "Saya sangat berterima kasih, Pak. Ini lebih dari yang saya harapkan!"
"Bagus. Tapi ingat, ini bukan berarti kau terpilih secara otomatis. Kau masih harus menyelesaikan seleksi minggu ini dengan baik. Anggap saja ini sebagai rencana jika kau lolos nanti," ucap Adrian.
Zara mengangguk penuh semangat. "Saya mengerti, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
Setelah pembicaraan itu, Zara kembali ke kamarnya dengan perasaan senang. Ia segera menghubungi orang tuanya dan Dafa untuk memberi kabar baik ini.
Dua hari terakhir seleksi berlalu dengan cepat. Zara memberikan yang terbaik dalam setiap tes dan tantangan. Motivasinya semakin tinggi setelah pembicaraannya dengan Adrian.
Akhirnya, tiba hari pengumuman. Semua peserta berkumpul di aula galeri, menunggu dengan tegang. Adrian naik ke podium dan mulai membacakan nama-nama yang terpilih.
Zara menahan nafas saat Adrian sampai di nama terakhir.
"Dan peserta terakhir yang terpilih adalah... Zara Arunika dari Indonesia!" seru Adrian.
Ruangan dipenuhi tepuk tangan saat Zara, dengan mata berkaca-kaca, maju ke depan untuk bergabung dengan peserta terpilih lainnya.
Setelah pengumuman, Adrian menjelaskan kepada semua peserta tentang program khusus yang akan Zara jalani. Beberapa peserta lain tampak iri, tapi sebagian besar memberi selamat dengan tulus.
Ariana memeluk Zara erat. "Aku memang dah tahu kau akan terpilih! Kau memang layak dapat semua ini. Tahniah, kawan! Ini adalah permulaan yang hebat untukmu!"
Zara masih merasa seperti bermimpi saat ia kembali ke Indonesia beberapa hari kemudian. Keluarganya menyambutnya di bandara dengan pelukan hangat dan air mata bahagia. Dafa juga ada di sana, membawa buket bunga kecil untuk Zara.
"Selamat datang kembali, seniman hebat," ucap Dafa sambil menyerahkan bunga.
Zara tertawa kecil dan memeluk Dafa dengan lembut. "Terima kasih sudah mendukungku, Daf," ucapnya sambil menatap mata kekasihnya itu.
Dafa tersenyum hangat, tangannya melingkar di pinggang Zara.
"Aku akan selalu mendukungmu, Ra. Ingat itu," ucap Dafa.
Mereka kemudian berpelukan sejenak, menikmati momen kebersamaan setelah berpisah beberapa waktu.
"Aku rindu padamu," bisik Zara pelan.
"Aku pun begitu," balas Dafa.
"Tapi sekarang kamu sudah kembali, dan kita punya waktu bersama." lanjut Dafa.
Zara mengangguk, meski dalam hati ia tahu tantangan baru akan segera dimulai dengan jadwalnya yang semakin padat. Namun untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati momen bahagia bersama kekasihnya.
Seiring berjalannya waktu, Zara semakin sibuk dengan jadwal sekolah dan program mentoringnya. Meskipun ia berusaha menyeimbangkan waktunya, hubungannya dengan Dafa mulai terasa renggang.
Suatu malam, setelah Zara membatalkan kencan mereka untuk kesekian kalinya karena harus menyelesaikan proyek lukisannya, Dafa akhirnya mengutarakan perasaannya.
"Ra, aku tahu ini kesempatan besar untukmu, tapi... apa kamu masih ada waktu untukku?" tanya Dafa dengan nada sedih di telepon.
Zara terdiam sejenak, merasakan rasa bersalah. "Daf, maafkan aku. Aku tahu aku terlalu sibuk akhir-akhir ini..."
"Bukan hanya sibuk, Ra. Rasanya kamu sudah jauh. Aku merasa... terabaikan," Dafa melanjutkan.
Kata-kata Dafa membuat Zara merasa cemas. Ia sadar telah mengabaikan hubungan mereka.
"Daf, aku tidak bermaksud begitu. Kamu tetap penting bagiku," Zara berkata dengan tulus.
"Benarkah? Kadang aku merasa sebaliknya," balas Dafa dengan nada kecewa.
Zara merasakan air mata mulai menggenang.
"Aku minta maaf. Bisakah kita bertemu besok? Aku ingin kita bicarakan ini," Zara berusaha mencari solusi.
Dafa menghela nafas. "Baiklah. Di taman biasa?"
"Oke," jawab Zara pelan.
Keesokan harinya, Zara menemui Dafa di taman. Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, sampai akhirnya Zara memberanikan diri untuk berbicara.
"Daf, aku sadar aku telah mengabaikanmu dan hubungan kita. Aku terlalu fokus pada impianku dan lupa bahwa kamu adalah bagian penting dalam hidupku," Zara memulai.
Dafa menatap Zara, ekspresinya campuran antara sedih dan pengertian.
"Aku mengerti ini kesempatan besar untukmu, Ra. Aku juga ingin mendukungmu, sungguh. Tapi... aku juga ingin dianggap dalam hubungan ini," ungkap Dafa.
Zara mengangguk, air matanya mulai jatuh. "Aku tahu. Aku akan berusaha lebih baik, Daf. Aku janji akan meluangkan lebih banyak waktu untukmu, untuk kita."
"Tapi bagaimana saat kamu pergi ke New York nanti?" tanya Dafa, menyuarakan kekhawatiran yang selama ini ia pendam.
Zara terdiam sejenak. Ia belum benar-benar memikirkan hal itu. "Aku... aku tidak tahu, Daf. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Bisakah kita mencoba menjalaninya dulu?"
Dafa terlihat ragu. "Entahlah, Ra. Kurasa itu sulit"
"Aku tahu. Tapi kita bisa mencobanya, kan? Aku janji akan berusaha lebih keras untuk hubungan kita," Zara memohon, menggenggam tangan Dafa.
Dafa menatap Zara lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Hmm, baiklah. Kita bisa mencobanya."
Mereka berpelukan erat, keduanya sadar bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah. Namun, untuk saat ini, mereka memutuskan untuk fokus pada waktu yang tersisa sebelum Zara berangkat ke New York.
Mereka berpelukan erat, menyadari bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah. Namun, untuk saat ini, mereka memutuskan untuk fokus pada waktu yang tersisa sebelum Zara berangkat ke New York.
Dalam minggu-minggu berikutnya, Zara berusaha keras menyeimbangkan waktunya antara persiapan ujian akhir SMA, program mentoring, dan hubungannya dengan Dafa. Ujian akhir menjadi tantangan tersendiri baginya, tetapi ia bertekad untuk lulus dengan baik.
Setelah berjuang keras, Zara berhasil meraih nilai yang memuaskan, dan pencapaian ini membuatnya orang tuanya bangga.
Akhirnya, hari kelulusan pun tiba. Zara mengenakan toga dengan bangga saat namanya dipanggil untuk menerima ijazah.
Di antara kerumunan teman-temannya, Zara melihat orang tuanya yang berdiri di barisan depan, wajah mereka dipenuhi kebanggaan dan haru. Dafa, yang sudah lebih dulu melangkah maju untuk menerima ijazahnya, kini berdiri di samping orang tua Zara, turut memberikan kehangatan di momen berharga ini.
Usai menerima ijazah, orang tuanya memberi ucapan selamat lalu berfoto bersama, tetapi setelah beberapa saat, mereka harus pulang lebih awal karena ada keperluan bisnis yang tidak bisa ditunda.
Setelah orang tuanya pergi, Zara dan Dafa memutuskan untuk merayakan kelulusan di taman favorit mereka. Di bawah pohon rindang, mereka duduk di bangku sambil berbagi cerita tentang masa depan. Suasana ceria dan penuh harapan mengelilingi mereka, membuat momen itu semakin berkesan.
Dengan semangat baru, ia kembali fokus pada persiapan untuk New York. Hari-hari berikutnya ia gunakan untuk mengurus paspor dan menyiapkan perlengkapan yang diperlukan.
Namun, di tengah semua persiapan itu, suatu malam, saat sedang video call dengan Dafa, Zara mengungkapkan kekhawatirannya.
"Daf, aku... aku takut," ungkap Zara.
Dafa mengerutkan kening. "Takut kenapa, Ra?"
"Entahlah. New York itu kota besar. Bagaimana kalau aku tidak bisa beradaptasi? Bagaimana kalau ternyata aku tidak seberbakat yang mereka kira?" Zara mengungkapkan kecemasannya.
Dafa tersenyum lembut. "Hey, dengar. Kamu adalah seniman paling berbakat yang pernah kukenal. Kamu dipilih karena mereka melihat potensi besar dalam dirimu."
Kata-kata Dafa membuat Zara merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Daf. Rasanya sulit membayangkan pergi tanpamu. Aku akan sangat merindukanmu."
"Aku juga akan merindukanmu, Ra. Tapi ingat, ini kesempatan yang tidak datang dua kali. Kamu harus mencobanya sepenuh hati," Dafa menyemangati.
Zara mengangguk, merasa bersyukur memiliki Dafa di sisinya. Namun, saat hari keberangkatannya semakin dekat, rasa haru dan cemas mulai menyelimuti hatinya kembali.
Akhirnya, hari keberangkatan Zara pun tiba. Di bandara, ia berpamitan dengan keluarga dan Dafa. Air mata mengalir saat ia memeluk orang tuanya.
"Jaga diri baik-baik di sana, sayang," pesan ibunya.
"Jangan lupa selalu mengabari kami," tambah ayahnya.
Terakhir, Zara berpaling pada Dafa. Mereka berpelukan erat, seolah tidak ingin melepaskan.
"Aku akan kembali," janji Zara.
"Aku akan menunggumu," balas Dafa.
Dengan berat hati, Zara melangkah menuju gerbang keberangkatan. Ia menoleh sekali lagi, melambaikan tangan pada orang-orang yang dicintainya, sebelum akhirnya melangkah menuju petualangan barunya di New York.
Di pesawat, Zara memandang keluar jendela, perasaannya campur aduk antara gugup dan bersemangat. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tapi ia siap menghadapi tantangan apa pun yang menanti di depan.
"Petualangan sebenarnya baru dimulai," gumamnya pelan, sambil tersenyum optimis.
Setelah penerbangan panjang, Zara akhirnya tiba di New York. Kota itu menyambutnya dengan hiruk pikuk dan gedung-gedung pencakar langit yang memukau. Meskipun lelah, Zara tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya.
Hari-hari pertama Zara dipenuhi dengan orientasi dan perkenalan. Ia bertemu dengan mentor-mentornya, sesama peserta program, dan mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Apartemen kecil yang menjadi tempat tinggalnya selama program perlahan-lahan mulai terasa seperti rumah.
Minggu-minggu berlalu, dan Zara mulai tenggelam dalam rutinitas barunya. Workshop dan proyek-proyek seni mengisi hari-harinya. Ia belajar teknik-teknik baru, bereksperimen dengan berbagai media, dan mulai menemukan gaya artistiknya sendiri.
Namun, di tengah kesibukannya, Zara tetap berusaha menjaga komunikasi dengan Dafa. Mereka rutin video call, berbagi cerita tentang hari-hari mereka. Meski begitu, perbedaan waktu dan jadwal yang padat terkadang membuat komunikasi mereka terasa sulit.
Suatu malam, setelah menyelesaikan sebuah proyek besar, Zara menelepon Dafa dengan penuh semangat.
"Daf! Kamu tidak akan percaya ini. Lukisanku terpilih untuk dipamerkan di galeri lokal!" seru Zara antusias.
"Aku senang mendengarnya! Kamu memang pantas mendapatkan semua ini." balas Dafa, terdengar bangga.
Zara mulai bercerita panjang lebar tentang proyeknya, tapi kemudian ia menyadari sesuatu. "Oh, maaf Daf. Aku terlalu bersemangat. Bagaimana harimu?"
Ada jeda sejenak sebelum Dafa menjawab. "Yaa... biasa saja. Tidak ada yang spesial."
Zara merasakan ada sesuatu yang aneh dari nada suara Dafa.
"Daf, ada apa? Kamu terdengar... berbeda." tanyanya.
Dafa menghela nafas. "Tidak apa-apa, Ra. Aku hanya... entahlah. Terkadang aku merasa kita hidup di dua dunia yang berbeda sekarang."
Kata-kata Dafa membuat Zara merenung. Ia sadar bahwa selama ini ia terlalu fokus pada pengalamannya sendiri di New York, tanpa benar-benar memperhatikan perasaan Dafa.
"Daf, aku minta maaf. Aku tahu ini sulit," ucap Zara lembut.
"Aku mengerti, Ra. Aku juga bangga melihatmu berkembang di sana. Namun, kadang aku merasa terasingkan dalam perjalananmu," Dafa mengungkapkan perasaannya.
Kalimat itu membuat Zara merenung, menyadari betapa pentingnya komunikasi dalam hubungan mereka. Dengan kesadaran itu, mereka pun saling bercerita dan mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
Setelah panjangnya percakapan, mereka akhirnya menutup telepon dengan harapan dapat saling mendukung meskipun terpisah oleh jarak.
Ia mulai menyadari bahwa menjaga hubungan jarak jauh ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Meskipun Zara mencintai Dafa, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa New York telah mengubah perasaannya, membuatnya merasa terombang-ambing antara cinta dan cita-cita.
Dengan pikiran muram, Zara menatap keluar jendela apartemennya, memandang kerlap-kerlip lampu kota New York. Ia menyadari bahwa ia berada di persimpangan, tidak hanya dalam karirnya sebagai seniman, tetapi juga dalam hubungannya dengan Dafa.
Beberapa minggu berlalu, dan meskipun Zara berusaha lebih keras untuk berkomunikasi dengan Dafa, mereka tetap merasa ada jarak yang semakin melebar. Perbedaan waktu, kesibukan masing-masing, dan pengalaman hidup yang berbeda mulai menciptakan celah dalam hubungan mereka.
Suatu hari, setelah selesai menghadiri sebuah pameran seni, Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Ia memutuskan untuk menelepon Dafa.
"Hei, Daf," sapa Zara lembut.
"Hai, Ra. Bagaimana pamerannya?" tanya Dafa.
"Luar biasa. Aku bertemu banyak seniman hebat. Tapi... ada sesuatu yang perlu kita bicarakan, Daf," Zara memutuskan untuk jujur.
Ada jeda sejenak sebelum Dafa menjawab, "Aku juga, Ra."
Keduanya terdiam, seolah tahu apa yang akan dikatakan, tapi takut untuk mengucapkannya.
Akhirnya, Zara memberanikan diri. " Daf, aku merasa... kita semakin menjauh. Aku berusaha, tapi rasanya semakin sulit..."
"Aku tahu, Ra. Aku juga merasakannya," potong Dafa.
"Kita berada di dunia yang berbeda sekarang." lanjut Dafa.
Air mata mulai menggenang di mata Zara. Ia merasakan harapan yang samar.
"Mungkin... mungkin kita perlu waktu untuk memikirkan semuanya. Untuk fokus pada diri kita masing-masing." Dafa menyatakan, mengungkapkan pemikirannya.
Kata-kata itu, meskipun menyakitkan, terasa benar bagi Zara.
"Mungkin kamu benar. Kita perlu ruang untuk tumbuh." balas Zara.
"Aku akan selalu mendukungmu, Ra. Aku bangga dengan semua yang telah kamu capai," pesan Dafa tulus.
"Terima kasih, Daf. Kamu juga harus mengejar mimpimu," balas Zara, suaranya bergetar menahan tangis.
Setelah percakapan itu, Zara dan Dafa memutuskan untuk mengambil jeda dalam hubungan mereka. Meskipun menyakitkan, keduanya tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat untuk saat ini.
Dalam minggu-minggu berikutnya, Zara memfokuskan dirinya sepenuhnya pada seninya. Ia mengeksplorasi teknik-teknik baru dan bereksperimen dengan berbagai media.
Suatu hari, saat sedang melukis di studio, Zara menyadari sesuatu. Lukisan-lukisannya mulai mencerminkan perjalanan emosionalnya, ada rasa kehilangan, pertumbuhan, dan harapan yang terpancar dari kanvasnya.
Mentor Zara, seorang seniman terkenal bernama Luna, masuk ke studio dan mengamati karya Zara.
"Ada sesuatu yang berbeda dari lukisanmu, Zara. Terlihat ada emosi yang baru," komentar Luna.
Zara tersenyum lemah. "Mungkin karena aku sedang melalui banyak hal."
Luna mengangguk penuh pengertian. "Itulah seni, Zara. Kita mengambil pengalaman hidup kita dan mengubahnya menjadi sesuatu yang indah. Rasa sakit, kebahagiaan, dan kerinduan, semuanya menjadi bahan untuk karya kita."
Kata-kata Luna membuat Zara merenung. Ia mulai memahami bahwa perjalanannya di New York, termasuk perpisahan sementara dengan Dafa, adalah bagian dari proses pertumbuhannya sebagai seniman dan individu.
Waktu berlalu, dan Zara semakin tenggelam dalam dunia seninya. Ia mulai mendapatkan pengakuan di kalangan seniman New York. Karyanya dipamerkan di beberapa galeri kecil, dan ia bahkan mendapat tawaran untuk magang di sebuah studio seni terkenal.
Sementara itu, komunikasinya dengan Dafa menjadi jarang. Mereka masih sesekali bertukar pesan, saling memberi dukungan dari jauh, tapi tidak lagi seperti dulu. Meskipun ada rasa rindu, Zara mulai menerima bahwa ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya.
Suatu hari, menjelang akhir programnya di New York, Zara menerima email yang mengejutkan. Salah satu karyanya telah terpilih untuk dipamerkan di sebuah galeri seni bergengsi di San Diego. Ini adalah kesempatan besar yang bisa membuka banyak pintu untuknya.
Dengan tangan gemetar karena gembira, Zara menelepon orang tuanya untuk membagikan kabar baik ini. Setelah itu, tanpa berpikir panjang, ia mengirim pesan pada Dafa.
"Hei Daf, aku punya kabar baik. Salah satu lukisanku akan dipamerkan di galeri besar di San Diego. Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara, tapi... kamu orang pertama yang kuberi tahu setelah orang tuaku," tulis Zara dalam pesannya.
Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Dafa.
"Ra! Selamat! Aku bangga padamu," suara Dafa di ujung telepon terdengar tulus dan penuh kegembiraan.
Mereka berbicara selama beberapa menit, berbagi kabar masing-masing. Ada kecanggungan, tapi juga kehangatan yang dulu pernah ada.
Sebelum mengakhiri panggilan, Dafa memberi pesan yang tulus kepada Zara.
"Ra, aku tahu kita sedang dalam perjalanan yang berbeda sekarang. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Dan... siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, jalan kita akan bersama lagi." ucap Dafa dengan suara yang penuh harapan.
Kata-kata Dafa membuat Zara tersenyum. "Terima kasih, Daf. Itu berarti banyak bagiku. Aku juga berharap kita bisa bersama lagi,,, suatu hari nanti."
Setelah menutup telepon, Zara berdiri di depan jendela apartemennya, memandang panorama kota New York. Ia merasa seperti berada di ambang sesuatu yang besar, bukan hanya dalam karirnya, tapi juga dalam perjalanan hidupnya.
Zara tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merasa bingung mengenai masa depannya di New York dan apakah ia akan kembali ke Indonesia. Pikiran tentang Dafa juga berputar di benaknya. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, ia telah tumbuh, berubah, dan menemukan dirinya sendiri dalam perjalanan ini.
Dengan senyum di wajah dan semangat baru di hatinya, Zara siap menghadapi apapun yang akan datang selanjutnya. Ini bukan akhir, tapi awal dari babak baru dalam hidupnya.
Malam pameran akhirnya tiba. Galeri itu dipenuhi oleh para pecinta seni, kritikus, dan kolektor. Zara, mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, berdiri di samping lukisannya. Karyanya, sebuah lukisan abstrak yang menggambarkan perjalanan emosionalnya selama di New York, menarik banyak perhatian.
Selama acara berlangsung, Zara bertemu dengan banyak orang penting dalam dunia seni. Ia bahkan mendapat tawaran untuk bergabung dengan sebuah galeri ternama sebagai seniman tetap mereka. Ini adalah kesempatan yang luar biasa, yang bisa membuka jalan untuk karir internasionalnya.
Di tengah kegembiraan malam itu, Zara merasakan getaran di ponselnya. Sebuah pesan dari Dafa:
"Ra, aku tahu kamu pasti sedang sibuk dengan pameranmu. Aku hanya ingin bilang, semoga sukses! Aku yakin karyamu akan memukau semua orang. Kamu memang pantas mendapatkan semuanya setelah perjalanan panjang yang kamu lalui. Selamat!”
Pesan itu membuat Zara tersenyum. Meskipun mereka tidak lagi bersama, dukungan Dafa masih berarti banyak baginya.
Setelah pameran berakhir, Zara duduk di sebuah bangku taman di dekat galeri, menikmati keheningan malam New York. Ia merenungkan perjalanannya sejauh ini dan keputusan besar yang harus ia ambil.
Tawaran untuk menjadi seniman tetap di galeri itu sangat menggoda. Ini bisa menjadi awal dari karir internasional yang selalu ia impikan. Tapi di sisi lain, ada kerinduan akan rumah, akan Indonesia, yang mulai terasa semakin kuat.
Zara membuka ponselnya dan melihat foto-foto lamanya. Foto bersama keluarga, teman-teman, dan tentu saja, Dafa. Ia merindukan kehangatan itu, tapi ia juga sadar bahwa New York telah memberinya banyak hal yang tidak bisa ia dapatkan di tempat lain.
Keesokan harinya, Zara memutuskan untuk menelepon orang tuanya untuk meminta nasihat.
"Ayah, Ibu, aku bingung," Zara memulai. "Aku mendapat tawaran bagus di sini, tapi aku juga rindu rumah."
Ayahnya menjawab dengan bijak, "Zara, sayang, kamu harus mengikuti kata hatimu. Tapi ingat, kadang kita perlu keluar dari zona nyaman untuk tumbuh."
Ibunya menambahkan, "Kami akan selalu mendukungmu, Zara. Rumah akan selalu ada di sini untukmu."
Setelah pembicaraan panjang dengan orang tuanya, Zara merasa lebih jelas. Ia tahu keputusan apa yang harus ia ambil.
Beberapa hari kemudian, Zara bertemu dengan perwakilan dari galeri tersebut.
"Saya sangat menghargai tawaran Anda," Zara memulai.
"Dan saya memutuskan untuk menerimanya, tapi dengan satu syarat," lanjutnya.
"Apa itu?" tanya perwakilan galeri tersebut.
"Saya ingin tetap berbasis di Indonesia, tapi saya akan sering ke New York untuk pameran dan proyek-proyek khusus. Saya ingin membawa seni Indonesia ke panggung internasional, sekaligus tetap terhubung dengan akar saya, awal dimana saya tumbuh." jawab Zara.
Perwakilan galeri itu tersenyum. "Ide bagus, Zara. Saya rasa kami bisa mengaturnya."
Dengan keputusan ini, Zara merasa seolah-olah ia telah menemukan keseimbangan yang sempurna antara impian internasionalnya dan kecintaannya pada rumah. Ia akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan karirnya di New York sambil tetap mempertahankan koneksi dengan orang-orang yang berada di Indonesia.
Setelah menyelesaikan semua urusan di New York, Zara bersiap untuk kembali ke Indonesia. Dalam penerbangan panjang menuju Jakarta, ia merenungkan perjalanannya selama ini. New York telah mengubahnya, membuatnya tumbuh dewasa sebagai seniman dan sebagai individu.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Zara disambut oleh keluarganya dengan pelukan hangat. Air mata haru mengalir saat ia memeluk ayah dan ibunya. Meskipun ia telah mengalami banyak hal di New York, ada rasa nyaman yang tak tergantikan saat kembali ke pelukan keluarga.
Dalam minggu-minggu berikutnya, Zara mulai menyesuaikan diri kembali dengan kehidupan di Indonesia. Ia membuka studio kecil di Jakarta, tempat ia bisa berkarya dan sesekali mengajar seni kepada anak-anak muda yang berminat.
Suatu hari, saat sedang menikmati secangkir kopi di sebuah kafe dekat studionya, Zara menerima pesan dari Dafa.
"Hey Ra, aku dengar kamu sudah kembali ke Jakarta. Bagaimana kabarmu? Mau bertemu untuk ngobrol?"
Zara menatap pesan itu lama. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya. Setelah beberapa saat, ia membalas:
"Hai Daf, iya aku sudah kembali. Baik, bagaimana denganmu? Boleh, ayo kita bertemu. Kapan kamu ada waktu?"
Mereka akhirnya setuju untuk bertemu di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Ketika Zara tiba, Dafa sudah menunggu di sana. Ada kecanggungan sejenak sebelum mereka berpelukan singkat.
"Kamu terlihat berbeda, Ra," ucap Dafa sambil tersenyum. "New York sepertinya telah mengubahmu."
Zara tertawa kecil. "Ya... begitulah, banyak yang terjadi selama aku di sana. Bagaimana denganmu, Daf?"
Mereka mulai berbincang, awalnya dengan canggung, tapi perlahan-lahan mereka menemukan ritme percakapan yang dulu.
Dafa bercerita tentang karirnya yang mulai berkembang di sebuah perusahaan teknologi, sementara Zara membagikan pengalamannya di New York dan rencananya ke depan.
"Jadi, kamu akan bolak-balik Jakarta-New York?" tanya Dafa.
Zara mengangguk. "Ya, itu rencananya. Aku ingin membawa seni Indonesia ke panggung internasional, tapi tetap terhubung dengan tempat dimana aku tumbuh, di sini."
Dafa tersenyum tulus. "Itu bagus, Ra. Aku selalu yakin kamu bisa membuat dampak besar di dunia seni."
Ia menatap Zara dengan penuh harapan, merasakan semangat yang mengalir di antara mereka.
Setelah beberapa detik hening, Dafa akhirnya memecah keheningan.
"Ra..." ucap Dafa, suaranya bergetar.
"Dulu aku egois, marah karena merasa kamu terlalu sibuk dengan mimpimu dan tidak punya waktu untukku. Tapi sekarang aku mengerti, harusnya aku mendukungmu. Jadi... maukah kita mencoba lagi? Mulai dari awal?" ungkapnya.
Zara menatapnya ragu, matanya berkaca-kaca.
"Tapi mimpiku masih sama, Daf..." jawab Zara.
"Ya, dan kamu tidak perlu mengubahnya. Biar aku yang berubah untukmu," Dafa menggenggam tangan Zara lembut.
"Kali ini aku ingin tumbuh bersamamu. Kita bisa membangun sesuatu yang lebih baik, lebih dewasa," lanjut Dafa.
Dengan senyum kecil dan setetes air mata, Zara mengangguk. "Baiklah, kita mulai lagi dari awal."
Dafa tersenyum lega, dan Zara melihat janji akan masa depan yang berbeda, sebuah awal baru dimana mereka bisa tumbuh bersama dan saling mendukung tanpa harus kehilangan jati diri masing-masing.
Mereka menghabiskan sisa sore itu dengan berbincang, tertawa, dan berbagi cerita. Ada kenyamanan yang familiar, tapi juga ada sesuatu yang baru, sebuah pemahaman dan penghargaan yang lebih dalam terhadap satu sama lain.
Dalam bulan-bulan berikutnya, Zara dan Dafa mulai membangun kembali hubungan mereka, kali ini dengan pondasi yang lebih kuat. Mereka saling mendukung dalam karir masing-masing. Zara dengan seninya yang mulai diakui secara internasional, dan Dafa dengan proyeknya di dunia teknologi.
Zara mulai melakukan perjalanan bolak-balik antara Jakarta dan New York, membawa seni Indonesia ke panggung internasional. Setiap kali ia kembali ke Jakarta, ia selalu meluangkan waktu untuk bertemu Dafa, berbagi cerita tentang pengalamannya di luar negeri.
Suatu hari, saat Zara sedang mempersiapkan pameran tunggalnya yang pertama di Jakarta, Dafa datang ke studionya untuk membantu.
"Ra, aku punya sesuatu untukmu," ucap Dafa sembari memberikan sebuah kotak kecil.
Zara membukanya dan melihat sebuah kalung berbentuk kuas lukis kecil.
"Ini... ini indah sekali, Daf," ucap Zara.
"Aku melihatnya di sebuah toko antik dan langsung teringat padamu," Dafa tersenyum.
"Anggap saja ini sebagai jimat keberuntungan untuk pameranmu," lanjutnya.
Zara menatap Dafa, merasakan kehangatan yang menyebar di dadanya. "Terima kasih, Daf. Ini sangat berarti bagiku."
Saat mereka berdiri berdampingan, memandangi karya-karya Zara yang akan dipamerkan, Zara menyadari betapa jauh perjalanan yang telah ia tempuh. Dari gadis yang bermimpi menjadi seniman internasional, hingga wanita yang kini berdiri di ambang kesuksesan.
Dan di sampingnya ada Dafa, yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanannya. Meskipun mereka pernah terpisah, takdir telah membawa mereka kembali bersama, kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam terhadap satu sama lain.
Zara menggenggam kalung pemberian Dafa, merasakan bahwa ini bukan hanya jimat keberuntungan untuk pamerannya, tapi juga simbol dari perjalanan hidupnya yang penuh warna, sebuah perjalanan yang telah membawanya kembali ke rumah, ke seninya, dan ke cintanya.
Beberapa bulan kemudian, pameran tunggal Zara di Jakarta menjadi sukses besar. Kritikus seni memuji karyanya yang unik, menggabungkan elemen-elemen budaya Indonesia dengan budaya yang ia pelajari di New York. Pameran ini menjadi pembicaraan di kalangan seni Indonesia, bahkan menarik perhatian media internasional.
Setelah pamerannya, Zara terus mengembangkan karirnya dengan berbagai proyek. Meski tidak selalu berjalan mulus, ia tetap bersemangat mengadakan workshop seni untuk anak-anak muda berbakat di Indonesia, berbagi pengetahuan dan pengalamannya.
Di tengah kesibukannya menggelar workshop seni untuk anak-anak muda berbakat, Zara menerima tawaran mengejutkan dari sebuah galeri di New York, yaitu menggelar pameran disana. Tanpa ragu, ia menyanggupi kesempatan itu.
Mendengar kabar ini, Dafa langsung mengatur jadwalnya agar bisa menemani Zara. Ini akan jadi kali pertama Dafa mengunjungi kota yang sering diceritakan kekasihnya itu.
Mereka tiba di New York seminggu sebelum pembukaan pameran. Sambil membantu persiapan akhir, Zara dengan antusias mengenalkan Dafa pada tempat-tempat favoritnya di kota ini.
Malam pembukaan pameran akhirnya tiba, galeri dipenuhi kolektor seni dan kritikus terkemuka. Karya-karya Zara mendapat sambutan luar biasa. Para tamu terpukau dengan cara Zara menggabungkan elemen tradisional Indonesia dengan gaya modern khas New York. Suasana malam itu dipenuhi dengan pujian, menciptakan momen yang tak terlupakan bagi Zara.
Setelah semua kegembiraan itu, Zara dan Dafa memutuskan untuk merayakan kesuksesan pameran dengan cara yang sederhana namun bermakna. Mereka berjalan-jalan di Central Park, tempat yang selama ini hanya Dafa dengar dari cerita-cerita Zara. Salju tipis mulai turun, membuat suasana menjadi damai dan menambah keindahan malam mereka.
"Ra," Dafa memulai, suaranya sedikit gemetar.
"Dulu aku kehilanganmu karena kebodohanku sendiri. Kita sudah melalui banyak hal, terpisah, tapi takdir membawa kita kembali bersama. Sekarang, setelah semua yang kita lalui, aku merasa lebih yakin dari sebelumnya." ungkap Dafa.
Dafa kemudian berlutut di hadapan Zara, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.
"Kali ini, izinkan aku memilikimu selamanya. Zara, maukah kamu menikah denganku? Menjadi pasangan hidupku dan membangun masa depan bersama?" Dafa menatap Zara dengan penuh harap.
Air mata menggenang di mata Zara. Ia menatap Dafa, pria yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupnya.
"Ya, Daf. Ya, aku mau," jawab Zara dengan suara bergetar penuh kebahagiaan.
Mereka berpelukan erat, dengan latar belakang kota New York yang gemerlap dan butiran salju yang lembut jatuh di sekeliling mereka.
Setahun kemudian, Zara dan Dafa menikah di galeri seni miliknya di Jakarta. Pernikahan mereka menjadi perpaduan unik antara seni dan teknologi, mencerminkan passion mereka masing-masing. Karya-karya Zara menjadi dekorasi utama, sementara Dafa menghadirkan elemen-elemen teknologi canggih dalam resepsi mereka.
Saat mengucapkan sumpah, Zara dan Dafa berjanji tidak hanya untuk saling mencintai, tapi juga untuk selalu mendukung mimpi dan pertumbuhan satu sama lain.
"Aku berjanji untuk selalu mendukungmu mengejar mimpimu, Zara," ucap Dafa dalam sumpahnya.
"Dan aku berjanji untuk tumbuh bersamamu, bukan hanya sebagai pasangan, tapi juga sebagai individu." lanjut Dafa.
Zara, dengan air mata kebahagiaan, membalas, "Aku juga berjanji untuk selalu mengingatkanmu bahwa cinta kita adalah kanvas kosong yang bisa kita lukis bersama, Dafa. Aku akan selalu mendukung dan tumbuh bersamamu."
Setelah menikah, Zara dan Dafa memutuskan untuk tinggal di Jakarta, namun tetap sering bepergian ke New York dan kota-kota lain untuk karir mereka. Mereka menemukan keseimbangan antara kehidupan di Indonesia dan panggung internasional.
Zara terus berkarya, kini dengan inspirasi baru dari perjalanan hidupnya yang penuh warna. Karyanya semakin diakui di dunia internasional, namun ia tetap setia pada akar yang membuatnya dikenal saat ini. Dafa, di sisi lain, berhasil mengembangkan startup teknologi yang fokus pada pelestarian dan promosi budaya Indonesia melalui platform digital.
Beberapa tahun kemudian, Zara dan Dafa dikaruniai seorang putri yang mereka beri nama Arunika. Kehadiran Arunika membawa dimensi baru dalam kehidupan mereka. Zara mulai menciptakan karya-karya yang terinspirasi dari pengalamannya sebagai ibu, sementara Dafa semakin termotivasi untuk menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi generasi mendatang.
Ketika Arunika berusia lima tahun, Zara mendapat tawaran untuk mengadakan pameran besar di New York. Ini adalah kesempatan yang ia impikan sejak lama. Namun, itu berarti ia harus tinggal di New York selama beberapa bulan.
"Kejarlah peluang itu," Dafa menatap Zara dengan penuh pengertian.
"Aku dan Arunika akan menyusul begitu proyekku selesai. Kamu sudah bekerja keras untuk mencapai titik ini, Ra." ucap Dafa sambil tersenyum.
Dengan dukungan Dafa, Zara berangkat ke New York. Selama di sana, ia sering video call dengan keluarganya, membagi cerita tentang persiapan pamerannya.
Dua bulan kemudian, pada malam pembukaan pameran, Zara berdiri di depan galeri, gugup namun bersemangat. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang familiar.
"Mama!"
Zara berbalik dan melihat Arunika berlari ke arahnya, diikuti oleh Dafa yang tersenyum lebar.
"Kalian di sini?!" seru Zara, memeluk erat putri kecilnya dan kemudian suaminya.
"Aku kira kalian akan datang minggu depan," ucap Zara, suaranya masih bergetar karena haru.
Dafa mencium kening istrinya kemudian berkata, "Dan melewatkan malam besar ini? Tidak mungkin. Kami ingin memberimu kejutan."
"Mama, aku sudah lihat lukisan-lukisannya dari tadi! Semuanya bagus!" seru Arunika dengan mata berbinar-binar.
Zara tersenyum, terharu melihat keluarganya hadir di momen penting ini. Ia kemudian menggendong Arunika dan menggandeng tangan Dafa, lalu berjalan masuk ke dalam galeri bersama.
Malam itu menjadi salah satu momen paling berarti dalam hidup Zara. Pamerannya mendapat sambutan luar biasa, dan yang terpenting, ia bisa berbagi kebahagiaan itu dengan orang-orang yang paling ia cintai.
"Mama," Arunika tiba-tiba berseru sambil menunjuk salah satu lukisan, "itu aku?"
Zara tersenyum, menatap lukisan yang menggambarkan seorang anak kecil bermain di antara kanvas dan kuas.
"Iya sayang, itu kamu. Setiap goresan di lukisan ini adalah cerminan dari kebahagiaan yang kamu bawa, dan kamu adalah anugerah terindah yang Mama dan Papa miliki," jawab Zara.
Dafa kemudian merangkul Zara, lalu mencium keningnya dengan lembut.
"Kita telah melewati perjalanan yang panjang, Ra. Lihat di mana kita sekarang."
Setelah pameran berakhir, keluarga kecil itu berjalan-jalan di Central Park. Di bawah langit malam New York, Arunika bertanya, " Mama, Papa, apakah mungkin bagiku untuk menjadi seniman dan ahli teknologi seperti kalian suatu hari nanti?"
Zara dan Dafa saling pandang, tersenyum.
"Sayang, kamu bisa jadi apapun yang kamu mau," jawab Zara. "Yang penting, kamu harus mencintai apa yang kamu lakukan."
"Dan selalu ingat," tambah Dafa, "bahwa terkadang untuk menemukan jalanmu kamu perlu pergi jauh dan kembali lagi. Seperti Mama dan Papa."
Zara merasakan kebahagiaan yang mendalam. Ia telah menemukan makna sejati dari kesuksesan, bukan hanya dalam pencapaian profesional, tapi dalam keseimbangan antara karir, cinta, dan identitas diri.
Dan begitulah, kisah Zara, seniman Indonesia yang menaklukkan New York berakhir, atau lebih tepatnya, memasuki babak baru yang penuh dengan kemungkinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H