Zara tersenyum, menatap lukisan yang menggambarkan seorang anak kecil bermain di antara kanvas dan kuas.
"Iya sayang, itu kamu. Setiap goresan di lukisan ini adalah cerminan dari kebahagiaan yang kamu bawa, dan kamu adalah anugerah terindah yang Mama dan Papa miliki," jawab Zara.
Dafa kemudian merangkul Zara, lalu mencium keningnya dengan lembut.
"Kita telah melewati perjalanan yang panjang, Ra. Lihat di mana kita sekarang."
Setelah pameran berakhir, keluarga kecil itu berjalan-jalan di Central Park. Di bawah langit malam New York, Arunika bertanya, " Mama, Papa, apakah mungkin bagiku untuk menjadi seniman dan ahli teknologi seperti kalian suatu hari nanti?"
Zara dan Dafa saling pandang, tersenyum.
"Sayang, kamu bisa jadi apapun yang kamu mau," jawab Zara. "Yang penting, kamu harus mencintai apa yang kamu lakukan."
"Dan selalu ingat," tambah Dafa, "bahwa terkadang untuk menemukan jalanmu kamu perlu pergi jauh dan kembali lagi. Seperti Mama dan Papa."
Zara merasakan kebahagiaan yang mendalam. Ia telah menemukan makna sejati dari kesuksesan, bukan hanya dalam pencapaian profesional, tapi dalam keseimbangan antara karir, cinta, dan identitas diri.
Dan begitulah, kisah Zara, seniman Indonesia yang menaklukkan New York berakhir, atau lebih tepatnya, memasuki babak baru yang penuh dengan kemungkinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H