Zara terdiam. Ia baru menyadari konsekuensi ini. Hubungannya dengan Dafa baru saja mulai berkembang, dan sekarang ia mungkin harus pergi jauh.
"Daf, aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi bisakah kita jalani saja dulu? Aku bahkan belum tentu lolos seleksi," Zara mencoba menenangkan Dafa, meski hatinya sendiri mulai bimbang.
Dafa mengangguk pelan, berusaha tersenyum.
"Hmm... mungkin kamu benar. Aku akan selalu mendukungmu, Ra. Apapun yang terjadi," ucap Dafa.
Setelah percakapan itu, semangat Zara semakin membara. Selama dua minggu berikutnya, Zara bekerja keras menyiapkan portofolionya, sambil tetap menjaga nilai-nilainya di sekolah. Ia bahkan sering begadang untuk menyelesaikan lukisan-lukisannya.
Akhirnya, tiba saatnya Zara mengirimkan portofolionya. Dengan jantung berdebar, ia menekan tombol 'kirim' di emailnya. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan berharap.
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti siksaan bagi Zara. Setiap hari ia mengecek emailnya dengan harap-harap cemas, berharap ada kabar dari panitia seleksi.
Suatu pagi, saat Zara sedang sarapan bersama keluarganya, ponselnya berbunyi. Ada email masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka email tersebut.
"Selamat kepada Zara Arunika. Anda telah lolos seleksi tahap pertama Program Seni New York..."
Zara tidak bisa menahan air matanya. Ia berteriak kegirangan, membuat orang tuanya terkejut.
"Aku lolos! Aku lolos seleksi tahap pertama!" ucap Zara sambil memeluk kedua orang tuanya.