Ada jeda sejenak sebelum Dafa menjawab. "Yaa... biasa saja. Tidak ada yang spesial."
Zara merasakan ada sesuatu yang aneh dari nada suara Dafa.
"Daf, ada apa? Kamu terdengar... berbeda." tanyanya.
Dafa menghela nafas. "Tidak apa-apa, Ra. Aku hanya... entahlah. Terkadang aku merasa kita hidup di dua dunia yang berbeda sekarang."
Kata-kata Dafa membuat Zara merenung. Ia sadar bahwa selama ini ia terlalu fokus pada pengalamannya sendiri di New York, tanpa benar-benar memperhatikan perasaan Dafa.
"Daf, aku minta maaf. Aku tahu ini sulit," ucap Zara lembut.
"Aku mengerti, Ra. Aku juga bangga melihatmu berkembang di sana. Namun, kadang aku merasa terasingkan dalam perjalananmu," Dafa mengungkapkan perasaannya.
Kalimat itu membuat Zara merenung, menyadari betapa pentingnya komunikasi dalam hubungan mereka. Dengan kesadaran itu, mereka pun saling bercerita dan mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
Setelah panjangnya percakapan, mereka akhirnya menutup telepon dengan harapan dapat saling mendukung meskipun terpisah oleh jarak.
Ia mulai menyadari bahwa menjaga hubungan jarak jauh ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Meskipun Zara mencintai Dafa, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa New York telah mengubah perasaannya, membuatnya merasa terombang-ambing antara cinta dan cita-cita.
Dengan pikiran muram, Zara menatap keluar jendela apartemennya, memandang kerlap-kerlip lampu kota New York. Ia menyadari bahwa ia berada di persimpangan, tidak hanya dalam karirnya sebagai seniman, tetapi juga dalam hubungannya dengan Dafa.