Seiring berjalannya waktu, Zara semakin sibuk dengan jadwal sekolah dan program mentoringnya. Meskipun ia berusaha menyeimbangkan waktunya, hubungannya dengan Dafa mulai terasa renggang.
Suatu malam, setelah Zara membatalkan kencan mereka untuk kesekian kalinya karena harus menyelesaikan proyek lukisannya, Dafa akhirnya mengutarakan perasaannya.
"Ra, aku tahu ini kesempatan besar untukmu, tapi... apa kamu masih ada waktu untukku?" tanya Dafa dengan nada sedih di telepon.
Zara terdiam sejenak, merasakan rasa bersalah. "Daf, maafkan aku. Aku tahu aku terlalu sibuk akhir-akhir ini..."
"Bukan hanya sibuk, Ra. Rasanya kamu sudah jauh. Aku merasa... terabaikan," Dafa melanjutkan.
Kata-kata Dafa membuat Zara merasa cemas. Ia sadar telah mengabaikan hubungan mereka.
"Daf, aku tidak bermaksud begitu. Kamu tetap penting bagiku," Zara berkata dengan tulus.
"Benarkah? Kadang aku merasa sebaliknya," balas Dafa dengan nada kecewa.
Zara merasakan air mata mulai menggenang.
"Aku minta maaf. Bisakah kita bertemu besok? Aku ingin kita bicarakan ini," Zara berusaha mencari solusi.
Dafa menghela nafas. "Baiklah. Di taman biasa?"