"Berjuanglah, sayang. Kami ada di sini untuk mendukungmu," ucap ibunya menyemangati.
"Tunjukkan bakat terbaikmu pada mereka," tambah ayahnya.
Ketika tiba giliran Dafa, mereka berdua terdiam sejenak. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan satu sama lain, tapi tidak banyak kata-kata yang terucap. Dalam keheningan itu, perasaan mereka seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap.
Akhirnya, Dafa memeluk Zara erat, seolah ingin mengikat semua harapan dan ketakutan yang menghantui mereka dalam satu pelukan hangat.
“Aku akan selalu ada untukmu,” bisik Dafa, memberikan ketenangan di tengah ketidakpastian.
Kata-kata itu menggema dalam hati Zara, memberi sedikit harapan di saat ini. Perlahan, nafasnya menjadi lebih tenang, dan rasa cemas yang sempat menyelimuti pikirannya mulai mereda.
Dengan hati yang berat, ia melangkah menuju gerbang keberangkatan. Meskipun tidak tahu apa yang menantinya di New York, tekadnya untuk memberikan yang terbaik semakin menguat.
Setelah penerbangan panjang, Zara akhirnya tiba di New York. Kota itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Gedung-gedung pencakar langit, kerumunan orang, dan hiruk pikuk kota besar membuatnya sedikit kewalahan.
Zara tiba di hotel yang telah disiapkan oleh panitia. Kamarnya kecil tapi nyaman, dengan jendela yang menghadap ke pemandangan kota.
Meskipun tubuhnya terasa lelah, semangatnya mengalahkan rasa lelah itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjelajahi sekitar hotel dan menikmati suasana baru yang menantinya.
Keesokan harinya, seleksi tahap kedua dimulai. Zara dan peserta lainnya berkumpul di sebuah galeri seni besar. Ada sekitar 50 peserta dari berbagai negara, semuanya tampak berbakat dan percaya diri. Zara merasa sedikit terintimidasi, tapi ia berusaha menenangkan diri.
Adrian, sang kurator, membuka acara dengan pidato singkat.