"Entahlah. New York itu kota besar. Bagaimana kalau aku tidak bisa beradaptasi? Bagaimana kalau ternyata aku tidak seberbakat yang mereka kira?" Zara mengungkapkan kecemasannya.
Dafa tersenyum lembut. "Hey, dengar. Kamu adalah seniman paling berbakat yang pernah kukenal. Kamu dipilih karena mereka melihat potensi besar dalam dirimu."
Kata-kata Dafa membuat Zara merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Daf. Rasanya sulit membayangkan pergi tanpamu. Aku akan sangat merindukanmu."
"Aku juga akan merindukanmu, Ra. Tapi ingat, ini kesempatan yang tidak datang dua kali. Kamu harus mencobanya sepenuh hati," Dafa menyemangati.
Zara mengangguk, merasa bersyukur memiliki Dafa di sisinya. Namun, saat hari keberangkatannya semakin dekat, rasa haru dan cemas mulai menyelimuti hatinya kembali.
Akhirnya, hari keberangkatan Zara pun tiba. Di bandara, ia berpamitan dengan keluarga dan Dafa. Air mata mengalir saat ia memeluk orang tuanya.
"Jaga diri baik-baik di sana, sayang," pesan ibunya.
"Jangan lupa selalu mengabari kami," tambah ayahnya.
Terakhir, Zara berpaling pada Dafa. Mereka berpelukan erat, seolah tidak ingin melepaskan.
"Aku akan kembali," janji Zara.
"Aku akan menunggumu," balas Dafa.