"Terima kasih, Daf. Entah apa jadinya aku tanpamu," ucap Zara tulus.
Dafa tersenyum, "Itu gunanya aku ada, Ra. Kita hadapi ini bersama, ya."
Sepanjang hari itu, Zara merasa lebih optimis. Ia bertekad untuk menjelaskan perasaannya pada orang tuanya nanti malam. Dalam hati, Zara bersyukur memiliki Dafa yang selalu mendukungnya.
Setelah pulang sekolah, Zara menghabiskan waktu untuk menyusun kata-kata yang akan disampaikannya pada orang tuanya. Ia ingin memastikan bahwa kali ini ia bisa mengungkapkan perasaannya dengan jelas tanpa emosi yang berlebihan.
Malam itu, setelah makan malam, Zara duduk bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga. Suasana terasa tegang, namun Zara berusaha untuk tetap tenang.
"Ayah, Ibu," Zara memulai, "aku ingin kalian tahu bahwa aku sangat menghargai semua yang telah kalian lakukan untukku. Aku tahu kalian ingin yang terbaik untukku."
Orang tuanya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tapi.... aku merasa terbebani dengan ekspektasi yang terlalu tinggi. Aku ingin kalian juga menghargai minat dan bakatku di luar akademis. Aku punya impian sendiri yang ingin kuraih," lanjut Zara.
Ayahnya menghela nafas dalam, lalu menatap Zara dengan serius.
"Zara, kami hanya ingin memastikan masa depanmu terjamin. Dunia ini keras, dan pendidikan yang baik adalah kunci kesuksesanmu nanti." ucap Ayahnya.
"Aku mengerti, Yah. Tapi bukankah kesuksesan bisa dicapai dengan berbagai cara? Aku ingin mengembangkan bakatku di bidang seni. Itu juga bisa menjadi karir yang menjanjikan," jawab Zara.