Ayah dan ibunya tersenyum bangga, meski ada sedikit kekhawatiran di mata mereka.
"Selamat, sayang. Kami bangga padamu," ucap ibunya.
Email itu juga berisi undangan untuk mengikuti tahap seleksi berikutnya di New York selama satu minggu, dan Zara harus berangkat dalam waktu dua minggu kedepan.
Hari-hari berikutnya dihabiskan Zara untuk mempersiapkan segalanya. Ia mengurus paspor dan segala keperluan perjalanannya.
Di sekolah, Zara meminta izin kepada guru-gurunya untuk absen selama seminggu. Sebagian besar mendukungnya, meski ada beberapa yang khawatir ini akan mempengaruhi nilainya.
Saat memberitahu Dafa tentang keberangkatannya, Zara bisa melihat kesedihan di mata kekasihnya itu.
"Aku akan merindukanmu, Ra," ucap Dafa lirih.
"Ini hanya seminggu, Daf, tak perlu khawatir," Zara mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri berat.
Malam sebelum keberangkatannya, Zara tidak bisa tidur. Pikiran-pikiran menghantui benaknya. Rasa cemas tentang kemungkinan gagal terus mengganggu. Di sisi lain, jika berhasil, ia harus pindah ke New York, meninggalkan semuanya di belakang.
Perasaan campur aduk itu membuatnya gelisah. Ia menarik nafas dalam, berusaha menenangkan diri, berharap bisa menghadapi apa pun yang akan datang.
Keesokan paginya, di bandara, Zara berpamitan dengan keluarga dan Dafa. Air mata mengalir saat ia memeluk mereka satu per satu.