Luna mengangguk penuh pengertian. "Itulah seni, Zara. Kita mengambil pengalaman hidup kita dan mengubahnya menjadi sesuatu yang indah. Rasa sakit, kebahagiaan, dan kerinduan, semuanya menjadi bahan untuk karya kita."
Kata-kata Luna membuat Zara merenung. Ia mulai memahami bahwa perjalanannya di New York, termasuk perpisahan sementara dengan Dafa, adalah bagian dari proses pertumbuhannya sebagai seniman dan individu.
Waktu berlalu, dan Zara semakin tenggelam dalam dunia seninya. Ia mulai mendapatkan pengakuan di kalangan seniman New York. Karyanya dipamerkan di beberapa galeri kecil, dan ia bahkan mendapat tawaran untuk magang di sebuah studio seni terkenal.
Sementara itu, komunikasinya dengan Dafa menjadi jarang. Mereka masih sesekali bertukar pesan, saling memberi dukungan dari jauh, tapi tidak lagi seperti dulu. Meskipun ada rasa rindu, Zara mulai menerima bahwa ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya.
Suatu hari, menjelang akhir programnya di New York, Zara menerima email yang mengejutkan. Salah satu karyanya telah terpilih untuk dipamerkan di sebuah galeri seni bergengsi di San Diego. Ini adalah kesempatan besar yang bisa membuka banyak pintu untuknya.
Dengan tangan gemetar karena gembira, Zara menelepon orang tuanya untuk membagikan kabar baik ini. Setelah itu, tanpa berpikir panjang, ia mengirim pesan pada Dafa.
"Hei Daf, aku punya kabar baik. Salah satu lukisanku akan dipamerkan di galeri besar di San Diego. Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara, tapi... kamu orang pertama yang kuberi tahu setelah orang tuaku," tulis Zara dalam pesannya.
Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Dafa.
"Ra! Selamat! Aku bangga padamu," suara Dafa di ujung telepon terdengar tulus dan penuh kegembiraan.
Mereka berbicara selama beberapa menit, berbagi kabar masing-masing. Ada kecanggungan, tapi juga kehangatan yang dulu pernah ada.
Sebelum mengakhiri panggilan, Dafa memberi pesan yang tulus kepada Zara.