"Tapi Bu, apa gunanya nilai bagus kalau aku tidak bahagia? Aku merasa tertekan dengan semua ekspektasi ini," Zara mencoba menjelaskan.
"Tertekan? Jangan bicara omong kosong! Semua ini demi masa depanmu, Zara. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ayahnya turut bicara.
Zara mengepalkan tangannya, "Tapi apa yang terbaik menurut kalian belum tentu terbaik untukku! Aku punya cita-citaku sendiri!"
"Cukup! Mulai besok kamu harus les tambahan sepulang sekolah. Tidak ada bantahan!" tegas ibunya.
Zara menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak ada gunanya lagi berdebat.
Tanpa berkata apa-apa, Zara berbalik dan berlari ke kamarnya, membanting pintu dengan keras.
Di dalam kamar, Zara langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Air matanya mengalir deras membasahi bantal. Ia merasa tidak dipahami. Orang tuanya seolah tidak bisa melihat bahwa ada hal lain yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai.
Zara mangambil ponselnya, mencari nama Dafa di daftar kontak. Dafa adalah kekasih Zara, mereka telah berpacaran selama setahun. Selain sebagai kekasih, Dafa juga menjadi sahabat terdekat Zara, tempat ia selalu mencurahkan isi hatinya.
Zara merasa Dafa adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya saat ini. Dengan jari gemetar, ia menekan tombol panggil.
Setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya Dafa mengangkat telepon.
"Halo, Ra? Ada apa?" suara Dafa terdengar di seberang telepon.