Dafa tersenyum, tapi ada kekhawatiran di matanya. "Iya, Ra. Tapi... bagaimana dengan sekolahmu? Orang tuamu?"
Zara terdiam sejenak. Ia tahu ini akan menjadi tantangan baru. Namun, tekadnya sudah bulat.
"Aku akan bicara dengan orang tuaku. Ini kesempatan yang tak akan kulewatkan, Daf. Aku yakin bisa mengatur waktuku."
Dafa mengangguk, meski masih terlihat ragu. "Baiklah, Ra. Aku akan mendukungmu."
Malam itu, Zara bicara dengan orang tuanya. Awalnya mereka keberatan, tetapi setelah Zara menjelaskan betapa pentingnya kesempatan ini bagi masa depannya, mereka akhirnya setuju dengan syarat nilai sekolahnya tidak boleh turun. Mendengar persetujuan itu, Zara pun merasa lega.
Keesokan harinya, dengan hati yang berdebar, Zara datang untuk wawancara. Ia merasa campur aduk antara antusiasme dan kecemasan saat memasuki galeri.
Setelah melalui serangkaian pertanyaan dan diskusi yang mendalam, Zara meninggalkan tempat itu dengan harapan dan rasa tidak sabar.
Beberapa hari kemudian, ia menerima kabar baik bahwa ia diterima sebagai asisten paruh waktu di galeri. Dengan penuh rasa semangat, Zara menyambut kesempatan ini.
Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Zara menjalani rutinitas barunya dengan penuh semangat, membagi waktu antara sekolah dan pekerjaannya di galeri. Meski lelah, ia merasa bahagia bisa mengeksplorasi dunia seni yang selama ini hanya bisa ia impikan.
Suatu hari, saat Zara sedang merapikan lukisan-lukisan di galeri, seorang pria asing masuk. Pria itu berpenampilan rapi dengan setelan jas mahal, dan tampak sedang mengamati lukisan-lukisan dengan seksama.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sapa Zara sopan.