"Tidak usah. Jika Allah memberi kesempatan aku meminta maaf kepada mereka. Aku berdoa supaya dipertemukan mereka kembali. Kalau bisa mati di dekat mereka. Aku haramkan jasadku disentuh oleh Wulan dan Sri."Â
Seketika dada Ni Sariah semakin tercabik-cabik. Pilu bercampur pedih tidak terkira. Begitu membenci suaminya terhadap anak-anaknya. Sebagai ibu dia gagal mendidik anak-anaknya.Â
"Tidur, Bu. Sudah malam. Obatnya diiris-irit. Sekiranya mau kambuh barulah diminum."
Ni Sariah mengangguk. Merebahkan tubuhnya di samping sang suami. Menatap langit-langit kamar tanpa plafon. Keduanya pun menjemput mimpi.
*
*
*
Waktu berlalu begitu cepat. Lima hari kemudian ....
Suara dua orang dan kendaraan roda dua terdengar mendekat ke gubuk mereka. Ni Sariah sangat bahagia. Tidak dengan suaminya. Lelaki tua 90 tahun itu membisu. Sambil menganyam bambu untuk dijadikan dinding.
Sri datang tidak hanya dengan tangan kosong. Dia dan suaminya membawakan beras 20kg, minyak goreng, garam, mecin, sabun mandi, deterjen, ikan asin dan obat-obatan penting lainnya.Â
"Nih, obatnya, Bu!" Dua keping obat sesak napas berwarna merah itu dilempar ke arah Ni Sariah.Â