Dadanya bergemuruh hebat. Niatnya jika nanti sampai bertemu dengan Sri, dia akan mencaci dan memberi pelajaran terhadap kakak perempuannya. Namun, niatnya urung ditelan angin yang menyejukkan hati. Niat awal ingin menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama. Bukan mencari keributan. Toh, suatu saat mereka akan mendapatkan karma yang tidak semanis kurma.Â
Enam jam kemudian ....Â
Muslih dan Rojali sudah sampai di gubuk tempat tinggal kedua orang renta yang malang itu.Â
Ni Sariah tergolek lemas karena beberapa hari ini dia sakit. Begitu juga dengan suaminya. Keduanya sakit-sakitan tidak ada yang merawat mereka. Di gubuk tengah hutan.
"Pak!" seru Muslih di ambang pintu. Kedua lututnya lemas, seakan tidak mampu berjalan menghampiri kedua orang tuanya.
"Muslih?!"
Muslih memeluk keduanya satu per satu. Seperti ada sebuah keajaiban. Keduanya yang sakit mendadak menjadi sembuh. Seolah mendapatkan kekuatan lagi. Tubuh yang lemas menjadi segar dan bertenaga.Â
"Maafkan, Muslih." Muslih menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan ayahnya.
"Bu ... Muslih minta maaf. Muslih tidak tahu kalau---,"
"Sudah cukup, Le. Kamilah yang seharusnya minta maaf sama kamu," sela Ki Nanang.Â
Air mata kerinduan tidak mampu lagi dibendung. Dada yang sesak pun, ikut meronta minta dibebaskan agar terbang jauh ke awan.Â