Gegas orang-orang pun berhamburan. Dalam keadaan panik dan putus asa. Tiba-tiba ibu mertuanya pun jatuh ke lantai.
Orang-orang akan membawa mereka ke rumah sakit, tapi Ni Sariah menolaknya dengan alasan ingin tetap tinggal bersama Larasati.Â
"Bawa saja suamiku selamatkan dia!" ucapnya lemah.Â
Berulang kali dibujuk, Ni Sariah tetap tidak mau. Dia menolak keras. Dan akhirnya orang-orang terpaksa membawa Ki Nanang tanpa istrinya agar cepat mendapat pertolongan.Â
Muslih dan dua anaknya sudah mendapat penanganan. Dan ketiganya sedang dirawat bahkan diinfus. Sedangkan Ki Nanang ... sudah menemui ajalnya yang telah menjemputnya sebelum sampai ke rumah sakit. Lelaki 90 tahun itu menghembuskan napas terakhirnya di pertengahan jalan.Â
Tinggallah, Ni Sariah. Tubuhnya semakin lemas dan pucat. Telapak tangannya terasa dingin, sedingin salju. Dari mulutnya keluar buih putih tiada henti.Â
Larasati duduk di sampingnya dengan berlinangan air mata. Sesekali tangannya mengusap buih dari mulut ibu mertuanya. Dia tidak sedikitpun rasa terlintas rasa jijik kala menyentuh buih tersebut.Â
"Laras. Jaga anak-anak. Tetap setia sama Muslih. Maafkan, Muslih karena belum bisa membahagiakan kalian. Ibu. I-bu---," ucapnya terbata-bata. Seakan-akan napas sudah di ujung tanduk.
Anaknya yang bungsu dititipkan ke tetangga. Orang-orang tidak mampu menyaksikan pemandangan pilu di dalam rumah Larasati. Mereka lebih memilih menenangkan agar putra kecilnya tidak menangis.Â
"Maaf kan, Ibu. Laras. Maafkan Ibu. Titip salam untuk bapak. Titip salam untuk Muslih."Â
Larasati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya kelu dan tenggorokannya pun terasa sangat sakit. Diambil selimut untuk menghapus keringat dingin di wajah Ni Sariah.Â