Tiba-tiba terdengar suara erangan dan gumaman. Larasati pun mengedarkan pandangannya ke setiap semak belukar maupun ke pohon-pohon kecil. Di sanalah dia melihat lambaian tangan ayah mertuanya.
"Astaghfirullah, Bapak!" pekiknya. Dia berlari menghampiri Ki Nanang.Â
Ketika sampai pada lelaki renta itu, Larasati terperanjat melihat kondisi ayah mertuanya. Tubuh kurus itu tampak lemas. Bibirnya pucat dan kering.
"Ngapain Bapak di sini kok, nggak pulang-pulang sebentar lagi buka puasa!"
"Bapak nggak kuat jalan. Lutut Bapak lemas," keluhnya. Ki Nanang terduduk di tanah sambil selonjoran. Tubuhnya bersandar pada satu gulung kayu bakar yang akan dibawa pulang.
"Lagian Bapak ngapain di sini?" Larasati semakin penasaran.Â
"Bapak nyari kayu bakar untuk kamu. Kalau mengandalkan Muslih, tidak mungkin karena dia sibuk dengan dunianya sendiri." Ki Nanang memijat kedua lututnya.
"Kan, Bapak sudah mencari kayu buat Laras. Di rumah sudah banyak," ucapnya lagi.Â
"Tidak apa-apa. Bapak sengaja cari yang banyak biar kamu nggak repot. Kamu nggak bakalan kekurangan. Pasti bakalan rame rumahmu. Karena kamu bakal ngadain pesta!"Â
"Pesta?" Larasati mengeryitkan keningnya.
"Ayok, Pak! Kita pulang. Sebentar lagi buka puasa." Larasati berjongkok di hadapan ayah mertuanya.