Mohon tunggu...
Tar Tibun
Tar Tibun Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Sedang menjalani kehidupan terbawah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Hati Sampai Mati

8 Agustus 2023   07:09 Diperbarui: 8 Agustus 2023   07:16 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalimantan, 12 Januari 2005

Sepasang sepasang suami-istri lanjut usia datang tergopoh-gopoh menuju rumah yang mereka rindukan. Hampir setengah tahun mereka tidak pulang karena tinggal di sebuah gubuk nan jauh. Namun, sesampainya di sana mereka terperanjat karena rumah yang mereka rindukan sudah milik orang lain. Rumah sebagai harta benda satu-satunya dijual oleh putri mereka kepada orang lain. 

"Sriiiii!" pekik Ki Nanang. Dia menyebut putri keduanya yang bernama, Sri Dwi Ratna. 

Ki Nanang dan istrinya, Ni Sariah terduduk lemas, kala mendapati rumahnya dijual oleh putri mereka sendiri. Tidak hanya rumah, tanah pun ikut dijual. Sedangkan hasilnya sepeser pun keduanya tidak diberi. Pantas saja Sri menghalang-halangi Ki Nanang dan Ni Sariah untuk pulang.

Ki Nanang dan istrinya menangis di depan teras rumah yang kini menjadi milik orang lain. 

"Dasar anak tak tau diuntung! Orang tua dijadikan kerbau di ladang. Rumah milik orang tua pun kau jual!" Kedua mata lelaki tua 90 tahun itu berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh bagai awan yang siap meledak di atas sana. 

"Sabar, Ki." Ni Sariah mencoba menenangkan suaminya. Dilihatnya dada yang dulu nampak lapang dan bidang. Kini ringkih dan kurus. Di sanalah tempat Ni Sariah mengadu dan berkeluh kesah. 

"Kau tidak pernah mendidiknya dengan benar," ujar Ki Nanang. Pipinya yang kempot karena ompong tampak kembang-kempis mengikuti napasnya. 

Ni Sariah melotot. Perempuan bertubuh pendek, berkulit gelap dan kurus itu marah. 

"Jangan salahkan aku! Dia juga anakmu, bukan?" Perempuan 80 tahun itu menjadi emosi. 

Keduanya duduk di depan teras. Menikmati tubuh yang lelah kala perjalanan jauh menempuh rumah mereka. Akan tetapi, rasa lelah itu dibayar sakit hati yang menjalar di dada. Hancurlah sudah perasaannya.

"Apa Bapak tau dimana tempat anak perempuan kalian tinggal?" tanya Rudi pemilik rumah. 

Ki Nanang dan istrinya menggeleng lemah. Tubuh mereka gemetaran masih tidak percaya atas tindakan yang dilakukan Sri dan suaminya. Mengapa perempuan yang berstatus sebagai anaknya tega menjual harta mereka satu-satunya. Tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari mereka terlebih dahulu.

"Maaf, kalau begitu saya tidak bisa mengantar Bapak dan Ibu." Rudi terlihat begitu lesu dan tidak enak hati. 

"Kita balik ke ladang lagi, yuk," ajak Ni Sariah. Tangannya yang keriput menyentuh bahu suaminya.

"Bapak lelah, Bu," keluh lelaki tua berpipi kempot itu. Tatapan matanya yang sendu mengawang-awang terlempar ke sebuah halaman. Di sanalah tempat dia mengukir kenangan bersama cucu-cucunya. Kini, tempat ini telah menjadi milik orang lain. 

"Kalau begitu biar saya saja yang mengantarkan jenengan semua," tawar Rudi. Dia merasa iba dan kasihan. 

Kedua sepasang lanjut usia itu bergeming. Pikirannya kacau dan hatinya bergemuruh sakit. Sakit yang tergores di dadanya tidak mampu diredam, walaupun ribuan napas terganti dengan oksigen baru. 

"Makan saja dulu, Mas. Kasihan. Pasti jauh," timpal Mala, istrinya Rudi. 

"Tidak perlu. Kami sudah kenyang," tolak lelaki 90 tahun itu. Padahal perutnya perih menahan perih karena lapar.

Tangannya gemeteran meraih gembolan kain berisi pakaian mereka. Selain pakaian ada juga di dalamnya beberapa obat-obatan untuk Ni Sariah. Perempuan lanjut usia itu memiliki penyakit riwayat sesak nafas bawaan dan keturunan dari keluarganya.

"Kita pulang lagi ke gubuk." Ki Nanang berdiri. Tubuhnya sedikit bungkuk dimakan usia. 

Rudi dan anak laki-lakinya siap menolong mengantarkan Ki Nanang dan Ni Sariah. Mereka tidak mengharapkan imbalan meskipun perjalanan sangat jauh. Menempuh 5 jam dari rumah mereka. 

Mereka mengantarkan dengan kuda besi. Rudi bersama Ki Nanang, sedangkan Ni Sariah dengan anak laki-laki berusia 20 tahun itu. 

Di sepanjang jalan sepasang lanjut usia yang malang itu, menangis dalam diam. Betapa sakit hatinya mereka secara tidak terlihat oleh mata, mereka mengusir dan membuang keduanya. 

Sesekali perempuan tua berusia 80 tahun itu mengusap air matanya. 

Mereka menuju gubuk yang jauh dari pemukiman ataupun desa. Mereka harus melewati jalan tanah kuning yang berlubang dan belum disentuh aspal sama sekali. Melewati hutan belantara. Adapun jalan pintas, mereka harus melalui rawa-rawa yang mana sedalam paha orang dewasa. Rudi dan putranya memilih jalan darat agar tidak melalui rawa-rawa. Lagi pula kendaraan mereka tidak bisa menerobos rawa. 

*

*

*

Setelah salat Isya, barulah mereka sampai di gubuk tempat tinggal Ki Nanang dan istrinya. Rudi dan putranya beristirahat setengah jam. Kemudian mereka berpamitan pulang menempuh gelapnya malam. 

Tinggallah Ki Nanang dan istrinya. Di dalam gubuk yang jauh dari kehidupan orang-orang. 

"Aku menyesal telah melahirkannya," keluh perempuan itu. 

Suaminya mendelik. 

"Ngomong apa kamu. Yang ada menyesal telah mendidik anak menjadi anak batu dan durhaka!" sahut Ki Nanang. 

Keduanya duduk di tengah ruang bercahayakan remang-remang lampu minyak tanah yang berpijar. Menikmati alunan desau angin malam. Dan mendengarkan binatang malam yang pandai bernyanyi. 

Di samping lelaki tua itu secangkir kopi panas rasanya pahit tanpa gula. Sedangkan sang istri tidak henti mengusap air mata yang mengalir ke pipinya. Rambut putih bergelung. Kebaya lusuh melekat di tubuh kurusnya. 

"Sekarang bagaimana dengan nasibku, Pak? Sebentar lagi obat sesak napasku habis." Dadanya bergemuruh rasa sakit semakin berjumpa pada gumpalan daging yang berdegup kencang. 

"Pasrah. Tunggu keajaiban. Paling tidak menunggu Sri, si anak batu itu datang. Atau kita mati sama-sama di sini." 

Ni Sariah menoleh menatap lekat wajah suaminya. Dia tahu betapa kecewanya sang suami terhadap putri kedua mereka. Perempuan itu bisa merasakan betapa sakitnya hati suaminya. 

"Bagaimana kalau kita ke rumah Wulan saja, Pak?" usul Ni Sariah. Kedua matanya yang sendu berubah berbinar-binar. Ibarat bintang bersinar di tengah kegelapan malam. 

"Enggak! Aku tidak setuju. Wulan dan Sri sama saja. Wulan banyak anaknya. Selain anak cucu dan menantu menjadi tanggungannya. Lebih baik, kita di sini saja kalau memang usia kita tidak panjang. Mati di sini pun tidak mengapa."

Ni Sariah tertunduk lesu seakan napasnya melemah. Bulir-bulir bening menetes lagi pada pipinya yang kurus dan kusam. 

Wulan. Putri pertama mereka yang dikaruniai tujuh orang anak. Enam anak sudah menikah tersisa satu yang belum. Anak dan menantu bergantung dengan hidupnya. Dia bersuami. Suaminya hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk mencukupi semua kehidupan anak maupun menantu. Kehidupan yang paceklik membuat mereka hidup serba kekurangan. 

Maka dari itu, Ni Sariah dan Ki Nanang memilih diam di sebuah gubuk yang jauh dari orang-orang. Pada dasarnya kedua anak mereka tidak menginginkan suami-istri berusia senja itu tinggal bersama. 

"Kita ini kualat. Kamu ingat, tidak? Menyia-nyiakan Muslih dan menantu kita?"

Anak kelima Ki Nanang dan istrinya. Seorang laki-laki yang berusia 45 tahun. Namanya, Muslih. Memiliki istri bernama Larasati. 

"Aku tidak merasa menyia-nyiakan mereka. Mereka saja yang pergi meninggalkan kita," ucap Ni Sariah gengsi. 

Mendengar ucapan istrinya lelaki 90 tahun itu murka. 

"Jangan dusta, Ni! Aku ingat betul kamu belum menerima Larasati sebagai menantu. Kurang apa coba dia? Baik, mau mengurusi kita yang renta. Kamu selalu membanding-bandingkan dengan menantu lain. Yang tidak cantik lah, tidak pintar lah dan miskin lah. Apa kau tidak ingat?" cecar suaminya.

Istrinya terdiam. Merenung mencoba mengingat beberapa tahun silam yang sempat tinggal bersama dengan Muslih dan menantu perempuannya. 

Larasati. Bertubuh gemuk, rambut keriting dan berwajah pas-pasan. Berbeda dengan menantu perempuan lainnya. Bertubuh langsing, cantik dan pekerja.

"Iya. Aku salah," ucap Ni Sariah. Lidahnya getir seketika. 

"Terlambat! Sekarang mereka pergi kita pun tidak tahu mereka ada di mana." Ki Nanang merebahkan tubuhnya di tikar anyaman rotan. Tangannya dilipat dijadikan sebagai bantal. 

"Kita cari," katanya lagi. 

"Tidak usah. Jika Allah memberi kesempatan aku meminta maaf kepada mereka. Aku berdoa supaya dipertemukan mereka kembali. Kalau bisa mati di dekat mereka. Aku haramkan jasadku disentuh oleh Wulan dan Sri." 

Seketika dada Ni Sariah semakin tercabik-cabik. Pilu bercampur pedih tidak terkira. Begitu membenci suaminya terhadap anak-anaknya. Sebagai ibu dia gagal mendidik anak-anaknya. 

"Tidur, Bu. Sudah malam. Obatnya diiris-irit. Sekiranya mau kambuh barulah diminum."

Ni Sariah mengangguk. Merebahkan tubuhnya di samping sang suami. Menatap langit-langit kamar tanpa plafon. Keduanya pun menjemput mimpi.

*

*

*

Waktu berlalu begitu cepat. Lima hari kemudian ....

Suara dua orang dan kendaraan roda dua terdengar mendekat ke gubuk mereka. Ni Sariah sangat bahagia. Tidak dengan suaminya. Lelaki tua 90 tahun itu membisu. Sambil menganyam bambu untuk dijadikan dinding.

Sri datang tidak hanya dengan tangan kosong. Dia dan suaminya membawakan beras 20kg, minyak goreng, garam, mecin, sabun mandi, deterjen, ikan asin dan obat-obatan penting lainnya. 

"Nih, obatnya, Bu!" Dua keping obat sesak napas berwarna merah itu dilempar ke arah Ni Sariah. 

Ni Sariah mendadak kelu.

"Anak batu! Anak durhaka! Pergi kalian dari sini. Jangan pernah menginjakkan kaki ke sini lagi!" Tidak disangka Ki Nanang mengusir Sri dan suaminya. 

"Ada apa, Pak? Didatangi malah ngusir! Apa nggak tau datang ke sini butuh berjam-jam?!" Sri tak kalah sengitnya. Perempuan bertubuh kurus dan berkulit sawo matang itu membentak keras kedua orang tuanya.

"Kami tidak butuh kedatangan kalian. Kalau kami mati jangan sedikitpun kalian menyentuh jasad renta ini!" Ki Nanang melotot hingga matanya berair. 

Sri Dwi Ratna, dia bingung kenapa ayahnya mendadak marah. Biasanya kedatangannya ditunggu-tunggu kedua orang tuanya. 

"Ada apa, Pak?" tanya sang menantu. 

"Nggak usah pura-pura lugu! Rumahku kalian jual. Kalian sengaja membiarkan kami di sini. Apa kalian buta? Apa kalian tidak punya hati, ha?!" Diambil sebilah parang yang terselip di dinding anyaman bambu. 

"Pergi dari sini!"

"Pak jangan seperti itu---,"

Ki Nanang mengamuk hingga membuat Sri dan suaminya lari terbirit-birit meninggalkan gubuk. 

Parang terjatuh ke lantai papan. Kedua lutut Ki Nanang bergetar dan lemas. Dia pun akhirnya tersungkur. Lelaki renta itu menangis sejadi-jadinya. 

Sang istri menatap iba dan kasihan. Dia pun menghampirinya. Memeluknya sambil duduk. Niat hati menguatkan sang suami, tetapi ditepis Ki Nanang. 

Ni Sariah menangis sendiri sambil mengusap dadanya yang kurus. 

Pagi yang kelam pagi yang kelabu. Momen ini tidak akan dilupakan keduanya. Malang nian nasib orang tua yang senja. Jauh dari anak-anak dan cucu. Seharusnya di usia senja keduanya hidup tenang dikelilingi orang-orang terkasih. Bukan diasingkan di tengah ladang diantara hutan belantara. 

Hanya ditemani radio butut yang masih bersuara. Nyanyian sebagai pengantar pelipur lara dikala sepi dan malam mendera. 

*

*

*

Sementara itu, Muslih dan Larasati menanti dan berharap-harap kedatangan orang tuanya. 

Merindukan, tapi gengsi. Takut diusir dan disia-siakan seperti dulu. 

Waktu terus berlalu begitu cepatnya. 

"Muslih!" sapa tetangganya dulu. Rojali namanya. 

Muslih pun terkejut. "Kang Rojali?!"

Rojali menjabat tangannya. Mereka tidak sengaja bertemu di saat sama-sama menjajakan dagangan di sebuah pasar tradisional Kalimantan. 

Setelah bertukar kabar, Rojali menceritakan keadaan kedua orang tuanya Muslih. 

"Astaghfirullah!" pekik Muslih. Tidak terasa dia menumpahkan air mata ke pipinya. Tidak peduli dipandangi oleh orang-orang satu pasar. 

"Mereka sakit-sakitan, Mus. Di ladang," ucap Rojali pria bertubuh gempal itu. 

Larasati menitikkan air mata juga. 

"Jemput mereka, Mas," pintanya. Dadanya begitu sesak. Meskipun disia-siakan ibu mertuanya, Laras merindukan keduanya.

"Nanti aku kasih tau dimana tempatnya!" kata Rojali bersemangat. 

"Aku akan temui Kakang besok." Janji Muslih.

Setelah pertemuan yang tanpa disengaja itu, Muslih berniat menjemput kedua orang tuanya. Sebelum menjemput Muslih menemui Rojali di kediamannya sesuai janjinya tempo hari.

Pagi buta setelah usai salat Subuh, Muslih berangkat dengan kuda besinya. Perasaannya tumpang tindih tidak karuan. Dia juga merasakan betapa sakit hatinya. Apalagi mendengar cerita dari Rojali jika kedua orang tuanya disia-siakan oleh kakak-kakak perempuannya. 

Dadanya bergemuruh hebat. Niatnya jika nanti sampai bertemu dengan Sri, dia akan mencaci dan memberi pelajaran terhadap kakak perempuannya. Namun, niatnya urung ditelan angin yang menyejukkan hati. Niat awal ingin menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama. Bukan mencari keributan. Toh, suatu saat mereka akan mendapatkan karma yang tidak semanis kurma. 

Enam jam kemudian .... 

Muslih dan Rojali sudah sampai di gubuk tempat tinggal kedua orang renta yang malang itu. 

Ni Sariah tergolek lemas karena beberapa hari ini dia sakit. Begitu juga dengan suaminya. Keduanya sakit-sakitan tidak ada yang merawat mereka. Di gubuk tengah hutan.

"Pak!" seru Muslih di ambang pintu. Kedua lututnya lemas, seakan tidak mampu berjalan menghampiri kedua orang tuanya.

"Muslih?!"

Muslih memeluk keduanya satu per satu. Seperti ada sebuah keajaiban. Keduanya yang sakit mendadak menjadi sembuh. Seolah mendapatkan kekuatan lagi. Tubuh yang lemas menjadi segar dan bertenaga. 

"Maafkan, Muslih." Muslih menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan ayahnya.

"Bu ... Muslih minta maaf. Muslih tidak tahu kalau---,"

"Sudah cukup, Le. Kamilah yang seharusnya minta maaf sama kamu," sela Ki Nanang. 

Air mata kerinduan tidak mampu lagi dibendung. Dada yang sesak pun, ikut meronta minta dibebaskan agar terbang jauh ke awan. 

"Maafkan kami," ucapnya sambil meminta ribuan maaf. 

Bukan. Seharusnya bukan kedua orang tuanya yang meminta maaf. Anaklah. Anaknya lah yang bersalah dengan mudahnya hati tergores kemudian tersinggung. Selepas itu pergi satu per satu. Seharusnya kedua orang tua dirawat apalagi memasuki usia senja. Anak lah yang bertanggung jawab demi kelangsungan hidup orang tua mereka. 

Sekecil dan sebesar apapun kesalahan orang tua mereka, tetaplah kedua orang tua yang melahirkan dan merawat mereka di dunia. Cukup sudah menghakimi menyiksa dengan kerinduan yang tidak terobati. Sejatinya orang tua pasti akan kesepian kala anak-anak mereka sudah dewasa. 

Memang benar istilah peribahasa mengatakan, "Sepuluh anak tidak akan mampu merawat seorang ibu. Sedangkan satu ibu mampu merawat sepuluh anaknya."

Rojali menangis, padahal mereka bukan kedua orang tuanya. Hati siapa yang kuat menyaksikan pemandangan pilu. Kedua orang tua terlantar di tengah hutan. Ditambah lagi dengan kondisi sakit-sakitan.

Setelah melepaskan rindu, Muslih membungkus pakaian kedua orang tuanya di dalam sebuah kain yang dijadikan gembolan. Tangannya cekatan memilih dan memilah kain yang layak dibawa. Sesekali menghapus air mata di pipinya. 

Begitu jahatnya kedua kakak perempuan Muslih. Membiarkan kedua orang tuanya dijadikan kerbau di sebuah ladang di tengah hutan belantara. Memang ... di ladang mereka banyak ikan jika mau memancingnya dan banyak sayur-sayuran yang bisa dimasak untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, membiarkan orang tua di tengah hutan itu tindakan tidak manusiawi. Apalagi keduanya sering sakit-sakitan. Sungguh, kejamnya! 

"Ikut Muslih, ya, Bu. Bapak akan dirawat di sana," ujar putranya bersemangat. 

Ada keraguan yang menelusup di hati Ni Sariah. Bagaimana jika nanti menantu perempuannya membalas dendam? Menyia-nyiakan seperti dia dulu menyiakannya. 

"Tapi, Mus---," ucap Ni Sariah terpotong.

"Larasati menunggu Ibu dan Bapak. Larasati juga memasak terong kecap kesukaan Bapak. Jangan khawatir kita akan tinggal bersama tidak ada satu orang pun yang akan menyakiti dan menelantarkan kalian lagi." 

"Terima kasih, Mus. Maafkan kami." Entah berapa kali Ki Nanang menangis terharu. 

Muslih mengambil dua kain panjang. Dan dia juga menurunkan barang bawaan dari gubuk panggok itu. Meletakkan di depan kuda besinya. Rojali pun sudah bersiap-siap akan membawa salah satu kedua orang tua sahabatnya itu. 

Lelaki bertubuh kecil itu tidak riskan menggendong ibunya untuk turun dari gubuk setinggi setengah meter. Muslih menuruni anak tangga dengan berhati-hati. Tubuh renta ibunya dia dudukkan ke jok motor milik Rojali. Kemudian tubuh kurus tidak berdaya ibunya, diikat dan disatukan dengan tubuh Rojali dengan kain panjang yang dia ambil dari dalam lemari kayu tanpa pintu.

Kemudian Muslih menuntun dan memapah Ki Nanang untuk menuruni anak tangga. Setelah sampai di tangga paling bawah, Muslih menutup dan mengunci semua jendela dan pintu. Sebelum menuruni anak tangga dia membalikkan tubuhnya. Begitu sesak, hingga kelopak matanya tidak mampu membendung air mata yang terus mendobrak meminta terjun ke pipi kusamnya. 

"Ayo, Pak." Tangannya menggenggam erat tangan ayahnya. 

"Tersenyumlah, Mus. Bapak merindukan kamu tersenyum. Dengan cara tersenyum bapak bisa melihat kesukarelaanmu. Dengan cara tersenyum itu artinya kamu senang bapak bebani."

Muslih mengukir senyum di wajahnya. 

Ki Nanang menghela napas panjang. Ada kelegaan terbesit di hatinya.

Semoga Muslih menepati janjinya. 

*

*

*

Pukul 18.00 sore mereka pun sampai di kediaman Muslih dan istrinya. Larasati sudah menunggu kedatangan mereka di ambang pintu. Ketika kedua mertuanya turun dari kuda besi, Larasati setengah berlari menghampiri keduanya. Memeluk dan memapah itu mertuanya yang sedang sakit untuk masuk ke rumah sederhana. 

"Maafkan kami, Laras." Bibir Ki Nanang bergetar.

"Jauh dari sebelum Bapak meminta maaf, Laras sudah memaafkannya."

Rojali berpamitan pulang. Pelukan hangat menyertai perpisahan keduanya.

"Terima kasih banyak, Kang. Seandainya tidak pernah bertemu dengan Kakang mungkin aku tidak pernah tahu keadaan kedua orang tuaku sampai saat ini."

Lambayan tangan Rojali pun mengakhiri perpisahan mereka. Tubuhnya hilang ditelan kegelapan malam. 

Pertemuan empat manusia yang saling merindukan telah mengobati luka dan kerinduan yang mendalam. Tubuh Ki Nanang dan istrinya mendadak sembuh total. 

Malam ini suasana makan bersama tampak begitu hangat dan harmonis. 

"Ibu tidak menyangka kalau kalian sudah punya tiga anak," ucapnya sambil mengunyah sayur terong dibumbui kecap. 

Muslih dan Larasati tersenyum tipis. Tanpa meja makan mereka hanya duduk di lantai. Mengelilingi menu sederhana dan memegang piring mereka satu per satu. 

*

*

*

Seminggu telah berlalu. Ki Nanang dan Ni Sariah merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Tinggal bersama anak yang benar-benar menyayanginya sekaligus menantu perempuan mereka. 

Di sisi lain mereka menjalankan ibadah dengan tenang. Karena tidak jauh dari rumah Muslih, ada masjid. Dengan itu mereka bisa menjalankan ibadah tepat 5 waktu. 

Seiring waktu berjalan. Ni Sariah memiliki teman dan tetangga untuk mengobrol. Sifat judes dan tidak suka terhadap Larasati pun mulai muncul kembali. 

"Anakku buta. Masa menikah dengan perempuan jelek sepertinya," ucapnya di sela-sela obrolan tetangga yang sedang berkumpul dengannya. 

"Menantuku yang lain cantik-cantik dan tampan." Dengan bangganya dia membeda-bedakan. Ni Sariah lupa. Dengan apa yang pernah menimpanya. 

Tentunya obrolannya setiap hari, tidak sengaja terdengar di telinga Larasati. Hati mana yang tidak sakit setelah tahu dirinya di beda-bedakan dengan menantu lainnya. 

Suatu hari Ki Nanang memergoki istrinya yang sedang membicarakan Larasati. 

"Eling, Bu. Kita dulu hidup seperti apa. Anak mana yang mau merawat kita selain Larasati? Kamu jangan lupa jika anak-anak kita menyia-nyiakan. Sekarang kamu hidup di mana?" 

Seketika sang istri terdiam. 

"Seharusnya anak kita Muslih, membahagiakan Larasati. Namun kenyataannya sampai saat ini, Muslih belum membahagiakannya juga."

Ni Sariah bagai tertampar dengan ucapan suaminya. Entah hatinya terbuat dari apa. Hingga saat ini perempuan 80 tahun itu belum bisa menerima Larasati sebagai salah satu menantunya. Dia juga lupa siapa yang merawatnya sekarang. 

Ya, seharusnya perempuan 80 tahun itu menyadari perbedaannya. Bukan membeda-bedakannya. 

Sampai saat ini anak-anaknya tidak pernah mencari di mana keberadaan keduanya. Seolah menutup mata dan seolah menutup telinga.

Suatu malam, keduanya tidak bisa tidur. Ki Nanang memijat istrinya yang mengeluh.

"Dipijati olehmu tidak kerasa, Pak." 

"Kalau begitu minta tolong saja sama Larasati," saran suaminya. 

Tidak sengaja pembicaraan mereka didengar oleh Larasati. 

"Enggak ah, nanti yang ada tulang-tulangku pada copot semua."

Ni Sariah tidak tahu jika ucapannya bisa menggores hati menantunya. Ya, Larasati memiliki tubuh yang lumayan gempal. Itu mengapa perempuan 80 tahun suka sekali menyindir atau bahkan terang-terangan menghina fisik Larasati.

"Astaghfirullahaladzim! Sampai kapan kamu berhenti menghinanya, Bu?" Ki Nanang tidak melanjutkan aktivitas memijatnya. Tubuh sedikit bungkuk itu membelakangi istrinya. 

"Kenapa? Memang kenyataannya seperti itu, kan?"

"Ingat! Kamu sudah tua. Jika ajal menjemput dan tidak sempat meminta maaf sama menantumu itu. Aku pastikan kamu menyesal! Jangan lupa kalau dialah yang merawatmu. Siapa yang suka menyediakan obat untukmu, ha?" 

"Siapa yang mencuci pakaian dan menyediakan makan untukmu. Apa kamu tidak ingat ketika kamu tinggal bersama anak-anak kita? Apa mereka ada yang peduli? Bahkan mereka secara diam-diam menelantarkan kita menjual rumah kita. Kapan kamu sadar, Bu?"

Cercaan Ki Nanang lagi-lagi membuat perempuan itu terdiam. 

"Eling, Bu. Eling." Napas lelaki 90 tahun itu seakan terasa begitu sesak di dadanya. 

"Kamu selalu membanding-bandingkan dengan menantu lain. Anak sendiri saja tidak mengurus kita. Kita ditelantarkan." 

Ni Sariah terdiam. Dia memilih untuk pergi tidur daripada mendengarkan ceramah suaminya. 

*

*

*

Kalimantan, 24 September 2006. 

Tidak terasa memasuki bulan Ramadan. Beberapa bulan lamanya telah berlalu. Anak-anak Ki Nanang dan Ni Sariah tidak ada satupun yang mencari keberadaan mereka. 

Begitu sebaliknya. Kedua insan lanjut usia, memilih abai. Tidak menanyakan ataupun memperdulikan anak-anak mereka. Mencari ataupun tidak, Ki Nanang dan istrinya sudah hidup bahagia bersama Muslih dan keluarga kecilnya. 

Mereka dikelilingi tiga cucu dari pernikahan Muslih dan Larasati. Dua sudah bersekolah dan yang paling kecil berusia satu tahun. 

Meskipun mereka abai, tetapi di dalam hati kecil Ni Sariah, dia merindukan anak-anaknya juga cucu-cucunya. Padahal jarak tidaklah terlalu jauh. Namun, Entah mengapa anak-anak dan menantu mereka tidak mencari keduanya. Sampai tiba di bulan Ramadan.

"Pak ... aku kepingin pulang menengok mereka," pinta istrinya. 

Ki Nanang melirik istrinya sekilas. Kemudian dia memilih mengabaikan rengekkan istrinya. 

"Untuk apa? Supaya ditelantarkan, lagi?" 

Ni Sariah menarik napasnya. Perempuan berkulit gelap itu tampak kesal. Suaminya selalu bersikeras menolak pulang mengunjungi anak-anaknya. Lelaki tua 90 tahun itu lebih suka tinggal bersama Muslih dan menantunya. Dia tidak ingin diusir ataupun ditelantarkan lagi.

"Anak durhaka seperti mereka tidak perlu didekati. Yang ada kita sebagai orang tua sakit hati dibuatnya. Mereka lupa dengan apa yang aku ajarkan. Melupakan dalil yang pernah kusampaikan. Jangan pernah sekali-kali mereka durhaka kepada orang tua, tapi nyatanya nasihat itu mereka abaikan. Mereka lupa di dalam Alquran surah al-Isra' ayat 23 dan surah al-Ahqaf ayat 15. Mereka melupakan itu, Bu! Melupakan ayat yang melarang anak durhaka kepada kedua orang tuanya." Kedua mata Ki Nanang berkaca-kaca. 

Sebagai seorang ibu, istrinya pun menolak keras bahwa menganggap anak-anaknya durhaka terhadap dirinya dan suaminya. Ni Sariah berpikir, jika mereka hanya kurangnya komunikasi. 

"Kamu jangan lupa, Pak. Tidak hanya anak yang bisa durhaka pada orang tuanya. Orang tua pun bisa dikategorikan durhaka terhadap anak-anaknya!" geram Ni Sariah. Tangannya yang keriput memegang kipas dari robekan kardus mie instan. 

Keduanya duduk di samping rumah sambil menganyam bambu. Puasa pertama dilalui dengan suka duka tanpa dikelilingi anak-anak mereka. 

"Dari mana kamu tahu kalau kita ini orang tua yang durhaka?" tanya Ki Nanang. Dia menghentikan gerakan tangannya. 

"Seharusnya kita sebagai orang tua masih bertanggung jawab untuk menasehati anak-anak kita. Jika memang mereka durhaka atau bersikap kurang ajar. Bukan menjauh seperti ini. Ini sudah termasuk durhaka terhadap anak-anak kita." 

Ki Nanang menggelengkan kepalanya sambil berdecak. 

"Kamu kalau mau ditelantarkan lagi, ya pergi sana. Nanti aku bilang sama Muslih untuk mengantarkan kamu ke sana."

Istrinya diam sesaat. 

"Ah, tidak usah. Lebih baik kita di sini saja. Fokus ibadah mumpung dekat dengan masjid. Di bulan Ramdhan seperti ini ada baiknya kita meningkatkan kualitas ibadah. Mumpung masih diberi umur."

"Bapak sama Ibu masih kuat, puasanya?" tanya Larasati sambil membawa sayuran yang akan dimasak untuk berbuka puasa. 

Keduanya menoleh ke arah perempuan bertubuh gempal itu.

"Kuatlah! Kan, nggak ngapa-ngapain. Cuma tidur," sahut ibu mertuanya ketus.

"Buka puasa mau dibuatin apa, Pak, Bu?" tanyanya. 

"Kalau ada terong endog (telor) dikasih bumbu kecap sedikit pedes, sama es pepaya dikerok. Itu enak," jawab Ki Nanang. 

Dua menu yang dia sebutkan adalah menu favoritnya. Terong mirip telor ayam biasanya dimasak kecap dengan diberi cabai sedang. Dan buah pepaya berwarna oranye dikerok menggunakan sendok, diberi gula dan dikasih es batu. Itu akan nikmat dan segar. 

"Nggak ada menu lain?!" ketus istrinya. 

Ki Nanang menatap istrinya. 

"Memangnya kita punya gigi? Makan aja susah!"

Larasati menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sendiri. Melihat tingkah kedua mertuanya kadang suka geli dan terkekeh. 

Kehidupan sekarang membuat keduanya hidup bahagia dan tenang. Disayang anak dan menantu yang dulunya disia-siakan, ternyata menantu perempuannya sangat sayang. Bahkan mau merawat mereka tanpa mengharapkan imbalan. 

*

*

*

Setelah shalat Tarawih, Larasati melipat semua baju anggota keluarganya. Merapikan lemari dan menata pakaian. Tidak sengaja perempuan itu melihat bungkusan plastik berwarna hitam. 

"Apa ini, Bu?" tanyanya penasaran. 

"Buka saja nanti juga tau," jawabnya memberi perintah. 

Larasati pun membuka plastik hitam yang terikat. Setelah itu dia membuka plastik hitam tersebut. 

"Kain kafan," kata sang menantu. 

"Buat bekal. Itu tabungan kami. Kain kafan, kapas, kapur barus, minyak wangi-wangian dan serbuk cendana. Kelak, kalau kami tiada tidak merepotkanmu," terang lelaki 90 tahun itu. Yang sebentar lagi usianya menginjak 91 tahun. 

Ketiganya terdiam. Hanya terdengar suara jangkrik dan nyanyian katak di pinggir londang. Lubang galian bekas ekskavator berbentuk persegi. Lumayan dalam. Biasanya warga Kalimantan menemukan londang di lokasi-lokasi tertentu. Contohnya di tambang emas ilegal. Di sebuah lokasi yang didominasi pasir.

"Bapak mah, ngomong sembarangan," kata Larasati. Dia menepis perasaan yang membuatnya takut kehilangan ayah mertuanya. 

"Bukan sembarangan, tapi memang benar adanya. Kami sudah tua. Uzur. Hanya itulah harta satu-satunya yang akan kami pakai dan dibawa mati. Kami sudah tua. Umur tidak tahu sampai dimana."

Larasati gegas mengikat plastik itu lagi. Kedua matanya sudah tidak sanggup menahan buliran air mata. 

Perempuan 30 tahun itu takut kehilangan mertuanya. Terlebih kehilangan ayah mertuanya. Hanya Ki Nanang yang menerimanya dengan baik. Seakan dia dan Ki Nanang tidak bisa terpisahkan. Obrolan dan aktivitas pun tidak luput dengan berdua. Kadang ayah mertuanya suka membantu Larasati di dapur. Meskipun hanya sekedar menemani. 

Hari-hari telah dilalui tidak terasa sudah memasuki bulan puasa ke-20. Tidak seperti biasanya Ki Nanang begitu sibuk pergi ke kebun. Memanen terong yang ditanamnya atau mencari kayu bakar. 

Sore itu, Larasati gelisah karena Ayah mertuanya tidak kunjung pulang. Padahal matahari mulai senja dan dekat lagi berbuka puasa. 

"Kemana Bapak, ya?" gumamnya. 

"Susul bapak, Ras. Kok lama sekali di kebun? Ini sudah mau mendekati buka!"

Larasati mengangguk dan segera pergi ke kebun. Perempuan itu menitipkan anak bungsunya pada ibu mertuanya. 

Larasati menyusuri jalan setapak dan melewati jembatan yang terbuat dari sebatang pohon yang dibelah menjadi dua. 

Sesampainya di kebun perempuan 30 tahun tersebut tidak menemukan ayah mertuanya di sana. Lantas, dia tidak menyurutkan langkah mencari Ki Nanang. 

"Pak!"

Tidak ada sahutan. 

"Bapak dimana?!"

"Pak!"

Tiba-tiba terdengar suara erangan dan gumaman. Larasati pun mengedarkan pandangannya ke setiap semak belukar maupun ke pohon-pohon kecil. Di sanalah dia melihat lambaian tangan ayah mertuanya.

"Astaghfirullah, Bapak!" pekiknya. Dia berlari menghampiri Ki Nanang. 

Ketika sampai pada lelaki renta itu, Larasati terperanjat melihat kondisi ayah mertuanya. Tubuh kurus itu tampak lemas. Bibirnya pucat dan kering.

"Ngapain Bapak di sini kok, nggak pulang-pulang sebentar lagi buka puasa!"

"Bapak nggak kuat jalan. Lutut Bapak lemas," keluhnya. Ki Nanang terduduk di tanah sambil selonjoran. Tubuhnya bersandar pada satu gulung kayu bakar yang akan dibawa pulang.

"Lagian Bapak ngapain di sini?" Larasati semakin penasaran. 

"Bapak nyari kayu bakar untuk kamu. Kalau mengandalkan Muslih, tidak mungkin karena dia sibuk dengan dunianya sendiri." Ki Nanang memijat kedua lututnya.

"Kan, Bapak sudah mencari kayu buat Laras. Di rumah sudah banyak," ucapnya lagi. 

"Tidak apa-apa. Bapak sengaja cari yang banyak biar kamu nggak repot. Kamu nggak bakalan kekurangan. Pasti bakalan rame rumahmu. Karena kamu bakal ngadain pesta!" 

"Pesta?" Larasati mengeryitkan keningnya.

"Ayok, Pak! Kita pulang. Sebentar lagi buka puasa." Larasati berjongkok di hadapan ayah mertuanya.

"Kamu mau ngapain?"

"Udah. Bapak naik ke punggung Laras. Laras gendong Bapak biar cepat sampai rumah. Kasihan ibu sendirian."

"Bapak berat, Nduk," ucapnya menolak.

"Tidak apa-apa. Kan, Laras kuat!"

Mau tidak mau, Ki Nanang pun menuruti apa yang diperintahkan menantunya. Dia pun memeluk Larasati dan menempelkan dadanya ke punggung perempuan 30 tahun itu. 

Mudah baginya menggendong ayah mertuanya. Ki Nanang bertubuh kurus dan kecil. Sedangkan Larasati bertubuh gempal dan tinggi. Sangat ringan baginya menggendong bobot Ki Nanang. 

Langkahnya panjang menelusuri jalan setapak yang licin. Lalu, melewati jembatan yang membuat Ki Nanang gemetaran jika melewati jembatan tersebut. 

Setelah dilewati jantungnya berdegup normal. Rupanya sang menantu melewati dengan baik. 

Lima belas menit kemudian. Akhirnya mereka pun sampai di rumah. Ni Sariah menunggu dengan cemas. Cucunya yang paling kecil sudah merengek dan rewel. Beruntung sampai rumah mereka pun langsung berbuka puasa.

Ni Sariah cemas melihat kondisi suaminya.

"Untungnya disusul kamu," puji Ni Sariah sambil bernapas lega. 

Larasati tersenyum tipis. 

"Maaf. Bapak terlalu bersemangat menyambut pesta."

Lagi-lagi ucapan ayah mertuanya membuat perempuan 30 tahun itu kebingungan. Entah apa yang dimaksud Ki Nanang. Apa mungkin yang dimaksud Ki Nanang itu, Idul Fitri?

*

*

*

Malam pukul dua dinihari, Ni Sariah tiba-tiba menangis di sisi tempat tidurnya. Sontak Larasati dan Muslih terbangun. Disusul pula dengan Ki Nanang. Dia heran dengan istrinya yang tiba-tiba menangis begitu saja. 

"Ada apa, Bu?" tanya suaminya. Tangannya bergetar menyentuh bahu istrinya. 

Larasati dan Muslih pun menghampirinya. Mata masih terkantuk-kantuk. Mereka terkejut mendengar ibunya menangis. Tidak biasanya ibunya bersikap seperti itu.

"Ibu mimpi buruk," sahutnya singkat. 

"Oh. Mimpi!" seru ketiganya. 

"Mimpi apa?" tanya Larasati. Dia duduk di dekat ibu mertuanya. 

Ni Sariah memandangi suaminya kemudian menatap Muslih. Lalu, dadanya sedikit membusung manakala menarik napasnya.

"Ibu bermimpi ... rumah ini terendam banjir. Airnya sampai dada ibu. Kalian semua lari menyelamatkan diri. Tinggallah ibu di dalam rumah ini. Terus di luar sana banyak orang. Ibu mau keluar, tapi rasanya kaki ini tidak bisa bergerak sedikit pun. Rasanya dingin sekali airnya."

Mereka tertegun mendengar ucapan perempuan 80 tahun itu.

"Cuma mimpi, Bu. Itu bunga tidur," timpal Muslih. Muslih beranjak pergi dan melanjutkan tidurnya. 

"Terus setelah itu apa, Bu?" Larasati tertarik dengan cerita mimpi ibu mertuanya. 

"Ibu tenggelam. Ibu merasakan air itu dingin sekali dan benar-benar terasa sampai sekarang ibu merasakan kebekuan air yang merendam tubuh ibu." Ni Sariah menarik napasnya. "Nih, coba pegang aja tangan ibu, dingin." 

Larasati menyentuh tangan Ni Sariah. "Iya, Bu, dingin."

Ketiganya hening sesaat. Ni Sariah menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Mimpi yang dialaminya terasa begitu nyata. 

Ada yang bilang mimpi adalah bunga tidur hanya sebagian menghiasi manakala raga di alam bawah sadar. Ada pula yang bilang bahwa mimpi merupakan pertanda buruk atau pun pertanda baik. Tergantung cara kita menyikapinya. 

Setelah mimpi beberapa malam yang lalu, hal sama pun dialami oleh Larasati. Mimpinya nyaris sama, seperti mimpi ibu mertuanya.

Di dalam mimpi, rumah Larasati terendam banjir. Semua orang menyelamatkan diri, tetapi Ibu mertuanya menolak untuk dievakuasi. Di dalam mimpi tersebut Larasati berusaha menolong Ni Sariah. Berusaha menggapai tangan perempuan 80 tahun itu. Setelah saling menggenggam Ni Sariah tidak bisa berjalan mengikuti langkah menantunya. 

"Ayo, Bu! Keluar dari sini nanti kita tenggelam!" seru Larasati.

"Kaki Ibu tidak bisa digerakkan, Nduk! Kamu saja yang keluar temui suami dan anak-anakmu biar ibu di dalam sini."

Kemudian genggaman tangan mereka terlepas membuat Larasati tersadar dari mimpi buruknya.

"Astagfirullah! Mimpi." Larasati mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat. 

"Kenapa mimpinya selalu berulang-ulang dan selalu sama?" batinnya. 

Mimpi itu pun terulang lagi di dalam tidur Ni Sariah. Perempuan 80 tahun itu merasa bingung bahkan dia takut untuk tidur. Takut mimpi berputar lagi seperti sebuah kaset film yang diputar di layar lebar. 

*

*

*

Puasa Ramadhan ke 22. 

"Mas. Ada yang aneh sama orang tua sampeyan," kata Larasati pada suaminya. 

Muslih menaikan alisnya satu. "Apa?" tanyanya balik. 

"Setiap habis salat mereka menyalami semua orang dan meminta maaf. Bahkan kemarin sore keduanya habis keliling ke rumah tetangga," papar Laras. 

"Untuk apa?" tanya Muslih dia penasaran sekaligus bingung kenapa tingkah keduanya semakin hari, terlihat aneh tidak seperti biasanya.

"Ya, untuk minta maaf. Katanya mau pulang."

"Pulang?!"

Larasati mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. 

Sudah sering tingkah aneh di luar keseharian keduanya di pergoki dan membuat Larasati keheranan. Tidak seperti biasanya entah pertanda apa. 

Sore itu, pukul 16.00 Larasati tampak sibuk menyiapkan menu untuk berbuka puasa. Seperti biasanya Ki Nanang menemani atau sekedar membantu sebisanya. 

"Mau lebaran nggak usah bikin-bikin," ujarnya. 

"Kenapa, Pak?" tanya Larasati sambil mengaduk sayur di dalam panci. 

"Nanti kamu repot. Lagian nanti ada acara kita mengadakan pesta."

Lagi-lagi soal pesta. Entah pesta apa yang dimaksud.

"Pesta apa, Pak?"

"Ya, pesta. Nanti juga kamu bakalan tahu." 

Kalimat ayah mertuanya membuat Larasati semakin bingung dia tidak bisa memecahkan teka-teki yang selama ini membelenggunya. Kedua mertuanya selalu mengatakan akan ada pesta di kemudian hari. Namun, sampai saat ini Larasati belum juga tahu pesta yang dimaksud. 

Pernah suatu hari, Ni Sariah meminta maaf dan berpamitan kepada semua tetangganya.

"Mau pulang. Nanti ada yang menjemput."

Hal ini membuat Larasati dan Muslih beranggapan jika salah satu saudarinya menjemput kedua orang tuanya. 

"Mungkin sudah uzur jadi pikun. Namanya juga orang tua apa yang diucapkan pasti berulang-ulang seperti ketika kita masih kecil dulu," ujar Muslih pada istrinya kala itu. 

"Tapi ini lain Mas, tingkahnya!" elak istrinya. 

"Tidak usah dipikirkan."

*

*

*

Ki Nanang masih bersikeras mencarikan menantunya kayu bakar. Lelaki 90 tahun itu berangkat ke ladang usai salat Ashar. Membawa sebilah parang yang diikat di pinggangnya. Biasanya ditemani oleh Muslih jika dirinya di rumah. 

"Biar Mas Muslih saja, Pak. Bapak di rumah!" cegah Larasati. Di berdiri di ambang pintu dapur menatap punggung ayah mertuanya.

"Nggak apa-apa, bapak masih kuat. Bapak senang kok mencarikan kayu untuk kamu. Karena pesta ini untuk bapak."

Laras terdiam mencerna ucapan Ki Nanang.

"Biarkan saja, Ras. Apa maunya pak tua bangka itu. Dia ngeyel dibilangin!" sambar Ni Sariah. 

Lantas, Larasati pun mengangguk. 

"Sini." Ni Sariah menepuk-nepuk lantai. Mengisyaratkan agar Larasati duduk di sampingnya. 

"Ada apa, Bu?" 

"Ibu sampai lupa. Ibu minta maaf ya, kalau selama ini menjadi mertua yang kejam. Atas nama orang tua Muslih, kami minta maaf. Karena dia belum membahagiakan kamu sama anak-anak." Kedua mata teduh milik perempuan 80 tahun itu berkaca-kaca. 

"Sudah saya maafkan jauh hari sebelum Ibu meminta maaf. Ibu nggak usah ngomong macam-macam lagi."

"Ya, mumpung masih hidup," ucapnya lagi.

"Iya, Bu."

*

*

* 

Kalimantan, 23 Oktober 2006

Matahari mulai terbit tampak bersinar lebih terang dan menghangatkan. Seluruh anggota keluarga memiliki kesibukan masing-masing. 

Muslih berdagang seperti biasanya. Ni Sariah menemani cucu kesayangannya yang masih kecil. Sementara itu, Larasati membuat kue-kue kering untuk lebaran. 

"Tidak usah repot-repot, Laras. Bikin capek badan aja." Ki Nanang menegur menantunya. 

Larasati tersenyum tidak menanggapi ucapan ayah mertuanya. Dia tengah sibuk membuat kue kering dan beberapa makanan menu khas lebaran tiba. 

"Tidak apa-apa, Pak. Setahun sekali ini. Siapa tau ada tamu yang datang," sahutnya. 

Ki Nanang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Seperti hari-hari biasanya. Lelaki 90 tahun itu pergi ke ladang. Memanen sayuran atau sekedar mencari kayu bakar. 

"Bapak nggak usah cari kayu terus. Tuh, sudah banyak kayunya!" tunjuk Larasati ke arah kayu yang disimpan di atas langit-langit tungku dapur. Selain di dapur, ada pula di samping rumah. Kayu-kayu tersebut ditutup dengan terpal agar tidak basah kehujanan. 

"Terakhir. Besok kan, sudah tidak mencari kayu lagi." 

Larasati menghela napasnya. Sambil menggeleng kemudian tersenyum tipis. 

Kedua anaknya yang besar membantunya membersihkan rumah dan halaman sekitar. Sudah kegiatan rutin setiap menjelang lebaran. 

Di ladang, Ki Nanang bersiul. Meskipun pipinya yang kempot suara siul dari mulutnya terdengar jelas. Burung-burung seolah-olah ikut menyambut suaranya yang merdu. 

Satu per satu ranting kering dan batang-batang pohon kecil yang sudah mati ditebang, dipotong dan dibelah menjadi beberapa bagian. Kemudian ditumpuk menjadi satu dan diikat. 

Setelah beberapa menit, dia beristirahat di bawah pohon yang rindang. Sambil mengkipas-kipaskan topi caping ke wajahnya. Peluh sebesar biji jagung memenuhi area wajahnya. Tubuhnya yang kurus bersandar pada gulungan kayu yang diikatnya. Sesekali angin menyapa dan berhembus sepoi-sepoi. 

Lelaki tua itu menarik napasnya perlahan. Memandangi area ladang yang biasa dia datangi walau sekedar mencari kayu bakar atau memetik terong kesukaannya. 

Namun, sayangnya. Hari ini tidak ada buah terong yang bisa dipetik karena masih kecil-kecil. Ki Nanang hanya mencari kayu bakar untuk memenuhi dapur milik menantunya itu. 

Sebentar lagi lebaran. Bahkan nanti malam pun sudah mulai takbiran. Ki Nanang termenung sejenak. Melemparkan pandangannya pada rumput di setiap sudut maupun di dekat tanaman sayurnya. 

"Andai anak-anakku berkumpul," gumamnya. Seketika bulir bening membuat pandangannya menjadi mengembun. Dadanya yang kurus terasa sangat sesak manakala menahan kerinduan, tapi dirinya merasa kecewa terhadap anak-anaknya. Tidak ada yang peduli selain Muslih dan istrinya. Sampai saat ini. Mungkin saja jika dia mati tidak ada yang tahu.

Air mata mengalir ke pipinya yang tirus. Ah, lebih tepatnya kempot karena sudah tidak memiliki gigi. "Kempot peyot!" ejek istrinya jika sedang bergurau.

Rambutnya berwarna putih, alis dan janggut pun berwarna sama. Tubuhnya sedikit bungkuk, tapi tenaganya masih lumayan kuat sampai-sampai dia rela mencari kayu bakar.

Tidak terasa azan Zuhur berkumandang. 

"Pak! Balik!" seru Larasati. 

Menantu perempuan itu sangat perhatian terhadapnya. Terlambat pulang dia akan menyusul dan mencarinya.

"Iya, Nduk. Ni bapak mau pulang," sahutnya. Gegas parang yang dibungkus tempatnya, dia ikatkan ke pinggangnya. Sambil berusaha menggendong gulungan kayu yang diikat menjadi satu. 

"Biar Laras yang bawa, Pak," pinta perempuan yang memakai daster. Gulungan kayu itu diletakkan di atas kepalanya. Kemudian tangan satu memegangi kayu tersebut. 

Keduanya berjalan beriringan. Sesekali, Ki Nanang berhenti mengambil napas. 

"Capek, Pak?" tanyanya. 

"Enggak, kok. Bapak lagi menikmati udara di sini. Ini kenangan terakhir, besok Bapak sudah tidak ke sini lagi," ucapnya dengan nada bersedih. 

"Ya, kan, lebaran! Ngapain Bapak masih cari kayu?"

Ki Nanang terkekeh kecil. "Benar katamu."

Keduanya pun melanjutkan perjalanan sampai ke rumah. Kayu yang di bawa Larasati diletakkan dan dikumpulkan dengan kayu sebelumnya. 

Ki Nanang membersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke masjid. Dirinya tidak ingin melewatkan salat jamaah. Begitu juga dengan istrinya. Perempuan 80 tahun itu sudah bersiap-siap mengenakan mukena warna putih yang telah memudar. Setelah siap keduanya pun berjalan beriringan menuju masjid. 

Setelah salat, biasanya keduanya akan menyalami para jamaah yang akan pulang ataupun yang masih duduk-duduk di masjid. 

"Maafkan saya, ya. Kalau saya punya salah."

"Sampeyan tidak ada salah, Mbah. Setiap hari minta maaf, kok," kata seseorang diantara mereka. 

Keduanya hanya menanggapi dengan senyuman. 

"Besok saya sudah tidak di sini lagi. Mau pulang pergi jauh nggak mungkin, kan, ketemu kalian?" ujar Ki Nanang. 

Beberapa orang saling berpandangan.

"Memangnya ada yang jemput, Mbah?"

"Ada. Kalau begitu saya permisi dulu!" pamitnya. Sambil meletakkan sajadah berwarna hijau yang tipis ke pundaknya. 

"Enggeh, Mbah."

Sesampainya di rumah. Mereka disambut aroma masakan yang menggelitik di rongga penciuman mereka. 

"Wangi," gumam Ki Nanang. 

"Kok, repot-repot banget, Ras?" 

Larasati menoleh membalikkan tubuhnya. 

"Buat persiapan buka, Pak. Biar Laras sedikit santai," jawabnya. 

Keduanya berdiri di ruang tamu sambil memandangi satu per satu toples yang sudah terisi kue kering di dalam lemari.

"Kok tidak ada yang empuk, Ras?" tanya Ni Sariah. 

Perempuan yang sibuk di dapur itu melongokkan kepalanya di ambang pintu tengah. 

"Ada kok, Bu. Nastar berisi selai nanas itu empuk. Tidak perlu dikunyah!" serunya seraya kembali ke dapur.

Ni Sariah menyentuh kaca lemari. 

"Nanti buka puasa aku mau nyicipin. Lebaran kayaknya nggak sempat."

Keduanya saling berpandangan. Ki Nanang merangkul pundak istrinya ke dalam pelukannya. 

Setelah melepaskan perlengkapan salat di badan mereka. Keduanya pun melipat dan menyimpan di atas lemari. Tinggi lemari hanya sebatas dada mereka. 

Ki Nanang meraih plastik hitam yang disimpan di dalam lemari. Dia menciumnya.

Kedua matanya berkaca-kaca. Kemudian dia meletakkan kembali bungkusan plastik hitam itu di tempatnya. 

*

*

*

Menjelang salat Ashar. Ki Nanang duduk di teras rumah sambil mencabuti janggutnya dengan pencabut bulu. 

Sementara itu, Ni Sariah menemani cucu kesayangannya. Ditimang-timang lalu, diletakkan lagi karena tidak kuat. Cucu laki-lakinya montok dan lincah. 

"Ibu tidak istirahat? Nanti capek. Si Dedek, kan berat," kata Larasati dari dalam kamar.

"Enggak, ah. Mumpung di sini. Nanti nggak bisa timang-timang si Dedek." 

Setelah menimang cucunya perempuan 80 tahun itu merapikan tempat tidur. Kemudian bersiap salat Ashar.

Akhir-akhir ini, keduanya sangat rajin pekerjaan rumah yang sudah dikerjakan. Dikerjakan kembali hingga berulang-ulang. Setiap ditegur mereka menjawab, "Mumpung di sini. Sekali-kali meringankan pekerjaanmu, Laras." 

Kalau sudah begitu Laras tidak bisa melarang mereka.

Hari ini, suasana di rumah seperti ada yang berbeda. Semuanya berkumpul dan bersiap menyambut malam takbiran. Berkali-kali sepasang suami istri lanjut usia itu, menghitung tiap detik dan menitnya. 

"Buka puasa berapa menit lagi, sih," keluh Ki Nanang. 

Tumben. Tidak sabar menunggu berbuka seperti anak kecil saja. 

"20 menit lagi," sahut Muslih. Dia beranjak pergi ke ladang mengambil panenan yang sudah dipetik. 

Sementara itu, Ni Sariah sedang mengobrol di samping rumah dengan tetangganya. Sambil mencabuti rumput.

"Ada jamur, Mbah!" kata Pak Asep. Sambil menunjuk segerombolan jamur di bawah pohon pepaya. 

"Apa enak disayur?" tanya Ni Sariah. 

"Enaklah! Kelihatan kok dagingnya gemuk begitu," timpalnya. 

Segerombolan jamur berwarna putih kekuning-kuningan dicabut oleh Pak Asep kemudian diserahkan kepadanya Ni Sariah. 

Ni Sariah pulang membawa segenggam jamur. Niatnya untuk disayur sebagai menu berbuka puasa. Padahal menantu perempuannya sudah memasak menu bukaan. 

Segenggam jamur yang dibawanya diletakkan di atas meja. Ni Sariah mengambil wadah untuk menyiangi jamur-jamur tersebut. 

"Ada jamur, nih! Tolong disayur ya, Laras!" pintanya bersemangat sambil membersihkan jamur dari sisa-sisa tanah yang menempel di batang jamur. 

Larasati tersenyum. Dia penasaran dengan jamur yang dibawa pulang oleh ibu mertuanya. Perempuan itu memeriksa jamur tersebut. 

"Astaghfirullah! Ini jamur racun, Bu. Tidak bisa disayur!" serunya. 

"Racun?" 

Ni Sariah kemudian mencuci tangannya. Dan jamur tersebut dibuang oleh Larasati. 

"Buka puasanya 10 menit lagi. Laras mau ke warung dulu ya, Pak." 

Ki Nanang mengangguk.

"Loh, Mbah! Jamurnya kok, dibuang!" seru Pak Asep. Dia sedikit kecewa karena jamur yang dicabut untuk Ni Sariah dibuang. 

"Kata Laras, itu jamur racun. Makanya dibuang, Pak Asep." Ni Sariah berdiri di ambang pintu dapur sambil melihat jamur yang dibuang menantu perempuannya tadi.

"Enak itu! Saya pernah makannya nggak beracun, kok!" 

Karena mendengar hasutan tetangganya, Ni Sariah memunguti kembali jamur yang sudah berhamburan di tanah. Dia memasukkan ke wadah kemudian dicuci. Setelah dicuci perempuan itu mengupas bawang merah dan bawang putih untuk menumis jamur tersebut. 

Tak dinyana. Jamur racun tersebut pun disayur dan sebentar lagi akan disuguhkan untuk berbuka puasa. 

Azan Magrib berkumandang semua orang bersukacita melepas kepergian bulan Ramadan. Kini, berganti malam takbiran menyambut hari raya. 

Larasati kembali dari warung langkahnya tergesa-gesa karena dia sedikit terlambat untuk sampai rumah. Perasaan Larasati menjadi tidak enak, meskipun jamur racun sudah dibuangnya. Tetap saja hatinya was-was. Dia tidak tahu jika jamur sudah dimasak dan disantap oleh keluarganya. 

Sesampainya di depan pintu, dia bergegas masuk hingga ke dapur. Napasnya tidak karu-karuan.

Dadanya terasa sesak seakan beban berat menimpanya. Dia terkejut melihat sisa sayur jamur di wajan. Dan sayur jamur sedang disantap oleh kedua mertua, suami dan dua anaknya. 

"Kok jamurnya disayur, Bu?" tanya Larasati. Tangannya gemetaran manakala meraih gagang sodet. Tiga potongan sayur jamur masih tersisa di wajan beserta kuahnya.

Larasati ragu ingin memakannya. Dia memilih makanan yang dimasaknya tadi sore.

"Enak gini kok, malah dibuang! Kamu nggak bersyukur malah mubazir jadi orang."

Selesai berbuka puasa. Ni Sariah dan Ki Nanang pergi salat Magrib berjamaah di masjid. 

Sementara itu, Muslih dan kedua anaknya tiba-tiba muntah-muntah dan tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.

"Mak!" pekik kedua anaknya. 

"Dek! Pusing kepalaku!" 

Larasati kebingungan dia tidak tahu apa-apa tiba-tiba ketiganya tergeletak di lantai. Larasati menangis melihat kedua anaknya mengeluarkan buih putih dan mengerang kesakitan sambil memegangi perut. 

"Tolong!"

"Tolong!"

Bayi di dalam gendongannya ikut menangis karena mendengar suara ibunya yang panik. 

Orang-orang yang sedang salat berjamaah ada yang terpaksa membubarkan diri. Menghampiri suara teriakan Larasati. 

"Ada apa?!"

"Mas Muslih! Anakku. Tolong!" 

Tiga bapak-bapak menyerobot masuk sebelum di persilahkan. 

"Astaghfirullah! Keracunan apa ini?!"

Larasati takut untuk menjawabnya. Dia ingat keluarganya menyantap sayur jamur racun. Bukan dia yang memasaknya, bukan! 

Salah satu bapak-bapak berlari meminta pertolongan ke kantor polisi jalan raya. Tidak lama setelah salat Magrib, suami dan kedua anaknya dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan kendaraan roda empat milik polisi. 

Larasati menangis dan ketakutan sambil menggendong anaknya yang paling kecil. 

Beberapa menit setelah sholat Maghrib selesai, Ki Nanang muntah-muntah dan merasakan kepalanya sangat pusing. Tubuhnya pun ambruk di hadapan Larasati. 

"Tolooong!" Kali ini dia berteriak histeris tidak ingin terjadi apapun terhadap ayah mertuanya.

Gegas orang-orang pun berhamburan. Dalam keadaan panik dan putus asa. Tiba-tiba ibu mertuanya pun jatuh ke lantai.

Orang-orang akan membawa mereka ke rumah sakit, tapi Ni Sariah menolaknya dengan alasan ingin tetap tinggal bersama Larasati. 

"Bawa saja suamiku selamatkan dia!" ucapnya lemah. 

Berulang kali dibujuk, Ni Sariah tetap tidak mau. Dia menolak keras. Dan akhirnya orang-orang terpaksa membawa Ki Nanang tanpa istrinya agar cepat mendapat pertolongan. 

Muslih dan dua anaknya sudah mendapat penanganan. Dan ketiganya sedang dirawat bahkan diinfus. Sedangkan Ki Nanang ... sudah menemui ajalnya yang telah menjemputnya sebelum sampai ke rumah sakit. Lelaki 90 tahun itu menghembuskan napas terakhirnya di pertengahan jalan. 

Tinggallah, Ni Sariah. Tubuhnya semakin lemas dan pucat. Telapak tangannya terasa dingin, sedingin salju. Dari mulutnya keluar buih putih tiada henti. 

Larasati duduk di sampingnya dengan berlinangan air mata. Sesekali tangannya mengusap buih dari mulut ibu mertuanya. Dia tidak sedikitpun rasa terlintas rasa jijik kala menyentuh buih tersebut. 

"Laras. Jaga anak-anak. Tetap setia sama Muslih. Maafkan, Muslih karena belum bisa membahagiakan kalian. Ibu. I-bu---," ucapnya terbata-bata. Seakan-akan napas sudah di ujung tanduk.

Anaknya yang bungsu dititipkan ke tetangga. Orang-orang tidak mampu menyaksikan pemandangan pilu di dalam rumah Larasati. Mereka lebih memilih menenangkan agar putra kecilnya tidak menangis. 

"Maaf kan, Ibu. Laras. Maafkan Ibu. Titip salam untuk bapak. Titip salam untuk Muslih." 

Larasati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya kelu dan tenggorokannya pun terasa sangat sakit. Diambil selimut untuk menghapus keringat dingin di wajah Ni Sariah. 

"Istighfar, Bu. Nyebut. Laa ila ha illallah," bisik Larasati ke telinganya. 

"Maafkan ibu, ya. Ibu banyak salah. I-bu---." Mulutnya tidak mampu melanjutkan kalimatnya. 

Tangannya gemetaran meraih tangan menantunya. Kemudian tangan Larasati diletakkan ke wajah Ni Sariah. 

"Laa ila ha illallah." 

Hening seketika. 

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Ibuuu!" 

Tangisnya pecah seketika bersama suara takbiran di masjid. Tubuh Larasati lemas dan memeluk jasad Ibu mertuanya yang kini terbujur kaku. 

Malam takbiran disambut dengan duka yang begitu dalam. Isak tangis orang-orang pun memenuhi rumah Larasati. 

Pukul 10 malam mobil ambulan membawa jasad Ki Nanang. Suara sirene membuat Larasati tidak mampu menyambut kedatangan siapa gerangan pemilik raga yang sudah tidak bernyawa lagi. 

"Ba-pak!" 

"Bapaaaaak!" Larasati menangis histeris. Tubuhnya ambruk beruntung disambut beberapa orang yang siap siaga di belakangnya. 

Larasati mengira, Ki Nanang sudah mendapatkan penanganan di rumah sakit. Tidak disangka ayah mertuanya sudah menghadap Ilahi terlebih dahulu. 

"Bu ... bagaimana caranya menyampaikan salam untuknya. Sementara Bapak pun turut menyertai kepergianmu."

Hancur lebur dunia Larasati. Kedua orang yang disayanginya pergi untuk selama-lamanya.

Jadi ini arti mimpi ibu mertuanya? Jadi ini maksud pesta yang sering dikatakan ayah mertuanya? 

Bukan!

Bukan ini yang diinginkan Larasati. Bukan!

Bagaimana caranya menjelaskan semuanya kepada Muslih? Bahwa kedua orang tuanya telah tiada. 

Pantas saja Ki Nanang mendekap dan mencium plastik berisi pakaian terakhirnya. Pakaian berwarna putih. Kain kafan yang membungkus tubuhnya di akhir hayat. 

*

*

*

Kalimantan, 24 Oktober 2006

Pukul 05.40 pagi, Ki Nanang dan Ni Sariah selesai dikebumikan. Makam keduanya saling berdampingan. 

Suara takbiran menggema di mana-mana menyambut hari raya dengan penuh sukacita. Namun, tidak dengan Larasati. Dirinya berkabung duka. Melepas kepergian kedua mertuanya. 

Di tanah merah ini. Dia menyaksikan kedua jasad mertuanya terkubur di dalam sana. 

Setelah memakamkan Ki Sariah dan Ki Nanang. Orang-orang bergegas melaksanakan salat Idul Fitri.

Selesai salat Idul Fitri. Sebuah mobil membawa Muslih dan kedua anaknya. Sesampainya di depan rumah, mereka disambut tangisan pilu oleh Larasati. Berapa orang masih memenuhi di kediaman Larasati. Pun turut menangis.

Hati Muslih terpukul bagai godam menghancurkan jantung dan hatinya. Dunianya luluh lantah. Tubuhnya pun jatuh tak berdaya di lantai. 

Beribu penyesalan telah menyelimuti hatinya. Menyesal karena belum membahagiakan keduanya. 

Selamat jalan Ki Nanang dan Ni Sariah. Semoga tenang di alam sana.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun