Maka dari itu, Ni Sariah dan Ki Nanang memilih diam di sebuah gubuk yang jauh dari orang-orang. Pada dasarnya kedua anak mereka tidak menginginkan suami-istri berusia senja itu tinggal bersama.Â
"Kita ini kualat. Kamu ingat, tidak? Menyia-nyiakan Muslih dan menantu kita?"
Anak kelima Ki Nanang dan istrinya. Seorang laki-laki yang berusia 45 tahun. Namanya, Muslih. Memiliki istri bernama Larasati.Â
"Aku tidak merasa menyia-nyiakan mereka. Mereka saja yang pergi meninggalkan kita," ucap Ni Sariah gengsi.Â
Mendengar ucapan istrinya lelaki 90 tahun itu murka.Â
"Jangan dusta, Ni! Aku ingat betul kamu belum menerima Larasati sebagai menantu. Kurang apa coba dia? Baik, mau mengurusi kita yang renta. Kamu selalu membanding-bandingkan dengan menantu lain. Yang tidak cantik lah, tidak pintar lah dan miskin lah. Apa kau tidak ingat?" cecar suaminya.
Istrinya terdiam. Merenung mencoba mengingat beberapa tahun silam yang sempat tinggal bersama dengan Muslih dan menantu perempuannya.Â
Larasati. Bertubuh gemuk, rambut keriting dan berwajah pas-pasan. Berbeda dengan menantu perempuan lainnya. Bertubuh langsing, cantik dan pekerja.
"Iya. Aku salah," ucap Ni Sariah. Lidahnya getir seketika.Â
"Terlambat! Sekarang mereka pergi kita pun tidak tahu mereka ada di mana." Ki Nanang merebahkan tubuhnya di tikar anyaman rotan. Tangannya dilipat dijadikan sebagai bantal.Â
"Kita cari," katanya lagi.Â