*
*
*
Seminggu telah berlalu. Ki Nanang dan Ni Sariah merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Tinggal bersama anak yang benar-benar menyayanginya sekaligus menantu perempuan mereka.Â
Di sisi lain mereka menjalankan ibadah dengan tenang. Karena tidak jauh dari rumah Muslih, ada masjid. Dengan itu mereka bisa menjalankan ibadah tepat 5 waktu.Â
Seiring waktu berjalan. Ni Sariah memiliki teman dan tetangga untuk mengobrol. Sifat judes dan tidak suka terhadap Larasati pun mulai muncul kembali.Â
"Anakku buta. Masa menikah dengan perempuan jelek sepertinya," ucapnya di sela-sela obrolan tetangga yang sedang berkumpul dengannya.Â
"Menantuku yang lain cantik-cantik dan tampan." Dengan bangganya dia membeda-bedakan. Ni Sariah lupa. Dengan apa yang pernah menimpanya.Â
Tentunya obrolannya setiap hari, tidak sengaja terdengar di telinga Larasati. Hati mana yang tidak sakit setelah tahu dirinya di beda-bedakan dengan menantu lainnya.Â
Suatu hari Ki Nanang memergoki istrinya yang sedang membicarakan Larasati.Â
"Eling, Bu. Kita dulu hidup seperti apa. Anak mana yang mau merawat kita selain Larasati? Kamu jangan lupa jika anak-anak kita menyia-nyiakan. Sekarang kamu hidup di mana?"Â