"Terima kasih, Mus. Maafkan kami." Entah berapa kali Ki Nanang menangis terharu.Â
Muslih mengambil dua kain panjang. Dan dia juga menurunkan barang bawaan dari gubuk panggok itu. Meletakkan di depan kuda besinya. Rojali pun sudah bersiap-siap akan membawa salah satu kedua orang tua sahabatnya itu.Â
Lelaki bertubuh kecil itu tidak riskan menggendong ibunya untuk turun dari gubuk setinggi setengah meter. Muslih menuruni anak tangga dengan berhati-hati. Tubuh renta ibunya dia dudukkan ke jok motor milik Rojali. Kemudian tubuh kurus tidak berdaya ibunya, diikat dan disatukan dengan tubuh Rojali dengan kain panjang yang dia ambil dari dalam lemari kayu tanpa pintu.
Kemudian Muslih menuntun dan memapah Ki Nanang untuk menuruni anak tangga. Setelah sampai di tangga paling bawah, Muslih menutup dan mengunci semua jendela dan pintu. Sebelum menuruni anak tangga dia membalikkan tubuhnya. Begitu sesak, hingga kelopak matanya tidak mampu membendung air mata yang terus mendobrak meminta terjun ke pipi kusamnya.Â
"Ayo, Pak." Tangannya menggenggam erat tangan ayahnya.Â
"Tersenyumlah, Mus. Bapak merindukan kamu tersenyum. Dengan cara tersenyum bapak bisa melihat kesukarelaanmu. Dengan cara tersenyum itu artinya kamu senang bapak bebani."
Muslih mengukir senyum di wajahnya.Â
Ki Nanang menghela napas panjang. Ada kelegaan terbesit di hatinya.
Semoga Muslih menepati janjinya.Â
*
*