Mohon tunggu...
Tar Tibun
Tar Tibun Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Sedang menjalani kehidupan terbawah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Hati Sampai Mati

8 Agustus 2023   07:09 Diperbarui: 8 Agustus 2023   07:16 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maafkan kami," ucapnya sambil meminta ribuan maaf. 

Bukan. Seharusnya bukan kedua orang tuanya yang meminta maaf. Anaklah. Anaknya lah yang bersalah dengan mudahnya hati tergores kemudian tersinggung. Selepas itu pergi satu per satu. Seharusnya kedua orang tua dirawat apalagi memasuki usia senja. Anak lah yang bertanggung jawab demi kelangsungan hidup orang tua mereka. 

Sekecil dan sebesar apapun kesalahan orang tua mereka, tetaplah kedua orang tua yang melahirkan dan merawat mereka di dunia. Cukup sudah menghakimi menyiksa dengan kerinduan yang tidak terobati. Sejatinya orang tua pasti akan kesepian kala anak-anak mereka sudah dewasa. 

Memang benar istilah peribahasa mengatakan, "Sepuluh anak tidak akan mampu merawat seorang ibu. Sedangkan satu ibu mampu merawat sepuluh anaknya."

Rojali menangis, padahal mereka bukan kedua orang tuanya. Hati siapa yang kuat menyaksikan pemandangan pilu. Kedua orang tua terlantar di tengah hutan. Ditambah lagi dengan kondisi sakit-sakitan.

Setelah melepaskan rindu, Muslih membungkus pakaian kedua orang tuanya di dalam sebuah kain yang dijadikan gembolan. Tangannya cekatan memilih dan memilah kain yang layak dibawa. Sesekali menghapus air mata di pipinya. 

Begitu jahatnya kedua kakak perempuan Muslih. Membiarkan kedua orang tuanya dijadikan kerbau di sebuah ladang di tengah hutan belantara. Memang ... di ladang mereka banyak ikan jika mau memancingnya dan banyak sayur-sayuran yang bisa dimasak untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, membiarkan orang tua di tengah hutan itu tindakan tidak manusiawi. Apalagi keduanya sering sakit-sakitan. Sungguh, kejamnya! 

"Ikut Muslih, ya, Bu. Bapak akan dirawat di sana," ujar putranya bersemangat. 

Ada keraguan yang menelusup di hati Ni Sariah. Bagaimana jika nanti menantu perempuannya membalas dendam? Menyia-nyiakan seperti dia dulu menyiakannya. 

"Tapi, Mus---," ucap Ni Sariah terpotong.

"Larasati menunggu Ibu dan Bapak. Larasati juga memasak terong kecap kesukaan Bapak. Jangan khawatir kita akan tinggal bersama tidak ada satu orang pun yang akan menyakiti dan menelantarkan kalian lagi." 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun