Larasati tersenyum tidak menanggapi ucapan ayah mertuanya. Dia tengah sibuk membuat kue kering dan beberapa makanan menu khas lebaran tiba.Â
"Tidak apa-apa, Pak. Setahun sekali ini. Siapa tau ada tamu yang datang," sahutnya.Â
Ki Nanang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Seperti hari-hari biasanya. Lelaki 90 tahun itu pergi ke ladang. Memanen sayuran atau sekedar mencari kayu bakar.Â
"Bapak nggak usah cari kayu terus. Tuh, sudah banyak kayunya!" tunjuk Larasati ke arah kayu yang disimpan di atas langit-langit tungku dapur. Selain di dapur, ada pula di samping rumah. Kayu-kayu tersebut ditutup dengan terpal agar tidak basah kehujanan.Â
"Terakhir. Besok kan, sudah tidak mencari kayu lagi."Â
Larasati menghela napasnya. Sambil menggeleng kemudian tersenyum tipis.Â
Kedua anaknya yang besar membantunya membersihkan rumah dan halaman sekitar. Sudah kegiatan rutin setiap menjelang lebaran.Â
Di ladang, Ki Nanang bersiul. Meskipun pipinya yang kempot suara siul dari mulutnya terdengar jelas. Burung-burung seolah-olah ikut menyambut suaranya yang merdu.Â
Satu per satu ranting kering dan batang-batang pohon kecil yang sudah mati ditebang, dipotong dan dibelah menjadi beberapa bagian. Kemudian ditumpuk menjadi satu dan diikat.Â
Setelah beberapa menit, dia beristirahat di bawah pohon yang rindang. Sambil mengkipas-kipaskan topi caping ke wajahnya. Peluh sebesar biji jagung memenuhi area wajahnya. Tubuhnya yang kurus bersandar pada gulungan kayu yang diikatnya. Sesekali angin menyapa dan berhembus sepoi-sepoi.Â
Lelaki tua itu menarik napasnya perlahan. Memandangi area ladang yang biasa dia datangi walau sekedar mencari kayu bakar atau memetik terong kesukaannya.Â