Mohon tunggu...
Tar Tibun
Tar Tibun Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Sedang menjalani kehidupan terbawah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Hati Sampai Mati

8 Agustus 2023   07:09 Diperbarui: 8 Agustus 2023   07:16 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa Bapak tau dimana tempat anak perempuan kalian tinggal?" tanya Rudi pemilik rumah. 

Ki Nanang dan istrinya menggeleng lemah. Tubuh mereka gemetaran masih tidak percaya atas tindakan yang dilakukan Sri dan suaminya. Mengapa perempuan yang berstatus sebagai anaknya tega menjual harta mereka satu-satunya. Tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari mereka terlebih dahulu.

"Maaf, kalau begitu saya tidak bisa mengantar Bapak dan Ibu." Rudi terlihat begitu lesu dan tidak enak hati. 

"Kita balik ke ladang lagi, yuk," ajak Ni Sariah. Tangannya yang keriput menyentuh bahu suaminya.

"Bapak lelah, Bu," keluh lelaki tua berpipi kempot itu. Tatapan matanya yang sendu mengawang-awang terlempar ke sebuah halaman. Di sanalah tempat dia mengukir kenangan bersama cucu-cucunya. Kini, tempat ini telah menjadi milik orang lain. 

"Kalau begitu biar saya saja yang mengantarkan jenengan semua," tawar Rudi. Dia merasa iba dan kasihan. 

Kedua sepasang lanjut usia itu bergeming. Pikirannya kacau dan hatinya bergemuruh sakit. Sakit yang tergores di dadanya tidak mampu diredam, walaupun ribuan napas terganti dengan oksigen baru. 

"Makan saja dulu, Mas. Kasihan. Pasti jauh," timpal Mala, istrinya Rudi. 

"Tidak perlu. Kami sudah kenyang," tolak lelaki 90 tahun itu. Padahal perutnya perih menahan perih karena lapar.

Tangannya gemeteran meraih gembolan kain berisi pakaian mereka. Selain pakaian ada juga di dalamnya beberapa obat-obatan untuk Ni Sariah. Perempuan lanjut usia itu memiliki penyakit riwayat sesak nafas bawaan dan keturunan dari keluarganya.

"Kita pulang lagi ke gubuk." Ki Nanang berdiri. Tubuhnya sedikit bungkuk dimakan usia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun