Bagian 1
Cerita hujan
Pagi ini tidak seperti pagi biasanya yang cerah, dengan diiringi suara merdunya burung, pagi ini suasanya dingin disertakan awan mendung menandakan akan turunnya hujan. Â Burung-Burung terlihat terbang sangat rendah dan berputar pada satu titik tertentu. Embun yang biasanya ada pada tumbuhan kini tidiak terlihat. Yang terlihat hanyalah bentukan awan padat yang gelap berjarak rendah dan memadati langit.
Tak  ada sedikitpun cahaya matari yang menerobos masuk dari awan-awan. Angin yang bertiup kencang membuat semua orang enggan untuk hanya sekedar keluar rumah. Yang pasti mereka lakukan hanya bergelumung dibawah selimut. Tak lama kemudian hujan membasahi bumi pertiwi ini. Terdengar suara rintik hujan yang dapat menyejukan hati yang tampak gelisah ini.
Hujan diwaktu itu tak terhenti oleh keumuman sang pemilik waktu dia turun seperti hasrat yang tak lama tertuang membasahi bumi pertiwi. Bernyanyi dengan untaian suaranya yang gemercik.
Seperti alunan nada-nada yang tak beraturan. Gedung-gedung tinggi itu dibasahi oleh air, jalanan tetap padat di ibu kota ini, karena waktunya orang yang bekerja akan berangkat ke kantor. Apalagi ini tanggal muda membuat semua orang semangat untuk menyelesaikan pekerjaanyaa. Dan ingin cepat bertemu keluarganya dan memberikan apa yang mereka kerjakan selama ini menghasilkan upah. Semua itu bisa membuat pancaran kebahagian untuk orang-orang yang  merasakannya. Berbeda dengan masyarakat yang hanya tinggal di pemukiman walaupun mereka tinggal yang sama di ibu kota , nasib semua orang akan berbeda- beda.
Masyarakat di daerah Kelurahan Galur  ini hanyalah orang-orang yang bekerja untuk sekedar makan setiap hari tanpa memperdulikan keingininan untuk berbelanja. Karena hanya sesuap nasi yang di dapatkan setiap hari mereka akan selalu bersyukur.  Sepertiku yang bersyukur akan keadaan ini walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Dan di pemukiman ini ketika hujan turun sangat deras semua orang panik dann bersiap-siap untuk membereskan berkas-berkas penting dan mengamankannya.
Dampak dari hujan akan dirasakan oleh orang-orang masyarakat yang berada disekitar Kelurahan Galur ini padahal yang banyak melakukan kesalahan adalah orang-orang besar yang dari hasil pengolahan industri sedangkan mereka tidak memperdulikan apa yang mereka perbuat akan berdampak seperti ini. Mereka hanya akan terganggu oleh jalanan berbeda dengan masyarakat Kelurahan Galur yang dapat membuat tempat tinggal terendam oleh air hujan ini.
Di Kelurahan Galur ini semua tempat tinggal akan tingkat dua, karena ketika hujan sedang membasahi bumi pertiwi ini mereka akan tinggal di lantai dua  dan ketika ingin bepergian  perjalannya menggunakan perahu karet. Walaupun tingkat dua bukan berarti rumah yang berada di Kelurahan ini adalah rumah yang mewah dan megah, tetapi hanya dari sebuah tembok yang sederhana lalu ditingkatkan.
Hujan kala itu meratakan kekuatan padi yang berdiri tegak hingga menutup jalan menjadi lautan.Alam  seakan tertawa menghina kami dan berkata itulah ulahmu wahai manus air yang kalian minum setiap saat kini berbalik menyerang karena tidak mau menjaga kelestarian alam ini.
Hingga malam hari, tak kalah deras hujan yang turun ke bumi. Saat itu aku dalam perjalanan pulang. Basah kuyup membanjiri tubuhku karena memang tak ada lagi waktu untuk berhenti atau berteduh Untungnya hujan kali ini tidak menimbulkan banjir aku khawatir dengan kedaaan Ayahku dan Adikkku pasti mereka sedang menungguku pulang agar sampai di rumah dengan cepat. Mengingat  hujan akan berimbas ke daerah Kelurahan Galur ini.
Ketika sampai di rumah Ayahku langsung menyerbu dengan berbagai pertanyaan.
"Kamu darimana saja kenapa baru pulang?" Ucap Ayah dengan nada khawatir.
"Aku hanya pergi kerumah teman untuk mengerjakan tugas yang belum terselesaikan di sekolah." Ucapku dengan lembut agar tidak mengurangi rasa khawatirnya.
"Ayah sangat khawatir dari tadi kamu belum pulang juga apalagi diluar hujan sangat deras dan kamu tahukan bahwa ketika datang hujan kita harus bersiap-siap siapa tahu kedatangan banjir." Tanya Ayah dengan lembut.
"Aku sangat tahu Ayah, maafkan aku karena tidak memberi tahu dulu."
"Kalau begitu kamu cepat mandi agar tubuhku tidak sakit."
"Baik Ayah. Oh iya Almira dimana ya?" Tanyaku tidak melihat keberadaan Adikku.
"Dia sedang berada di kamarnya tadi Ayah liat sedang belajar dan mempersiapkan pelajaran untuk besok hari."
Aku hanya mengangukan kepala.
"Apakah Ayah sudah makan malam?"
"Iya tadi Ayah makan bersama Almira. Maafkan Ayah makanan duluan soalnya dari tadi tunggu kamu gak datang-datang." Ucapnya merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, yang penting kalian sudah makan dan jangan sampai telat. Kalo begitu aku pergi ke kamar mandi dulu ya." Ucapku sambil melangkah untuk pergi.
"Oke bang jangan lupa kamu juga selesai mandi sholat terus langsung makan."Ucapnya sambil sedikit teriak.
"Baik Ayahhhhh." Teriakku.
Bagiku perhatian kecil dari Ayah sangat membuatku senang, Ayah adalah sosok pahlawan tanpa jasa yang bisa memberikan kebutuhan keluarga walaupun dengan apa adanya. Dia ayahku Bramantyo yang bekerja sebagai cleaning service dan ketika libur dia akan pergi ke ladang. Perjuangan yang patut aku contoh dari  ayah adalah seseorang yang pekerja keras demi membahagiakan  keluarganya serta mencukupi kebutuhan keluarganya.
Setelah selesai mandi aku menghampiri adik kecil ku bernama Almira yang sedang berada di kamarnya. Dia adalah sosok malaikat kecil yang baik hati dan sabar yang mau menerima keadaan dalam kondisi apapun. Dia tidak pernah mengeluh sedikit pun .
Kuhampiri kamar kecil adikku.
Tok-tok suara bunyi nyaring suara pintu kayu yang ku ketuk. Ini sudah menjadi kebiasaan keluargaku ketika akan ke kemar seseorang harus mengetuk pintu terlebih dahulu. Pintu terbuka dan muncullah adiku yang cantik ini.
" Eh ada abang, mau apa?" Tanya adikku dengan raut wajah kebingungan
" boleh abang masuk ke kamar kamu?"Pintaku terhadap Almira
" iya boleh bang." Ujar Almira sambil mempersilahkan aku untuk masuk.
Lalu aku menuju sisi tempat tidurnya dan duduk disana, dan Almira duduk disampingku.
"Kamu tadi sedang apa Almira?" Tanyaku penasaran
"Oh aku sedang sedikit belajar dan mempersiapkan pelajaran untuk sekolah bang." Jawabnya selalu dengan senyuman yang manis.
"Apakah ada tugas-tugas yang sedikit susah? Barangkali abang bisa bantu?" Tawarku kepadanya.
"Sejauh ini aku masih bisa mengerjakannya bang, nanti deh kalau ada yang susah pasti aku minta bantuan abang."
"Pinter dan rajin banget adik abang ini. Ngomong-ngomong hari ini bagaimana sekolah kamu?" Tanyaku ingin ngetahui bagaimana kegiatan sekolahnya.
"Hari ini cukup menyenangkan tidak ada masalah sedikit pun dan tadi di sekolah kita bernyanyi karena ada pelajaran seni budaya sehingga suasananya menjadi ramai." Ujarnya tampak semangat menceritakan kegiatan sekolah tadi.
"Bagus kalo begitu kamu harus tetap semangat sekolah untuk menggapai cita-citamu dan jangan lupa belajar, tetapi sewajarnya jangan sampai kamu lupa untuk makan." Kataku memberi nasihat kepada Almira.
"Iya abang aku akan menunjukkan bahwa aku bisa menggapai cita-citaku dan menunjukkan kepada mereka bahwa dari keluarga sederhana kita juga bisa menggapai kesuksesan yang luar biasa." Jawabnya dengan lengkungan bibir ke atas dan mata yang sipit.
"Nah itu baru adik abang." Ucapku sambil memeluk Almira dengan penuh rasa kasih sayang
"Eh bang dari tadi pagi hujan belum berhenti juga ya?" Tanya almira sambil memperlihatkan jendela yang basah karena terkena  air hujan.
"Iya kamu tahu tidak perihal sebab turunnya hujan?"
"Emmmmm,,,aku pernah mendengar proses terjadinya hujan itu karena adanya uap air yang terbawa ke wilayah pegunungan, lalu bertemu dengan massa udara yang bersuhu rendah. Sehingga terjadi pengembunan dan membentuk awan. Nah setelah awan jenuh hujan pun turun." Jawaban Almira yang sangat teoritik.
 Aku tersenyum mendengar jawabannya.
"Itu jawaban yang benar tapi belum tepat." Perkataanku membuat raut wajahnya kebingungan.
Karena kebingungan Almira bertanya balik:" Lalu menurut abang kenapa hujan itu turun."
"Karena akhir-akhir ini, hati manusia sedang gersang, gampang tersulut amarah . Maka perlu suhu yang dingin untuk meredam mereka. Dan musim penghujan adalah jalan keluarnya."
Almira tampaknya sedang memikirkan jawabannku. Selanjutnya kami hanya diam bukan kehabisan bahan obrolan, hanya saja aku tidak mau menggangu almira yang sedang mencoba berpikir jawabanku, sambil sekali-kali menganggukan kepalanya. Dan aku sambil memperhatikan rintik hujan.
Setelah lama terdiam akhirnya aku memutuskan untuk pamit dari kamarnya.
"Abang pamit ke kamar dulu kamu harus cepat tidur karena besok masih sekolah." Kataku sambil berdiri dan mengusap pucuk kepalanya.
"Siap 86 abang akan almira laksanakan." Jawabnya sambil memberikan tanda hormat kepadaku.
Â
Sungguh Almira adalah anak yang penurut. Perilakunya dapat membuat orang ingin selalu memberikan kasih sayang kepadanya. Setelah dari kamar Almira aku menghampiri Ayah yang sedang duduk di kursi kayu yang sudah agak lapuk sambil memijat pelipisnya.
"Bagaimana keadaan Ayah apakah sehat?" Tanyaku khawatir melihat Ayah sambil memejamkan mata dan memijat pelipis.
"Keadaan Ayahcukup baik, hanya saja terasa sedikit pusing mungkin karena kecapean saja." Ujarnya berusaha menenangkanku.
"Kalo begitu Ayah cepat istirahat dan biar aku membantu memijat kepala agar sedikit lebih rileks. " Tawarku kepadanya.
"Ah tidak usah bang lebih baik kamu tidur besok kan masih sekolah." Perintahnya padaku.
Ayahku tidak pernah mau menunjukkan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja, ketika dia sakit akan menutupinya sebisa mungkin agar anak-anaknya tidak kepikiran dan khawatir. Padahal aku tahu dari raut wajahnya yang tampak kelelahan.
Tanpa mendengarkan jawababnnya aku mengambil posisi di belakang kursi kemudian memijat kepalanya. Bukan berarti aku adalah anak yang tidak penurut aku hanya ingin melihat ayahku lebih rileks sedikit. Tampaknya ayah menikmati pijatanku sampai matanya terpejam. Tanpa membangunkannya aku mengambil bantal di kamar untuk di letakkan di bawah kepala dan membiarkan Ayah tidur sebentar di kursi.
Sambil menunggu Ayah aku menyapu lantai yang lumayan cukup kotor mungkin ayah atau Almira lupa karena kegiatan mereka tadi pagi yang cukup padat. Dan aku yang tadi pagi berangkat sekolah terburu-terburu karena kebagian piket hari ini . Setelah itu aku kembali ke kursi lagi dan melihat wajah ayah yang tampak lelah. Sungguh aku merasa kasihan karena Ayah bekerja selama 12 jam di kantor sebagai cleaning service walaupun gajinya tak seberapa tapi cukup untuk kami makan setiap harinya. Rasanya aku ingin menggantikan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga tapi aku tidak bisa karena sekolah yang menuntutku sekolah full day school . Aku akan membantu Ayah ketika hari  libur di ladang. Tetapi akhir-akhir ini Ayah jarang pergi ke ladang. Setelah memperhatikan wajahnya hatiku bergerak ingin memijat kaki Ayah.
Yang aku lalukan sekarang ini adalah memijat kakinya sambil berdoa kepada yang kuasa agar kedua kaki ini  selalu di berikan ke ringanan dalam berkerja dan tidak cepat lelah serta aku berdoa agar ayahku selalu sehat dan selalu di berikan kemudahan dalam urusannya. Aku juga selalu mendoa'kan Almira adikku satunya-satunya agar diberi kelancaran dalam mendapatkan ilmu serta segala urusannya.
Setelah selesai aku membangunkan Ayah untuk tidur dikamarnya, karena tidak tega melihatnya yang tidur seperti ini di kursi pasti besok pagi akan merasakan kesakitan.
"Ayah bangun dulu dan pindah ke kamar." Saranku padanya.
"Ah abang terimakasih maaf Ayah ketiduran dan makasih atas pijatannya yang enak membuat jadi rileks." Ucapnya dengan senyuman.
"Sama-sama Ayah itu tugas seorang anak yang wajib dilakukan untuk  membantu orang tuanya dan sedikit memberikan pijatan agar tubuh Ayah kembali fit. " Â
"Baiklah bang Ayah bangga  punya anak sepertimu dan Almira kalo begitu ayo kita pergi ke kamar untuk tidur." Ajaknya kepadaku.
"Ayah saja duluan aku sebentar lagi karena mau menonton acara siaran tv dulu."
"Kalo gitu Ayah  pergi ke kamar. Ingat jangan tidur terlalu malam."  Ucapnya penuh perhatian.
"Siap laksanakan komandan." Jawabku. Lalu ayah pergi ke kamarnya.
Aku hanya ingin sebentar  menonton siaran televisi untuk menghilangkan penat. Walaupun televisi ku bukan seperti televisi orang-orang yang di tempel di dinding. Televisiku hanya kecil dan berbentuk tabung. Acara siaran yang kini ku tonton yaitu seorang anak yang sukses dari keluarga yang dapat di katakan tidak mampu  yang bisa membawa orang tua pergi berangkat umroh dari hasil tabungan dan jualannya serta keahliannya dalam memainkan musik biola yang begitu indah bagi orang yang mendengarnya. Dalam cerita siaran televisi itu dia sebagai anak satu-satunya pasti ingin membuat  kedua orang tuanya bahagia. Walaupun dengan usaha yang kerja keras terlebih dahulu dan banyak hinaan terhadapnya tapi dia bisa membuktikan bahwa dia mampu dan bisa. Aku jadi tergerak akan perjuangannya pasti aku juga bisa seperti dia walaupun dari keluarga yang tidak mampu. Apalagi aku sebagai anak pertama dan seorang  kakak yang akan menggantikan tulang punggung keluarga ketika Ayah sudah tua nanti dan harus membiayai adikku. Aku juga ingin menjadi contoh yang baik untuk Almira dan membahagiakannya.
Sambil menonton siaran tersebut aku jadi membayangkan bagaimana kelak nanti aku meraih kesuksesan dan bisa menjadi insiprasi juga untuk semua orang serta membawa keluargaku ke kehidupan yang lebih layak. Ah membayangkannya saja sungguh indah semoga angan-anganku menjadi kenyataan.
Setelah puas menonton aku mematikan televisi lalu bergegas pergi ke kemar mengikuti nasihat Ayahku . Jika  dilanggar aku sendiri yang malu kalo ketauan  Almira,karena tadi juga aku yang menyuruh Almira untuk tidak tidur terlalu malam .
Bagian  2
Sekolah
Pagi yang cerah mengiringi hari ini, sinar mentari yang hangat dan penuh kelembutan meresap dalam tubuh. Pemandangan yang indah ku lihat di depan mata. Disana Ayah sedang berceloteh ria bersama Almira sambil persiapan untuk pergi ke kantor dan sekolah.
" Selamat pagi Ayah, Almira." Sapaku kepada keduanya.
"Selamat pagi juga abang." Jawabnya bersamaan.
"Ayo kita sarapan dulu." Ajak ayah kepada kami
" Lets go." Jawab Almira sambil manarik tanganku menuju meja makan.
Menu makan hari ini seadanya hanya dengan nasi goreng dan telur dadar. Jangan salah masakan Ayahku  ini juaranya. Selain  harus mengurus pekerjaan Ayahku selalu menyempatkan memasak di pagi hari untuk sarapan anaknya.
"Bagaimana nasi goreng buatan ayah apa kalian suka?"
" Swuka bwanget awyah enawkk." Jawab Almira dengan mulut yang dipenuhi nasi goreng.
"Almira habiskan dulu makannya baru bicara." Nasihat ku padanya.
"Maafin Almira abang hehehehe." Jawabnya dengan cengiran.
"Oh iya Ayah ini nasih goreng terenak menurut abang pasti kalo dijual laku banget ini apalagi penjualnya ganteng kaya Ayah ." Kataku sambil menggodanya
"Ada-ada saja kamu ini bang." Jawab Ayah sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.
"Hahaha bener juga apa yang abang bilang." Kata Almira yang menyetujui saranku.
Suasana di meja makan kali ini diisi oleh obrolan-obrolan yang cukup membuat kami tertawa untuk mengawali pagi yang indah ini. Setelah selesai makan waktunya kami pergi. Ayah pergi ke kantornya menggunakan sepedah motor yang sudah jadul. Almira pergi ke sekolah dengan jalan kaki karena jarak dengan sekolah dekat dan mampu di tempuh oleh jalan kaki, dan aku akan ikut ayah sampai depan gapura lalu naik angkutan umum. Karena kalo ayah mengantarkanku terlebih dahulu ke sekolah pasti waktunya tidak akan cukup apalagi arah sekolah dan kantor yang berbeda.
"Hati-hati di jalannya putri Ayah semangat terus belajarnya jangan gampang putus asa dan ngeluh." Ucap ayah sambil mencium kening Almira.
"Siap komandan. Ayah juga sama abang hati-hatinya ya."
"Oke Almira." Jawabku
" Kalo begitu Almira berangkat dulu assalamuaikum."
"Waalaikumsaalam." Jawab kami berdua.
Setelah kepergian Almira aku dan Ayah langsung berangkat pergi. Ketika sampai di depan gapura aku langsung naik angkutan umum dan berpamitan kepadanya. .
"Semangat belajarnya bang apalagi kamu sudah kelas 3." Ucapnya sebelum berangkat.
"Siap pasti semangat yah." Ucapku sambil mencium tangan ayah.
Ketika aku naik angkutan umum suasana mulai ramai dan berdesakan apalagi ibu-ibu yang baru pulang dari pasar dengan keringat yang membanjiri tubuhnya. Aku harus bisa bersabar karena ini sudah kebiasaan berangkat sekolah pasti akan berdesak-desakan. Setelah sampai di sekolah aku melihat 3 sahabatku yang sudah menunggu di gerbang. Kebiasaan kami adalah menunggu di gerbang sampai semua datang lalu masuk ke dalam kelas.
"Waahh akhrinya Arkan datang juga." Ucap Soraya si perempuan yang mempunyai sifat yang ceria dan cerewet. .
"Iya nih akhirnya datang juga yang ditunggu-tunggu." Timpal Allan sambil bersedekap dada.
"Yaampun kita udah pegel tahu nungguin kamu Ar. " Ucap Zea dengan nada mengeluh.
"Hehehe maafin ya tadi sedikit macet dijalan terus angkutan umum yang aku naiki bannya bocor. " Ucapku menjelaskan kejadian tadi.
"Dimaafkan." Ucap serempak mereka bertiga.
Sungguh mereka bertiga adalah sahabat terbaik masa SMA ku mereka tidak pernah memandang dalam status pertemanan walaupun mereka adalah orang yang berada tetapi mau bergaul dengan siapa saja. Lalu kami bergegas untuk masuk ke kelas yaitu kelas 12 MIPA 3 dimana semua murid yang berada disitu kumpulan orang-orang pintar atau bisa dikatakan kelas 12 unggulan SMA Pelita Harapan ini.
Teman sebangku adalah Allan dia teman pertamaku ketika menginjakkan kaki di SMA ini, dan kita segugus waktu itu dalam massa pengenalan lingkungan sekolah. Ketika pembagian kelas ternyata kita satu kelas.
Flashback on.
Ketika aku menginjakkan kaki di sekolah ini jujur aku bingung dan minder karena tidak ada satupun teman SMP yang bersekolah disini. Karena sekolah Pelita Harapan ini bisa dikategorikan dalam sekolah elit akupun masuk kesini karena mendapatkan beasiswa. SMP ku yang dulu merupakan sekolah biasa saja. Saat semua siswa-siswi dikumpulkan di lapangan aku melihat ada anak yang sedang berkelahi, karena aku ingin tahu jadi memutuskan untuk melihatnya dan mencoba untuk meleraikannya.
"Waahh apa-apaan ini main dorong-dorong." Ucap salah satu siswa yang sedang berkelahi. Yang tidak diketahui namanya karena bisa aku lihat dia bukan siswa yang baik dilihat dari cara berpakainya.
"Heh aku tidak akan memulai jika kamu tidak mulai." Ucap siswa yang  satunya masih dengan tersulut emosi.
"Sudah-sudah ingat ini di sekolah dan pertama kali masuk sudah berkelahi saja. "Ucapku mencoba meleraikannya.
"Wih ada yang so jadi pahlawan kesiangan ini." Ucap cowok yang tadi tersulut emosi yang aku lihat dari name tag nya bernama Dimas.
"Bukan so jadi pahlawan ingat kalian masih ada di lingkungan sekolah." Ucapku dengan tenang.
"Omong kosong." Lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Akhirnya perkelahian itu selesai dan setelah semuanya kembali kondousif, dan pergi ke lapangan.
"Thanks udah meleraikan perkelahian tadi." Ucap siswa yang berpakaian tidak rapih.
"Okee kenapa kalian tadi bisa berantem?. Tanyaku padanya.
" Dia tadi mau menggoda cewek dengan cara yang salah." Jawabnya.
"Lain kali tegur saja terlebih dahulu jangan langsung babak belur gini." Nasihatku padanya
" Betul juga ya, oh iya namaku Allan." Ucapnya sambil terkekeh lalu mengulurkan tangan untuk berkenalan.
" Namaku Arkan  senang berkenalan denganmu." Balasku sambil menerima jabatan tangannya.
" Kalo begitu ayo kita kembali kesana." Ucapnya sambil menunkuk ke arah lapangan.
Aku hanya mengganggukan kepala. Ternyata siswa yang tadi berpakaian tidak rapih dia anak yang baik yang mau menolong seseorang. Sungguh aku merasa bersalah karena tadi telah melihat dia dari luarnya saja.
Ketika kami sedang dalam perjalanan menuju lapangan aku langsung meminta maaf.
" Maaf Allan tadi sempat menilaimu dari luar saja. Aku kira kamu siswa yang kurang baik."
"Tidak apa-apa semua orang pasti berprasangka seperti itu, sudah biasa karena mungkin dilihat dari cara berpakaianku bukan? " Ucap Allan
Aku hanya menngangguk membenarkan ucapannya.
Setelah kembali ke lapang waktunya pembagian gugus. Dan aku segugus dengan Allan.
" wihh kita segugus juga ya." Ucapnya.
" iya nih ayok kita ke kelas."
Lalu kami bergegas menuju kelas.
Flashback off.
"Woii hari ini tugas dari bu Dinda dikumpulkan di meja ya sekarang ." Ucap KM 12 MIPA 3.
Perkataannya membuyarkan lamunanku ketika sedang mengingat awal masuk sekolah.
"Ar udah ngerjain tugas dari bu Dinda?" Tanya Allan.
"Udah ini mau dikumpulkan."
"Mau lihat dong kemarin ketiduran hehehe."
"Allan allan kebiasaan." Ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aneh tapi nyata kenapa Allan bisa masuk ke kelas unggulan ini padahal dia anak pemalas. Tapi jangan salah walaupun dia anak pemalas kalau soal berpikir otak Allan paling cerdas.
"Eh Arkan kamu olimpiade fisika kapan?" Tanya soraya.
"2 mingguan lagi kayanya, soalnya kemarin ada kendala di tempat pelaksanaanya jadi di undur."
"Semangat ya Arkan aku yakin kamu bisa membawa piala lagi untuk kesekian kalinya buat sekolah ini. " Ucap Zea menyemangatiku.
"Terimakasih Zea." Ucapku sambil tersenyum.
"Iya Ar harus fokus nanti ngerjainnya jangan mikirin Zea terus." Ucap Soraya menggodaku.
"Eh apaan sih Ra." Ucap Zea tampaknya dia sedikit tersipu malu.
"Pasti fokus kalau soal mengerjakan tapi kalau sudah selesai kayanya mikirin Zea juga boleh tuh." Ucap Allan ikut  menggoda.
" Betul tuh apalagi kalau dilihat-lihat mereka cocok tambah mirip lagi. " Timpal Soraya.
" Kalian ini bisa aja liat itu kasian muka Zea sudah merah seperti tomat begitu." Ucapku
"Dasar kalian menyebalkan." Ucap Zea dengan muka berpura-pura kesal.
Selanjutnya pelajaran dimulai dengan mata pelajaran bahasa indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia kali ini cukup membuatku ku mengantuk karena sedari tadi Bu Dinda bercerita saja. Sebisa mungkin aku terus membuka mata, padahal ini masih pagi tapi rasa ngantuk sudah menyerang saja.
Kringg,,kringgg
Bel sudah berbunyi tanda pelajaran telah selesai dan terganti dengan pelajaran yang baru.
"Sumpahh pelajaran bu Dinda tadi ngantuk banget." Ucap Soraya dengan Heboh.
"Hehh Ra biasa aja kali." Ucap Allan
"Biarinlah terserah aku suka-suka aku sewot banget kamu." Ucap Soraya tak mau kalah.
Aku hanya tersenyum melihat perdebatan mereka yang setiap hari pasti selalu ada yang diributkan jarang sekali akur. Tapi jika salah satunya tidak masuk kelas akan sepi tanpa keributan mereka.
"Kalian ribut terus nanti kalau jodoh gimana  lho." Ucap Zea yang sedari tadi diam.
"Ih masa jodoh aku sama Allan Ze." Balas Soraya dengan mengerucutkan bibirnya.
"Kan kalau jodoh gak ada yang tahu Ra." Timpalku sedikit menggoda.
"Ya tapi kan ahhh sudahlah." Jawab pasrah Soraya.
"Hehhh siapa juga yang mau jodoh seperti kamu. "Ucap Allan yang selalu senang menjahili Soraya.
" Jangan begitu kamu, gini-gini juga aku cantik terus body goals lagi." Dengan percaya dirinya Soraya Berucap.
" Terserah Anda." Ucap Allah Mengakhiri perdebatan mereka.
" Ishhhhhh."
Lalu soraya pergi sambil menghentakkan kakinya.
Pelajaran kembali dimulai kali ini dengan mata pelajaran seni budaya.
Â
" Baik anak-anak karena materi sekarang adalah bernyanyi jadi ibu memtuskam untuk nanti prakteknya ketika bernyanyi berkelompok dan silahkan kalian membentuk kelompok sendiri." Ucap Bu Shila.
"Siap bu, bi izin bertanya kalau untuk kelompok bernyanyi berapa orang dalam satu kelompoknya." Ucapku.
"Oh iya satu kelompok terdiri dari 4-5 orang. Dan kalian bebas menggunakan alat musik apa saja tetapi jangan sampai kalian membeli ya. " Balas bu Shila.
"Baik bu." Ucap serempak siswa-siswi kelas 12 MIPA 3.
"Eh Ar aku sama Zea masuk kelompok kamu ya." Pinta Soraya padaku.
"Boleh Ra, silahkan." Ucapku.
"Eh Ar jangan sama dia nanti jadi kacau, nah kalo sama Zea baru boleh." Ucap Allan.
"Lan jangan mulai cari keributan deh." Ucap Soraya yang sepertinya sedang malas ribut dengan Allan.
"Peace." Ucap Allan sambil membentuk dua jari.
"Kelompok kita berempat aja?" Tanya Zea.
"Bebas mau tambah satu orang lagi juga." Saranku
"Tapi kayanya mereka juga udah pada punya kelompok tuh." Ucap Allan sambil menunjuk ke kelompok lain.
"Iya bener tuh,lebih baik sekarang kita buat formasi kursi bulat biar enak diskusinya." Saran Zea
Lalu kami langsung berdiskusi hingga bel istirahat berbunyi.
" Baik anak-anak minggu depan pengetesan untuk pelajaran seni musik ini, ibu harapkan kalian tampil maksimal dan kreatif. "Ucap bu Shila.
"Siap bu." Jawab serempak anak kelas.
Setelah itu semua siswa/siswi bergegas untuk pergi ke kantin. Yang biasa aku lakukan hanya diam di kelas karena selalu membawa makan. Hanya sekali-kali untuk pergi ke kantin. Menurutku hitung-hitung hemat uang.
"Ar hari ke kantin gak?" Tanya Allan sambil berjalan ke depan kelas.
 "Engga dulu deh aku bawa makan kalian aja."
"Yhaaa ikut dong Ar makannya disana." Bujuk Soraya.
"Iya Ar biar kita barengan gak enak kamu sendirian makan disini gak ada teman ngobrol." Timpal Zea.
"Boleh juga tuh ." Ucapku.
Hari ini aku memutuskan untuk makan di kantin. Dan kami pun langsung bergegas ke kantin .
"Kalian pesan makanan aja dulu biar aku cari tempat duduk. "Saranku pada mereka.
"Kamu mau pesan apa Ar biar sekalian." Tanya Zea
"Aku pesan minumnya aja deh orange juice ya Ze." Ucapku sambil memberikan uang.
" Siap Arkan, udah dari aku aja ." Ucap Zea sambil pergi tanpa mengambil uangku.
" Eh Ze tapikan.." Ucapanku tidak dilanjutan karena Zea semakin jauh.
Zea itu anak yang baik tetapi kebaikannya terkadang dimanfaatkan orang lain. Dia juga salah satu anak yang pintar dan cerdas yang selalu mau mengalah, sehingga mempunyai sifat yang dewasa.
Akhirnya mereka kembali ke meja sambil membawa pesanan masing-masing.
"Zea makasih ya." Ucapku merasa tidak enak.
"Santai aja kali Ar kaya ke siapa aja." Ucapnya sambil terkekeh.
"Ngomong- ngomong kita mau kerja kelompok dimana nih." Tanya Allan
"Gimana kalau di rumah Zea?" Usul Soraya.
"Boleh juga letak rumahnya strategis dan pertengahan." Timpal Allan.
"Kamu gimana Ar bisakan?". Tanya Zea
"Aku bisa aja cuman, gak bisa terlalu lama kasian Almira sendirian dirumah. " Ucapku sambil mengingat jika Almira sendirian di rumah pasti merasa kesepian.
"Oh iya kasian juga ya Almira ditinggal sendirian." Ucap Zea.
"Emmm gimana kalau kita selesaikan di sekolah aja?" Saranku pada mereka.
"Bener juga ya kalau ke rumah Zea pasti akan memakan waktu." Ucap Soraya sambil Mengetukkan dagu.
Obrolan kami terus berlanjut hingga waktu bel tanda masuk sudah berbunyi. Pelajaran kembali dilanjutkan. Hawa siang hari ini cukup menggerahkan, walaupun di kelas ini sudah ada AC. Hingga waktu pulang sudah tiba dan aku bergegas untuk kerja kelompok.
Ketika berdiskusi di kelas saat pelajaran seni budaya kami sibuk memilih lagu yang cocok dan mudah dan sesekali berbanyi bersamaan, sehingga belum menentukan pembagian alat musik atau yang bernyanyinya.
"Zea kamu yang bernyanyikan?" Tanyaku.
"Iya boleh Ar." Ucapnya menyetujui.
"Kalau begitu aku memaikan alat musik pianika, lalu Arkan main gitar, dan Allan main kahon gimana?" Saran Soraya.
"Bisa-bisa asalkan jangan kamu yang nyanyi Ra." Â Celoteh Allan
"Lan jangan mulai deh." Timpal Soraya sambil mendelikan mata.
"Terus  gimana kalau Allan atau Arkan bantu nyanyi juga jadi kaya suara dua gitu." Saran Zea.
"Yang nyanyi lebih baik Arkan saja biar tambah merdu daripada yang satunya." Ucap Soraya melirik kesampingnya dan membalas perbuatan Allan.
"Yaampun kalian berdua kapan damainya sih." Heran Zea melihat kelakukan mereka.
Â
Setelah perdebatan itu kami memutuskan untuk langsung latihan. Sungguh suara Zea itu merdu dan lembut bagai angin laut. Semua orang yang mendengarkannya pasti akan tersentuh. Waktu demi waktu silih berganti dan sekarang sudah semakin sore kerja kelompok pun sudah selesai.
"Akhirnya kelar juga latihan jadi nanti langsung di fokusin deh dan memperbaiki kesalahan sedikit demi sedikit. " Ucap Soraya.
"Iya Ra kalau begitu aku pulang duluan ya sudah dijemput di depan." Pamit zea
"Hati-hati Zea." Jawab kami serempak.
Zea hanya mengacungkan jempolnya sebagai tanda balasan ucapa kami. Akhrinya kami memutuskan Pulang dan berpisah di gerbang. Awalnya Allan menawarkan tumpangan tetapi aku menolaknya karena arah rumah kita yang berbeda kasian harus bulak-balik. Dan Soraya Sudah dijemput oleh supirnya.
Ketika sampai dirumah aku melihat Almira yang sedang melamun sambil menonton televisi.
"Assalamualaikum adik abang kok ngelamun?" Tanyaku.
"Waaikumsalam eh abang." Uacapnya kaget
"Kenapa hmmm?"
"Aku ingin seperti mereka yang selalu ditemani belajar oleh ibunya. Selalu diberikan kasih sayang oleh ibunya." Ucapnya jujur dan dengan nada sedih.
Â
Satu sifat lagi yang aku suka dari adikku dia selalu jujur. Dia akan selalu mengutarakan keingininan hati yang sedang gundah gelisah itu.
"Almira kan masih punya abang sama Ayah kalau Almira mau abang pasti akan selalu temani belajar." Ucapku berusaha menguatkannya walaupun aku juga rindu sosok ibu.
"Tapi Almira rindu kasih sayang dari Bunda bang." Ucapnya sambil menunduk.
"Kalo Almira rindu sama Bunda jangan lupa berdo'a ya semoga Bunda cepat pulang dan berkumpul lagi sama kita."
"Iya pasti bang." Ucapnya yang langsung memelukku erat dan aku pun membalasnya.
"Almira harus jadi anak yang hebat nanti kalau Bunda pulang pasti bangga sama kamu."
"Tapi kapan ya Bunda pulang." Ucapnya dengan pandangan kosong ke depan.
"Secepatnya pasti Bunda  pulang untuk melihat putri cantiknya ini."
"Aamiin semoga cepat pulang tapi Almira udah hitung 5 tahun Bund  gak pulang ke rumah. Sampai pernah Almira dikatain kalo Almira sudah gak punya ibu karena tidak pernah lihat lagi Bunda ke sekolah. Dan diantar." Ucapnya sambil menunduk.
"Liat abang Almira jangan denger apa kata orang. Mendengarkan ucapan orang yang tidak baik membuat kita sakit hati mereka kan gatau apa-apa tentang kita." Ucapku sambil menghadapkan tubuhnya.
Almira hanya menggaguk dan sedikit demi sedikit air matanya mengalir membasahi pipinya. Hatiku terasa sakit seperti tertusuk jarum, kasian melihat Almira kurang kasih sayang dari sosok ibu. Ya benar bunda  sudah 5 tahun pergi dan belum pulang juga. Tepatnya ketika Almira masuk kelas 2 sekolah dasar mungkin.
Bagian 3
Pelukkan Bunda
Flashback on.
Â
Hari itu seperti hari biasa yang aku dan Bunda lalukan berbelanja di pasar. Ketika sedang melihat-lihat, aku menemukan mainan kecil yang lucu. Hanya saja harganya sangat mahal, sayang sekali. Tapi aku sangat menginginkannya.
"Bunda aku ingin mainan itu, boleh nggak? Tapi harganya mahal." Ucapku dengan nada lesu.
"Coba sini Bunda lihat."
Aku mengambil mainan itu dengan cepat dan segera memberikannya pada Bunda. Ia melihat dan memperhatikan sesaat, lalu pergi tanpa penjelasan dan hampir saja membuatku menangis. Ternyata Bunda membawa mainan itu dan membayarnya ke penjual tersebut. Aku segera memeluk Bunda dan mengucapkan terima kasih.
Saat itu aku masih berusia lima tahun dan belum mempunyai adik. Bunda dan Ayah selalu mengajarkanku kebaikan, apalagi lagi dengan kelembutan hati Bunda dalam mendidikku membuat aku bukan jadi anak pembangkang.
Dulu Ayah hanya bekerja di ladang setiap harinya. Dan Bunda akan selalu membawakan makanan ke ladang. Saat itu aku juga ikut Bunda mengantarkan makanannya. Jarak dari rumah ke ladang cukup jauh. Tapi waktu tidak terasa karena Bunda akan selalu mengajakku mengobrol katanya supaya tidak terasa capeknya.
"Abang kalau sudah besar mau jadi apa?" Tanya Bunda.
"Mau jadi orang kaya." Jawabku asal.
"Kok mau jadi orang kaya."
"Biar bisa bahagia terus gak lihat Ayah cape-cape lagi ke ladang. Abang suka kasian ngeliat Ayah pulang dari ladang." Ucapku sedih.
"Abang boleh ingin menjadi orang kaya tapi harus inget ya semua itu gak mudah untuk mendapatkannya." Nasihat Bunda.
"Nanti kalau abang sudah besar mau kerja keras supaya dapetin itu."
"Nah ini anak Bunda sama Ayah, harus mau berusah dulu dalam mencapai sesuatu. Abang pernah denger gak pepatah mengatakan berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian."
"Pernah Bunda."
"Abang tahu nggak itu artinya apa."
"Gak tahu Bunda." Ucapku polos.
"Artinya itu kita gapapa perih dulu atau menderita dulu karena untuk mencapai suatu kesuksesan seseorang harus mau bekerja keras." Jelas Bunda.
"Oh berarti abang akan selalu bekerja keras demi Bunda dan Ayah."
"Anak Bunda  ini pinter semoga apa yang kamu inginkan tercapai. Selain itu cita-cita abang ingin menjadi apa?" Tanya bunda lagi.
"Ingin jadi orang pinter biar bisa lomba-lomba kaya di tv, terus nanti dapet hadiah. Nah nanti uangnya abang tabung."
Bunda terkekeh dengan jawabanku barusan.
"Makanya belajar lebih giat lagi ya bang Bunda akan selalu mendoakan semua ucapan abang barusan."
"Terimakasih Bunda yang cantik." Lalu Bunda berjongkok dan memelukku.
Ternyata perjalanan ke ladang sudah sampai.
"Eh anak Ayah ikut juga?" Tanyanya sambil mengusap keringat di pelipis.
"Iya nih abang ingin ikut katanya mau lihat Ayah kerja." Jelas bunda.
"Mau bantu Ayah juga biar cepat selesai." Jawabku polos.
Ayah hanya tersenyum melihatku.
"Tidak usah abang cukup belajar dengan giat biar nanti jadi orang sukses." Ucapnya
"Siap Ayah." Jawabku semangat.
"Yah dimakan dulu nanti keburu dingin!" Â Perintah Bunda.
Akhirnya Ayah berhenti dulu dari pekerjaannya.
"Kita makan sama-sama ya ini kan makanannya banyak."
Â
Aku hanya mengangguk. Setelahnya yang kami lakukan makan bersama di ladang. Sungguh hal kecil sesederhana ini membuat aku semakin bahagia. Dengan dikelilingin orang-orang baik seperti Ayah dan Bunda. Selesai acara makan bersama aku dan Bunda pulang.
"Ayah, Bunda sama abang pamit dulu." Ucap Bunda sambil mencium tangan Ayah.
"Ayah semangat kerjanya ya abang tunggu dirumah." Ucapku sambil mengepalkan tangan ke atas.
"Siap abang." Ucapnya.
"Assalamualaikum Ayah." Ucapku dan Bunda.
"Waalaikumsalam." Ucap Ayah  sambil melambaikan tangan.
Diperjalanan aku dan Bunda sambil mengobrol lagi hal-hal yang menyenangkan. Aku selalu berdo'a semoga keluargaku selalu bahagia.
Hingga beberapa tahun kemudian aku mempunyai adik perempuan yang merupakan sosok malaikat kecil. Dengan mata yang sipit dan berkulit putih. Menurutku dia lebih mirip ke Bunda. Bagaikan pinang di belah dua. Dia adalah Almira Putri Bramantyo.
Tahun demi tahun yang telah dilewati keluargaku semakin harmonis. Adik kecilku semakin bertumbuh besar. Ayah masih bekerja di ladang dan Bunda menjadi ibu rumah tangga serta membimbing anaknya ketika belajar.
Hingga suatu hari Bunda jadi selalu izin pergi keluar. Jujur, aku sangat heran melihat sikap Bunda tiga bulan terakhir ini. Bunda jadi lebih baik sekali tapi juga sering pergi. Aku tak tahu ke mana perginya. Selain itu, akhir-akhir ini juga Ayah terlihat sedih terus. Aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi?
Malam harinya ketika aku baru mulai tidur dan terlelap, ada yang menggoncang tubuhku hingga terbangun. Ternyata Ayah yang membangunkan.
"Abang jaga ade,ya. Besok pagi setelah sholat shubuh, Ayah sama Bunda mau pergi. Gak lama kok." Ayah mencium keningku.
"Ayah mau kemana sama Bunda?" Tanyaku bingung.
Ayah tak menjawab dan segera pergi. Karena ngantuk berat dan setengah sadar, aku melanjutkan tidur.
Aku melihat Bunda sedang duduk di padang rumput di bawah naungan sebuah pohon bercabang-cabang. Bunda tersenyum. Aku segera menghampiri dan tidur diatas pangkuannya. Bunda mengelus-ngelus rambutku.
"Sayang kalau bunda pergi, tolong jaga Almira ya!". Ucapnya dengan senyuman yang mengembang. Senyuman yang menenangkan hati. Tak pernah kulihat bunda secantik itu.
"Memang Bunda mau ke mana? Bunda kalau pergi jangan lama-lama ya! Kalau lama-lama nanti nggak ada yang baik lagi sama aku." Ucapku begitu polos.
Bunda tersenyum.
"Kalau pun Bunda pergi, kan masih ada ayah. Ayah juga baik sama kamu,kan?
"Ya.....iya Cuma tetap beda baiknya sama Bunda. Marahnya juga beda. Kalau Ayah sudah marah, bisa gempa! Lagian nanti pemgganti Bunda selama Bunda pergi siapa? Aku boleh ikut nggak?"
Bunda tertawa.
"Kamu nggak boleh ikut. Kalau kamu ikut pengganti bunda siapa? Walaupun kamu anak laki-laki satu-satunya tapi kan harus bantu Almira belajar juga. Apalagi Ayah selalu sibuk di ladang kan? Kalau kamu ikut pergi nanti Almira sendirian dirumah." Bunda tertawa lagi.
"Kan ada Bunda sama ayah? Lagian Bunda juga bilang aku anak laki-laki satu-satunya. Kalau Bunda pergi nggak ada siapa sosok ibu kan di keluarga ini yang perempuan Cuma Bunda sama Almira. Masa aku harus liat  Almira sebagai sosok ibu?" Tanyaku ngawur.
"Abang bisa liat Ayah sebagai sosok ibu juga kan?"
"Yaa.. tapi kan beda tidak seperti Bunda."
Bunda tersenyum,lalu tertawa. Entah apa yang lucu.
"Putra Bunda kan sudah besar. Bantu Ayah menjaga adikmu ya, anak! Jadi anak yang sholeh. Bagaimanapun kamu, sejelek apapun kamu!" Bunda tertawa meledekku.
Aku cemberut untuk menandakan sebal karena candaan bunda.
"Tapi kalau sikap kamu jelek, kamu bukan anak yang selama ini Bunda besarkan. Anak bunda itu.... tampan,manis, pinter, dan selalu ingin menolong orang. Pokoknya baik deh. Dan Bunda sangat bangga sama anak Bunda!" Ucap Bunda.
"Eits, tapi kadang-kadang anak Bunda itu suka marah-marah nggak keruan. Dan sedikit egois!"
Aku dan Bunda tertawa . Aku memeluk Bunda sangat erat. Menghirup bau tubuhnya yang wangi. Rasanya sangat menyenangkan berbincang-bincang dengan Bunda. Tidur diatas rumput hijau nan lembut bagai kain sutra sambil meletakkan kepala di atas pangkuannya.
Huh... itu hanya mimpi. Aku menyadarinya setelah weker yang kusetel jam lima pagi berbunyi.  Lalu sholat shubuh dan membangunkan almira. Ternyata benar Ayah dan Bunda  sudah pergi. Pukul 05:30 aku sudah menyiapkan keperluanku dan Almira.  Jam enam kurang lima menit semuanya sudah siap. Tinggal berangkat ke sekolah.
"Almira ayo kita sarapan dulu." Ajakku.
"Ini abang yang siapin?" Tanya Almira.
"Bukan sepertinya Ayah atau Bunda." Jelasku
"Oh iya Ayah dan Bunda kemana bang kok tumben gak sarapan bareng." Tanyanya bingung.
"Ayah sama Bunda pergi dulu tadi pagi-pagi sekali."
"Abang juga nggak tahu waktu malam hari tiba-tiba Ayah datang ke kamar dan ngasih tahu kalo beosk mereka mau pergi. Abang tanya ayah sama bunda mau kemana tadi tidak jawab mungkin karena abang juga setengah sadar dan ngantuk berat."
"Yhaaa abang sih tapi semoga waktu Almira pulang sekolah mereka sudah datang."
"Iya makanya semangat belajarnya."
"Pasti dong."
Aku dan Almira berangakat bersama. Kebetulan sekolah ku dengan dia berdekatan. Kita  menempuhnya dengan jalan kaki karena cukup dekat.
"Bang Almira masuk ke sekolah dulu ya." Pamitnya.
"Belajar yang lebih giat." Sambil mengusap pucuk kepalanya.
"Siap bang." Jawabnya mengacungkan kedua jempolnya.
Setelahnya aku juga masuk ke kelasku. Sekolah SMP ku hanya sekolah biasa yang berisi anak-anak sekitaran kelurahan Galur ini. Tetapi aku harus bersyukur dimana pun kita sekolah yang penting masih bisa menuntut ilmu . Banyak di luaran sana apalagi di tempat-tempat terpencil yang sulit mendapatkan ilmu apalagi untuk sekolah.
Walaupun dengan keadaan sekolah yang apa adanya aku tetap semangat belajar untuk menggapai cita-citaku. Aku jadi ingat dulu pernah bilang ke bunda kalau aku ingin menjadi orang yang kaya dan pintar. Dan saat itu sedikit demi sedikit akan  ku raih.
Prestasi di sekolah menengah pertama ini cukup membuatku bangga karena masih bisa mempertahankan peringkat satu di kelas. Tujuaku selanjutnya menjadi juara umum antar kelas.
Setelah sekian jam belajar akhirnya waktu pulang telah tiba. Aku jarang bermain bersama teman karena kasian juga Almira kemungkinan dirumah pasti sendiri. Apalagi aku tidak tahu Ayah dan Bunda sudah pulang apa belum.
Ketika sampai dirumah aku melihat ternyata Ayah dan Bunda sudah pulang dan sedang mengobrol di ruang tamu.
"Assalamualaikum." Ucapku memberi salam.
"Waalaikumsalam." Jawab mereka serempak.
"Abang ada yang di omongin sama Ayah dan Bunda  tapi ganti baju dulu gih!" Perinyah Ayah.
"Baik Ayah." Perasaan ku merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan dikatakan oleh mereka tapi bukan kabar baik. Tapi aku tidak boleh berpikir negatif.
Selesai mengganti baju aku mengahampiri mereka di ruang tamu.
"Oh iya Almira kemana ya kok aku gak lihat." Ucapku basa-basi.
"Dia sedang bemain bersama lisa dirumahnya."
Aku hanya mengangguk.
"Begini bang tadi Ayah sama Bunda  ke kantor pemberangkatan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan..."Ucap ayah yang langsung dipotong olehku.
"Tunggu-tunggu jangan bilang selama ini Bunda sering pergi karena ikut pelatihan?" Tanyaku was-was.
"Maafkan Bunda bang tidak memberitahumu dari awal." Ucapnya merasa bersalah.
"Tapi kenapa bunda harus jadi TKI?" Tanyaku sedih.
"Jaman sekarang mencari kerja susah bang. Jadi pilihan terakhir bunda sebagai TKI."
"Maafkan Ayah juga tidak memberitahumu." Ucapnya merasa bersalah.
"Tapi kenapa bunda harus pergi?"
"Pekerjaan ayah di ladang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita, bang apalagi untuk biaya sekolah yang semakin hari semakin meningkat."
"Abang bisa bantu kerja kok, asalkan Bunda jangan pergi." Bujukku.
"Tidak bisa bang karena semua proses sudah dilaksanakn tinggal menunggu keberangkatan."
"Yhaa aku kira Bunda tidak akan seperti ibu-ibu yang lain untuk pergi menjadi TKI."Ucapku lesu.
Menjadi TKI bukan menjadi hal tabu lagi bagi masyarakat kelurahan Galur ini. Para istri  pasti akan berangkat dan suami bekerja di ladang serta mengurus anak. Rasanya aku ingin sekali mengubah tradisi itu.
Awalnya aku kira Bunda  tidak akan mengikuti tradisi itu tapi sekarang Bunda malah ikut-ikutan.
"Bunda janji akan segera pulang bang." Lalu memelukku tanpa sadar air mataku turun.
"Bunda harus janji ya." Ucapku menautkan jari kelingking ke jarinya.
"Iya sayang." Sambil mengelus punggungku.
"Apa Almira sudah tahu Bun?"
"Almira sudah tahu tadi dia nangis-nangis sambil teriak untungnya ada lisa yang menenangknnya jadi dia langsung pergi kerumah lisa."
Aku mengganguk lalu bertanya." Kapan Bunda akan berangkat?"
"Satu minggu lagi bang."
Setelah aku mengetahui kenyataan yang sebenanya hatiku sakit. Coba saja aku sudah bisa bekerja pasti orang tuaku tinggal diam saja dirumah.
Seminggu telah berlalu hari ini keberangkatan Bunda dan kami semua mengantarkannya ke bandara.
"Bunda jaga kesehatannya disana ya jangan lupain kita." Ucapku.
"Bunda harus ingat terus kalo Almira sayang Bunda dan selalu menunggu Bunda pulang." Ucap Almira sambil memeluk Bunda.
Sungguh melihat pemandangan Almira dengan Bunda hatiku sangat sakit seperti teriris. Dimana Almira masih membutuhkan  sosok seorang ibu, tetapi ini demi kebaikan kita semua.
"Ya titip anak-anak ya." Ucap bunda sambil memeluk  Ayah dan juga mencium tangannya.
Ayah hanya mengangguk sambil sedikit menetesekan air mata. Lalu Bunda memelukku
"Jaga adiknya ya bang dan bantu-bantu pekerjaan rumah."
"Iya Bunda." Aku tak kalah erat memeluk bunda.
Setelah itu Bunda pergi. Lama kelamaan Bunda semakin jauh.
"Bundaaaaa jangan pergii." Teriakan Almira disertai tangisan yang deras.
Aku dan ayah ikut meneteskan air mata dan mencoba memeluk Almira. Bunda yang semakin jauh hanya melambaikan tangannya. Sungguh tidak ada yang lebih sakit dari perpisahan.
Setelah keberangkatan Bunda rasanya terasa sepi. Tapi aku tidak boleh larut dalam kesedihan. Dan sejak itu ayah mencoba melamar pekerjaan walaupun susah sudah kemana-mana, hingga akhrinya diterima menjadi cleaning service.
Aku tahu bahwa Ayahmelakukan itu agar mencukupi kebutuhan kamai dan agar Bunda cepat pulang. Tapi ternyata Bunda belum pulang juga.
Waktu semakin berjalan Bunda tidak menepati janjinya untuk pulang. Setiap tahun kami selalu menunggu bunda. Yang biasa kami lakukan hanya via telepon. Tapi dua tahun terakhir ini Bunda tidak ada kabar.
Aku sangat rindu pelukkan bunda. Terakhir kami berpelukkan waktu pemberangkatan bunda yaitu di bandara. Pelukkan yang nyaman tidak aku rasakan selama beberapa tahun ini. Aku selalu berdo'a semoga Bunda cepat pulang.
Â
Flashback off.
Bagian 4
Diremehkan
Mengingat kenangan-kenangan manis aku ingin kembali ke masa lalu. Tetapi aku harus menerima keadaanya. Hari ini waktunya pengetesan seni musik.
"Gimana kalian siap?" Tanya Zea.
"Siap dong." Jawab Allan.
"Nanti yang bicara pembukaannya kamu ya Ar." Ucap Zea sambil menunjukku.
"Oke Ze." Ucapku mengacungkan jempol.
"Baik anak-anak ibu akan mengundi siapa yang tampil duluan. "Ucap bu Shila.
"Urutan tampil dengan nomor pertama yaitu kelompok Arkan. Silahkan maju ke depan!" Perintahnya.
"Semangat kita pasti bisa." Ucapku
Alunan suara merdu nan lembut yang indah disertai pengiring musik membuat suasana kelas ikut terhayut dalam penampilan  kelompokku. Apalagi lagu yang dibawakan ini sesuai dengan kondisi anak remaja zaman sekarang. Hingga pada akhir penghujung lagu suara tepuk tangan menggema di kelas ini.
Prokkkkk......prokkkkk
"Waaawww impresive." Ucap Galang KM kelas ini.
"Ya allah Zea udah cantik, Â pinter, Â punya suara merdu lagi." Pujian dari Dito si cowok buaya.
Sedikit tidak rela jika Zea dipuji oleh orang lain. Tetapi memang Zea patut untuk dipuji karena anak yang multitalenta. Ahh kenapa aku tidak rela? Apakah aku jatuh cinta padanya? Tidak mungkin.
"Kalian sangat keren ibu apreasiasi penampilan kalian. Sekali lagi beri tepuk tangan untuk kelompok ini." Ucap bu Shila sambil bertepuk tangan.
Penampilan kelompok silih berganti hingga akhirnya pelajaran sudah selesai.
"Sumpah Ze tadi kamu sama Arkan keren banget nyanyinya." Ucap soraya.
Zea tersenyum lalu berkata. "Kalian juga keren main alat musiknya."
Selanjutnya kami kembali belajar. Hingga bel pulang.
"Ar mau langsung pulang? Tanya Allan.
"Nggak aku harus latihan buat olimpiade."
"Semangat bro. Kalo gitu duluan ya." Pamit Allan
Aku menganguk lalu berjalan menuju ruang guru.
"Arkan sudah ditunggu oleh Bu Darti di mejanya." Ucap bu Dinda ketika aku baru masuk.
"Baik bu." Sambil membungkukkan badan.
Dalam pembelajaran olimpiade kami di bimbing masing-masing oleh satu guru. Dan dalam satu mata pelajaran ada dua orang siswa/siswi yang terpilih untuk mengikuti olimpiade.
"Arkan ayo cepat kesini sekarang kita tinggal membahas materi terakhir saja terus membahas soal-soalnya saja." Ucap bu Darti ketika aku menuju mejanya.
Selain menjadi pembimbing bu Darti merupakan wali kelas 12 MIPA 3.
Ketika sedang menjelaskan materi bu Sumi datang. Beliau adalah guru fisika juga, Entah kenapa beliau selalu meremehkanku.
"Lho kok belum beres materi? Rangga saja sudah ke soal-soal." Ucapnya dengan nada sombong.
"Iya bu soalnya Arkan ini lebih di mantapkan dalam materi dulu." Ucap bu Darti dengan sabar.
"Atau jangan-jangan Arkan ini sedikit lemot ya tidak gerak cepat seperti Rangga. "
"Jaga omongannya bu. Jangan membandingkan seperti itu." Ucap bu Darti.
"Pasti Rangga yang menang dalam olimpiade kali ini." Ucap bu Sumi lalu melenggang pergi.
"Arkan jangan dengarkan omongan bu Sumi ya ibu percaya kamu bisa." Nasihat bu Darti.
"Iya gapapa bu omongannya tidak diambil hati kok." Ucapku tersenyum.
"Tetap semangat ya Ar dan ibu yakin olimpiade kali ini bisa menang dan membawa kamu untuk lebih mudah kuliah nanti."
"Pasti bu terimakasih do'anya." Ucapku tulus.
Bu Darti adalah sosok guru yang selalu mendoa'akan anak muridnya. Beliau seperti ibu sendiri karena sifanya yang lemah lembut dan mengerti keadaan murid-muridnya.
Bagian 5
Waktunya  Menunjukkan
Hari ini waktu olimpiade di mulai. Dari semalam aku merasa tidak enak hati tidak tahu karena apa. Semoga tidak ada kejadian apapun.
"Ayah, Almira doa'akan ya sekarang Abang mau lomba." Pintaku pada mereka.
"Selalu Ayah doa'kan semoga lancar tidak ada kendala ya. "
"Abang aku yang tampan ini pasti bisa." Ucap girang Almira.
"Terima kasih adik abang yang cantik." Ucapku sambil mencubit kedua pipinya.
Peserta oliampiade kumpul disekolah. Ketika sampai disekolah ternyata para sahabtku sudah menyambut.
"Arkan hari ini kamu jangan lupa berdo'a ya kita disini pasti bantu do'a." Ucap Zea.
"Iya bener Ar kalau bu Sumi bilang yang nggak-nggak jangan di dengerin ya itu guru kayanya sirik banget sama kamu. Rasanya aku ingin potong itu mulutnya. "Ucap Soraya.
"Tenang saja Ra aku tidak akan ambil omongannya ke hati. Tetapi tidak baik lho membicarakan guru di belakang. Mending kita do'akan bu Sumi supaya tidak seperti itu." Ucapku tegas.
"Hehehe soalnya aku kesel sih Ar sama guru itu. "Ucap Soraya tanpa menyebutkan namanya.
"Semangat ya Ar pulang-pulang harus bawa piala. " Ucap Allan.
"Insyaallah." Jawabku.
Setelah itu aku langsung berangkat menggunakan mobil sekolah bersama teman-teman dan para pembimbing.
"Ar kartu peserta tidak ketinggalan kan?" Tanya bu Darti
"Tidak bu sudah Arkan siapkan ada didalam tas." Ucapku.
"Semoga bisa tunjukkan kemampuanmu." Ucapnya memberi semangat.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Lalu waktu olimpiade dimulai.
Soal yang keluar menurutku cukup mudah. Yang diajarkan oleh bu Darti hampir pada muncul dan yang aku hafalkan juga ada. Waktu terus berjalan sampai tiba-tiba ada yang melemparkan kertas kepadaku. Lalu aku membukanya. Ketika aku akan membuka terdengar suara bu Sumi.
"Wahhhh Arkan kamu sedang apa? Tanyanya.
Â
Aku terperanjat lalu berkata." Tatadi ada yang melempar kertas ini bu."
"Jangan-jangan kamu berusaha curang ya." Tuduh bu Sumi.
"Tidak bu, Arkan tidak melakukan kecurangan."
"Jangan bohong kamu itu ada buktinya memalukan sekolah saja."
"Tapi Arkan berani bersumpah tidak melakukan itu."
"Sudah-sudah jangan ada keributan, Arkan skors kamu di kurangin." Ucapku panitia olimpiade.
"Tapi pak...." Belum sempat menyelesaikan ucapan sudah dipotong oleh bu Sumi.
"Udah deh jangan menyangkal kamu."
Aku hanya bisa pasrah. Ini salahku yang tadi mencoba membuka kertas itu harusnya aku biarkan tetapi nasi sudah menjadi bubur. Setelah selesai mengerjakan aku langsung menghampiri bu Darti.
"Bu maafkan Arkan, Â tetapi Arkan berani bersumpah tidak curang seperti itu." Jelasku padanya.
"Ibu percaya sama kamu Ar. Lebih baik kita tunggu hasilnya nanti saja ya." Ucapnya menenangkanku
Aku bersyukur masih ada orang yang mau percaya kalo aku tidak melakukan kecurangan itu.
Hingga waktu pengumuman tiba.Yang mendapatkan hadiah berupa uang itu hanya juara 1-3 sedangakan juara 4-10 hanya mendapatkan piala dan sertifikat. Padahal aku berharap jika nanti juara 3 besar nanti uangnya akan ku tabungkan untuk kuliah.
Setelah diumumkan juara 10 sampai 6 waktunya juara lima besar. Aku berharap semoga bisa tiga besar tapi aku jadi sedih mengingat skors ku di kurangin akibat kejadian tadi.
"Apapun hasilnya ibu tetap bangga sama kamu Ar." Ucap bu Darti.
"Makasih bu tapi maaf kali ini Arkan kayanya gabisa juara 3 besar." Ucapku lesu.
"Kata siapa Ar kita gak tahu kan siapa tahu walaupun skors kamu dikurangin, tetapi tetap mempunyai jumlah yang besar. "
"Tapi Arkan tidak percaya bu kan katanya pengurangan skors nya besar."
"Anak ibu kok jadi putus asa begini yang semangat dong Ar kejujuran pasti akan segera terungkap kok." Ucapnya.
"Kita tunggu hasilnya saja ya bu." Ucapku lesu.
"Makanya jangan main curang jujur dong." Ucap Rangga yang ada disebelaku.
Â
Aku hanya bisa menghela nafas.
"Lihat saja akan ku tunjukkan bahwa aku akan mendaptkan juara diatas kamu Ar." Ucap Rangga dengan nada sombong.
Pengumuman kejuaraan semakin menegangkan apalagi sudah lima besar.
"Juara lima tingkat Nasional diraih oleh Arkan Putra Bramantyo dari SMA Pelita Harapan beri tepuk tangan yang meriah." Ucap salah satu panitia.
"Selamat ya Ar ibu bangga padamu." Ucap bu Darti dengan tulus.
"Tuhkan pasti Rangga yang juara satu nya secara kan dia mengerjakan dengan jujur tidak curang." Aku mendengar ucapan bu Sumi itu ketika akan berjalan ke depan.
"Tetapi saya percaya Arkan tidak akan seperti itu." Ucap bu Darti dengan tenang.
"Terserah." Ucap bu Sumi.
Hingga pengumuman dua besar telah di umumkan dan saatnya kita mengetahui siapa juara satunya.
"Ini dia yang kita tunggu-tunggu juara satu olimpiade fisika tingkat Nasional diraih oleh Rangga Dirgantara dari SMA Pelita Harapan."
Suara tepuk tangan menggema diruangan ini. Aku harus bisa menerima semua ini dan aku harus bangga karena dari perwakilan sekolah SMA Pelita Harapan ada yang juara satu tingkat Nasional, walaupun itu bukan aku.
"Tunggu pak ada kejanggalan dalam masalah juara ini." Ucap salah satu panitia.
"Kejanggalan apa pak kan sudah terbukti anak didik saya yang jadi juaranya." Ucap bu Sumi.
"Tadi ada salah satu siswa yang di tuduh melakukan kecurangan bukan?" Kata panitia.
"Iya benar dan dia yang jadi juara limanya."
"Setelah dilihat dari CCTV yang berada di kelas tersebut ternyata siswa yang tadi dikurangin Skorsnya yang bernama Arkan Putra Bramantyo tidak bersalah dia hanya di fitnah." Jelas panitia tersebut.
Aku bingung mendengarkan penjelasan dari paniti tersebut. Â Siapa yang memfitnahku.
"Baik kalau begitu kami akan berdiskusi kembali lagi dan mohon maaf atas kekeliruan ini." Ucap panitia yang tadi mengumkan kejuaraan.
"Dan untuk peserta sepuluh besar mohon maaf kembali ke tempat masing-masing terlebih dahulu."
Akupun kembali duduk disamping bu Darti.
"Apa yang dibilang ibu benarkan kejujuran akan segera terungkap." Ucapnya.
"Iya bu, tapi aku heran siapa yang udah melempar kertas itu ke arahku." Tanyaku dengan heran.
"Kita tunggu pasti akan disebutkan oleh panitia." Ucap bu Darti
Â
"Sebenarnya ibu tahu Ar bahwa yang melakukan semua itu Rangga teman satu sekolahmu sendiri cuma tidak bisa bilang karena tidak ada bukti dan akhrinya ibu menyuruh panitia untuk melihat CCTV diruangan itu." Ucap bu Darti dalam hati.
Flashback on.
Bu Darti sedang jalan-jalan di sekitaran jendela sambil memantau Arkan yang sedang mengerjakan. Tetapi fokus bu Darti teralihkan di satu titik yaitu di bangku Rangga. Terlihat dia sedang sibuk mempersiapkan sesuatu.
"Sedang apa ya anak itu." Ucapnya dalam hati.
Â
Bu Darti terus memperhatikan Rangga sampai dia menulis sesuatu di kertasnya.Lalu diremukkan dan dia melihat sekitar terlebih dahulu karena posisnya yang strategis membuat Rangga lebih mudah  melemparkan kertas itu ke arah bangku Arkan, tanpa ada yang melihat karena semua sedang fokus dalam pekerjaannya.
"Sungguh licik sekali anak itu." Heran bu Darti.
Flashback off.
Saat ini panitia masih sibuk berdiskusi. Tiba-tiba di hatiku muncul harapan baru kalau aku bisa meraih tiga besar. Aku ingin olimpiade kali ini meraih juara satu lagi. Karena olimpiade ini merupakan yang terakhir dalam masa SMA. Aku ingin olimpiade ini penutup yang indah atas pencapaian yang selama ini aku usahakan dan dengan hasil kerja kerasku. Semoga pengumaman nanti tidak mengecewakan ku lagi.
Sambil menunggu pengumuman kembali ada notif dari Handphone ku yang sudah jadul ini. Ketika orang-orang sibuk mengganti handphone nya dengan yang lebih canggih aku hanya bisa diam mensyukuri apa yang aku punya, karena menurutku yang terpenting masih bisa di pakai dan bisa ke internet yang gunannya untuk mencari referensi ketika belajar. Walaupun aku lebih sering membuka buku daripada handphone ini.
Ternyata notif tersebut dari Zea.
"Bagaimana Ar hasilnya?" Chatnya melalui aplikasi hijau berbentuk telefon.
"Tadi sih aku juara 5, karena skorsku dikurangi cuma ada kekeliruan jadi penguman yang 10 besar didiskusikan lagi sama panitia." Balasku.
"Lho kok bisa begitu?"
"Ada yang mencoba memfitnatku tadi tapi untungnya panitia periksa CCTV."
"Yaampun jahat banget orang itu, kamu tahu Ar orangnya?"
"Nggak Ze tapi sepertinya nanti akan ketahuan ketika pengumuman kembali."
"Semoga ada kabar baik setelah ini ya Ar."
"Aamiin semoga ya Ze do'akan."
"Pasti dong."
Aku hanya membaca pesan terakhir dari Zea. Setelah itu memasukkan kembali handphone ke tas. Karena kejuaraan akan kembali di umumkan.
"Test... test selamat siang semuanya. Mohon maaf atas kekeliruan tadi kita umumkan dari juara 10 besar."
Pengumuman terus berlanjut sampai lima besar. Waktunya untuk tiga besar.
"Juara tiga besar diraih oleh Raihan Anugrah dari SMA Darmawangsa, juara dua diraih oleh Zahra Assyifa dari SMA 34 Jakarta, dan yang kita tunggu-tunggu juara pertama diraih oleh Arkan Putra Bramantyo dari SMA Pelita Harapan. Tepuk tangan yang meriah."
Prokkkk...prokkkk....prokkkk
"Selamat kepada semuanya dan untuk Arkan maafkan kesalahan panitia tadi semoga ilmu mu menjadi berkah." Ucap ketua pelaksana.
"Terima kasih pak." Ucapku dengan membungkukkan badan dan salim kepadanya.
"Dan untuk siswa bernama Rangga Dirgantara kami dari pihak acara ini memutuskan untuk mendidiskualifikasi anda karena telah mencoba melakukan kecurangan."
"Wuhhhhhhhhhh." Ucap seluruh orang yang ada di ruangan ini.
Aku langsung melihat ke arah Rangga yang disampingnya ada bu Sumi. Ternyata dalamg dari semu- ini. Terlihat muka Rangga sangat merah antara menahan malu dan marah. Sedangkan raut wajah bu Sumi kebingungan harus apa sekaligus malu. Dan akhirnya bu Sumi menarik Rangga  untuk keluar.
Setelah pembagian hadiah, piala, serta sertifikat aku langsung menghampiri bu Darti. Dan bu Darti menyambutku dengan sebuah pelukan.
"Selamat kamu menjadi juara 1 tingkat nasional, semoga kamu jangan cepat puas ya dengan hasil hari ini tetap berjuang dan belajar." Ucap bu Darti.
"Terimakasih ya yang sudah mau membimbingku selama masa SMA ini. Aku bersyukur menemukan guru seperti sosok ibu. Terimakasih juga atas do'anya bu." Aku langsung memeluk bu Darti erat seolah-olah beliau adalah Bunda ku. Tak terasa air mata ku menetes.
"Pasti orang tuamu sangat bangga Ar."
Â
Aku hanya membalas dengan senyuman.
"Kalau begitu ayo kita pulang."Ajaknya.
"Mari bu."
Sambil berjalan menuju parkiran mobil aku melihat bu Sumi sedang memarahi Rangga.
"Kamu sih gak lihat-lihat dulu disana ada CCTV."
"Ya aku kan gak tahu bu soalnya ingin cepat."
"Lain kali perhatikan dulu Rangga jadi kita kan yang malu."
"Kalian ini mempermalukan sekolah SMA Pelita Harapan saja." Ucap bu Darti yang terlihat sedikit kesal.
"Eh bukan begitu ya bu." Sewot bu Sumi.
"Sudahlah jangan mengelak lagi sudah ada bukti. Lagian tadi saya juga liat kalau pelakunya itu Rangga Cuma saya tidak bisa apa-apa karena tidak ada bukti." Jelas bu Darti. Membuatku bingung ternyata bu Darti juga melihat itu.
Bu Sumi hanya diam dengan raut wajah kesal sedangkan Rangga hanya menunduk.
"Sebau-baunya bangkai pasti akan ketahuan juga bu Sumi. Begitu pun dengan orang licik." Sindir bu Darti.
"Rangga minta maaf dulu ke Arkan karena kamu sudah menjebaknya!" Perintah bu Darti.
"Maafkan aku Arkan." Ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Iya tapi lain kali jangan di ulangi lagi ya." Balasku.
"Sudah-sudah ayo Rangga cepat masuk ke mobil." Ucap bu Sumi.
Guru-guru yang lain mengucapkan selamat padaku hanya bu Sumi saja yang tidak. Kenapa ya bu Sumi selalu bersikap seperti itu padaku?.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang setelah sampai rumah aku langsung di sambut oleh Ayah dan Almira.
"Bagaimana bang hasilnya." Ucap Ayah.
"Alhamdulillah abang juara satu tingkat Nasional Ya. Walaupun tadi ada sedikit kekeliruan ."Ucapku sambil menunjukkan piala beserta sertifikat.
"Waaahh hebat sekali abang, aku rasanya ingin jadi seperti abang." Ucap Almira.
Aku tersenyum dan berkata." Oh iya, Yah ini ada uang dari olimpiade aku serahkan ke Ayah buat di tabung untuk kuliah." Ucapku menyerahkan uang itu.
"Lebih baik simpan sama kamu sendiri bang." Saran Ayah.
"Uangnya takut hilang kalau aku simpan sendiri."
"Yasudah Ayah simpan ya." Sambil membawa uang itu untuk disimpan di kamarnya.
"Nanti ajarkan Almira ya supaya bisa seperti abang." Pinta Almira.
"Okeeee siap tuan putri."
Bagian 6
Sedikit lagi
Waktu demi waktu silih berganti dan sekarang semakin dekat dengan ujian nasional. Waktu belajar ku semakin padat.
Aku akan selalu mengulang pelajaran ketika malam hari dirumah. Dan latihan soal-soal untuk ke perguruan tinggi.
Impian ku ingin masuk ke Universitas ternama di Indonesia. Yaitu Universitas Indonesia, yang masih berada di Jakarta. Karena aku tidak ingin jauh-jauh dari keluarga. Aku akan mengambil jurusan kedokteran.
Walaupun aku masih ingat ketika Bunda selalu bertanya apa cita-citaku pasti aku akan selalu  menjawab jadi orang kaya atau orang sukses. Tetapi nyatanya aku ingin menjadi dokter yang akan menuntunku untuk mencapai semua itu.
"Gak terasa ya sebentar lagi kita lulus." Ucap Soraya sedih.
"Iya Ra menentukan masa depan sudah di depan mata." Ucap Zea.
"Oh iya kalian mau lanjut kuliah dimana?" Tanya Soraya.
"Sepertinya aku masih stay di Jakarta." Ucapku.
"Kalau aku sih disuruh ke jepang Cuma orang tua juga menyerahkan kembali  ke diri aku sendiri." Ucap Zea.
"Emm aku sih bakal stay di Jakarta juga sama kaya Allan mungkin akan mengambil jurusan manajemen bisnis." Timpal Allan.
"Kalau kamu sendiri mau kemana Ra?" Tanya Zea.
"Aku bakal stay juga di Jakarta karena kalian tahu kan kalau aku ini anak yang manja yang gabisa jauh dari orang tua."
"Dasar manja sih mandiri dong." Ucap Allan dengan bercanda.
"Biarinn wleeee." Ucap Soraya sambil menjulurkan lidah.
"Aku juga tidak bisa jauh dari keluarga. Apalagi aku masih mempunyai adik kasian kalau harus di tinggal terus. Apalagi Ayah sibuk bekerja .Ya walaupun jadwal kuliah pasti padat juga." Ucapku.
Ngomong-ngomong mereka juga sudah tahu bahwa Bunda ku berangkat menjadi TKI.
"Tadikan Allan mau ambil  jurusan manajemen bisnis. Kalau aku sih pengennya sastra inggris kalau kalian apa nih kira-kira?" Ucap  Soraya yang penasaran.
"Kalo aku mau ngambil jurusan kedokteran." Jawabku.
"Wahhh hebat itu cocok banget sih buat kamu Ar." Ucap Zea.
"Terimakasih Ze." Ucapku dengan senyuman.
"Eheemmm kalau mba Zea sendiri mau apa ini." Tanya Soraya.
"Aku akan ngambil jurusan desain interior."
"Wah nanti kalau kita udah punya rumah sendiri boleh ini minta ngedesain ke Zea." Canda Allan.
"Hahaha boleh dong buat para sahabatku ini. "Ucap Zea.
Oborolan kami terus berlanjut sampai ada yang memanggil namaku.
" Ar suruh bu Darti ke ruangannya sekarang." Ucap Galang
"Ada apa ya lang?" Tanyaku.
"Nggak tahu tadi ada adik kelas yang ngasih tahu kesini."
"Oh yaudah makasih ya."
"Okee."
"Kalau begitu aku pamit ke ruangan bu Darti dulu ya." Pamitku pada mereka.
Setelah sampai disana aku langsung menghampiri bu Darti.
"Ar apakah kamu sudah mempersiapkan untuk kuliah nanti."
"Insyaallah dalam pelajaran Arkan sudah siap bu."
"Gini karena kamu yang dari kelas satu stabil terus prestasinya dan tetap mempertahankan juara 1 di kelas. Ibu ada brosur beasiswa ini sangat berguna untuk mu Ar." Sambil memberikan brosur itu.
"Ini beasiswa dimana bu? Maksudnya bisa kuliah dimana saja bu?" Tanyaku bingung.
"Iya Ar beasiswa itu bisa kamu dapat dimanapun kamu kuliah nanti. Memangnya kamu mau kuliah dimana Ar? Tanya bu Darti.
"Aku sih pengennnya di Universitas Indonesia bu jurusan kedokteran."
"Wahh itu bagus Ar menurut ibu itu ada peluang yang besar untukmu apalagi kamu bisa memanfaatkan serifikat olimpiade mu Ar." Jelas bu Darti.
Ketika masih ngobrol dengan bu Darti rupaya bu Sumi mendengarkan percakapan kita tadi.
"Memang bisa ya kuliah kedokteran sepenuhnya dari beasiswa? Apalagi brosur yang dikasih bu Darti hanya 80 persen kuliah kedokteran itu mahal lho Ar emangnya kamu mampu." Jelas bu Sumi yang meremehkanku.
"Aku memang tidak punya uang sebanyak itu bu. Tapi apa salahnya aku mencoba dulu." Balasku dengan senyuman walaupun hatiku sangat sakit.
"Bu jangan seperti itu seharusnya kita sebagai guru mensuppotnya." Jelas bu Darti.
"Saya ngomong begitu kenyataan ya bu mana bisa sih anak dari seorang cleaning service jadi dokter." Ucapnya semakin merendahkan ku.
"Jaga omongan ibu walaupun Ayah saya seorang cleaning service, tapi saya akan buktikan kepada ibu bahwa saya bisa masuk ke Universitas Indonesia dan menjadi seorang dokter." Ucapku menggebrak meja dan tersulut emosi.
"Tidak sopan sekali kamu kepada guru." Ucap bu Sumi.
"Sudah Ar tenang dulu. Bu Sumi jaga omongannya jangan seperti itu atau tidak bisa saya laporkan ke kepala sekolah."
Selanjutnya bu Sumi langsung pergi dari ruang guru.
"Jangan diambil hati ya Ar, jangan dengarkan omongan bu Sumi. Kamu hanya perlu menunjukkan dengan kenyataannya nanti bahwa kamu sudah menjadi dokter." Nasihat bu Darti.
"Baik bu, maafkan Arkan sudah emosi tadi." Ucapku merasa bersalah.
"Gapapa Ar ibu memakluminya. Jangan lupa diisi ya Ar brosurnya besok ke ibukan lagi."
"Siap bu. Kalau begitu Arkan izin pamit ya bu. Assalamualaikum."Ucapku sambil mencium tangannya.
"Waalaikumsam semangat calon orang sukses." Ucapnya memberi semangat.
"Okee bu." Sambil mengacungkan kedua jempol.
Akhrinya aku sampai kelas dan kembali melanjutkan pelajaran.
"Tadi ngapain aja Ar?" Tanya Allan.
"Bu Darti ngasih brosur beasiswa terus suruh diisi." Jelasku.
"Wihhh hebat sahabatku. Semoga semakin mudah menggapai cita-cita ya Ar."
"Aamiin."
Bagian 7
Pengumuman.
Hari ini ujian sekolah dan nasional sudah dilaksanakan tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja. Dan tentang beasiswa dari yang Bu Darti ternyata aku mendapatkannya. Tinggal aku daftar di Universitas Indonesia.
Aku akan membuktikkan omongan bu Sumi tempo hari. Bahwa seorang anak cleaning service mampu sekolah kedokteran di Universitas ternama.
Setelah selesai ujian aku disibukkan dengan persiapan kuliah. Walaupun aku mencoba daftar lewat Rapor terlebih dahulu tapi harus jaga-jaga untuk periasiapan UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer).
Disekolah sudah bebas untuk kelas 3 . Aku kesekolah hanya untuk bertemu bu Darti membahasa soal perkuliahan dan konsultasi dengan beliau. Selain menjadi guru fisika sekaligus wali kelas bu Darti juga enak di ajak curhat dan dimintai  pendapat.
Selesai konsultasi aku segera pulang. Sesampainya dirumah aku melihat ayah sudah pulang padahal ini belum waktunya pulang.
"Ayah kok tumben sudah pulang?" Tanyaku heran.
"Iya bang Ayah tadi izin soalnya sedikit tidak enak badan." Jawabnya dengan lesu.
"Ayah sudah makan dan minum obat?"
"Sudah ayah hanya minum obat dari warung."
"Kalo begitu ayo kita periksa ke dokter." Ajakku.
"Tidak usah bang lagi pula ini hanya sakit biasa dan Ayah tidak punya uang untuk berobat."
"Ayah harus diperiksa badannya panas begini. Tenang saja Yah soal biaya pakai uang olimpiade saja."
"Tidak bang itu uang untuk daftar kuliah." Tolaknya.
"Gapapa Yah semoga nanti ada gantinya kok."
"Tapi bang...." Ucapnya segera ku potong.
"Sudah ayo kita periksa." Ucapku, kemudian mengambil uang dan membantu Ayah menuju motor.
"Ayah pegangan yang erat ya."
Aku menjalankan motor dengan pelan khawatir dengan keadaan yang lemas begitu.
Sesaimpainya di Rumah Sakit. Ayah langsung diperiksa. Lalu dokter bilang Ayah sakit tipus dan harus dirawat selama beberapa hari.
"Bang bagaimana ini Ayah sudah tidak punya uang lagi."
"Ayah tenang karena uang dari olimpiade cukup untuk perawatan Ayah disini."
"Maafkan Ayah ya bang uangnya harus dipakai dulu, Â padahal sebentar lagi mau daftar kuliah." Ucapnya merasa bersalah.
"Tidak apa-apa yah."
Hari demi hari telah dilewati dan Ayah sudah di perbolehkan pulang. Karena hanya dirawat selama seminggu. Dan hari ini pengumuman kelulusan di ruang aula.
"Dari tadi aku lihat kamu ngelamun terus ada apa Ar." Tanya Zea yang berada disebelahku.
"Ahh tidak apa-apa Ze."
"Jangan bohong Ar aku tahu pasti kamu lagi mikirin sesuatu cerita dong, siap tahu aku bisa bantu." Tawarnya.
"Sebenarnya waktu Ayah dirawat itu pakai uang buat aku daftar kuliah. Dan sekarang aku gatau harus bagaimana apalagi pendaftaran kuliah sebentar lagi."
"Ar aku bisa bantu kamu kok. Berapapun uang yang kamu mau aku kasih. Walaupun pasti kamu akan menolak."
"Aku tidak enak Ze."
"Gini aja deh kalo gak mau aku kasih. Kamu pinjem aja tapi ngembaliinnya kapan aja sampai kamu punya uang lebih."
"Terima kasih Ze." Ucapku tulus.
Hingga waktu pengumuman kelulusan tiba dan aku mendaptkan juara umum seangkatan. Aku bangga sekali pada diri sendiri.
"Selamat ya Ar kamu berhak mendapatkannya." Ucap Allan.
"Congratulation sahabat baikku." Ucap Soraya.
"Selamat atas pencapaiannya." Timpal Zea.
"Terimakasih banyak semua sahabatku."
Yang kami lalukan selajutnya hanya berfoto-foto ria.
Bagian 8
Akhirnya
Setelah pengumuman kelulusan kini aku tinggal menunggu hasil diterima/tidaknya di  Universitas Indonesia lewat jalur rapor.
Tepat pada jam 12 malam nanti pengumuman diterima atau tidaknya. Hatiku semakin gelisah semoga aku bisa keterima. Tanpa harus daftar kuliah kembali dengan menggunakan uang, jujur sampai saat ini aku masih tidak punya uang. Apalagi Ayah baru sembuh.
Sekarang tepat jam 12 malam aku langsung membuka email. Aku ragu untuk membukanya dan hatiku dag-dig-dug seperti berdisko. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka tetapi sambil menutup mata. Perlahan-lahan aku membuka mata dan ternyata aku DITERIMA di Universitas Indonesia jurusan kedokteran. Aku langsung memberitahu orang-orang rumah.
"Ayah,Almira ternyata abang diterima di Universitas Indonesia." Ucapku berteriak dan girang sampai membangunkan mereka yang sudah tidur.
"Ada apa kok teriak-teriak." Heran Ayah.
"Aku diterima di Universitas Indonesia Yah." Ucapku sekali lagi.
"Wahh selamat bang." Ayah langsung memelukku.
Almira yang sudah sadar sepenuhnya ikut memelukku. Sungguh ini diluar dugaan.
Setelah beberapa hari dari pengumuman kelulusan SMA Pelita Harapan mengadakan Graduation disekolah sambil pengumuman siswa-siswa yang diterima di berbagai Universitas.
"Selamat siang semuanya hari ini merupakan hari pelepasan untuk kelas 3 semoga kalian sukses dan siap untuk menata massa depan." Ucap kepala sekolah.
Banyak acara penyambutan dari berbagai pihak. Hingga akhirnya pengumuman siapa saja siswa yang diterima di berbagai Universitas. Dan suatu kebahagian lagi bagiku ternyata aku berserta 3 sahabatku semuanya diterima melalui jalur rapor. Serta kami semua satu kampus.
Kemudian namaku disebut pertama.
"Selamat kepada Arkan Putra Bramntyo yang telah diterima di Universitas Indonesia jurusan Kedokteran. Beri tepuk tangan yang meriah."
Prokkkk....prokkkkk suara tepuk tangan menggema di ruangan ini.
Setelah itu banyak ucapan yang kuterima.
"Selamat Arkan semoga menjadi calon dokter yang amanah." Ucap bu Darti.
"Terima kasih bu karena sudah membimbing Arkan hingga seperti ini. Dan mau mendengarkan curhatan Arkan." Ucapku dengan tulus.
"Selamat Arkan kamu membuktikan omonganmu waktu di ruang guru itu. Maafkan ibu yang selama ini sudah salah menilaimu." Ucap bu Sumi dengan nada bersalah
"Sudah Arkan maafkan bu, maaf juga waktu itu Arkan sempat emosi."
Bu sumi hanya tersenyum dan mengangguk.
Acara pengumuman telah selesai waktunya kami berfoto-foto ria dan berpesta. Ku hampiri para sahabatku.
"Wihhh selamat calon dokter." Ucap mereka serempak.
"Selamat juga untuk kalian."
Setelah itu ku hampiri Ayah dan Almira. Karena para orang tua turut hadir dalam acara ini. Tapi tunggu di sebelah Almira ada sosok perempuan seperti Bunda. Ah tidak mungkin Bunda kan masih pergi jauh. Tetapi lama-kelamaan semakin mendekat benar itu adalah Bunda ku yang selama ini kutunggu kepulangannya.
"Bundaaaaaaa." Teriakku sambil memeluknya erat.
"Ini beneran Bunda kan?" Tanyaku sambil memerhatikan wajahnya.
"Iya sayang ini Bunda." Ucapnya sambil meneteskan air mata.
"Kenapa Bunda baru pulang?" Tanyaku penasaran.
"Maafkan Bunda yang selama ini sudah menghilang.
"Iya Bunda aku juga tidak perlu penjelasan Bunda, yang terpenting sekarang kita masih bisa berkumpul kembali." Ucapku sambil memeluk erat.
"Iya abang selamat ya anak Bunda ini sebentar lagi jadi calon dokter." Ucapnya sambil memelukku tak kalah erat.
"Selamat abang." Ucap Ayah dan Almira.
Lalu Ayah dan Almira ikut berpelukkan. Sungguh akhir yang indah dikelilingi sahabat-sahabat terbaik dan kembalinya keluarga yang utuh. Terimakasih ya Tuhan.
Tamat.
Nama : Nazwa Nabillah
Kelas  : XII MIPA 3
SMAN 1 Padalarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H