"Bunda aku ingin mainan itu, boleh nggak? Tapi harganya mahal." Ucapku dengan nada lesu.
"Coba sini Bunda lihat."
Aku mengambil mainan itu dengan cepat dan segera memberikannya pada Bunda. Ia melihat dan memperhatikan sesaat, lalu pergi tanpa penjelasan dan hampir saja membuatku menangis. Ternyata Bunda membawa mainan itu dan membayarnya ke penjual tersebut. Aku segera memeluk Bunda dan mengucapkan terima kasih.
Saat itu aku masih berusia lima tahun dan belum mempunyai adik. Bunda dan Ayah selalu mengajarkanku kebaikan, apalagi lagi dengan kelembutan hati Bunda dalam mendidikku membuat aku bukan jadi anak pembangkang.
Dulu Ayah hanya bekerja di ladang setiap harinya. Dan Bunda akan selalu membawakan makanan ke ladang. Saat itu aku juga ikut Bunda mengantarkan makanannya. Jarak dari rumah ke ladang cukup jauh. Tapi waktu tidak terasa karena Bunda akan selalu mengajakku mengobrol katanya supaya tidak terasa capeknya.
"Abang kalau sudah besar mau jadi apa?" Tanya Bunda.
"Mau jadi orang kaya." Jawabku asal.
"Kok mau jadi orang kaya."
"Biar bisa bahagia terus gak lihat Ayah cape-cape lagi ke ladang. Abang suka kasian ngeliat Ayah pulang dari ladang." Ucapku sedih.
"Abang boleh ingin menjadi orang kaya tapi harus inget ya semua itu gak mudah untuk mendapatkannya." Nasihat Bunda.
"Nanti kalau abang sudah besar mau kerja keras supaya dapetin itu."