Mohon tunggu...
Tar Tibun
Tar Tibun Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Sedang menjalani kehidupan terbawah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Hati Sampai Mati

8 Agustus 2023   07:09 Diperbarui: 8 Agustus 2023   07:16 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimantan, 12 Januari 2005

Sepasang sepasang suami-istri lanjut usia datang tergopoh-gopoh menuju rumah yang mereka rindukan. Hampir setengah tahun mereka tidak pulang karena tinggal di sebuah gubuk nan jauh. Namun, sesampainya di sana mereka terperanjat karena rumah yang mereka rindukan sudah milik orang lain. Rumah sebagai harta benda satu-satunya dijual oleh putri mereka kepada orang lain. 

"Sriiiii!" pekik Ki Nanang. Dia menyebut putri keduanya yang bernama, Sri Dwi Ratna. 

Ki Nanang dan istrinya, Ni Sariah terduduk lemas, kala mendapati rumahnya dijual oleh putri mereka sendiri. Tidak hanya rumah, tanah pun ikut dijual. Sedangkan hasilnya sepeser pun keduanya tidak diberi. Pantas saja Sri menghalang-halangi Ki Nanang dan Ni Sariah untuk pulang.

Ki Nanang dan istrinya menangis di depan teras rumah yang kini menjadi milik orang lain. 

"Dasar anak tak tau diuntung! Orang tua dijadikan kerbau di ladang. Rumah milik orang tua pun kau jual!" Kedua mata lelaki tua 90 tahun itu berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh bagai awan yang siap meledak di atas sana. 

"Sabar, Ki." Ni Sariah mencoba menenangkan suaminya. Dilihatnya dada yang dulu nampak lapang dan bidang. Kini ringkih dan kurus. Di sanalah tempat Ni Sariah mengadu dan berkeluh kesah. 

"Kau tidak pernah mendidiknya dengan benar," ujar Ki Nanang. Pipinya yang kempot karena ompong tampak kembang-kempis mengikuti napasnya. 

Ni Sariah melotot. Perempuan bertubuh pendek, berkulit gelap dan kurus itu marah. 

"Jangan salahkan aku! Dia juga anakmu, bukan?" Perempuan 80 tahun itu menjadi emosi. 

Keduanya duduk di depan teras. Menikmati tubuh yang lelah kala perjalanan jauh menempuh rumah mereka. Akan tetapi, rasa lelah itu dibayar sakit hati yang menjalar di dada. Hancurlah sudah perasaannya.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun