"Chikaaa! astaga alis kakak. Kok pake spidol sih?! mana ini spidolnya permanen lagi." Bentak Vivi.
"Kok marah sih! apa bedanya coba? kan bentuknya sama-sama kaya pensil."
"Astagfirullah Chika! jelas bedalah, yang satu buar nulis yang satu lagi buat alis." Jawabnya sambil mengusap-usap alis dengan tisu basah, berharap tinta spidolnya hilang. Namun nihil, tinta itu tetap menempel erat.
Rasanya Vivi ingin menangis saat itu juga, malang sekali nasib ini. Sementara itu, Chika menangis terisak-isak.
HIKSS.....HIKKSS.....HIKSSS....
Vivi langsung tersadar, ia lupa jika adiknya ini tidak bisa dibentak-bentak. Hatinya terlalu rapuh. Apalagi Vivi jika sudah marah, wajahnya akan terlihat sangat menyeramkan seperti ingin memakan orang. Wajar jika Chika sampai menangis. Ia pun dengan cepat memasang wajah seramah mungkin dan mendekap adiknya yang menangis.
"Udah jangan nangis, kakak tadi hanya kaget aja jadi gak sengaja bentak kamu." Ucap Vivi seraya mengusap punggung sang adik.
"Maafin Chika....Hikss.....Chika gak tau kalo itu permanen kak..."
"Jangan bentak Chika...." lirihnya.
Lirihan Chika membuat hati Vivi sakit. Chika menjadi trauma karena tindakan mendiang Ayah mereka dahulu, ia selalu membentak Chika dan menyiksanya. Hal itu terbawa sampai sekarang, saat aku tidak sengaja sedang mengangkat tangan di depannya, dia pasti akan meringis ketakutan padahal aku sama sekali tidak berniat untuk memukulnya.
"Iya gapapa, udah jangan nangis lagi yah. Yuk kita lanjut main lagi."