Setelah Chika berteriak, korek itu dijatuhkan dan api besar langsung berkobar membakar tubuh Chika. Diatas sini Vivi tak mampu melihatnya, ia memejamkan mata sembari menggigit bibir bawahnya dan meremas dadanya yang terasa sangat sakit.
"Maafin Kakak."
Pria bertopeng itu merentangkan kedua tangannya tepat di depan kobaran api yang menyala-nyala.
"HAHAHAHAHAHA!!" Ia berteriak kesenangan.
Para bawahannya mulai menaikki mobil bak terbuka, tak lama ia juga ikut naik kesana. Mobil pun mulai pergi meninggalkan area pabrik.
BRAAKKK!!
"TUNGGUUU!!!"Â
Vivi ingat kejadian ini, setelang pintu didobrak dirinya yang lain berteriak pada mereka. Di bawah sana dirinya yang lain berteriak frustasi. Vivi meringis melihat ekspresi wajahnya yang sehancur itu saat frustasi. Cukup membuat dirinya sendiri ketakutan. Tanpa mau melihat hal menyedihkan ini lagi, ia memutuskan untuk berteleportasi kesana-kemari sambil membuntuti mobil itu.
Setelah dibuntuti, ternyata mereka mengarah kesebuah Villa yang berjarak sekitar 100 km dari pabrik batu bara tadi. Si pria bertopeng putih itu berjalan masuk ke dalam Villa, ia berjalan ke area basement. Vivi terus membuntutinya sambil sesekali mengagumi interior Villa yang cukup mewah ini.
"WOW, Villa ini keren sekali. Bahkan pintunya terbuka otomatis."
"EHH!"