Mohon tunggu...
Ratu Prameswari
Ratu Prameswari Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII

XII MIPA 1

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nelangsa

2 Maret 2022   03:25 Diperbarui: 2 Maret 2022   03:31 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hujan lebat mengguyur kota Bandung malam ini. Rintikkannya beriringan dengan suara guntur yang menggelegar. Malam ini terasa mencekam, belum lagi hawa dingin yang menyeruak menusuk tulang membuatnya semakin terasa menyeramkan.

BBBZZZZZ......BBBZZZZZZ........

Suara itu berasal dari TV tabung yang layarnya hanya menampilkan siaran hitam putih.

TAK! TAK! TAK!

“Baiklah permirsa sekal-“

“Bbbzzzzzzz.... berita viral....Bbbbzzzzz”

TAKKK!!!!!!

“Kak! Pelan-pelan dong, nanti TV nya rusak!”

Aku kembali mendudukkan bokong ke sofa panjang tempat kami bertiga menonton.

“Iya Chik, maaf.”

TV kami memang sudah sangat tua. Disaat yang lain sudah menggunakan TV LED super canggih, keluarga kami hanya menggunakan TV tabung yang fiturnya sudah sangat amat ketinggalan zaman. Sedikit-sedikit TV ini suka tiba-tiba runyam, jika ingin menonton dengan gambar yang lebih bagus kami harus memukul belakang TV tersebut agar kembali lancar.

Hal ini sangat membuatku jengkel. Kita menonton TV untuk mencari hiburan bukan mencari emosi. Kadang kala karena saking kesalnya, aku memukul belakang TV itu dengan sangat kencang. Seperti kejadian tadi, sudah beberapa kali aku memukulnya tapi tetap saja runyam. Alhasil aku memukulnya dengan kencang. Lihatlah! Itu berhasil, TV itu kembali jernih.

Jika kalian ingin menggunakan teknik ini, aku sarankan kalian melakukannya saat tidak ada orang. Kenapa begitu? Ya, karena jika di lakukan di depan orang terutama keluarga kalian. Aku pastikan kalian akan kena marah dan di omeli atau situasi terburuknya kalian akan di coret dari kartu keluarga jika sampai TV itu rusak.

“Lain kali pelan-pelan Vi, kita bukan konglomerat yang tiap TV rusak langsung ganti. Kita mau beli TV aja harus nabung berbulan-bulan baru ke beli. Kamu harusnya bersyukur.” Omel Mamah.

Aku meringis mendengar omelannya lalu meminta maaf. Kami pun kembali menonton berita di TV. Tenang saja, sekarang layarnya sudah jernih.

“Berita ini sangat menggemparkan masyarakat kota Bandung, terlebih lagi di kalangan orang tua dan anak remaja.” Ucap Presenter wanita yang membawakan acara.

Kami pun menyimak dengan khidmat. “ Dalam 2 tahun terakhir, sudah ada 30 lebih anak remaja yang menghilang secara misterius. Para polisi yang menangani kasus ini selalu buntu di tengah jalan di karenakan kurangnya barang bukti.”

Adikku Chika bergidik ngeri. Memang akhir-akhir ini banyak sekali kasus menghilang secara misterius, menurut pihak kepolisian rata-rata anak remaja yang menghilang berumur sekitar 14-18 tahun. Oleh karena itu, banyak orang tua yang memiliki anak berumur sekian menjadi ketakukan dan memilih untuk mengurung anaknya dirumah karena sampai detik ini pelaku belum tertangkap.

Seperti halnya kami, Aku dan Chika hanya diperbolehkan keluar rumah saat sekolah saja. Jika sudah pulang sekolah, kami harus segera kembali kerumah. Tidak ada waktu main dengan teman-teman seperti dulu. Sejak saat itu, kami harus selalu berwaspada dengan orang asing.

“Kak, kenapa para anak yang hilang itu tidak dapat di temukan? Bahkan jika mereka mungkin sudah mati, kenapa jasad nya juga tidak ditemukan?” Tanya Chika.

Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan serius, “Hanya ada 2 kemungkinan Chik.”

“Apa itu kak?” ucapnya dengan raut wajah penasaran.

“Yang pertama, Si pelaku pandai menyembunyikan jejak kriminalnya. Yang kedua, pihak kepolisian kurang tanggap menangani kasusnya.”

“Kalau seperti itu, menurut Kakak kemungkinan mana yang sekiranya benar?”

Aku berpikir dengan satu tangan mengelus dagu seperti layaknya seorang Detective yang sedang memikirkan suatu kasus dengan logika dan pertimbangan yang matang.

“Menurut kakak semuanya bisa benar Chik, bisa saja si pelaku ini memang ahli dan cerdas dalam menyembunyikan jejak. Bisa dibilang dia cukup profesional di dalam bidang culik menculik. Dan tentang polisi ini, seperti yang kakak ucapkan tadi. Mereka kurang tanggap, kasus menghilangnya para remaja ini sudah ada sejak 2 tahun yang lalu. Kamu tau sendirikan, kasus ini baru saja ditangani saat berita ini sudah viral.”

Chika mengangguk seraya menghela napas,”Masuk akal sih. Emang yah, apa-apa harus viral dulu baru di tangani. Dasar! Kelakuan polisi di Negeri Wakanda emang gak jelas. Pantesan banyak yang perutnya buncit, pasti gara-gara makanin gaji buta.”

Aku terkekeh mendengar celotehannya.

“Hahaha, untung kita tinggalnya di Indonesia yah Chik. Bukan di Wakanda.”

Mamah yang duduk di tengah-tengah kami pun menepuk pahaku dan Chika.

“Heh! Jangan sarkas begitu. Hati-hati, nanti ada intel polisi yang nyamar jadi tukang bakso terus mendegar ucapan kalian. Bisa-bisa kalian berdua ditangkap.”

Aku terseyum angkuh,”Di daerah sini mana ada intel polis-“

Ting....Ting.....Ting....Soooo......Baksooo.......

DEG!!

Mendengar itu rasanya jantungku berhenti berdetak. Aku dan Chika saling bertatapan memasang wajah kaget. Apakah benar tukang bakso itu intel polisi yang sedang menyamar?Seketika kami merasa menyesal telah bicara sarkas. Pak polisi, mohon jangan tangkap saya. Tangkap adik saya saja.

“Hayolooo...” Ucap Mamah.

“Kak, coba cek dari jendela dong.”

“Loh, kok aku? Kamu aja Chik.” Jawabku.

“Gak mau, takut kakak aja.”

“Aku juga takut Chik, gimana kalo kita berdua sama-sama cek ke jendela.” Usulku.

Chika mengangguk sejutu, kami jalan perlahan menuju jendela. Langkah kami beriringan dengan suara petir membuatnya terasa menyeramkan. Bulu kuduk ku sudah sedari tadi berdiri. Saat tiba di depan jendela, aku menarik gorden nya dengan perlahan untuk mengintip keluar. Chika bahkan sampai menahan napas.

Dan ternyata tidak ada apa-apa, aku menghela napas lega. Aku berbalik menghadap Mamah yang tengah cekikikan itu dengan wajah kesal hendak protes.

"Tuh Mah! liat disana tidak ada in-"

Alangkah kagetnya aku saat menoleh kembali ke arah jendela. Di sana ada sesosok makhluk tengah terseyum amat lebar menampakkan gigi-giginya yang rapih berjejer, tak lupa kedua matanya melotot sangat lebar. Dia sangat menakutkan ditambah lagi pencahayaan di luar yang cukup gelap dan sosok itu membisikkan sesuatu.

"Baksonya neng? hehehehe.........."

GUBRAK!!!

"KAKAK!"

"VIVI!!"

Aku pingsan ditempat. Ternyata sosok yang menyeramkan itu adalah Mang Asep, tukang bakso langganan Mamah. Kebetulan sekali beberapa saat yang lalu, Mamah memesan 3 mangkok bakso untuk kami dan meminta Mang Asep untuk mengantarkannya ke rumah.

Mamah berpikir "Sepertinya enak yah, makan bakso saat suasana sedang hujan dan dingin begini."

Aku mengusap keningku yang kemerahan akibat jatuh saat pingsan. Aku lega ternyata tidak ada intel yang akan menangkap kami. Mang Asep pun meminta maaf padaku karena sudah membuatku ketakutan, dia tidak berencana menakut-nakutiku tapi wajahnya memang membuatku takut. Lalu kami pun menikmati bakso pemberian Mamah untuk mengisi perut dan menghangatkan badan.

Vivi pov end

Sementara itu, tanpa sepengetahuan Vivi dan Chika. Seseorang berbadan besar dengan pakaian serba gelap berdiam diri dibawah tiang listrik yang berada tepat di depan rumah Vivi, guyuran hujan membasahi tubuhnya tapi dia tetap tidak bergeming dan terus berdiam sambil mengamati situasi.

***

Pagi hari pukul 6.30 Vivi dan Chika berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Biasanya mereka berdua pergi menggunakan sepeda, tapi di karenakan beberapa saat yang lalu sepeda Vivi ban nya bocor, alhasil mereka memasukkan sepeda tersebut ke bengkel untuk di perbaiki.

"Kak, awas lupa. Pulangnya kita disuruh beli rendang di rumah makan dekat pertigaan jalan raya itu." Ucap Chika sambil menunjuk ke arah depan. Aku pun mengangguk.

"Iya, nanti pulangnya kita beliin. Nanti di kelas Kakak liat PR kamu yah."

"Pasti PR Matematika kan?"

Vivi menyengir dan menggaruk tekuk ku yang tak gatal, "Hehe, iya. Kamu tau sendiri kan kalo Kakak ini payah banget dalam pelajaran 'Matematika Ilmu Yang Menyenangkan~' "

Chika terkekeh mendengar Vivi melantunkan lagu yang sedang viral beberapa saat lalu.

"Iya, nanti dikelas aku contekin tapi sebagai gantinya malam ini kakak harus mau main dandan-dandanan sama aku."

"Hah? dandan-dandanan?" Ucapnya kaget.

Chika mengangguk, "Aku kan lagi belajar untuk merias diri dan aku butuh orang sebagai objek pembelajarannya."

Mendengar itu membuat Vivi meringis lalu mengangguk pasrah. Hanya demi mendapat contekan PR Matematika, ia rela dengan ikhlas membuat wajah dan rambutnya ini kembali menjadi cemong seperti badut. Vivi sedikit trauma, pasalnya terakhir lagi ia bermain dandan-dandanan dengan Chika, alisnya sampai berminggu-minggu tidak dapat dihapus.

Saat itu, Chika hendak menggambar alis dengan pensil alis namun ternyata dirinya lupa untuk membeli pensil alis tersebut dan dengan pintarnya Chika berinisiatif menggantikannya dengan spidol yang ada di kotak pensilnya. Hal itu membuat Vivi kesal setengah mati, apalagi spidol yang di gunakannya adalah spidol yang permanen. Karena kejadian itu, Vivi harus menjadi Sinchan selama beberapa minggu.

Flashback On

"Chikaaa! astaga alis kakak. Kok pake spidol sih?! mana ini spidolnya permanen lagi." Bentak Vivi.

"Kok marah sih! apa bedanya coba? kan bentuknya sama-sama kaya pensil."

"Astagfirullah Chika! jelas bedalah, yang satu buar nulis yang satu lagi buat alis." Jawabnya sambil mengusap-usap alis dengan tisu basah, berharap tinta spidolnya hilang. Namun nihil, tinta itu tetap menempel erat.

Rasanya Vivi ingin menangis saat itu juga, malang sekali nasib ini. Sementara itu, Chika menangis terisak-isak.

HIKSS.....HIKKSS.....HIKSSS....

Vivi langsung tersadar, ia lupa jika adiknya ini tidak bisa dibentak-bentak. Hatinya terlalu rapuh. Apalagi Vivi jika sudah marah, wajahnya akan terlihat sangat menyeramkan seperti ingin memakan orang. Wajar jika Chika sampai menangis. Ia pun dengan cepat memasang wajah seramah mungkin dan mendekap adiknya yang menangis.

"Udah jangan nangis, kakak tadi hanya kaget aja jadi gak sengaja bentak kamu." Ucap Vivi seraya mengusap punggung sang adik.

"Maafin Chika....Hikss.....Chika gak tau kalo itu permanen kak..."

"Jangan bentak Chika...." lirihnya.

Lirihan Chika membuat hati Vivi sakit. Chika menjadi trauma karena tindakan mendiang Ayah mereka dahulu, ia selalu membentak Chika dan menyiksanya. Hal itu terbawa sampai sekarang, saat aku tidak sengaja sedang mengangkat tangan di depannya, dia pasti akan meringis ketakutan padahal aku sama sekali tidak berniat untuk memukulnya.

"Iya gapapa, udah jangan nangis lagi yah. Yuk kita lanjut main lagi."

Flasback Off

"Jadi mau gak kak? tenang aja, aku udah beli pensil alisnya kok. Kakak gak perlu khawatir, alis Kakak gak bakal kaya Sinchan lagi kok." Ucapnya, sepertinya Chika tahu apa yang Vivi khawatirkan sedari tadi.

"Iya deh.."

"Yesss!"

Mereka pun tiba di gerbang sekolah dan berjalan menuju ruang kelasnya. Sesampainya di kelas, seperti kesepakatan awal, Chika langsung memberikan PR nya pada Vivi.

Chika dan Vivi bukanlah saudara kandung, Ayahnya Chika dan Mamahnya Vivi menikah beberapa tahun lalu. Entah apa yang merasuki Mamahnya sehingga ia mau menikah dengan pria kejam seperti itu. Kejam? iya kejam, Vivi sama sekali tidak menganggapnya ayah bahkan ia tak sudi untuk memanggil sosok itu dengan kata 'Ayah' . Walaupun ia ayah tiri, dia juga suka menyiksa Vivi jika sedang kesal atau pun ada masalah di luar sana. Tapi Vivi selalu bisa membela dirinya, berbeda dengan Chika. Dia tidak bisa membela dirinya dan selalu menjadi sasaran empuk amukan ayahnya.

Sebelum mendiang ayahnya pergi, setiap hari ruma selau dihiasi tangisan dari Chika yang disiksa. Mamah tak bisa apa-apa karena dia juga jarang berada dirumah karena bekerja. Sementara Vivi, ia selalu mencoba melindungi Chika tapi saat itu ia hanyalah anak kecil apa yang dia perbuat tidak membuat ayahnya berhenti menyiksa Chika.

Tapi itu sudah berlalu, kini ayahnya sudah tiada. Jujur, tak ada rasa sedih sama sekali saat ayah tirinya meninggal. Dalam hati Vivi yang ia rasakan adalah kebahagiaan. Berbeda dengan Chika, ia sempat bersedih. Wajar sih, bagaimana pun ia tetap ayah kandungnya. Mau sejahat apapun beliau, Chika tetap menyayanginya.

Vivi sangat menyayangi Chika, sejak dulu ia selalu ingin mempunyai adik. Dan akhirnya kesampaian, ya walaupun bukan adik kandung. Tetap saja, rasa sayang Vivi ke Chika tidak berubah malah ia menganggap Chika seperti adik kandungnya sendiri. Begitu pun sebaliknya.

Tak terasa bell pulang sekolah sudah berbunyi. Mereka berdua bergegas meninggalkan sekolah karena mereka harus membeli pesanan sang ibu yaitu rendang yang ada di rumah makan dekat pertigaan jalan.

"Panjang banget antriannya kak, mana panas lagi." Ucap Chika yang terlihat sangat letih.

"Kamu duduk aja Chik disana, biar kakak yang mengantri." Tunjuk Vivi pada bangku didepan rumah makan itu.

Vivi pun mengantri dengan tenang dan tertib, tidak menyerobot sesuai antrian. Saat sedang asik melihat penjual membungkus makanan, tiba-tiba ia di tarik seseorang kesamping.

"Eh..." Kaget Vivi.

"Awas Nak.."

Ibu-ibu itu menarik tangan Vivi ke samping untuk sedikit menghindar. Ternyata bukan hanya ia saya yang menyamping, semua orang yang mengantri tiba-tiba seperti membukakan jalan untuk seseorang. Aku yang penasaran pun mengintip ke luar pintu masuk.

"Orang itu seram sekali." gumamnya.

Pria dengan tinggi hampir 2 meter dengan bahu lebar, ramput panjangnya yang diikat, kumis dan alisnya yang tebal, mata tajam,memakai jaket kulit hitam dan bekas luka di mata serta di bibirnya terlihat sangat menyeramkan. Wajar saja orang-orang menyamping dan membukakan jalan untuknya, dia sangat menakutkan.

"Silahkan mau pesan apa?" Ucap pelayan pada pria itu, walaupun kakinya bergetar hebat tapi pelayan itu berusaha untuk profesional. Bagaimana pun pria jangkung itu adalah pembeli.

"Hmmmm.......Ahhhh......TUhhhhh..." Ucap pria itu dengan suara beratnya.

Sepertinya pria ini bukan berasal dari daerah sekitar sini, begitu pikir Vivi.

"Kayaknya dia turis asing yang hendak membeli rendang juga."

Mata Vivi terus memperhatikan gerak-gerik pria itu.

"Tuhhhh.....tuhhh..hhrmmmm..." Ucapnya sambil menunjuk pada gambar rendang.

Pelayan mengangguk, "Mau pesan berapa porsi Pak?"

Ia membuka lebar-lebar kesepuluh jarinya sebagai jawaban.

"Baiklah Pak, tunggu sebentar yah."

Tak lama pesanannya pun jadi, "Totalnya 46 ribu pak."

Pria ia membayarnya dengan sebuah koin emas. Koin itu terlihat sangat aneh bagi Vivi. Tanpa sepatah kata pun Pria itu melangkah pergi.

"Eh pak! tunggu, ini terlalu banyak hanya untuk 10 bungkus rendang."

"Pak! yaelah malah pergi." kesal sang pelayan.

Saat hendak melangkah keluar, pandangan Vivi dan pandangan pria itu tak sengaja bertemu. Pria itu berhenti tepat di depan Vivi, ia melihat Vivi dari atas sampai bawah lalu menggendus baunya. Vivi yang ketakutan hanya bisa diam. Setelahnya pria itu berjalan pergi, kali ini benar-benar pergi.

***

Malam harinya setelah makan malam dengan lauk rendang, Vivi menghampiri Chika di kamarnya untuk menceritakan apa yang terjadi jadi di rumah makan itu.

Tokkk....Tokk...Tokk...

"Masuk aja, gak di kunci."

Setelah di izinkan, Vivi pun masuk. Terlihat Chika sedang asik bermain telephone genggamnya sambil tersenyum-senyum.

"Asik banget kayak nya, lagi Chattan sama siapa sih?" Dengan jailnya Vivi merebut Handphone dari tangannya.

"EH! KAK BALIKIN IH!"

"SINI IN! IH KAKAK!!!"

"Gak mau wleee~" Ejek Vivi.

Chika kesusahan menggapai HPnya karena tubuh Vivi lebih tinggi darinya dengan begitu, Vivi lebih leluasa untuk melihat ada yang sedang Chika buka di HP nya.

"Pak Hasan?" Dahi Vivi mengerut. Karena Vivi lengah, Chika dengan segera mengambil kembali HPnya.

Vivi tak bereaksi apapun, ia hanya menatap penuh selidik pada Chika.

"Ngapain chattan sama Pak Hasan?" Tanyanya, Pak Hasan adalah wali kelas mereka di kelas 11 ini.

Chika menggeleng kuat, "Gak ada apa-apa kok."

Disini Vivi mulai merasa kesal pada Chika, ia seperti sedang menutup-nutupi sesuatu.

"Kalo lagi ngomong sama orang itu tatap matanya!"

Mendengar Vivi membentaknya membuat Chika kesal dan menatap Vivi dengan tajam. "Udah dibilangin gak ada apa-apa! Kok Kakak malah marah-marah sih!"

"Jangan terlalu dekat sama dia."

"Emang kenapa? suka-suka aku dong?" Ucap Chika ngeyel. Kedua tangan Vivi sudah mengepal berusaha menahan amarah.

"Kakak gak suka! kamu gak boleh deket sama orang dewasa sembarangan Chika, apalagi kita gak tau asal-usulnya."

"Dia itu Wali Kelas kita kak! dia juga baik orangnya, kakak tau sendiri kan? masa kakak tega nuduh orang sebaik dia itu jahat?" Ucap Chika tak terima.

Vivi yang amarahnya sudah di ujung tanduk pun memilih untuk pergi meninggalkan kamar Chika.

"Ish! tuh anak di bilangin malah ngeyel, masa dia lebih percaya sama orang asing dari pada sama kakak sendiri sih?!"

"Udahlah, mending aku tidur."

Vivi merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menarik selimut hingga ke perutnya. Ia terdiam menatap langit-langit kamarnya, niat awal ia hendak menceritakan tentang pria seram itu pada Chika. Eh, malah ia mengetahui fakta bahwa Chika dekat dengan Wali Kelasnya. Dan sekarang mereka malah berantem.

"Entah mengapa kok perasaanku tidak enak ketika tau bahwa Chika dekat dengan Wali Kelasku, seperti ada sesuatu yang janggal. Aku jadi takut Chika kenapa-napa."

"Tampang Pak Hasan pun tidak begitu meyakinkan."

"Baiklah, mulai sekarang aku akan memata-matai mereka berdua." gumam Vivi.

***

Dikelas Vivi dan Chika tidak saling berbicara sepatah kata pun, teman sebangkunya sampai terheran-heran. Pasalnya mereka itu terkenal sering ribut dikelas, tapi sekarang malah saling diam.

"Vi, tumben diem-dieman sama Chika?" Tanya Amirah, teman sebangku Vivi.

Ia menghela napas, "Biasalah Mir, kita lagi berantem."

Ditengah perbincangan antara Amirah dan Vivi, tiba-tiba Pak Hasan masuk. Kebetulan sekali sekarang jam pelajaran beliau.

"Beri salam!" Ucap ketua kelas.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Pak Hasan menyimpan buku paket yang ia bawa di meja guru lalu berdiri ditengah-tengah para murid.

"Baiklah anak-anak, keluarkan buku Matematika kalian. Minggu kemarin materinya sampai apa? bapak lupa." Ucapnya sambil tersenyum.

"Ada PR tidak?"

Semua murid terdiam agar Pak Hasan lupa tentang PR yang kemarin di berikan. Mata para siswa saling bertatapan satu sama lain seolah berkata "Jangan ada yang ingetin."

Tiba-tiba ada salah satu siswa yang mengangkat tangan.

"Ada Pak, PR tentang peluang."

Mendengar itu seketika seisi kelas bersorak-sorak kesal pada salah satu murid ini.

"Yaelah Vi, adik kamu gak asik banget. Cepu." Bisik Amirah.

Vivi hanya tersenyum tipis. Setiap kali memasuki mata pelajaran Pak Hasan, Chika selalu saja bersemangat. Berbeda dengan pelajaran yang lain. Entah Chika seperti itu karena suka dengan pelajarannya atau malah orangnya. Kalau Vivi, ia tidak suka dua-duanya. Cara mengajar Pak Hasan tidak masuk padanya, itu lah mengapa Vivi kurang paham dengan pelajaran Matematika. Berbeda dengan Chika yang terlihat sangat paham.

Sehabis memeriksa soal jawaban PR matematika, Pak Hasan sedikit menyinggung tentang masalah yang sedang Viral.

"Anak-anak, kalian tahu berita yang sedang Viral belakangan ini?" Tanya Pak Hasan sambil membaca berita di HP nya.

Beberapa anak ada yang tahu dan menjawab pertanyaannya.

"Tau Pak, tentang anak-anak remaja yang hilang misterius kan?"

"Iya, kalian hati-hatinya. Berita ini sangat mengerikan, jangan sampai kalian jadi salah satu korbannya. Jika kalian melihat sesuatu yang janggal, cepat-cepat laporkan ke polisi."Ucapnya sambil membenarkan kaca mata.

"Tadi bapak baca, katanya si pelaku melancarkan aksinya dengan menggunakan topeng."

"Emang iya pak?" Tanya ketua kelas.

Pak Hasan mengangguk sambil memperlihatkan apa yang dia baca di HPnya. Aku yang sedang disuruh membersihkan papan tulis tidak berniat untuk gabung pada obrolan. Setelahnya Pak Hasan kembali ke mejanya masih dengan melihat berita itu, Vivi yang sudah selesai membersihkan papan tulis berjalan menghampiri mejanya hendak mengembalikan penghapus.

"Ckk, pasti karena potongan yang patah itu."

"Pak?"

Pak Hasan tersentak kaget oleh kemunculan Vivi yang tiba-tiba ada disamping mejanya.

"Eh Vivi, udah ngapusnya?" Vivi mengangguk lalu meletakkan penghapus.

"Makasih yah Nak."

***

Beberapa hari sudah berlalu dan Vivi sama sekali belum berbaikan dengan Chika. Selama beberapa hari ini pun mereka tidak pulang sekolah bareng, dirumah pun tidak saling sapa. Tapi Vivi selalu tau apa yang Chika lakukan saat tida bersamanya, dia selalu mengikuti Chika tanpa sepengetahuannya. Dan karena itu, Vivi jadi tahu bahwa Chika sangat sering menghabiskan waktu sepulang sekolah di taman bersama Pak Hasan. Hal ini semakin membuat Vivi tidak suka dengan Pak Hasan.

Kebetulan hari ini ada pelajaran Matematika dan karena ulangan kemarin yang remedial hanyalah Vivi seorang, alhasil ia di suruh menghadap ke kantor guru untuk menemui Pak Hasan.

"Vivi, pulang sekolah kamu ke ruangan Bapak yah."

"Jangan lupa bawa kertas selembar dan alat tulis."Vivi hanya mengangguk sebagai jawabannya.

Sesuai perintah Wali Kelasnya, sepulang sekolah Vivi mendatangi ruang guru. Ternyata Pak Hasan sudah menunggunya sedari tadi.

"Dari mana saja Nak?"

"Maaf Pak, tadi saya ke toilet dulu."

"Ya sudah tidak apa, silahkan duduk." Pak Hasan mempersilahkan Vivi duduk pada kursi yang ada di hadapannya.

Vivi membuka tasnya dan mengeluarkan kertas serta tempat pensilnya untuk remedial. Pak Hasan memberikan soal ulangan yang kemarin, untung saja soalnya yang kemarin. Ia jadi sudah tau apa saja yang harus di kerjakan karena sebelumnya ia sudah diajarkan oleh Amirah teman sebangkunya.

Disela-sela dirinya mengerjakan remedial, Pak Hasan membuka obrolan.

"Kamu Kakaknya Chika yah Vi?"

"Iya Pak. memangnya ada apa?" Tanya Vivi tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas soal.

"Tidak apa-apa, hanya saja Bapak kok baru tahu kalau kalian adik kakak."

"Bapak kira kalian hanya sebatas teman bercanda di kelas."

Vivi mengerutkan keningnya, "Bapak tau dari siapa kalo kami ini adik-kakak."

Bisa Vivi tebak, Pak Hasan pasti tau hal ini dari Chika.

"Dari Chika."

Nah! benarkan dugaan Vivi. Mendengar itu Vivi hanya ber'Oh'ria.

"Bapak perhatikan kalian akhir-akhir ini jarang sekali ngobrol yah? biasanya kelas berisik karena kalian, sekarang jadi hening."

"Apa kalian sedang ada masalah satu sama lain?"

Vivi hanya membalasnya dengan tawa kecil.

"Iya ada, penyebab masalahnya adalah anda pak. Gara-gara anda saya jadi berantem!" Gumam Vivi dalam hati.

"Jika kalian ada masalah, cepatlah selesaikan. Tidak baik loh jika keluarga saling bertengkar satu sama lain yah Nak."

"Iya pak, saya akan segera menyeselaikannya."

"Kasian Chikanya, dia sedih karena kakaknya." Ucap Pak Hasan.

Vivi hanya mengangguk dan menyelesaikan remedialnya. Dalam hati ia mengomel, bagaimana bisa Pak Hasan tau jika Chika sedang bersedih? kekesalan Vivi muncul kembali, di balik senyum yang ia tunjukkan pada orang dengan julukan Guru tertampan se-SMAN 1 Chakra Natta ini ada amarah yang menggebu-gebu.

"Bapak juga kelihatannya cukup dekat yah dengan adik saya."

"Ah, cuma perasaan kamu saja kali." Ucapnya tersenyum tipis.

"Masa sih Pak cuma perasaan saya? kok saya sering yah liat Bapak sama adik saya di taman pulang sekolah?"

Ucapan Vivi membuat Pak Hasan diam seketika, sepertinya karena emosi jadi Vivi keceplosan. Vivi juga kaget dengan apa yang dia ucapkan. Tamat sudah riwayat Vivi, Pak Hasan pasti mengira dia menguntit mereka. Namun sedetik kemudia Pak Hasan tertawa-tawa.

"Sepertinya Bapak tau kenapa kalian bisa berantem."

"Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan Vi. Beberapa saat lagi ulang tahun mu bukan?" Tanya Pak Hasan sambil tersenyum.

Vivi mengangguk, "Iya Pak yang ke 17 tahun."

"Tuh kan, apa lagi ulang tahun yang ke 17, itu sangat sakral. Kalau orang zaman sekarang itu bilangnya 'Sweet Seventeen' itu umur dimana batas antara remaja ke dewasa."

"Belakangan ini, Chika menemui saya untuk berkonsultasi tentang sesuatu yang menyangkut kamu." Jelas Pak Hasan.

Dahi Vivi berkerut, "Memangnya apa pak?"

"Rahasia, Chika meminta saya merahasiakannya. Intinya ini berkaitan dengan kamu, mungkin kado ulang tahun? entahlah, kamu lihat saja nanti."

***

Akhirnya hari libur tiba, Vivi saat ini memutuskan untuk sarapan di rumah makan tempat ia membeli rendang beberapa saat yang lalu. Pagi ini pengunjungnya lumayan sepi, jadi ia tidak perlu mengantri lama-lama.

"Mas nasi rendangnya 1 yah, dimakan di sini." Ucap Vivi.

"Siap Mbak, minumnya apa?"

"Es teh manis angetnya 1 mas."

"Baik Mbak, saya ulangi lagi pesanannya ya. Nasi rendangnya 1 porsi dan es teh manis ang-" Ucapannya terpotong

"EH!Es teh manis mana ada yang anget Mbak? ini jadinya mau yang dingin apa yang anget?"

"Masnya gak percaya, ada loh mah. Nanti saya buktikan." Jawab Vivi cekikikkan.

Dengan muka kesal, pelayan itu meminta Vivi untuk menunggu di meja makan. Tak lupa Vivi langsung membayarnya. Tak sampai 5 menit, pesanan Vivi tiba.

"Ini Mbak pesanannya, silahkan." Ucap pelayan itu sambil menaruh nasi rendang milik Vivi.

"Iya Mas, makasih."

"Dan ini ES TEH MANIS ANGETNYA." Ucap pelayan itu dengan menekankan kata 'ES TEH MANIS ANGET'

Vivi tertawa terbahak-bahak, rupanya pelayan itu masih saja kesal padanya.

"Masih gak percaya mas kalo es teh manis ini memang anget?"

"Ya mana saya percaya toh Mbak, Mbak ini ada-ada aja deh."

"Sini saya buktiin."

Ia mengambil minumannya dan menyuruh pelayan itu memegang bagian bawah gelas dan atas gelas.

"Gimana Mas?"

"Gimana apanya toh?" Tanyanya bingung.

"Es teh manis angetnya?"

"Wajar dong saya bilangnya es teh manis anget, orang teh ini atasnya dingin bawahnya anget."

Pelayan itu kaget mendengar jawaban Vivi. "Iya juga ya Mbak, kok saya gak kepikiran."

Pada akhirnya mereka berdua tertawa bersama karena pernyataan pintar Vivi, sebenarnya ini pernyataan bodoh atau pintar sih? di satu sisi ini terlihat pintar di sisi lain juga terlihat bodoh karena sampai membuat orang berdebat hanya karena teh manis dingin atau anget.

Saat sedang asik memakan sarapannya, tiba-tiba mata Vivi menangkap sosok yang tak asing baginya. Pria tampan dengan kaca matanya yang kini tengah berdiri didepan kasir terlihat sedikit kesusahan. Vivi pun cepat-cepat menghabiskan makanannya dan menghampiri Pria itu.

"Pak Hasan?" Sapanya, Pak Hasan yang di sapa langsung menoleh.

"Eh, Vivi."

Dibalik tubuhnya Pak Hasan, Vivi melihat 4 bungkus plastik besar yang berisi nasi kotak.

"Ada acara yah pak? pesen nasi kotaknya sebanyak itu?"

"Iya, di rumah lagi ngadain syukuran Vi. Aqiqahan anak Bibi saya."

"Kelihatannya bapak kesusahan, mau saya bantu membawakannya?" Ucap Vivi.

Dengan senang hati Pak Hasan menerima bantuannya, Ia memberikan dua kresek besar pada Vivi dua sisanya akan ia bawa.

"Terima Kasih Nak, saya sangat terbantu."

"Iya Pak sama-sama, oh iya ini di bawa kemana?"

"Taruh saja di bagasi mobil hitam di parkiran, mobilnya tidak saya kunci. Kamu duluan saja, saya mau membayar nasi kotak ini dulu." Vivi mengangguk dan pergi menuju mobil SUV hitam yang terparkir tepat di depan rumah makan.

Setibanya di belakang mobil, ia meletakkan terlebih dahulu kedua kantong kresek itu untuk membuka bagasi mobil Pak Hasan. Saat bagasi sudah terbuka, di sana ada satu tas hitam yang terbuka. Di sela-sela yang terbuka itu, terlihat ada benda berwarna putih. Terlihat sangat tidak asing bagi Vivi, ia pun mengambilnya perlahan.

"Topeng Kitsune?" Sebenarnya ada dua barang di dalam tas tersebut yaitu topeng dan tongkat baseball tapi hanya topeng ini yang menarik perhatiannya.

Topeng kitsune, setaunya ini adalah topeng tradisional asal jepang. Topeng ini sangat unik dan cukup indah hanya saja, topeng yang dia pegang bagian mata kanannya hilang sepertinya patah karena ada bekas patahannya.

"Topeng yang cukup bagus bukan?"

Suara Pak Hasan membuat Vivi kaget. Ia lalu mengembalikan topeng tersebut ke tempat semula.

"Maaf Pak, saya lancang melihat-lihat barang pribadi bapak." Ucapnya tidak enak sambil memasukkan dua kantung kresek bagiannya.

"Sudah, tidak apa. Menurutmu bagaimana topeng itu?apa saya harus menggantinya?"

Vivi menatapnya bingung.

Menggantinya?

"Topeng itu bagus kok pak, sayangnya topeng itu patah jadi tidak bisa di gunakan."

Pak Hasan mengangguk,"Iya sayangnya itu patah, tadinya saya ingin memperbaikinya dengan mengelem bagian yang patah. Namun bagian yang patah itu hilang."

"Pasti bagian itu terjatuh disana."gumam beliau dengan raut wajah kesal.

Vivi hanya diam mendengar itu, ia sudah sudah dua kali mendengar gumaman tentang sesuatu yang hilang. Pertama di kelas saat jam pelajaran Pak Hasan dan yang kedua sekarang, saat dia membantunya. Tapi Vivi tidak ambil pusing omongan itu.

Setelah di rasa tugasnya selesai, Vivi berpamitan padanya dan memilih kembali pulang.

***

Sorenya ia jalan-jalan ke taman. Secara tiba-tiba Chika mengajaknya kesini, tanpa pikir panjang Vivi langsung mengiyakan. Yah, itung-itung sebagai ajang berbaikan. Ia juga sedih jika harus saling berdiam diri dengan Chika selama ini.

Setelah membeli ice cream, mereka duduk di bangku taman sambil memperhatikan orang-orang disekitar. Ada yang jogging, ada yang pacaran, ada segerombolan anak kecil yang sedang main di ayunan dan lain-lain.

"Pegangin kak." Chika meminta Vivi memegang ice creamnya.

Chika merogoh tasnya dan mengeluarkan kotak yang dibungkus kertas kado berwarna hitam. Dengan senyuman yang tulus, kotak itu ia berikan pada Vivi. Vivi termenung, rasanya ia sudah lama sekali tidak melihat senyuman adiknya ini semenjak mereka bertengkar.

"Selamat Ulang Tahun Kak, maafin Chika ya udah bikin kita jadi berantem."

Dengan tangan bergetar, Vivi menerima kado itu. Hatinya menghangat, tak menyangka sang adik akan ingat hari lahirnya.

"Makasih Chika, maafin kakak juga yang udah marahin kamu."

Vivi menarik Chika kedalam dekapannya, lalu ia menangis senang. Tepat di hari ulang tahunnya ia berbaikan dengan Chika dan bahkan Chika memberikannya semua kado. Walau terlihat biasa saja, menurut Vivi hari ini adalah hari yang paling membahagiakan baginya. Ini menjadi kado ulang tahun pertama dihidupnya, wajae saja jika ia menangis. Selama 17 tahun Vivi hidup, ia baru kali ini mendapatkan hadiah dari seseorang.

"Udah jangan nangis, jagoan masa nangis. Yang harusnya nangis itu aku, aku kan cengeng." Gurau Chika.

Chika mengusap air mata sang kakak, "Buka dong kak kadonya, pasti kakak penasaran."

"Iya." Vivi pun membuka kado pemberian Chika.

Kedua matanya berbinar saat melihat isi kotak tersebut. Itu adalah liontin dengan permata biru yang terlihat sangat cantik. Chika pun berinisiatif memakaikannya pada Vivi.

"Ini baru permata Aquamarine, kenapa aku milih batu ini karena batu permata biru ini memiliki arti khusus kak. Dan aku merasa arti itu cocok untuk kamu."

"Emang artinya apa?" Tanya Vivi penasaran.

Chika mengusap-usap permata berbentuk Heksagon itu, "Artinya adalah......"

"Keyakinan serta pertemanan yang kuat."

"Aku ngasih ini dengan harapan pertemanan dan keyakinan kita semakin kuat satu sama lain. Aku juga minta sama Kakak, jangan pernah lepasin liontin ini apapun yang terjadi. Karena aku percaya liontin pemberian aku ini akan selalu memberi kamu jalan saat kamu buntu."

Vivi tersenyum lebar, "Aku gak akan lepasin kalung pemberian adikku tersayang. Sekali lagi makasih Chika, aku gak tau lagi apa kata-kata yang lebih tinggi selain kata terima kasih."

Setelah sekian lama akhirnya mereka berdua berdamai, mereka terlihat sangat bahagia menghabiskan waktu bersama. Hingga malam yang kelam pun itu tiba.

***

Sudah berhari-hari Vivi mengurung diri di kamar, TV runyam didepannya kini sedang menayangkan berita pembunuhan seorang anak remaja yang terjadi beberapa hari yang lalu. Sejak kejadian kelam itu ia sama sekali tidak napsu makan. Berat badannya pun turun drastis. Ia tak percaya sang adik meninggalkannya secepat ini, Vivi selalu mengutuk dirinya dan menyalahkan semua kejadian ini pada dirinya sendiri. Andai ia tiba lebih cepat, mungkin saja Chika tidak akan pergi meninggalkannya selamanya.

Flashback On

DRRTTT.....DRRTTTT.....DRRTTTT....

Ponsel Vivi berbunyi, terlihat nama Chika dilayar. Ia pun langsung mengangkatnya.

"Halo Chik, kamu dimana?Kerkomnya lama banget udah malem gini kok belum pulang?"

"Iya kak, halo?" Sepertinya sinyal Chika jelek.

"HALO? KENAPA CHIK?"

"-Kkaaak jemput aku dong, aaa-ku takut disini gelap." Terdengar suara Chika bergetar.

Mendengar itu membuat Vivi langsung panik, ia takut sang adik kenapa-napa.

"Kamu sekarang dimana?biar kakak jemput?"

"Aku gak tau ini dimana kak, sekarang aku lagi diem di bawah lampu jalan. Aku tiba-tiba di turunin disini sama tukang ojek nya."

"Coba ganti panggilan suara ini jadi Video Call." Perintah Vivi.

Chika pun mengganti panggilan suara menjadi Video Call, dari sini Vivi bisa melihat raut wajah ketakutan Chika.

"Arahin ke sekitar kamu."

Chika mengangguk dan menggantinya menjadi kamera belakang. Karena malam, Vivi jadi kesusahan untuk menemukan tempat Chika sekarang berada. Yang ia lihat adalah pertigaan jalan dan sebuah rumah mewah yang lampunya mati. Chika kembali mengarahkan kamera ke wajahnya.

Setelah berpikir agak lama, sepertinya Vivi tahu itu dimana.

"Oke Chik, kakak kayaknya tau tempat itu. Kamu jangan kemana-mana, diem dibawah lampu jalan. Kakak berangkat seka-"

BROOMMM.........CKIITTTT......

Terdengar suara deru mobil dan suara rem yang sangat kencang. Tiba-tiba Chika menurunkan kameranya.

"JANGANNN!!LEPASINNN!!TOLONNGGGG!!"

Bagai tersambar petir, Vivi yang mendengar teriakan Chika membatu seketika. Hp nya terjatuh ke tanah, sementara itu suara Chika terus saja terdengar.

"BERISIK!!" Bentak seseorang yang kini sedang berdiri di atas HP Chika. Vivi hanya bisa melihat siluet orang itu karena tempatnya gelap.

Orang itu pun mengambil HP Chika lalu mengangkatnya, kini Vivi dapat melihat kepala orang itu. Pakaiannya sebar hitam dan hoodie yang dia pakai menutupi kepala. Vivi masih mematung di depan HPnya menyaksikan itu, lalu orang misterius ini mendekatkan wajahnya pada layar.

Sebelah matanya menatap tajam Vivi, terlihat sangat menyeramkan. Sebelah? iya sebelah, karena ia memakai topeng. Orang itu tertawa terbahak-bahak. Dari belakang tubuh pria itu, Vivi melihat Chika yang sedang dimasukkan paksa ke dalam Mobil.

"KAAKKKK VIVIIII!!!!!!!"

BIP!

Itulah suara terakhir yang Vivi dengar sebelum ponselnya Chika di matikan. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar rumah mengambil sepedanya. Ia gayuh sepedanya sekuat tenaga.

"Pertigaan itu, gak salah lagi! itu pasti jalan setelah 1 KM dari taman kota!" Ucapnya membatin.

Vivi masih tak percaya, sang adik di culik tepat di depan kedua matanya. Bahkan ia sempat-sempatnya melihat proses penculikannya. Selama di jalan, air mata Vivi tak henti-hentinya menangis.

"Chika, kakak mohon. Bertahanlah, Kakak pasti akan nyelamatin kamu."

"Ya Tuhan, aku mohon selamatkan Chika!"

Setelah beberapa menit, Vivi tiba di jalan samping taman kota.

"Sebentar lagi Kakak tiba Chika!"

Pertigaannya ada didepan mata, Vivi langsung menambah kecepatan sepeda nya.

CKITTT......

Ia berhenti tepat di tempat Chika terakhir kali berdiri sebelum di culik. HP Chika tergeletak begitu saja, Vivi mengambilnya. Namun HPnya sudah retak-retak dan tidak dapat hidup lagi. Kini Vivi dibingungkan dengan pertigaan jalan, ia tidak tahu mobil yang menculik Chika berbelok kearah mana.

Apa yang harus aku lakukan?!!

Ayo Vi, berpikir!

Vivi memejamkan matanya sejenak dan memukul-mukul kepalanya berharap otaknya bekerja untuk menemukan jalan keluar. Saat ia membuka matanya, pandangannya langsung terarah pada bekas rem mobil di hadapannya. Ia ingat, mobil itu sempat mengerem dalam kecepatan tinggi sehingga suara decitannya terdengar masuk hingga HP nya. Tadi pada saat ia Video Call dengan Chika.

"Jejak ban?"

"IYA! JEJAK BAN!!" Teriaknya.

Vivi langsung melajukan kembali sepedanya mengikuti jejak ban mobil.

Semoga jejak ban ini tidak terputus

Karena hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa menemukan Chika

Keringat bercucuran dari pelipisnya, bahkan baju Vivi saat ini sudah basah karena keringat. Bisa-bisa ia masuk angin, namun ia tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Chika, masa bodo dengan dirinya yang penting Chika selamat. Setelah dari pertigaan ternyata jejak mobil itu mengarah ke kiri, setau Vivi di arah kiri itu adalah daerah perhutanan.

Jejak mobil itu tiba-tiba hilang ditengah jalan, Vivi bingung harus mencari Chika kemana.

"CHIKA?! JAWAB KAKAK! KAMU DIMANA?!!!"

"CHIKAAAA??!!!!" Teriak Vivi mencari Chika.

Disini sangat gelap, Vivi mengandalkan senter di HPnya sebagai pencahayaan. Sejak berbelok kearah kiri dari pertigaan tadi, lampu jalan sudah tidak ada. Vivi sebenarnya takut, tapi rasa khawatirnya pada Chika lebih besar. Ia pelan-pelan menyusuri jalan. Vivi mengusap-usap liontin memberian Chika, ia terlihat pasrah.

Aku harus apa liontin? Chika bilang kalau aku sedang kesusahan, kamu akan membantuku menemukan jalannya. Bantu aku liontin,

Mereka pergi kemana?

Setauku disini tidak ada rumah?!

Eh tunggu! Disini memang tidak ada rumah, 

Tapi disini hanya ada satu tempat yang menyerupai rumah yaitu....

"Pabrik Batu Bara!"

"Gak salah lagi! pasti mereka pergi kesana. Aku harus cepat!" Ucap Vivi bersemangat. Ia seperti menerima harapan baru.

Vivi tiba di depan gerbang pabrik itu, ia sandarkan sepedanya pada tembok di samping pagar. Di dalam sana aja jejak ban yang sama seperti jejak yang ia ikuti sedari tadi. Ia masuk ke dalam area Pabrik terbengkalai itu dengan perlahan agar tidak menimbulkan kegaduhan. Ternyata benar, mereka pergi pabrik ini. Mobil hitam itu terparkir rapih di samping pabrik.

"Kayaknya kayu ini kuat untuk memukul orang." Gumam Vivi saat mengambil salah satu kayu yang cukup panjang.

Ia berjalan masuk ke area pabrik, pabrik ini sangat besar. Vivi jadi kesusahan untuk mencari Chika. Sayangnya pintu pabrik ini terkunci rapat dari dalam, ia harus mencari jalan masuk. Vivi melihat kesekeliling berharap ada sesuatu yang bisa membuatnya masuk kedalam.

Di atas sana ada jendela yang terbuka

Sepertinya aku bisa masuk lewat sana

Aku hanya perlu memanjat untuk sampai kesana

Vivi menyusun tumbukkan karung berisi batu bara agar memudahkannya memanjat. Hanya ada 5 karung dan itu belum cukup membuatnya bisa mencapai jendela itu. Vivi loncat ke arah tangga besi yang bagian bawahnya sudah roboh, setidaknya bagian atasnya masih kuat.

TRANGGG!!

Tangga besi yang ia naiki roboh karena rapuh, untungnya sesaat sebelum mereka roboh, Vivi sudah sempat berpegangan pada pinggiran tembok.

"SIAPA DISANA??!!" Suara seseorang mengagetkan Vivi.

Vivi buru-buru mengayunkan tubuhnya ke arah jendela yang terbuka itu.

HAAPP.....BRUGH...

Darah menetes dari kepala Vivi, sepertinya karena saat meloncat tadi ia tidak sengaja mengenai potongan besi. Alhasil keningnya tergores.

"Tangga ini roboh, sepertinya kucing-kucing nakal itu lagi yang membuatnya roboh." Ucap salah satu dari kedua orang itu.

Vivi segera masuk ke dalam ruangan yang ada di jendela, ia sempat meringis merasa pusing karena kepalanya berdarah. ia mengelap darahnya dengan baju lalu mulai menyusuri ruangan demi ruangan.

Sayup-sayup dirinya mendengar suara orang yang sedang mengobrol, suara itu berasal dari bawah dirinya. Ia pun berjongkok dan menempelkan telinganya pada papan kayu tempatnya berpijak.

"Kayaknya Bos udah gak waras deh bro."

"Lah, dia kan emang gak waras dari dulu."

"Kejam banget fetishnya aneh, kalo bukan demi uang saya gak mau kerja kayak gini."

"Iya, sama saya juga. Demi anak istri bisa makan."

"Nyium gak bro? Bos lagi ngebakar yah?"

"Iya, Ayo cepet ke belakang. Keburu ditinggalin, mereka udah siap-siap pergi."

Hanya itu yang dapat Vivi dengar dari atas sini. Hanya sedikit, yang penting sekarang ia tahu dimana tempat mereka berkumpul.

Di belakang,

Mereka semua ada di belakang pabrik ini, kemungkinan besar Chika juga ada disana.

Setelah beberapa saat, Vivi akhirnya tiba di lantai bawah. Dan di depan sana, pintu keluar terbuka walaupun kecil.

VROOMM......VROOMMMM....

Suara mobil pergi meninggalkan area pabrik, Vivi panik setengah mati ia tidak mau Chika di bawa pergi lagi. Ia berlari sekuat tenaga kearah pintu keluar di depannya.

VROMMM.....VROOOMMMM....

Kenapa pintu itu terasa sangat jauh sekali?suara mobil itu semakin jauh. Setibanya di depan pintu, Vivi langsung mendobraknnya.

"TUNGGUUUUUU!!!!!!" Teriaknya, namun nihil mereka sudah mulai menjauh.

Tapi ada satu orang yang mendengar teriakan Vivi lalu ia menoleh. Karena mobil itu adalah mobil bak terbuka, Vivi bisa dengan jelas melihatnya. Ditambah lagi saat mobil itu tak sengaja terkena cahaya rembulan, Vivi semakin jelas melihat orang yang menoleh kebelakang itu. Sepertinya orang itu sadar akan tatapan Vivi, ia melambai-lambaikan tangan sebagai salam perpisahan.

Vivi terkaget, orang itu adalah pria yang tadi ada di Video Call HP Chika saat Chika di culik. Topeng itu pun terlihat jelas, satu matanya terlihat sangat tajam. Topeng itu, sepertinya ia pernah melihatnya, tapi Vivi lupa di mana. Bagian mata salah satu topeng itu patah.

Itulah kenapa Vivi bisa melihat dengan jelas mata si pelaku.

Tak jauh didepannya ada sebuah kubangan sedang yang mengeluarkan asap seperti habis terjadi pembakaran disana. Vivi termenung saat melihat tas coklat di samping kubangan itu yang sedikit terbakar. Tiba-tiba Vivi jadi teringat dengan obrolan dua orang yang ia kuping tadi.

"Nyium gak bro? Bos lagi ngebakar yah?"

Seketika tatapan mata Vivi menjadi kosong.

"Ini gak mungkin terjadi kan Chik?" Ucapnya lirih.

Tubuh Vivi bergetar saat menyadarinya. Detik itu juga Vivi berlari sekencang-kencangnya.

Tepat saat ia tiba di pinggir kubangan itu, Vivi melihat tubuh yang gosong hangus terbakar. Di tangannya ada sebuah gelang Emas yang masih bertahan. Tidak salah lagi, gelang itu adalah hadiah ulang tahun Vivi untuk Chika tahun lalu. Vivi menatap tak percaya dengan apa yang terjadi didepannya. Dadanya terasa sangat sesak.

"C-CHIKA?"

Ia lompat kedalam dan memeluk erat jasad Chika yang sudah gosong, tangis dan amarah menjadi satu.

"AAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!"

"JANGAN! JANGAN! JANGAN!!!!."

Ia tak peduli jika kulitnya melepuh karena Jasad Chika ini masih sangat panas.

"JANGAN AMBIL DIA DARIKU!"

"KALIAN TIDAK MEMBERIKAN APAPUN PADAKU, TAPI JUSTRU KALIAN MERAMPAS SESUATU DARIKU!" Teriaknya Frustasi.

Kedua mata Vivi menyiratkan amarah yang sudah tak dapat di bendung lagi.

"TIDAK AKAN KU MAAFKAN KALIAN!"

"TIDAK AKANNNN!"

"KEMBALIKAN ADIK KU SEPERTI SEMULA!!"

Vivi tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya, mengapa harus adiknya? Chika salah apa sampai-sampai orang itu tega melakukan hal sekeji ini? Manusia macam apa yang bisa melakukan hal setidak manusiawi ini? apapun itu jawabannya, Vivi tidak akan menerimanya. 

"Tuhan, kenapa kau biarkan hal ini terjadi?"

"Mengapa kau rengut hal paling berharga dariku?" lirihnya.

"Apa kau tidak senang melihatku bahagia?"

HIKSS......HIKSS......HIKKSSS....

"Kenapa tuhan?"

"KENAPAA!"

Ia merasa sepertinya Tuhan sangat membencinya, sejak lahir hidupnya sudah hancur. Mulai dari keluarga yang berantakan, perceraian kedua orang tuanya, kekerasan fisik, kesulitan ekonomi, dll.  Semenjak kehadiran Chika, ia mulai bisa merasakan apa itu hangatnya keluarga. Sedikit demi sedikit kehidupannya mulai membaik, Chika membuat harinya yang kelabu menjadi berwarna. 

Tuhan seperti enggan membuat Vivi hidup dengan damai, maka ia menurunkan musibah ini. Tak sampai satu malam, sumber kebahagiaan Vivi direngut begitu saja.  Hal itu membuat ia menyalahkan keadaan.

Diusapnya lembut pipi kanan Chika, dengan tatapan sayu perlahan Vivi tutup kedua mata Chika yang terbuka. Kini adiknya sudah  benar-benar tidak akan bangun dan membuka matanya lagi, untuk selamanya.

Seketika tatapan Vivi berubah menjadi tatapan penuh amarah, " Kamu tenang saja Chika, Kakak pasti akan membalaskan dendam ini. Bahkan kakak akan membuat si pelaku lebih menderita."

"Aku pastikan bajingan itu mendapat bayaran yang setimpal."

Flashback Off

Berdiam diri dikamar membuat Vivi selalu mengingat kejadian keji itu, kini ia memutuskan untuk pergi ke taman tempat yang cukup memiliki kenangan yang menyenangkan untuk mereka berdua. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil kaos yang lebih santai, Vivi buka perlahan kancing demi kancing baju tidur yang dikenakannya. Ia tersenyum miris melihat pantulan dirinya di kaca, banyak sekali perban melilit wajah dan badannya. Karena kejadian itu, ternyata ia mendapat banyak luka serius dan memerlukan perawatan.

Sekarang sudah malam tapi Vivi tetap berniat pergi ke taman, siapa tau di taman tiba-tiba ia mendapat ide untuk menemukan si pelaku yang kini menjadi buronan seluruh Indonesia. Tanpa Vivi sadari, liontin pemberian Chika yang ia kenakan mengeluarkan cahaya biru yang berkedip-kedip. Semakin mendekati taman, semakin intens liontin itu berkedip.

Vivi duduk di tempat Chika dulu memberikan hadiah ulang tahun pertama dan terakhir padanya. Ia duduk persis di tempat dirinya duduk waktu itu. Diusapnya bangku kosong di sebelah kanan bekas Chika duduk. Seketika air mata kembali menetes, ia tak menyangka moment bahagia itu akan menjadi moment terakhir bagi mereka.

"Liontin ini kenapa menyala?" Tanyanya saat ia sadar bahwa liontin yang dikenakannya menyala.

Tiba-tiba dari arah kegelapan yang ada didepannya, seseorang keluar dan berjalan menghampiri Vivi. Ia sedikit menyipitkan kedua mata untuk melihat orang itu. Vivi tersentak kaget saat melihat orang itu, ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat, Ia berusaha mengingat-ingat dimana pernah bertemu dengan orang ini.

Orang yang menyeramkan itu berhenti tepat di hadapan Vivi.

"Bapak yang beli rendang waktu itu ya?"

Pria itu berdehem sebagai jawaban, lalu melirik liontin Vivi yang berkedip semakin kencang dan mengeluarkan cahaya semakin terang. Pria itu lalu tersenyum tipis, namun di mata Vivi senyuman itu terlihat sangat menyeramkan.

"Viona?"

DEG!

Bukannya Pria ini tidak bisa berbicara? Mengapa ia sekarang bisa berbicara? dan yang paing membuat Vivi terkaget adalah, dari mana Pria misterius ini mengetahui nama panjangnya? 

"Perkenalkan, saya Altazar." Ucap pria itu sambil menjulurkan tangannya.

Vivi menerima juluran tangan itu walaupun ia masih tidak paham apa yang terjadi.

"Vi-Viona."

"Bolehkah saya duduk di sini?"

"Silahkan saja."

Altazar mendudukkan tubuhnya di samping Vivi, pandangannya tak lepas dari liontin biru yang dikenakan Vivi.

"Liontin yang indah." Ucapnya basa-basi.

Vivi langsung memegang dan melirik liontinnya, "Iya, liontin ini pemberian mendiang adik saya."

"Mendiang adik? memang apa yang terjadi?"

Entah kenapa aura dari Altazar sangat membuat Vivi nyaman, tanpa sadar ia menceritakan semua kejadian kelam itu padanya. Padahal mereka adalah orang asing, tapi kenapa Vivi merasa ia kenal dengan Altazar.

"Andai saat itu bukan Chika yang di culiknya tetapi aku, mungkin saat ini Chika masih hidup paman."

"Sepertinya kau sangat menyayangi adikmu yah."

Vivi mengangguk sembari mengelap air matanya yang kembali menetes, "Kita tidak boleh menyalahkan keadaan dan berandai-andai, bagaimanapun hal itu sudah terjadi. Tak ada yang bisa mengubah takdir yang sudah di gariskan oleh pencipta."

Diusapnya pucuk kepala Vivi, Altazar terseyum lembut seakan mentranferkan kekuatan pada Vivi agar ia lebih tegar menghadapi keadaan ini. Di satu sisi, Altazar melihat Vivi seperti anaknya sendiri.

"Wajahmu mengingatkan ku pada Aza, anak semata wayangku."

"Benarkah? Memangnya sekarang dia kemana paman?" 

Altazar menundukkan pandangannya, "Ia sudah tiada nak, kita sama-sama kehilangan orang yang paling berharga dengan cara yang sama."

Vivi membulatkan kedua matanya kaget, ia merasa bersalah telah menanyakan hal sesensitif ini.

"Maaf paman, aku tidak tahu."

"Tak apa, lagian itu sudah puluhan tahun yang lalu."

Setelahnya hanya ada hening di antara mereka. Hingga Vivi ingat sesuatu yang sempat ingin ia tanyakan.

"Bagaimana paman bisa berbicara? terakhir kali aku lihat paman di rumah makan itu, paman tidak bisa berbicara hanya berdehem dan menunjuk sebagai alat berkomunikasinya." Tanya Vivi dengan wajah sangat penasaran.

"Aku memang tidak bisa berbicara, lidah ku sudah tidak ada."

Jawaban itu semakin membuat Vivi bingung, Altazar yang menyadari hal tersebut akhirnya buka suara.

"Coba kau lepas liontin itu nak." Pintanya.

"Untuk apa?"

"Buka saja dulu, aku tidak akan merebutnya darimu kok."

Akhirnya Vivi membuka liontin biru nya itu tetapi tidak ada yang terjadi, hingga akhirnya Altazar bersuara.

"Uuuhhh, aahhhh tuhhh ihhhh nnaaahh."

"HEEHH!" Kagetnya ketika mendengar Altazar berbicara.

"Kok bisa? paman, apa paman tidak bisa berbicara? padahal tadi paman sangat lancar berbicara padaku?"

Altazar mengisyaratkan Vivi untuk memakai kembali liontinnya, Vivi menurut.

"Iya, aku memang tidak bisa bicara sejak lidahku di potong."

"HEHH!" Kagetnya saat mendengar Altazar kembali fasih berbicara.

Vivi tatap liontin yang mengalung di lehernya dengan tatapan bingung. Raut wajah Vivi membuat Altazar tertawa, baginya muka Vivi saat bingung sangat lucu.

"Kau tidak perlu bingung seperti itu, sini biar aku jelaskan."

"Kamu bisa mendengarku bebicara fasih karena liontin itu. Jika tidak mengenakannya maka kamu tidak akan bisa memahami apa yang aku bicarakan begitupun sebaliknya."

Kedua kening Vivi mengerut, "Benarkah? lalu darimana adikku bisa mendapatkan liontin ajaib ini?"

"Aku yang memberikannya, aku sengaja membuat suatu keadaan agar adikku bisa menemukan liontin ini dan memberikannya kepadamu. Ternyata rencanaku berhasil."

"Lalu, kenapa paman mau memberikan liontin ini padaku?" 

"Karena aku ingin membantumu anak muda, aku juga sudah tau jika hal ini akan terjadi."

Altazar menatap Vivi dengan serius, "Dengar nak, aku bukan berasal dari planet ini. Aku datang kesini atas ramalan dari planet asalku yang isinya adalah anakku Aza akan merenkarnasi di Planet Bumi dan dia akan mengalami kejadian mengerikan yang pernah terjadi juga pada Aza. Sejarah itu pasti terulang lagi."

"Aku tidak mau ada anak yang menderita lagi, cukup Aza yang terakhir. Itulah pesan Aza padaku."

"Setelah 17 tahun aku mencari keberadaan sosok reinkarnasi dari Aza, pada hari dimana kita pertama kali bertemu, liontin ini bergetar saat aku melewatimu."

Mungkin inilah alasannya mengapa Altazar waktu itu melihatnya dari atas kebawah dan sebaliknya. Sepertinya ia ingin memastikan apakah Vivi benar-benar reinkarnasi dari Aza.

"Setelahku perhatikan, kau benar-benar mirip dengan Aza. Tubuhmu, wajahmu, caramu bicara, tatapan mata, semuanya sangat mirip dengan Aza. Aku langsung yakin bahwa kau adalah seseorang yang aku cari-cari selama ini."

Altazar tiba-tiba meneteskan air mata, ia lantas menarik Vivi kedalam dekapannya. Ia sangat merindukan Aza dan bertemu dengan Vivi sudah seperti bertemu dengan Aza.

"Aza, ayah sangat merindukanmu Nak." lirih Altazar.

Vivi yang mendengar lirihan Altazar tersenyum tipis, pasti Altazar menganggap dirinya adalah anaknya. Lantas Vivi membalas pelukan Altazar dengan hangat. Altazar sedikit tersentak saat Vivi membalas pelukannya, ia tersenyum lalu semakin memeluk erat Vivi. Dalam pejamnya, Altazar menganggap orang yang dia peluk adalah Aza.

Setelah beberapa lama akhirnya Altazar melepas pelukannya.

"Terima kasih." Ucapnya.

"Paman tidak perlu berterima kasih, kehilangan seseorang yang sangat berharga di hidup kita memang menyedihkan. Kita harus saling menguatkan satu sama lain."

"Sudah jangan bersedih, Aza di atas sana pasti tidak suka jika Ayahnya menangisi dirinya."

Altazar mendongkak keatas langit yang berbintang lalu mengangguk, memeluk Vivi sudah cukup melepas rasa rindunya pada Aza.

"Ngomong-ngomong paman ingin membantuku untuk apa?"

"Untuk mencari keadilan."

"Keadilan?"

Altazar bangkit dari duduknya dan berdiri tegap di hadapan Vivi lalu mengangguk.

"Bukankah kau ingin mencari tahu siapa pelaku pembunuhan adikmu?"

Seketika Vivi menjadi ingat dengan tujuannya sejak awal.

Ia menatap Altazar dengan berapi-api, "Bagaimana caranya? beri tahu aku paman!"

"Tenang dulu nak, kau tampaknya terlalu bersemangat. Sebelum kita melakukannya, kau harus mendengarkan penjelasanku dulu. Aku akan menjelaskan panjang lebar dan kau diam lalu dengarkan. Jangan bertanya jika aku belum selesai menjelaskan. Paham?" Vivi mengangguk dengan mantap.

Altazar mengeluarkan benda berbentuk bulat, ia membukanya menjadi dua bagian. Di tengah-tengah benda itu ada sebuah lubang berbentuk Heksagon.

"Dengan alat ini kau bisa mengetahui pelaku itu, caranya adalah dengan mengulang waktu. Dengan mengulang waktu bukan berarti kau bisa menyelamatkan adikmu, karena itu termasuk kedalam takdir dan kau tidak bisa merubah takdir tersebut. Saat kau berada di dalam waktu tersebut, kekuatan tubuhmu akan meningkat berkali-kali lipat."

"Sayangnya kau akan tembus pandang dan tidak dapat terlihat. Dan yang paling penting adalah kau tidak boleh menyentuh seseorang, seberapa marahnya kau pada pelaku nantinya, kau tidak boleh menyentuhnya. Saat sudah mengumpulkan bukti-bukti dan mengetahui wajah dari si pelaku segeralah ketempat semula. Aku akan membukakan portalnya untuk mu." Jelas Altazar panjang lebar.

"Baiklah, apa ada yang ingin kau tanyakan?"

Vivi mengangguk dengan semangat, mendengar semua penjelasan Altazar membuatnya seperti memiliki harapan untuk adiknya.

"Kenapa aku tidak boleh menyentuh orang-orang?"

"Karena itu akan merusak penghubung antara dua waktu yang berbeda."

"Apakah itu sangat berbahaya?" Tanyanya lagi.

"Tentu saja sangat berbahaya, seperti kataku tadi. Saat kau sudah mengumpulkan bukti-bukti dan mengetahui wajah si pelaku, sebisa mungkin kau tahan amarahmu nak. Jangan gegabah dan menyentuhnya, cepat-cepat lah kembali."

"Tapi bagaimana caraku untuk pergi kesana?"

Altazar teringat sesuatu lalu mengeluarkan gelang emas dari sakunya. Gelang emas itu sangat cantik, terdapat ukiran-ukiran lambang yang sama sekali Vivi tidak tahu. Ia lalu memasangkan gelang itu pada Vivi.

"WOW! gelang ini cantik sekali paman." Kagumnya sambil mengangkat dan memutar-mutarkan pergelangan tangannya.

"Itu alat agar kau bisa berteleportasi kemanapun. Agar lebih mempermudah dirimu, aku memberikan gelang ciptaan Aza ini."

Altazar meminta Vivi untuk melepaskan liontinnya.

"Nanti aku tidak bisa mendengarmu berbicara dong paman?" Tolaknya secara halus.

"Tenang saja nak, dengan gelang itu kau juga bisa mendengarku berbicara."

Tanpa banyak bicara, Vivi menyerahkan liontinnya. Altazar lalu membuka kurungan batu aquamarine yang berbentuk Heksagon itu lalu menempelkannya pada alat berbentuk bundar tadi. Tak lama cahaya yang amat terang keluar dari batu aquamarine itu. Cahaya itu membentuk sebuah pintu cahaya.

Setelah terbuka, Altazar mencabut batu itu kembali dan memasukkannya pada kurungan liontin dan memberikannya lagi pada Vivi.

"Baiklah, apa kau sudah siap nak?"

Dengan wajah penuh keyakinan Vivi mengangguk mantap, "Aku siap paman!"

Ini semua demi Chika, apapun itu akan Vivi lakukan untuk membalaskan dendamnya. Oleh karena itu, ia harus siap menjalaninya.

"Baik, aku akan membuatmu meninggalkan ragamu dengan sihir. Karena yang bisa masuk kesana hanyalah ruh kita saja, sementara aku disini akan menjaga ragamu."

"Saat kau masuk kedalam sana, pikirkanlah tempat yang ingin kau tuju. Setelahnya aku serahkan padamu."

"Baik, aku paham."

Setelah itu Altazar memegang pucuk kepala Vivi dan menggumamkan mantranya, tak lama ruh Vivi keluar dari raganya. Ia bersiap masuk kedalam pintu bercahaya itu, namun ia tiba-tiba berhenti dan menoleh kebelakang.

"Paman tidak ikut?"

Altazar menggelengkan kepala, "Tidak, aku disini akan menjagakan ragamu. Tapi kau tenang saja, aku akan memantaumu disana."

"Baiklah paman, aku berangkat."

Vivi mengangguk lalu mulai melangkah masuk.

"INGAT NAK! JAGA AMARAMU, JANGAN SAMPAI MENYENTUH ORANG LAIN!" Teriak Altazar pada Vivi yang sudah berjalan lumayan jauh.

"BAIK PAMAN! DOAKAN AKU YAA!" Teriak Vivi dari dalam.

Altazar yang mendengar itu terkekeh pelan.

"Kau sangat mirip dengan Aza, Viona."

Tak butuh waktu lama, Vivi tiba di pabrik batu bara itu. Ia menarik napas dalam-dalam saat melihat pabrik tempat dimana Chika ditemukan.

Kau pasti bisa Vi, ini semua demi Chika

Aku harus segera menemukan pelakunya

Aku pasti bisa!

TRAANGG!!

Tiba-tiba terdengar suara besi jatuh,Vivi berlari kearah sumber suara. Setelah tiba ia tersentak kaget. Karena ia bisa melihat dirinya yang lain sedang melompat kearah jendela.

"Bikin kaget saja, paman gak bilang kalau aku akan bertemu dengan diriku di waktu ini."

Setelahnya Vivi berteleportasi ke area belakang pabrik, ternyata saat itu mereka tengah asik melecehkan Chika. Melihat itu seketika amarah Vivi kembali memuncak, ia baru tahu. Jadi selama dirinya terjebak di dalam pabrik, para bajingan ini tengah melecehkan Chika. 

"JANGAN! TOLONG LEPASKAN AKU!" Berontak Chika.

"Percuma saja kau berteriak gadis kecil, di hutan seperti ini tidak akan ada orang yang mendengarmu." Ucap pria bertopeng putih yang saat itu melambaikan tangan pada Vivi.

"HAHAHAHAH!" 

Dengan langkah tergesa, Vivi mendekati pria itu dan hendak mendorongnya.

"Viona apa yang kau lakukan?" 

Mendengar itu, gerakan Vivi seketika berhenti sesaat sebelum ia menyentuh pria bertopeng itu.

"Tahan amarahmu Nak. Ingat! kau tidak boleh menyentuhnya."

Vivi mencari sumber suara tersebut, "Paman Altazar?"

Ternyata suara itu berasal dari dalam kepalanya. Berkat gelang emas itu, mereka berdua bisa berkomunikasi walaupun tidak bertemu.

"Iya, ini aku. Tenangkan dirimu Nak, jangan gegabah."

Vivi yang terlihat mulai frustasi, mulai meremas kepalanya. Ia meringis, "Apa yang harus aku lakukan paman?Aku mohon, bantu aku."

Sementara itu, didepannya kini pria pertopeng tengah melancarkan aksi bejatnya pada Chika.

"Kak Vivi....."

"Tolong aku..." Lirih Chika yang kini sedang memejamkan mata ketakukan.

Disisi lain, Vivi menjadi serba salah. Di satu sisi ia ingin sekali meninju pria bertopeng itu saat ini juga dan di sisi lain, Altazar melarangnya.

Tangis Vivi pecah, ia merasa tidak berguna karena tidak bisa menolong adiknya.

"Bbbagaimana pamann? ap-pa yang harus aku lakukan?"

"Atur amarahmu Nak, ini semua demi Chika." jawab Altazar.

"BAGAIMANA BISA AKU HANYA DIAM SEMENTARA DIDEPAN SINI ADIKKU TERUS-MENERUS MEMANGGILKU LIRIH??!!"

Altazar di sana mulai panik, ia takut Vivi menghiraukan larangannya. Sementara disana, Vivi mulai berjalan mendekati pria bertopeng dengan tatapan membunuh.

"VIONA BERHENTI!"

Langkah Vivi terhenti seketika saat mendengar Altazar berteriak. Suara amarah Altazar terdengar begitu mengerikan.

"Jangan gegabah! ikuti perkataanku jika kau ingin selamat, Viona!"

Vivi mundur beberapa langkah. Ia seakan tersadar tujuan awal dirinya berada disini. Dia sekarang berdiri disini untuk mencari bukti bukan untuk menghajar si pelaku.

"Maaf Paman."

Terdengar helaan napas Altazar di seberang sana, "Lebih baik kau pejamkan kedua matamu agar kau tidak melihat kejadian ini."

Vivi menurut, ia memekamkan matanya.

"Atur pernapasanmu agar kau menjadi lebih tenang."

Ia dengan sengaja berteleportasi menjauh dari tempat Chika dan memilih melihatnya dari atas genteng pabrik.

Terlihat dari atas sini si pria bertopeng sedang mengguyur badan Chika dengan bensin. Sementara para bawahannya hanya diam menyaksikan. Setelah tubuh Chika basah, ia mulai menyalakan korek api.

"KAKK VIVIIII!!"

WUSSHHHH.....

Setelah Chika berteriak, korek itu dijatuhkan dan api besar langsung berkobar membakar tubuh Chika. Diatas sini Vivi tak mampu melihatnya, ia memejamkan mata sembari menggigit bibir bawahnya dan meremas dadanya yang terasa sangat sakit.

"Maafin Kakak."

Pria bertopeng itu merentangkan kedua tangannya tepat di depan kobaran api yang menyala-nyala.

"HAHAHAHAHAHA!!" Ia berteriak kesenangan.

Para bawahannya mulai menaikki mobil bak terbuka, tak lama ia juga ikut naik kesana. Mobil pun mulai pergi meninggalkan area pabrik.

BRAAKKK!!

"TUNGGUUU!!!" 

Vivi ingat kejadian ini, setelang pintu didobrak dirinya yang lain berteriak pada mereka. Di bawah sana dirinya yang lain berteriak frustasi. Vivi meringis melihat ekspresi wajahnya yang sehancur itu saat frustasi. Cukup membuat dirinya sendiri ketakutan. Tanpa mau melihat hal menyedihkan ini lagi, ia memutuskan untuk berteleportasi kesana-kemari sambil membuntuti mobil itu.

Setelah dibuntuti, ternyata mereka mengarah kesebuah Villa yang berjarak sekitar 100 km dari pabrik batu bara tadi. Si pria bertopeng putih itu berjalan masuk ke dalam Villa, ia berjalan ke area basement. Vivi terus membuntutinya sambil sesekali mengagumi interior Villa yang cukup mewah ini.

"WOW, Villa ini keren sekali. Bahkan pintunya terbuka otomatis."

"EHH!"

PLAKK!

Ia menampar dirinya sendiri, "Fokus Vi, kamu kesini bukan untuk mengagumi Villa ini."

Pria bertopeng itu menghampiri satu meja yang diatasnya tergeletak tak hitam, Vivi membelalakkan kedua matanya. Ia tau tas ini, ia pernah melihatnya. Untuk memastikannya lagi, Vivi berteleportasi ke masa lalu. 

Tepat saat tiba, ia melihat dirinya yang lain tengah berjalan ke arah mobil hitam sambil membawa dua kantong plastik besar. Iya benar, waktu ini lah yang Vivi tuju. Waktu dimana ia membantu Pak Hasan membawakan makanan ke bagasi mobilnya.

Dirinya yang lain mulai membuka bagasi dan menemukan tas hitam di dalamnya. 

"CEPET BUKAA WOYY!!" Teriaknya geregatan.

Dirinya yang lain membuka tas itu dan menemukan tongkat baseball dan topeng putih itu.

"Topeng putih itu?"

DEG!

Vivi kaget setengah mati, topeng yang kini sedang di pegang dirinya yang lain adala topeng yang sama persis di gunakan oleh pembunuh Chika waktu itu. Ia menggelengkan kepala tidak percaya.

"Bahkan topeng ini sama-sama patah pada bagian matanya."

Ia buru-buru berteleportasi ke tempatnya semula, setibanya di basement Vivi langsung mencari keberadaan si Pelaku.  Kali ini ia benar-benar sangat marah saat sudah mengetahui siapa pelakunya. Pria bertopeng itu ternyata masih ditempat yang sama, ia kini sedang memandangi foto Chika yang ia potret sendiri saat proses pembakaran.

Vivi berjalan tergesa-gesa kedua matanya menyiratkan kebencian yang sangat amat dalam. Sementara Altazar di seberang sana sudah berusaha mencegah Vivi, namun tidak di gubrisnya.

"Viona berhenti! kau sudah kelewatan batas Nak!"

"Hei! dengarkan aku! ini berbahaya!"

Percuma, Vivi tidak mendengarkan Altazar. Sekarang dirinya sepenuhnya sudah dikuasai oleh amarah. Vivi berlari kearah Pria bertopeng. Altazar mulai panik, ia tidak dapat mengontrol Vivi lagi.

Tanpa di sadari, tiba-tiba kedua bola mata Vivi berubah menjadi biru. Semakin dekat dengan pria bertopeng, tubuhnya semakin diselibuti oleh cahaya biru yang berkobar seperti api. Ini adalah bentuk kemarahannya yang sangat amat besar.

Tepat saat Vivi menggapai bahu pria itu, raga Vivi yang sejak awal di jaga oleh Altazar terbakar api biru dan menghilang seketika. Ini sudah tidak benar, Altazar memutuskan untuk menyusul Vivi.

Tiba-tiba Vivi bisa menggapai bahu pria itu, pria itu terkaget dan langsung membalikkan badan. Kini tubuh Vivi sudah tidak berbentuk ruh lagi, badannya sudah menyatu dengan raga. Pertarunggan pun tak dapat terelakkan.

Vivi pukul wajah pria itu hingga topengnya hancur dan terjatuh ke lantai.

"Pak Hasan?!"

"Vivi?!"

Tiba-tiba mata Vivi kembali seperti semula dan cahaya api biru yang menyelimutinya mulai memadam. Dengan wajah penuh ketakutan Hasan bangkit berdiri.

"Kamu ngapain disini Vi?"

Vivi menatap Hasan dengan pandangan kosong, " Aku tidak menyangka pelakunya adalah Bapak."

Hasan perlahan-lahan berjalan mundur ke arah meja untuk mengambil tongkat Baseballnya.

"Hehehe, kamu ngomong apa sih Vi? Bapak gak tau apa-apa?"

Vivi semakin berjalan mendekat kearahnya, "Tidak usah mengelak, DASAR BAJINGAN!!"

"Kau yang sudah membunuh adikku! kau lecehkan dia lalu kau bakar dia hidup-hidup!" 

Mata Vivi kembali berubah menjadi biru, perlahan-lahan tubuhnya mulai di selimuti lagi oleh api biru.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan Viona! Kamu salah paham!"

"Dari ratusan juta anak-anak kenapa harus Chika Pak? kenapa?" Air mata Vivi berupa api biru meneter ke lantai dan langsung membuat lantainya gosong.

"Salah Chika apa sampai-sampai bapak tega membunuhnya dengan keji seperti ini? Jawab Pak!"

"Bapak seenaknya merengut sesuaru yang sangat berharga di hidup saya padalah saya tidak pernah merebut hal yang paling berharga buat bapak."

Hasan semakin dekat dengan meja itu, "Biar bapak jelaskan Viona, dengar dulu..."

"Tidak ada yang perlu di jelaskan, semuanya sudah jelas. Bapak lah pembunuh berantai yang kini sedang buron itu."

Sedikit lagi tangan Hasan menggapai tongkat Baseball.

Hap!

Bugh! Bugh! Bugh!

Dengan sekali tangkap, Hasan memukulkan tongkat baseballnya pada wajah Vivi sebanyak-banyaknya.

"MATI KAU BOCAH SIALAN! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAU MEMBONGKAR SEMUA KEJAHATANKU!"

Bugh! Bugh! Bugh!

"AKU AKAN MENGHILANGKAN SEMUA JEJAK! TERMASUK DIRIMU, AKU AKAN MENGHABISIMU VIONA!!" Teriaknya sambil tersenyum gila.

Vivi tak bergeming sedikit pun, walaupun wajahnya kini sudah berdarah-darah. Hasan sangat kuat sehingga Vivi kewalahan menahan serangannya.

"AKU AKAN MEMBUATMU BERAKHIR SEPERTI ADIKMU!"

Bugh! Bugh! Bugh!

"SALAH SENDIRI IKUT CAMPUR URUSAN ORANG!" 

Vivi jatuh terduduk di lantai, Hasan yang merasa sudah menang kini menghentikan serangannya. 

"Hahahaha! cuma segitu kekuatanmu Hasan?"

"Aku tidak akan mati sebelum aku bisa membalaskan dendam Chika." Ucap Vivi yang masih terduduk dilantai dengan tatapan kesetanan.

Hasan yang panik buru-buru hendak memukulnya lagi, namun dengan cepat Vivi tangkap serangan itu. Hasan berusaha menarik tongkat baseballnya tapi susah karena Vivi menggenggamnya sangat kuat. 

Vivi mulai bangkit dari duduknya, hanya dengan sekali remas, tongkat baseball itu remuk. Kini api biru yang lebih besar dari sebelumnya menyelimuti tubuh Vivi. Warna matanya pun bukan biru lagi melainkan berubah menjadi putih. Dengan cepat ia melesat kearah Hasan dan meninju wajahnya.

BUGH!

Hasan terpelanting ke tembok, hidungnya patah dan mengeluarkan darah. Belum ada sedetik Vivi sudah ada di hadapan Hasan lagi.

"AKANKU PASTIKAN KAU MERASAKAN APA YANG ADIKKU RASAKAN BAHKAN LEBIH, HASANN!!!"

BUGH! BUGH! BUGH!

Dengan mudanya Vivi melayangkan pukulan pada Hasan yang sekali kena pukul langsung sekarat.

"J-jangan! ampuni saya Viona, saya mohon!" lirih Hasan.

Mendengar itu membuat Vivi merasa jijik, di tariknya leher Hasan agar menghadap kearah Vivi.

"Apa kau bilang? Ampuni?"

Brugh!

Ia bantingkan kepala Hasan ke lantai, "HAHAHAHAH!!"

"KEMANA SAJA KAU HASAN! SAAT ADIKKU BERTERIAK MEMINTA AMPUN KAU MALAH MENUTUP KUPING BERPURA-PURA TIDAK MENDENGARNYA, DAN SEKARANG KAU SEENAKNYA MEMINTA AMPUN PADAKU?!!"

Vivi menyeret Hasan ke tengah ruangan.

"Tempatmu bukan disini, dunia ini terlalu indah untuk bajingan seperti dirimu."

Ia berjalan ke pinggir ruangan dan mengambil jerigen minyak tanah lalu menyiramkannya pada Hasan. 

"AAAAAAHHHHHHHH!" Teriak Hasan kesakitan karena lukanya terkena minyak.

Vivi yang sudah kesetanan ini menatap Hasan dengan senyum lebar.

"Liat Chik, sebentar lagi kakak akan membalaskan dendammu sayang. Setelah ini kau bisa hidup tenang disana." Lirihnya.

Ia nyalakan batang korek api, "PERGILAH KE NERAKA HASAN!"

Tepat sedetik saat korek api tersebut hendak Vivi jatuhkan, ia merasa iba setelah melihat Hasan yang sudah sekarat dan sangat menderita karnanya. Bagaimana pun Vivi adalah orang yang baik, ia tidak tega untuk membunuh orang.

Brugh!

Ia terduduk dilantai, perlahan api yang menyelimutinya memadam. Tubuh dan matanya kembali seperti semula. Kedua tangannya menutup wajah, tangisnya pecah. Ia merasa sangat berdosa. Sementara disampingnya Hasan merintih kesakitan.

HIKS....HIKS....HIKS....

"Chika, yang kakak lakuin ini benar atau salah sih? Kakak gak tau yang mana yang benar."

"Maafin kakak Chik..."

"Maaf, kakak gak becus jagain kamu."lirihannya terdengar sangat menyakitkan di telinga.

"Maaf Kakak belum bisa jadi sosok Kakak yang baik buat kamu."

Liontin yang Vivi kenakan tiba-tiba menyala. Sebagian dari cahaya itu pergi keluar dari permatanya dan berhenti tepat di depan Vivi. Lalu cahaya itu membentuk wujud manusia. Cahaya biru itu membuat Vivi menurunkan kedua telapak tangannya. Menatap cahaya biru ini entah kenapa membuat Vivi teringat seseorang.

"C-chika?"

Kedua tangan dari cahaya itu menangkup kedua pipi Vivi dan menghapus lembut air matanya.

"Kakak gak perlu minta maaf."

Deg!

Itu suara Chika, Vivi sangat familiar dengan suaranya, "Chika, ini kamu?"

Cahaya berwujud manusia itu mengangguk lembut. Cahaya itu mendudukkan tubuhnya di hadapan Vivi.

"Kak Vivi adalah kakak terbaik buat Chika, kakak selalu berusaha jagain Chika. Walaupun Chika sering ngeyel, tapi kak Vivi gak akan ninggalin Chika gitu aja."

Air mata Vivi kembali menetes, ia tak sanggup berkata-kata.

"Chika sedih ngeliat kakak jahat seperti ini, ini bukan sosok Viona yang Chika kenal."

"kalo kakak membunuhnya, lalu apa bedanya dengan dia? kakak akan sama-sama jadi pembunuh."

Vivi menggelengkan kepalanya, "Tapi Chik -"

"Shhuttt, gak ada tapi-tapian kak. Kakak gak perlu balas dendam, Chika gak dendam sama sekali ke Pak Hasan."

"Chika udah terima semuanya dengan lapang dada, bagaimana pun ini sudah jadi takdir Chika."

Cahaya itu tersenyum pada Vivi dan senyuman itu persis sekali dengan milik Chika saat dirinya masih hidup.

"Pulang yah kak, gak usah khawatirin Chika. Chika disana udah bahagia, tuhan jagain Chika disana."

"Diatas tempatnya indah banget, Chika pingin bawa kakak kesana tapi kata tuhan gak boleh. Kakak harus jadi baik dulu baru kita bisa sama-sama tinggal ditempat indah itu."

"Jadi Chika datang kesini biar bisa mencegah Kak Vivi jadi orang jahat. Biar Tuhan bisa ngizinin kakak masuk ke tempat indah itu bareng Chika."

Vivi termenung mendengar setiap kata yang keluar darinya. Cahaya itu lalu meneteskan air mata.

HIKS...HIKS....

"C-chika mohon, pulang yah kak. Jangan kayak gini, Chika sakit liat kakak kaya gini."

Vivi tersenyum tipis lalu mengangguk, "Iya, kakak pulang."

"Dan kakak akan berusaha menjadi orang baik biar Tuhan nanti ngizinin kakak buat tinggal di tempat yang indah kayak kamu."

"Tunggu kakak yah Chik."

Cahaya itu terseyum lebar, "Chika bakal tunggu kakak disana, Chika janji gak akan kemana-mana dan gak akan bandel sama Tuhan."

"Iya, kamu di atas sana jangan bikin Tuhan pusing sama kenakalan kamu yah."

"Yaudah,Chika pamit yah kak. Tuhan udah nyariin Chika."

Vivi mengangguk dan memeluk Cahaya biru, tak lama cahaya itu melesat jauh keatas dan dirinya kini menjadi memeluk udara hampa. Kedua tangannya terjatuh di ke pahanya. Kini liontin itu beruba warna menjadi Abu-abu seakan warna birunya ikut pergi bersama perginya Chika dan liontin ini tidak pernah mengeluarkan cahayanya lagi sejak kejadian itu.

****

3 Tahun Kemudian

Digenggamnya bunga di tangan, Vivi dengan gembira menghampiri seseorang yang sedang duduk di samping pusara. Vivi menyapanya dan pria berperawakan menyeramkan itu terseyum lebar.

"Paman sudah lama menunggu?"

"Sudah berapa kali ku peringatkan, jangan memanggilku paman. Aku sekarang adalah Ayahmu."

Vivi terkekeh, ia sengaja menggoda ayahnya dengan memanggilnya paman. Sejak kejadian itu, Altazar memutuskan untuk tinggal di Planet Bumi. Percuma juga jika ia kembali ke planetnya semula, di sana dia sudah tidak memiliki siapapun. Altazar sering pergi bermain dengan Vivi dan Mamahnya, mungkin karena terlalu sering bertemu Altazar jadi jatuh cinta pada sang Mamah. 

Tanpa diduga mereka berdua saling mencintai, Vivi menyambut hangat hubungan mereka berdua. Vivi merasa Altazar adalah ayah yang baik dia juga sering menjaga Vivi dan membantu tugas sekolahnya, Altazar dibalik perawakannya yang menyeramkan tapi hatinya sangatlah lembut. Itulah yang membuat Vivi tanpa pikir panjang menyetujui pernikahan mereka.

Bagaimana dengan Hasan? Kabar baik, Hasan sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup dipenjara berkat semua bukti-bukti yang Vivi berikan. Sebenarnya Hasan dijatuhi hukuman Mati hanya saja Vivi meminta keringanan dan hakim menyetujuinya. Walaupun Hasan sudah berbuat jahat padanya, ia tidak boleh membalasnya dengan kejahatan juga. Tujuan hidupnya kali ini adala untuk menjadi orang baik agar ia bisa menemui Chika kelak disana.

Keluarga Vivi yang sekarang sangat harmonis, Vivi bahagia sekali. Tapi kebahagiaannya seakan kurang lengkap jika Chika tidak ada disampingnya. Vivi kadang sering berandai-andai.

Andai saja Chika masih hidup, pasti kamu akan bahagia dengan keluarga baru ini.

Tapi yang sudah terjadi biarlah berlalu, janganlah kita berandai-andai. Bagaimana pun itu sudah menjadi garis takdir yang sudah Tuhan ciptakan sebelum kita lahir. Kita tetap harus menjalani hidup bagaimanapun caranya, dan selalu berusaha untuk menjadi orang baik. Agar kita kelak diberi tempat peristirahatan terindah oleh tuhan.

Tiba-tiba Mamahnya Vivi datang mengangetkan dari belakang.

"Vivi senang sekali menggoda ayah yah, sudah cepat taruh bunganya disana dan jangan lupa cabut rumput-rumput liarnya."

Vivi mengangguk dan mulai membersihkan rumput liar. Setelah bersih, ia letakkan sebucket bunga di atas batu nisan dengan nama..

'Chika Fadrin'

~Tamat~

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun