Mohon tunggu...
Taufiq widjaja
Taufiq widjaja Mohon Tunggu... Mahasiswa - ilmu padi

kenali diri sendiri,kenal lingkungan, dan cari peran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Definisi Disabilitas UU No 2016

21 Juni 2021   16:22 Diperbarui: 21 Juni 2021   17:11 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2015,

menurut Salim

(https://www.solider.id/baca/4280,

2018)

ditemukan jumlah penduduk yang memiliki

disabilitas di Indonesia, sebesar 8,56 persen,

yang

mengalami kesulitan

mengingat/berkonsentrasi sebesar 2,82 persen,

Secara konseptual orang dengan kesulitan

mengingat/berkonsentrasi umumnya terjadi

pada penyandang disabilitas intelektual.

Pemenuhan hak sosial bagi penyandang

disabilitas diperlukan, bukan saja memberikan

jaminan atas hak kewarganegaraannya,

melainkan juga meringankan penanganan

masalah sosial terkait dengan kualitas sumber

daya manusia. Hal ini mengingat masalah

mendasar penyandang disabilitas mengalami

keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau

sensorik dalam jangka waktu lama dalam

berinteraksi dengan lingkungan dapat

mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan

warga negara lainnya berdasarkan kesamaan

hak. (Psl.1 UU No 8 tahun 2016).

Salah satu ragam penyandang

disabilitas adalah disabilitas intelektual

(tunagrahita, mental retardation, mental

defisiency). Secara konseptual, penyandang

disabilitas intelektual, perkembangan

kecerdasannya mengalami hambatan sehingga

tidak mencapai tahap perkembangan yang

optimal (Somantri, h 105). Demikian lingkup

perlindungan hukum bagi penyandang

disabilitas intelektual, berlaku bagi seseorang

yang "memiliki gangguan daya intelektual,

dengan tingkat kecerdasan dibawah rata-rata,

sehingga mempengaruhi fungsi daya pikirnya

(Psl. 4 UU No 8 tahun 2016). Namun pada

sebagian penyandang disabilitas intelektual

(kategori ringan), memiliki kemampuan untuk

dididik, mandiri dan bekerja sekalipun tidak

sempurna layaknya orang normal/reguler.

Mengingat masalah dalam

perkembangan psikho sosialnya, maka

penyandang disabilitas intelektual, selayaknya

menjadi bagian warga negara yang mendapat

perlindungan sosial, sehingga dapat

mengembangkan potensi yang dimilikinya

optimal. Perlindungan sosial diperlukan

mendorong rasa percaya diri atas kondisinya,

membangun semangat juang untuk

menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan,

merasa nyaman berada pada lingkungan

sosialnya, mendorong kemandiriannya dalam

bekerja.

Payung perlindungan hukum dalam

negara Kesatuan Republik Indonesia,

sesungguhnya telah terakomodasi dalam norma

dasar negara Pancasila (konteks kemanusiaan

yang adil dan beradab dengan jiwa nilai lainnya

secara terintegrasi), yang implementasi

hukumnya dituangkan dalam UUD Negara

Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 dan

Bab X A tambahan hasil amandemen tentang

Hak Asasi Manusia. Secara khusus diatur dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Disabilitas, dan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011

Tentang Pengesahan Convention on the Rights

of Persons with Disabilities (konvensi mengenai

hak-hak penyandang disabilitas). Kemudian

secara eksplisit jaminan-jaminan hak

penyandang disabilitas dituangkan dalam

Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas, menggantikan UU NO

4 tahun 1997. Namun demikian dalam

kenyataannya, belum sepenuhnya masyarakat

menerima kompetensi penyandang disabilitas,

utamanya bagi penyandang disabilitas

intelektual.

Berdasarkan legalitas kebijakan

tersebut, maka terpenuhinya hak-hak sosial

kewarganegaraan bagi penyandang disabilitas,

menjadi hal penting untuk diimplementasikan

dalam praktek kehidupan sosial secara nyata.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran perlindungan hak-hak sosial

penyandang disabilitas intelektual dalam dunia

kerja, masalah yang ditemukan dalam

bekerjanya, dan solusi untuk mengatasi masalah

penyandang disabilitas intelektual dalam

lapangan kerja.

Hasil dan Pembahasan

Perlindungan Hak Sosial Kewarganegaraan

Penyandang Disabilitas Intelektual

Kehidupan sosial senantiasa terkait

dengan nilai-nilai normatif yang mengatur

tentang perilaku-perilaku bebas secara pribadi,

dan keterbatasan kehendak bebas karena harus

menghargai hak orang lain dengan nilai yang

sama. Dalam kaidah hukum dikenal dengan

istilah hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban

dalam negara berkaitan dengan kedudukan

manusia terhadap negara dan dengan manusia

lainnya sebagai subjek hukum. Sesuai dengan

kedudukannya, hak dan kewajiban

menghadirkan diri manusia sebagai makhluk

yang memiliki naluri mempertimbangkan

perilaku atas tuntutan moral atau etik. Bertens

(1993) menyatakan bahwa "hak" adalah klaim

yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu

terhadap yang lain atau terhadap masyarakat

yang dapat dibenarkan secara moral dan hukum.

Artinya bahwa nilai "hak" melekat pada

pengakuan norma masyarakat, baik bersifat

moral atas pertimbangan etis masyarakat,

maupun bersifat legal yang dibenarkan

berdasarkan undang-undang, peraturanperaturan atau dokumen-dokumen legal lainnya,

yang sifatnya mengikat dan bersanksi. Jaminanjaminan atas hak dasar semestinya dilindungi

secara hukum, agar memililiki jaminan legal

untuk memenuhi unsur keadilan. Demikian pula

hukum perlu mempertimbangkan nilai-nilai

dasar moral agar jaminan kepastian hukumnya

berlaku efektif dan kuat kedudukannya dalam

masyarakat.

Terkait dengan perlindungan atas hak

penyandang disabilitas, ketentuan umum UU No

8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,

menjelaskan bahwa yang dimaksud

"Perlindungan" adalah upaya yang dilakukan

secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan

memperkuat hak Penyandang Disabilitas".

Pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa

perlindungan bagi penyandang disabilitias

memiliki makna, menjaga, merawat,

memelihara, menyelamatkan nilai-nilai hak.

Kepedulian sosial dari berbagai pihak bagi

penyandang disabilitas, pada dasarnya menjadi

bagian dari inti hukum nilai hak asasi manusia..

Nilai inti hukum hak asasi manusia yang sangat

penting dalam konteks disabilitas selengkapnya

dirumuskan oleh Deputi Bidang Kordinator

Penanggulangan dan Perlindungan Sosial tahun

2015, sebagai berikut : a) Martabat individu,

dipandang sebagai tak terhitung nilainya ; b)

Konsep otonomi atau penentuan nasib sendiri

(self-determination), c) Adanya kesetaraan

dengan semua orang betapapun berbedanya

orang itu; d) Etika solidaritas, yang menuntut

masyarakat untuk menjamin kebebasan

penyandang disabilitas dengan dukungan sosial

yang tepat

(https://media.neliti.com/media/publications/83

4, 2015).

Nilai inti hukum pertama, menegaskan

bahwa martabat adalah hak seseorang untuk

dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara

etis. Martabat merupakan konsep yang penting

dalam bidang moralitas, etika, hukum, dan

politik, dan berakar dari konsep hak-hak yang

melekat pada diri manusia dan selayaknya

bersifat abadi. Nilai inti hukum kedua,

menegaskan bahwa hak menentukan nasib

sendiri (right to self-determination) adalah hak

setiap orang untuk secara bebas menentukan

kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal

prinsip mengenai status politik dan kebebasan

mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial,

serta budayadasar yang dimiliki, membentengi,

mengokohkan dan membina hak penyandang

disabilitas. Melalui perlindungan atas haknya,

maka penyandang disabililitas memiliki

kekuatan untuk melakukan komplain atas

perlakuan ketidakadilan dan diskriminatif.

Status kewarganegaraan yang disandang

penyandang disabilitas, melahirkan

kewenangan-kewenangan pada negaranya atas

dasar nilai hak dan kewajiban dalam upaya

menjalankan hukum yang positif. Nilai ketiga,

menegaskan adanya kesetaraan dalam konteks

keberagaman sosial dalam status yang sama.

Nilai lainnya adalah hal yang bersifat eksternal,

yakni solidaristas dari lingkungan sosialnya.

Masyarakat selayaknya saling membahu,

menerima dan memperjuangkan etika solidaritas

untuk menerima kondisi masalah yang dihadapi

penyandang disabilitas.

Demikian halnya lahirnya UU No 8

tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,

dalam konteks analisis kebijakan tentang

perlindungan sosial, yang ditetapkan oleh

Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan RI, tahun 2015, merubah

paradigma kebijakan perlindungan perundangan

dari medical model of disability (UU No 4 tahun

1997) dengan social model of disability (UU No

8 tahun 2016). Medical model memandang

penyandang disabilitas dari aspek kesehatan

sehingga bentuk layanan pendekatan terhadap

penyandang disabilitas dilakukan dengan upaya

penyembuhan, dan layanan khusus. Dalam

konteks hukum, UU No 4 tahun 1997

memandang penyandang disabilitas sebagai

objek hukum dan pendekatan perlindungannya

didasarkan pada pendekatan belas kasihan

Pendekatan ini secara psikhologis, melihat

perlindungan terhadap disabilitas sebagai

kondisi yang dimilikinya, mengharuskan orang

lain untuk melayani atau menyantuninya.

(charity-based approach).

Perubahan paradigma UU No 8 tahun

2016 dirancang dengan bentuk paradigma baru

dalam melayani perlindungan penyandang

disabilitas, yakni didasarkan atas penghargaan

dan perlindungan aspek sosial psikhologis

(social model of disability). Undang-undang ini mengubah cara pandang dalam konsep legalitas

perlindungan hukum bagi penyandang

disabilitas, inti pokoknya meliputi dua hal, yakni

terkait dengan persepsi penyandang disabilitas

sebagai subjek hukum bukan sebagai objek

hukum, dan pendekatan perlakuan hukum yang

didasarkan atas nilai hak asasi manusia (human

rights based)

UU No 8 tahun 2016, selain

memperhalus rasa sosial juga memandang

penyandang disabilitas sebagai subjek hukum

yang memiliki hak dan kewajiban. Bentuk

pendekatan layanan perlindungan berbasis

pendekatan humanistik, yang lebih manusiawi

melihat fenomena psikhologis subjek hukum

penyandang disabilitas. Pendekatan sosial

humanistik ini tujuannya adalah pemberdayaan,

yakni mengembangkan potensi yang dimiliki

penyandang disabilitas sehingga mampu

mandiri dan membangun kesejahteraan atas

kekuatannya sendiri.

Perlindungan disabilitas,

bersifat

global/universal, dalam Brolin (E. Brolin, 1995)

ditunjukkan bahwa di Amerika telah ditetapkan

dalam undang-undang untuk menjamin

kesempatan yang sama bagi kaum disabilitas di

ranah pekerjaan, akomodasi, layanan umum

transportasi, pelayanan pemerintah di tingkat

lokal dan pusat, dan pelayanan komunikasi.

Demikian pula, seiring dengan gerakan global,

Indonesia juga telah meratifikasi Convention

on The Rights of Persons with Disabilities, yang

diselenggarakan PBB tanggal 13 Desember

2006 dengan Resolusi Nomor A/61/106.

Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang

disabilitas Pemerintah Indonesia telah

menandatangani Convention on the Rights of

Persons with Disabilities pada tanggal 30 Maret

2007 di New York. Kemudian tanggal 10

November 2011, ditetapkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011

tentang Pengesahan Convention on The Rights

of Persons with Disabilities (Konvensi

Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Perlindungan hak sosial bagi

penyandang disabilitas dalam hal ini

penyandang disabilitas intelektual (tunagrahita),

secara eksplisit normatif telah diberikan

jaminannya dalam konstitusi, melalui Undangundang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia tahun 1945 yang kemudian mendapat

amandemen tahun 1999-2002. Konstitusi

tersebut didasari asas kerohanian negara

Pancasila yang memberi jaminan perlindungan

bagi segenap warga negara atas hak dasar

kodrati yang melekat pada manusia, bersifat

universal dan abadi, yang selayaknya dijunjung

dan dihormati baik atas pertimbangan akal

maupun rasa nurani. Berdasarkan ketentuan

umum Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas, dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan "Pelindungan adalah upaya

yang dilakukan secara sadar untuk melindungi,

mengayomi, dan memperkuat hak Penyandang

Disabilitas". Oleh karena itu, fokus penelitian

ini mengamati jaminan legalitas hukum atas

pemenuhan hak perlindungan tersebut, baik

secara konstitusional dan empirik dalam tatanan

implementatif.

Aspek perlindungan hukum, Pasal 28D

(1) menunjukkan bahwa "Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama dihadapan hukum". Selanjutnya dalam

ayat 2 nya dinyatakan bahwa "Setiap orang

berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan

dan perlakuan yang adil dan layak dalam

hubungan kerja". Jaminan hukum tersebut

menunjukkan bahwa tak seorangpun dalam

negara yang tidak mendapat perlindungan

hukum dengan jaminan keadilannya. Negara

memiliki kewajiban untuk mengatur dan

mengelola kebijakan agar perlindungan tersebut

berlaku untuk semua tanpa kecuali.

Berkaitan dengan pemenuhan hak atas

kesejahteraan, pasal 28 H (1) menunjukkan

bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan". Selanjutnya dalam ayat (2)

dinyatakan bahwa "Setiap orang berhak

mendapat kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai persamaan dan

keadilan". Didukung dengan jaminan sosial

yang dilindungi dengan pasal 28 H (3), yang

menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas

jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai

manusia yang bermartabat". Pasal ini

hakikatnya memberi jaminan hak pada setiap

orang untuk memperoleh jaminan kesejahteraan

baik secara materil maupun immaterial

(ruhaniah), dan negara mengharuskan untuk

memberi kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memungkinkan pengembangan diri warga

negara secara utuh.

Halnya dengan kondisi keterbasan

potensi warganegara, negara hadir memberijaminan perlindungan dari hal yang bersifat

diskriminatif. Pasal 28 I (2) menyatakan bahwa

"Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu". Selanjutnya

pada ayat (4) dinyatakan bahwa "Perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia adalah tanggung jawab negara,

terutama pemerintah". Keterbatasan fisik,

mental maupun intelektual sebagai hal yang

berbeda dari individu reguler/normal, menjadi

masalah tuntutan perlindungan terhadap

perlakuan yang diskriminatif, karena

masyarakat belum sepenuhnya menerima

keterbatasannya, sementara ada kemampuan

tertentu yang dapat menjadi kekuatan personal

untuk bisa mandiri dalam kehidupan sosialnya.

Implementasi tanggungjawab negara

dalam memberi jaminan perlindungan sosial

bagi penyandang disbilitas, dalam konteks ini

utamanya bagi penyandang

disabilitas

intelektual (mental retardation), telah

diberlakukan

Undang-Undang (UU)

Penyandang Disabilitas No. 8 Tahun 2016,

setelah ratifikasi CRPD PBB melalui UndangUndang No. 19 Tahun 2011. Pada bagian

keempat Undang-undang tersebut, yang

mengatur tentang Pekerjaan, Kewirausahaan

dan Koperasi. Beberapa hal penting tentang

jaminan hak sosial kewarganegaraan

penyandang disabiklitas pada bidang pekerjaan,

antara lain: a) Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib menjamin proses rekrutmen,

penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja,

keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier

yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada

Penyandang Disabilitas; b). Pemberi Kerja

dalam penempatan tenaga kerja Penyandang

Disabilitas dapat memberikan asistensi dalam

pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan

kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas. c).

Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha

Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah

wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua

persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah

pegawai atau pekerja. (2) Perusahaan swasta

wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu

persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah

pegawai atau pekerja. d). Pemerintah dan

Pemerintah Daerah wajib memberikan jaminan,

Pelindungan, dan pendampingan kepada

Penyandang Disabilitas untuk berwirausaha dan

mendirikan badan usaha sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. e)

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menjamin akses bagi Penyandang mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif Disabilitas untuk mendapatkan

rehabilitasi sosial, jaminan sosial,

pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. f)

Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 91 dilakukan oleh Pemerintah dan

Pemerintah Daerah melalui: bantuan sosial;

advokasi sosial; dan/atau bantuan hukum.

Penyandang disabilitas, adalah individu

yang memiliki keterbatasan. Dalam konteks

pendidikan dan kehidupan sosial termasuk

dalam kategori individu yang berkebutuhan

khusus (special needs), individu yang

memerlukan layanan bantuan atau bimbingan

sesuai dengan potensi yang dimilikinya, bersifat

personal dan kasuistik. Padanya melekat hak

yang bersifat individual dan hak yang bersifat

sosial. Hak individual, adalah hak pribadi, yakni

kebebasan dan kewenangan yang dimiliki

individu tanpa orang lain bisa menghalanginya,

sepanjang sesuai dengan nilai moral dan hukum.

Sedangkan hak sosial adalah hak individu bukan

sebagai pribadi melainkan sebagai anggota

masyarakat. Hak sosial adalah hak yang

dimiliki individu untuk mendapat perlakuan dari

orang lain, masyarakat atau negara, yang

disebabkan keterbatasan kemampuannya berhak

memperoleh perlakuan adil bagi dirinya.

Berdasarkan kajian historis filosofis tentang hak

sosial, Franz Magnis Suseno menunjukkan

bahwa "Hak-hak asasi sosial mencerminkan

kesadaran bahwa setiap anggota masyarakat

berhak atas bagian yang adil dari harta benda

materil dan kultural bangsanya dan atas bagian

yang wajar dari nilai ekonomis yang terus

menerus diciptakan oleh masyarakat sebagai

keseluruhan pembagian kerja sosial. Hak

sepenuhnya harus dijamin dengan tindakan

negara" (Suseno, 1991). Atas dasar tersebut,

maka hak sosial memerlukan perlakuan pihak

lain untuk memberi dukungan dan pemenuhan

atas haknya sesuai dengan kondisi dan masalah

yang dihadapinya.

Sejalan dengan dukungan data yuridis

tentang hak sosial kewarganegaraan

penyandang disabilitas dalam bekerja,

khususnya dalam konteks penelitian ini, secara

empiris ditemukan hal --hal sebagai berikut: 1)

Sebagian penyandang disabilitas intelektual

ringan mampu bekerja, baik pada industri besar

maupun industri rumah tangga atau pekerja

lepas. Seperti : sebagai penjahit di pabrik tekstil,

industri rumahan (menjajhit/makanan), workshop keterampilan pada lembaga

pendidikan (menjahit dan membuat kesed),

penjaga parkir, pekerja lepas usaha catering,

pengelola pemasaran usaha keluarga (tissue),

jasa kerja ojeg; 2) Jenis pekerjaan yang dapat

dilakukan penyandang disabilitas (ringan)

adalah pekerjaan yang bersifat sederhana (semi

skills); 3) penyandang disabilitas intelektual

(ringan) memiliki tanggungjawab dan dapat

menyelesaikan pekerjaan hingga tuntas, 4)

penyandang disabilitas intelektual (ringan)

Mampu disiplin dan menyelesaikan pekerjaan

sesuai ketentuan yang ditetapkan, sekalipun

memerlukan pengawasan; 5) penyandang

disabilitas (ringan) memiliki ketekunan dalam

bekerja sepanjang lingkungannya memberikan

rasa aman bagi dirinya.

Masalah Perlindungan Hak Sosial

Penyandang Disabilitas Intelektual dalam

Lapangan Kerja

Masalah mendasar yang dihadapi

penyandang disabilitas intelektual dalam

lapangan kerja, utamanya disebabkan oleh aspek

yang bersifat internal, yakni terganggunya daya

intelektual sehingga menghambat kepada daya

berfikirnya. Kemampuan berfikir merupakan

kemampuan dasar untuk mempelajari

pengalaman, keterampilan dan menyesuaikan

diri dengan kehidupan sosialnya. Kondisi ini

mempengaruhi penyesuaian

sikap dan

perilakunya, untuk mencapai perkembangan

optimal seperti halnya orang normal/regular

pada umumnya. Berdasarkan Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-

5) tahun 2013, ditunjukkan bahwa penyandang

disabilitas mental memiliki hambatan fungsi

penyesuaian pada tiga aspek, yakni hambatan

dalam aspek konseptual, aspek sosial dan

manajemen kemandirian. Hambatan dalam

aspek konseptual meliputi hambatan dalam

bahasa, membaca, menulis, matematika,

penalaran, pengetahuan, dan memori. Hambatan

dalam aspek sosial, mengacu pada empati,

penilaian sosial, keterampilan komunikasi antar

pribadi, kemampuan untuk menjalin

pertemanan, dan kapasitas serupa. Hambatan

ketiga merupakan hambatan yang bersifat

praktis, terkait dengan kemampuan dalam

manajemen diri di bidang-bidang seperti

perawatan pribadi, tanggung jawab pekerjaan,

manajemen uang, rekreasi, dan mengatur tugas

sekolah dan pekerjaan.

Tingkat gangguan hambatan

penyandang disabilitas intelektual (tunagrahita),

bergantung kepada klasifikasi masalah

kemampuan intelegensinya. Secara konseptual

dalam Somantri (2006) dikemukakan klasifikasi

penyandang disabilitas intelegensi (tunagrahita),

berdasarkan instrument tes Skala Weschler

(WISC) sebagai berikut : 1). Tunagrahita ringan

memiliki IQ antara 69-55, 2). Tunagrahita

sedang memiliki IQ 54 -- 40, dan 3).

Tunagrahita berat memiliki IQ 39 -- 25. Diantara

klasifikasi tersebut, kelompok disabilitas

intelektual ringan, memiliki kesempatan layanan

akademis lebih tinggi dari klasifikasi lainnya.

Orang dengan disabilitas ringan memilikkemampuan untuk membaca, menulis dan

berhitung sederhana, sehingga dapat dididik

untuk menjadi tenaga kerja semi-skilled, hanya

tidak mampu melakukan penyesuaian secara

independen, lugu dan suka berbuat kesalahan.

Kemampuan penyandang intelektual sedang,

sulit untuk belajar secara akademik seperti

halnya dalam membaca, menulis dan berhitung

sederhana, sehingga sulit untuk dapat bekerja

secara mandiri. Klasifikasi paling bawah adalah

penyandang disabilitas intelektual berat.

Kelompok disabilitas ini memiliki potensi yang

lemah, tidak dapat belajar dan tidak mampu

mandiri, untuk membantu dirinya saja

memerlukan bantuan orang lain secara total dan

terus menerus.

Orang dengan gangguan daya

intelektualnya memiliki hambatan konseptual,

yakni terkait dengan kemampuan untuk

melakukan penalaran pengetahuan.

Kemampuan ini sangat terkait dengan kapasitas

intelektual secara personal, untuk mengenali

berbagai gejala yang ditemukan dalam

kehidupannya dengan menggunakan akal

pikirannya. Daya kerja intelektual untuk

memenuhi kategori kemampuan konseptual,

melibatkan proses berfikir abstrak untuk

mengkonstruksi pemahaman dari sebuah hal

atau fenomena yang diamati atau ditemuinya.

Proses berfikir abstrak mensyaratkan kapasitas

kemampuan terkait dengan symbol-simbol

komunikasi baik bahasa maupun matematis.

Oleh karena itu bagi penyandang disabilitas

intelektual (orang dengan hambatan mental),

akan kesulitan dalam dalam bahasa, membaca,

menulis, matematika, melakukan penalaran

pengetahuan, dan menyimpan dan

membangkitkan memori. Pada sisi lain, akibat fungsi

intelektualnya, DSM-5 menunjukkan hambatan

lainnya,yakni hambatan sosial dan hambatan

yang bersifat praktis. Hambatan sosial terkait

dengan proses interaksi seseorang dengan orang

lainnya dalam lingkungan sosialnya, baik dalam

lingkungan keluarga, masyarakat maupun

lingkungan sekolah atau lingkungan kerjanya.

Hambatan sosial yang dialami penyandang

disabilitas mental (intelektual) terkait dengan

kemampuan dirinya untuk merasakan atau

mengidentifikasi perasaan orang lain, menilai

pesan-pesan atau merespon suatu pesan,

kecakapan untuk berkomunikasi antar pribadi

sehingga menghambat juga pada kemampuan

dirinya untuk menjalin pertemanan. Hal lain

hambatan yang bersifat praktis terkait

penyandang disabilitas intelektual adalah

hambatan yang bersifat praktik terkait dengan

kemampuan diri untuk melakukan pekerjaan

yang selayaknya mampu dilakukan oleh dirinya

sendiri secara personal, seperti: mengurus

kepentingan pribadinya, tanggung jawab

pekerjaan, mengelola keuangan atau melakukan

rekreasi.

Namun demikian secara empirik, hasil

penelitian terhadap penyandang disabilitas

intelektual, khususnya pada klasifikasi ringan,

ditemukan ada yang mampu bekerja sebagai

penjahit di pabrik tekstil, pekerja pada workshop

keterampilan (menjahit dan membuat kesed),

penjaga parkir, pekerja lepas usaha catering,

pemasaran usaha keluarga

(tissue),

housekeeping (merapikan kamar hotel).

Sekalipun dalam jumlah kecil dan terbatas,

namun pada dasarnya potensi penyandang

disabilitas ringan dapat bekerja, sehingga

mengurangi beban sosialnya dan dapat memiliki

kepercayaan diri untuk bisa hidup di masyarakat

secara terhormat. Berdasarkan data pengamatan

di Kota Bandung, dari 27 penyandang

tunagrahita ringan pasca sekolah, hanya 15 % (4

orang) saja yang mampu bekerja secara mandiri

setelah lulus dari lembaga pendidikan SLB &

Diklat Dinas Sosial. Mereka yang mampu

bekerja pada sektor publik, bekerja pada

lembaga yang lingkungan sosialnya memiliki

pemahaman karakteristik penyandang

disabilitas, dan memiliki kepedulian untuk

memberi perhatian dan pengawasan sehingga

memberi manfaat bagi kehidupannya.

Gambaran kemampuan yang

ditunjukkan penyandang disabilitas ringan,

dalam lingkungan lapangan kerjanya, ditemukan

hal sebagai berikut : 1). mampu melakukan

pekerjaan yang bersifat sederhana, parsial dan

tidak rumit dan tidak memerlukan logika

berfikir tingkat tinggi; 2). mampu

menyelesaikan pekerjaan hingga tuntas, namun

sedikit lebih lambat dari yang normal/reguler;

3). mampu bekerja tekun dan jujur; 4). ada

kalanya membuat kesalahan, sehingga perlu ada

pengawasan; 5). mampu menunjukkan hasil yag

baik asalkan pekerjaan itu berulang-ulang

dilakukannya; 6). kurang kemampuan untuk

komunikasi, untuk menyampaikan kehendak

atau masalah yang dirasakannya; 7). lebih asyik

dengan pekerjaannya sendiri daripada bekerja

secara bersama dengan orang lain; 8). memiliki

rasa tanggungjawab dalam bekerja dan bangga

atas pekerjaan yang dilakukannya; 9). senang

jika ada orang menghargai hasil kerjanya dan membangkitkan motivasi, namun sebaliknya

jika meremehkannya, membuat semangatnya

menurun; 10. Belum bisa mandiri kerja secara

penuh, ada kalanya keengganan dan kejenuhan

untuk melakukan pekerjaan, sehingga untuk

keberlanjutan kerjanya, senantiasa

membutuhkan perhatian, pengawasan dan

bimbingan agar senantiasa kemandiriannya baik

secara sosial maupun secara ekonomi dapat

terpelihara. Jika dianalisis berdasarkan pendekatan

legalitas hukum perlindungan bagi penyandang

disabilitas intelektual, dalam tataran

implementatif, harus dibangun integrasi

pendekatan perlakuan layanan paradigma

medical model approach dengan social model

approach. Perlakuan model tersebut diperlukan

mengingat kondisi klasifikasi hambatan yang

dimiliki penyandang disabilitas itu sendiri,

secara alamiah memiliki kecenderungan

gangguan mental yang dapat mengganggu sikap

dan perilaku sosialnya. Implementatif

paradigma model medical model, mengharuskan

lingkungan sosialnya memiliki rasa empati,

sabar, peduli, perhatian dan kasih sayang dalam

memahami dan memberikan layanan

bantuannya. Namun rasa empati dan peduli itu

harus diimbangi dengan kesadaran untuk

melihat bantuan sosialnya atas pertimbangan

nilai penghormatan dan penghargaan untuk

mengangkat martabatnya menjadi lebih baik.

Atas pertimbangan tersebut, maka model sosial

harus dilakukan untuk membangun nilai

instrinsik potensi penyandang disabilitas

intelektual, sehingga optimalisasi potensinya

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan

lingkungan sosial terdekatnya.

Upaya Mengatasi Masalah Perlindungan

Hak Sosial Penyandang Disabilitas

Intelektual dalam

Hasil penelitian menunjukkan, pada

dasarnya penyandang disabilitas intelektual

dalam bekerja, bergantung kepada latihan

keterampilan kerja yang diberikannya. Latihan

yang berulang dan bimbingan yang terarah

kepada penyandang disabilitas intelektual

dengan kategori ringan, dapat membantu

kemandirian kerja pada lembaga formal. Sesuai

dengan kondisinya, segala hak dan

kewajibannya berlaku sama dengan orang

normal/reguler, namun demikian pada lembaga

tertentu nilai keadilan diberikan sesuai dengan

kapasitas kemampuan yang dimiliki. Seiring

dengan masalah yang ditemui penyandang

disabilitas intelektual dalam bekerjanya,

diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari

berbagai pihak terkait, antara lain keluarga dan

lingkungan kerjanya, sehingga kemandirian

kerjanya dapat berlanjut.

Untuk mengembangkan optimalisasi

kemandirian penyandang disabilitas intelektual

dalam lapangan kerja, diperlukan perlakuan

sebagai berikut: 1). Menguatkan peran Sekolah

Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan untuk

penyiapan keterampilan bekerja (vocational

skills) khusus bagi penyandang disabilitas

intelektual, melalui penyempurnaan

keterampilan kerja, baik jenis keterampilan

kerja maupun kesiapan mentalnya untuk bekerja

secara mandiri dan bekerja pada lembaga dunia

usaha. 2). Menyelaraskan bentuk-bentuk

pelatihan keterampilan kerja lembaga

pendidikannya dengan kemungkinan

ketersediaan pekerjaan yang dapat diikuti oleh

penyandang disabilitas ringan;

2)

Mengembangkan pemahaman mengenai kondisi

penyandang disabilitas intelektual dengan

teknik pelatihan berbasis "taks analysis" pada

instruktur pelatihan kerja (seperti pada lembaga

Dinas Sosial atau lembaga pelatihan lainnya).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Khoeriah,

2017) yang menekankan pentingnya analisis

tugas dimiliki oleh instruktur dengan

pengembangannya tidak terbatas pada disiplin

ilmu, tetapi juga pengetahuan terhadap gaya

belajar peserta didik dan strategi; 3)

Membangun kemitraan antara lembaga

pendidikan dengan dunia usaha dan dunia

industri (DUDI) untuk menyusun program

pelatihan yang relevan antara penyiapan latihan

kerja dengan kebutuhan usaha. 4) Sosialisasi

Undang-undang No. 8 tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas pada dunia usaha dan

masyarakat, sehingga dapat memberi pengakuan

yang semestinya terhadap hak-hak dasar

penyandang disabilitas. 5) Membangun

kerjasama dengan orang tua, agar memberi

kepercayaan dan motivasi kepada penyandang

disabilitas untuk menjadi pekerja (employment).

6). Pendampingan kerja bagi penyandang

disabilitas intelektual, atas pijakan nilai sosial

dan etos kerja kewirausahaan. Allternatif

solusi tersebut, diharapkan dapat meningkatkan

perlindungan hak-hak sosial kewarganegaraan

penyandang disabilitas intelektual, agar mampu

mandiri dan mengurangi beban sosial baik bagi

keluarga, masyarakat maupun negara.

SIMPULAN

Penyandang disabilitas intelektual,

memiliki legalitas hukum yang sama untuk

memperoleh kehidupan yang layak baik secara

sosial maupun secara ekonomi. Pemenuhan hak

sosial bagi penyandang disabilitas intelektual

bukan saja memberikan jaminan atas hak

kewarganegaraannya, melainkan juga

meringankan penanganan masalah sosial terkait

dengan kualitas sumber daya manusia. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa, hakikatnya

secara normatif perlindungan hak sosial

terhadap penyandang disabilitas intelektual

telah dipenuhi yakni melalui perlindungan

konstitusional UUD NRI 1945 dan UU No 8

tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Namun secara empirik, kuantitas keterlibatan

penyandang disabilitas dalam bekerja, masih

sangat kecil, mengingat potensi yang

dimilikinya belum seimbang dengan tuntutan

dunia kerja. Secara praxis, masih ditemui

masalah antara lain: kesenjangan antara

kemampuan kerja dengan tuntutan dunia kerja,

kesediaan dunia industri untuk menerima tenaga

kerja penyandang disabilitas intelektual,

persepsi masyarakat yang belum positif menilai

penyandang disabilitas intelektual,

kekurangpahaman, kesabaran dan ketekunan

instruktur dalam melatih kesiapan kerja,

motivasi kemandirian untuk kerja dari keluarga

belum optimal. Upaya mengatasi masalah

tersebut dapat dilakukan dengan kemitraan

pembinaan antara lembaga pendidikan, lembaga

pelatihan, dunia usaha dan keluarga untuk

sebesar-besarnya memberikan perlindungan

sosial bagi penyandang disabilitas intelektual.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun