dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2015,
menurut Salim
(https://www.solider.id/baca/4280,
2018)
ditemukan jumlah penduduk yang memiliki
disabilitas di Indonesia, sebesar 8,56 persen,
yang
mengalami kesulitan
mengingat/berkonsentrasi sebesar 2,82 persen,
Secara konseptual orang dengan kesulitan
mengingat/berkonsentrasi umumnya terjadi
pada penyandang disabilitas intelektual.
Pemenuhan hak sosial bagi penyandang
disabilitas diperlukan, bukan saja memberikan
jaminan atas hak kewarganegaraannya,
melainkan juga meringankan penanganan
masalah sosial terkait dengan kualitas sumber
daya manusia. Hal ini mengingat masalah
mendasar penyandang disabilitas mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak. (Psl.1 UU No 8 tahun 2016).
Salah satu ragam penyandang
disabilitas adalah disabilitas intelektual
(tunagrahita, mental retardation, mental
defisiency). Secara konseptual, penyandang
disabilitas intelektual, perkembangan
kecerdasannya mengalami hambatan sehingga
tidak mencapai tahap perkembangan yang
optimal (Somantri, h 105). Demikian lingkup
perlindungan hukum bagi penyandang
disabilitas intelektual, berlaku bagi seseorang
yang "memiliki gangguan daya intelektual,
dengan tingkat kecerdasan dibawah rata-rata,
sehingga mempengaruhi fungsi daya pikirnya
(Psl. 4 UU No 8 tahun 2016). Namun pada
sebagian penyandang disabilitas intelektual
(kategori ringan), memiliki kemampuan untuk
dididik, mandiri dan bekerja sekalipun tidak
sempurna layaknya orang normal/reguler.
Mengingat masalah dalam
perkembangan psikho sosialnya, maka
penyandang disabilitas intelektual, selayaknya
menjadi bagian warga negara yang mendapat
perlindungan sosial, sehingga dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya
optimal. Perlindungan sosial diperlukan
mendorong rasa percaya diri atas kondisinya,
membangun semangat juang untuk
menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan,
merasa nyaman berada pada lingkungan
sosialnya, mendorong kemandiriannya dalam
bekerja.
Payung perlindungan hukum dalam
negara Kesatuan Republik Indonesia,
sesungguhnya telah terakomodasi dalam norma
dasar negara Pancasila (konteks kemanusiaan
yang adil dan beradab dengan jiwa nilai lainnya
secara terintegrasi), yang implementasi
hukumnya dituangkan dalam UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 dan
Bab X A tambahan hasil amandemen tentang
Hak Asasi Manusia. Secara khusus diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Disabilitas, dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011
Tentang Pengesahan Convention on the Rights
of Persons with Disabilities (konvensi mengenai
hak-hak penyandang disabilitas). Kemudian
secara eksplisit jaminan-jaminan hak
penyandang disabilitas dituangkan dalam
Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, menggantikan UU NO
4 tahun 1997. Namun demikian dalam
kenyataannya, belum sepenuhnya masyarakat
menerima kompetensi penyandang disabilitas,
utamanya bagi penyandang disabilitas
intelektual.
Berdasarkan legalitas kebijakan
tersebut, maka terpenuhinya hak-hak sosial
kewarganegaraan bagi penyandang disabilitas,
menjadi hal penting untuk diimplementasikan
dalam praktek kehidupan sosial secara nyata.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran perlindungan hak-hak sosial
penyandang disabilitas intelektual dalam dunia
kerja, masalah yang ditemukan dalam
bekerjanya, dan solusi untuk mengatasi masalah
penyandang disabilitas intelektual dalam
lapangan kerja.
Hasil dan Pembahasan
Perlindungan Hak Sosial Kewarganegaraan
Penyandang Disabilitas Intelektual
Kehidupan sosial senantiasa terkait
dengan nilai-nilai normatif yang mengatur
tentang perilaku-perilaku bebas secara pribadi,
dan keterbatasan kehendak bebas karena harus
menghargai hak orang lain dengan nilai yang
sama. Dalam kaidah hukum dikenal dengan
istilah hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
dalam negara berkaitan dengan kedudukan
manusia terhadap negara dan dengan manusia
lainnya sebagai subjek hukum. Sesuai dengan
kedudukannya, hak dan kewajiban
menghadirkan diri manusia sebagai makhluk
yang memiliki naluri mempertimbangkan
perilaku atas tuntutan moral atau etik. Bertens
(1993) menyatakan bahwa "hak" adalah klaim
yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu
terhadap yang lain atau terhadap masyarakat
yang dapat dibenarkan secara moral dan hukum.
Artinya bahwa nilai "hak" melekat pada
pengakuan norma masyarakat, baik bersifat
moral atas pertimbangan etis masyarakat,
maupun bersifat legal yang dibenarkan
berdasarkan undang-undang, peraturanperaturan atau dokumen-dokumen legal lainnya,
yang sifatnya mengikat dan bersanksi. Jaminanjaminan atas hak dasar semestinya dilindungi
secara hukum, agar memililiki jaminan legal
untuk memenuhi unsur keadilan. Demikian pula
hukum perlu mempertimbangkan nilai-nilai
dasar moral agar jaminan kepastian hukumnya
berlaku efektif dan kuat kedudukannya dalam
masyarakat.
Terkait dengan perlindungan atas hak
penyandang disabilitas, ketentuan umum UU No
8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
menjelaskan bahwa yang dimaksud
"Perlindungan" adalah upaya yang dilakukan
secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan
memperkuat hak Penyandang Disabilitas".
Pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa
perlindungan bagi penyandang disabilitias
memiliki makna, menjaga, merawat,
memelihara, menyelamatkan nilai-nilai hak.
Kepedulian sosial dari berbagai pihak bagi
penyandang disabilitas, pada dasarnya menjadi
bagian dari inti hukum nilai hak asasi manusia..
Nilai inti hukum hak asasi manusia yang sangat
penting dalam konteks disabilitas selengkapnya
dirumuskan oleh Deputi Bidang Kordinator
Penanggulangan dan Perlindungan Sosial tahun
2015, sebagai berikut : a) Martabat individu,
dipandang sebagai tak terhitung nilainya ; b)
Konsep otonomi atau penentuan nasib sendiri
(self-determination), c) Adanya kesetaraan
dengan semua orang betapapun berbedanya
orang itu; d) Etika solidaritas, yang menuntut
masyarakat untuk menjamin kebebasan
penyandang disabilitas dengan dukungan sosial
yang tepat
(https://media.neliti.com/media/publications/83
4, 2015).
Nilai inti hukum pertama, menegaskan
bahwa martabat adalah hak seseorang untuk
dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara
etis. Martabat merupakan konsep yang penting
dalam bidang moralitas, etika, hukum, dan
politik, dan berakar dari konsep hak-hak yang
melekat pada diri manusia dan selayaknya
bersifat abadi. Nilai inti hukum kedua,
menegaskan bahwa hak menentukan nasib
sendiri (right to self-determination) adalah hak
setiap orang untuk secara bebas menentukan
kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal
prinsip mengenai status politik dan kebebasan
mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial,
serta budayadasar yang dimiliki, membentengi,
mengokohkan dan membina hak penyandang
disabilitas. Melalui perlindungan atas haknya,
maka penyandang disabililitas memiliki
kekuatan untuk melakukan komplain atas
perlakuan ketidakadilan dan diskriminatif.
Status kewarganegaraan yang disandang
penyandang disabilitas, melahirkan
kewenangan-kewenangan pada negaranya atas
dasar nilai hak dan kewajiban dalam upaya
menjalankan hukum yang positif. Nilai ketiga,
menegaskan adanya kesetaraan dalam konteks
keberagaman sosial dalam status yang sama.
Nilai lainnya adalah hal yang bersifat eksternal,
yakni solidaristas dari lingkungan sosialnya.
Masyarakat selayaknya saling membahu,
menerima dan memperjuangkan etika solidaritas
untuk menerima kondisi masalah yang dihadapi
penyandang disabilitas.
Demikian halnya lahirnya UU No 8
tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
dalam konteks analisis kebijakan tentang
perlindungan sosial, yang ditetapkan oleh
Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan RI, tahun 2015, merubah
paradigma kebijakan perlindungan perundangan
dari medical model of disability (UU No 4 tahun
1997) dengan social model of disability (UU No
8 tahun 2016). Medical model memandang
penyandang disabilitas dari aspek kesehatan
sehingga bentuk layanan pendekatan terhadap
penyandang disabilitas dilakukan dengan upaya
penyembuhan, dan layanan khusus. Dalam
konteks hukum, UU No 4 tahun 1997
memandang penyandang disabilitas sebagai
objek hukum dan pendekatan perlindungannya
didasarkan pada pendekatan belas kasihan
Pendekatan ini secara psikhologis, melihat
perlindungan terhadap disabilitas sebagai
kondisi yang dimilikinya, mengharuskan orang
lain untuk melayani atau menyantuninya.
(charity-based approach).
Perubahan paradigma UU No 8 tahun
2016 dirancang dengan bentuk paradigma baru
dalam melayani perlindungan penyandang
disabilitas, yakni didasarkan atas penghargaan
dan perlindungan aspek sosial psikhologis
(social model of disability). Undang-undang ini mengubah cara pandang dalam konsep legalitas
perlindungan hukum bagi penyandang
disabilitas, inti pokoknya meliputi dua hal, yakni
terkait dengan persepsi penyandang disabilitas
sebagai subjek hukum bukan sebagai objek
hukum, dan pendekatan perlakuan hukum yang
didasarkan atas nilai hak asasi manusia (human
rights based)
UU No 8 tahun 2016, selain
memperhalus rasa sosial juga memandang
penyandang disabilitas sebagai subjek hukum
yang memiliki hak dan kewajiban. Bentuk
pendekatan layanan perlindungan berbasis
pendekatan humanistik, yang lebih manusiawi
melihat fenomena psikhologis subjek hukum
penyandang disabilitas. Pendekatan sosial
humanistik ini tujuannya adalah pemberdayaan,
yakni mengembangkan potensi yang dimiliki
penyandang disabilitas sehingga mampu
mandiri dan membangun kesejahteraan atas
kekuatannya sendiri.
Perlindungan disabilitas,
bersifat
global/universal, dalam Brolin (E. Brolin, 1995)
ditunjukkan bahwa di Amerika telah ditetapkan
dalam undang-undang untuk menjamin
kesempatan yang sama bagi kaum disabilitas di
ranah pekerjaan, akomodasi, layanan umum
transportasi, pelayanan pemerintah di tingkat
lokal dan pusat, dan pelayanan komunikasi.
Demikian pula, seiring dengan gerakan global,
Indonesia juga telah meratifikasi Convention
on The Rights of Persons with Disabilities, yang
diselenggarakan PBB tanggal 13 Desember
2006 dengan Resolusi Nomor A/61/106.
Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang
disabilitas Pemerintah Indonesia telah
menandatangani Convention on the Rights of
Persons with Disabilities pada tanggal 30 Maret
2007 di New York. Kemudian tanggal 10
November 2011, ditetapkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on The Rights
of Persons with Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
Perlindungan hak sosial bagi
penyandang disabilitas dalam hal ini
penyandang disabilitas intelektual (tunagrahita),
secara eksplisit normatif telah diberikan
jaminannya dalam konstitusi, melalui Undangundang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945 yang kemudian mendapat
amandemen tahun 1999-2002. Konstitusi
tersebut didasari asas kerohanian negara
Pancasila yang memberi jaminan perlindungan
bagi segenap warga negara atas hak dasar
kodrati yang melekat pada manusia, bersifat
universal dan abadi, yang selayaknya dijunjung
dan dihormati baik atas pertimbangan akal
maupun rasa nurani. Berdasarkan ketentuan
umum Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan "Pelindungan adalah upaya
yang dilakukan secara sadar untuk melindungi,
mengayomi, dan memperkuat hak Penyandang
Disabilitas". Oleh karena itu, fokus penelitian
ini mengamati jaminan legalitas hukum atas
pemenuhan hak perlindungan tersebut, baik
secara konstitusional dan empirik dalam tatanan
implementatif.
Aspek perlindungan hukum, Pasal 28D
(1) menunjukkan bahwa "Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum". Selanjutnya dalam
ayat 2 nya dinyatakan bahwa "Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja". Jaminan hukum tersebut
menunjukkan bahwa tak seorangpun dalam
negara yang tidak mendapat perlindungan
hukum dengan jaminan keadilannya. Negara
memiliki kewajiban untuk mengatur dan
mengelola kebijakan agar perlindungan tersebut
berlaku untuk semua tanpa kecuali.
Berkaitan dengan pemenuhan hak atas
kesejahteraan, pasal 28 H (1) menunjukkan
bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan". Selanjutnya dalam ayat (2)
dinyatakan bahwa "Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan". Didukung dengan jaminan sosial
yang dilindungi dengan pasal 28 H (3), yang
menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat". Pasal ini
hakikatnya memberi jaminan hak pada setiap
orang untuk memperoleh jaminan kesejahteraan
baik secara materil maupun immaterial
(ruhaniah), dan negara mengharuskan untuk
memberi kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memungkinkan pengembangan diri warga
negara secara utuh.
Halnya dengan kondisi keterbasan
potensi warganegara, negara hadir memberijaminan perlindungan dari hal yang bersifat
diskriminatif. Pasal 28 I (2) menyatakan bahwa
"Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu". Selanjutnya
pada ayat (4) dinyatakan bahwa "Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah". Keterbatasan fisik,
mental maupun intelektual sebagai hal yang
berbeda dari individu reguler/normal, menjadi
masalah tuntutan perlindungan terhadap
perlakuan yang diskriminatif, karena
masyarakat belum sepenuhnya menerima
keterbatasannya, sementara ada kemampuan
tertentu yang dapat menjadi kekuatan personal
untuk bisa mandiri dalam kehidupan sosialnya.
Implementasi tanggungjawab negara
dalam memberi jaminan perlindungan sosial
bagi penyandang disbilitas, dalam konteks ini
utamanya bagi penyandang
disabilitas
intelektual (mental retardation), telah
diberlakukan
Undang-Undang (UU)
Penyandang Disabilitas No. 8 Tahun 2016,
setelah ratifikasi CRPD PBB melalui UndangUndang No. 19 Tahun 2011. Pada bagian
keempat Undang-undang tersebut, yang
mengatur tentang Pekerjaan, Kewirausahaan
dan Koperasi. Beberapa hal penting tentang
jaminan hak sosial kewarganegaraan
penyandang disabiklitas pada bidang pekerjaan,
antara lain: a) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menjamin proses rekrutmen,
penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja,
keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier
yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada
Penyandang Disabilitas; b). Pemberi Kerja
dalam penempatan tenaga kerja Penyandang
Disabilitas dapat memberikan asistensi dalam
pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan
kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas. c).
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha
Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah
wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua
persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja. (2) Perusahaan swasta
wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu
persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja. d). Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan jaminan,
Pelindungan, dan pendampingan kepada
Penyandang Disabilitas untuk berwirausaha dan
mendirikan badan usaha sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. e)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menjamin akses bagi Penyandang mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif Disabilitas untuk mendapatkan
rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. f)
Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melalui: bantuan sosial;
advokasi sosial; dan/atau bantuan hukum.
Penyandang disabilitas, adalah individu
yang memiliki keterbatasan. Dalam konteks
pendidikan dan kehidupan sosial termasuk
dalam kategori individu yang berkebutuhan
khusus (special needs), individu yang
memerlukan layanan bantuan atau bimbingan
sesuai dengan potensi yang dimilikinya, bersifat
personal dan kasuistik. Padanya melekat hak
yang bersifat individual dan hak yang bersifat
sosial. Hak individual, adalah hak pribadi, yakni
kebebasan dan kewenangan yang dimiliki
individu tanpa orang lain bisa menghalanginya,
sepanjang sesuai dengan nilai moral dan hukum.
Sedangkan hak sosial adalah hak individu bukan
sebagai pribadi melainkan sebagai anggota
masyarakat. Hak sosial adalah hak yang
dimiliki individu untuk mendapat perlakuan dari
orang lain, masyarakat atau negara, yang
disebabkan keterbatasan kemampuannya berhak
memperoleh perlakuan adil bagi dirinya.
Berdasarkan kajian historis filosofis tentang hak
sosial, Franz Magnis Suseno menunjukkan
bahwa "Hak-hak asasi sosial mencerminkan
kesadaran bahwa setiap anggota masyarakat
berhak atas bagian yang adil dari harta benda
materil dan kultural bangsanya dan atas bagian
yang wajar dari nilai ekonomis yang terus
menerus diciptakan oleh masyarakat sebagai
keseluruhan pembagian kerja sosial. Hak
sepenuhnya harus dijamin dengan tindakan
negara" (Suseno, 1991). Atas dasar tersebut,
maka hak sosial memerlukan perlakuan pihak
lain untuk memberi dukungan dan pemenuhan
atas haknya sesuai dengan kondisi dan masalah
yang dihadapinya.
Sejalan dengan dukungan data yuridis
tentang hak sosial kewarganegaraan
penyandang disabilitas dalam bekerja,
khususnya dalam konteks penelitian ini, secara
empiris ditemukan hal --hal sebagai berikut: 1)
Sebagian penyandang disabilitas intelektual
ringan mampu bekerja, baik pada industri besar
maupun industri rumah tangga atau pekerja
lepas. Seperti : sebagai penjahit di pabrik tekstil,
industri rumahan (menjajhit/makanan), workshop keterampilan pada lembaga
pendidikan (menjahit dan membuat kesed),
penjaga parkir, pekerja lepas usaha catering,
pengelola pemasaran usaha keluarga (tissue),
jasa kerja ojeg; 2) Jenis pekerjaan yang dapat
dilakukan penyandang disabilitas (ringan)
adalah pekerjaan yang bersifat sederhana (semi
skills); 3) penyandang disabilitas intelektual
(ringan) memiliki tanggungjawab dan dapat
menyelesaikan pekerjaan hingga tuntas, 4)
penyandang disabilitas intelektual (ringan)
Mampu disiplin dan menyelesaikan pekerjaan
sesuai ketentuan yang ditetapkan, sekalipun
memerlukan pengawasan; 5) penyandang
disabilitas (ringan) memiliki ketekunan dalam
bekerja sepanjang lingkungannya memberikan
rasa aman bagi dirinya.
Masalah Perlindungan Hak Sosial
Penyandang Disabilitas Intelektual dalam
Lapangan Kerja
Masalah mendasar yang dihadapi
penyandang disabilitas intelektual dalam
lapangan kerja, utamanya disebabkan oleh aspek
yang bersifat internal, yakni terganggunya daya
intelektual sehingga menghambat kepada daya
berfikirnya. Kemampuan berfikir merupakan
kemampuan dasar untuk mempelajari
pengalaman, keterampilan dan menyesuaikan
diri dengan kehidupan sosialnya. Kondisi ini
mempengaruhi penyesuaian
sikap dan
perilakunya, untuk mencapai perkembangan
optimal seperti halnya orang normal/regular
pada umumnya. Berdasarkan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-
5) tahun 2013, ditunjukkan bahwa penyandang
disabilitas mental memiliki hambatan fungsi
penyesuaian pada tiga aspek, yakni hambatan
dalam aspek konseptual, aspek sosial dan
manajemen kemandirian. Hambatan dalam
aspek konseptual meliputi hambatan dalam
bahasa, membaca, menulis, matematika,
penalaran, pengetahuan, dan memori. Hambatan
dalam aspek sosial, mengacu pada empati,
penilaian sosial, keterampilan komunikasi antar
pribadi, kemampuan untuk menjalin
pertemanan, dan kapasitas serupa. Hambatan
ketiga merupakan hambatan yang bersifat
praktis, terkait dengan kemampuan dalam
manajemen diri di bidang-bidang seperti
perawatan pribadi, tanggung jawab pekerjaan,
manajemen uang, rekreasi, dan mengatur tugas
sekolah dan pekerjaan.
Tingkat gangguan hambatan
penyandang disabilitas intelektual (tunagrahita),
bergantung kepada klasifikasi masalah
kemampuan intelegensinya. Secara konseptual
dalam Somantri (2006) dikemukakan klasifikasi
penyandang disabilitas intelegensi (tunagrahita),
berdasarkan instrument tes Skala Weschler
(WISC) sebagai berikut : 1). Tunagrahita ringan
memiliki IQ antara 69-55, 2). Tunagrahita
sedang memiliki IQ 54 -- 40, dan 3).
Tunagrahita berat memiliki IQ 39 -- 25. Diantara
klasifikasi tersebut, kelompok disabilitas
intelektual ringan, memiliki kesempatan layanan
akademis lebih tinggi dari klasifikasi lainnya.
Orang dengan disabilitas ringan memilikkemampuan untuk membaca, menulis dan
berhitung sederhana, sehingga dapat dididik
untuk menjadi tenaga kerja semi-skilled, hanya
tidak mampu melakukan penyesuaian secara
independen, lugu dan suka berbuat kesalahan.
Kemampuan penyandang intelektual sedang,
sulit untuk belajar secara akademik seperti
halnya dalam membaca, menulis dan berhitung
sederhana, sehingga sulit untuk dapat bekerja
secara mandiri. Klasifikasi paling bawah adalah
penyandang disabilitas intelektual berat.
Kelompok disabilitas ini memiliki potensi yang
lemah, tidak dapat belajar dan tidak mampu
mandiri, untuk membantu dirinya saja
memerlukan bantuan orang lain secara total dan
terus menerus.
Orang dengan gangguan daya
intelektualnya memiliki hambatan konseptual,
yakni terkait dengan kemampuan untuk
melakukan penalaran pengetahuan.
Kemampuan ini sangat terkait dengan kapasitas
intelektual secara personal, untuk mengenali
berbagai gejala yang ditemukan dalam
kehidupannya dengan menggunakan akal
pikirannya. Daya kerja intelektual untuk
memenuhi kategori kemampuan konseptual,
melibatkan proses berfikir abstrak untuk
mengkonstruksi pemahaman dari sebuah hal
atau fenomena yang diamati atau ditemuinya.
Proses berfikir abstrak mensyaratkan kapasitas
kemampuan terkait dengan symbol-simbol
komunikasi baik bahasa maupun matematis.
Oleh karena itu bagi penyandang disabilitas
intelektual (orang dengan hambatan mental),
akan kesulitan dalam dalam bahasa, membaca,
menulis, matematika, melakukan penalaran
pengetahuan, dan menyimpan dan
membangkitkan memori. Pada sisi lain, akibat fungsi
intelektualnya, DSM-5 menunjukkan hambatan
lainnya,yakni hambatan sosial dan hambatan
yang bersifat praktis. Hambatan sosial terkait
dengan proses interaksi seseorang dengan orang
lainnya dalam lingkungan sosialnya, baik dalam
lingkungan keluarga, masyarakat maupun
lingkungan sekolah atau lingkungan kerjanya.
Hambatan sosial yang dialami penyandang
disabilitas mental (intelektual) terkait dengan
kemampuan dirinya untuk merasakan atau
mengidentifikasi perasaan orang lain, menilai
pesan-pesan atau merespon suatu pesan,
kecakapan untuk berkomunikasi antar pribadi
sehingga menghambat juga pada kemampuan
dirinya untuk menjalin pertemanan. Hal lain
hambatan yang bersifat praktis terkait
penyandang disabilitas intelektual adalah
hambatan yang bersifat praktik terkait dengan
kemampuan diri untuk melakukan pekerjaan
yang selayaknya mampu dilakukan oleh dirinya
sendiri secara personal, seperti: mengurus
kepentingan pribadinya, tanggung jawab
pekerjaan, mengelola keuangan atau melakukan
rekreasi.
Namun demikian secara empirik, hasil
penelitian terhadap penyandang disabilitas
intelektual, khususnya pada klasifikasi ringan,
ditemukan ada yang mampu bekerja sebagai
penjahit di pabrik tekstil, pekerja pada workshop
keterampilan (menjahit dan membuat kesed),
penjaga parkir, pekerja lepas usaha catering,
pemasaran usaha keluarga
(tissue),
housekeeping (merapikan kamar hotel).
Sekalipun dalam jumlah kecil dan terbatas,
namun pada dasarnya potensi penyandang
disabilitas ringan dapat bekerja, sehingga
mengurangi beban sosialnya dan dapat memiliki
kepercayaan diri untuk bisa hidup di masyarakat
secara terhormat. Berdasarkan data pengamatan
di Kota Bandung, dari 27 penyandang
tunagrahita ringan pasca sekolah, hanya 15 % (4
orang) saja yang mampu bekerja secara mandiri
setelah lulus dari lembaga pendidikan SLB &
Diklat Dinas Sosial. Mereka yang mampu
bekerja pada sektor publik, bekerja pada
lembaga yang lingkungan sosialnya memiliki
pemahaman karakteristik penyandang
disabilitas, dan memiliki kepedulian untuk
memberi perhatian dan pengawasan sehingga
memberi manfaat bagi kehidupannya.
Gambaran kemampuan yang
ditunjukkan penyandang disabilitas ringan,
dalam lingkungan lapangan kerjanya, ditemukan
hal sebagai berikut : 1). mampu melakukan
pekerjaan yang bersifat sederhana, parsial dan
tidak rumit dan tidak memerlukan logika
berfikir tingkat tinggi; 2). mampu
menyelesaikan pekerjaan hingga tuntas, namun
sedikit lebih lambat dari yang normal/reguler;
3). mampu bekerja tekun dan jujur; 4). ada
kalanya membuat kesalahan, sehingga perlu ada
pengawasan; 5). mampu menunjukkan hasil yag
baik asalkan pekerjaan itu berulang-ulang
dilakukannya; 6). kurang kemampuan untuk
komunikasi, untuk menyampaikan kehendak
atau masalah yang dirasakannya; 7). lebih asyik
dengan pekerjaannya sendiri daripada bekerja
secara bersama dengan orang lain; 8). memiliki
rasa tanggungjawab dalam bekerja dan bangga
atas pekerjaan yang dilakukannya; 9). senang
jika ada orang menghargai hasil kerjanya dan membangkitkan motivasi, namun sebaliknya
jika meremehkannya, membuat semangatnya
menurun; 10. Belum bisa mandiri kerja secara
penuh, ada kalanya keengganan dan kejenuhan
untuk melakukan pekerjaan, sehingga untuk
keberlanjutan kerjanya, senantiasa
membutuhkan perhatian, pengawasan dan
bimbingan agar senantiasa kemandiriannya baik
secara sosial maupun secara ekonomi dapat
terpelihara. Jika dianalisis berdasarkan pendekatan
legalitas hukum perlindungan bagi penyandang
disabilitas intelektual, dalam tataran
implementatif, harus dibangun integrasi
pendekatan perlakuan layanan paradigma
medical model approach dengan social model
approach. Perlakuan model tersebut diperlukan
mengingat kondisi klasifikasi hambatan yang
dimiliki penyandang disabilitas itu sendiri,
secara alamiah memiliki kecenderungan
gangguan mental yang dapat mengganggu sikap
dan perilaku sosialnya. Implementatif
paradigma model medical model, mengharuskan
lingkungan sosialnya memiliki rasa empati,
sabar, peduli, perhatian dan kasih sayang dalam
memahami dan memberikan layanan
bantuannya. Namun rasa empati dan peduli itu
harus diimbangi dengan kesadaran untuk
melihat bantuan sosialnya atas pertimbangan
nilai penghormatan dan penghargaan untuk
mengangkat martabatnya menjadi lebih baik.
Atas pertimbangan tersebut, maka model sosial
harus dilakukan untuk membangun nilai
instrinsik potensi penyandang disabilitas
intelektual, sehingga optimalisasi potensinya
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan
lingkungan sosial terdekatnya.
Upaya Mengatasi Masalah Perlindungan
Hak Sosial Penyandang Disabilitas
Intelektual dalam
Hasil penelitian menunjukkan, pada
dasarnya penyandang disabilitas intelektual
dalam bekerja, bergantung kepada latihan
keterampilan kerja yang diberikannya. Latihan
yang berulang dan bimbingan yang terarah
kepada penyandang disabilitas intelektual
dengan kategori ringan, dapat membantu
kemandirian kerja pada lembaga formal. Sesuai
dengan kondisinya, segala hak dan
kewajibannya berlaku sama dengan orang
normal/reguler, namun demikian pada lembaga
tertentu nilai keadilan diberikan sesuai dengan
kapasitas kemampuan yang dimiliki. Seiring
dengan masalah yang ditemui penyandang
disabilitas intelektual dalam bekerjanya,
diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari
berbagai pihak terkait, antara lain keluarga dan
lingkungan kerjanya, sehingga kemandirian
kerjanya dapat berlanjut.
Untuk mengembangkan optimalisasi
kemandirian penyandang disabilitas intelektual
dalam lapangan kerja, diperlukan perlakuan
sebagai berikut: 1). Menguatkan peran Sekolah
Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan untuk
penyiapan keterampilan bekerja (vocational
skills) khusus bagi penyandang disabilitas
intelektual, melalui penyempurnaan
keterampilan kerja, baik jenis keterampilan
kerja maupun kesiapan mentalnya untuk bekerja
secara mandiri dan bekerja pada lembaga dunia
usaha. 2). Menyelaraskan bentuk-bentuk
pelatihan keterampilan kerja lembaga
pendidikannya dengan kemungkinan
ketersediaan pekerjaan yang dapat diikuti oleh
penyandang disabilitas ringan;
2)
Mengembangkan pemahaman mengenai kondisi
penyandang disabilitas intelektual dengan
teknik pelatihan berbasis "taks analysis" pada
instruktur pelatihan kerja (seperti pada lembaga
Dinas Sosial atau lembaga pelatihan lainnya).
Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Khoeriah,
2017) yang menekankan pentingnya analisis
tugas dimiliki oleh instruktur dengan
pengembangannya tidak terbatas pada disiplin
ilmu, tetapi juga pengetahuan terhadap gaya
belajar peserta didik dan strategi; 3)
Membangun kemitraan antara lembaga
pendidikan dengan dunia usaha dan dunia
industri (DUDI) untuk menyusun program
pelatihan yang relevan antara penyiapan latihan
kerja dengan kebutuhan usaha. 4) Sosialisasi
Undang-undang No. 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas pada dunia usaha dan
masyarakat, sehingga dapat memberi pengakuan
yang semestinya terhadap hak-hak dasar
penyandang disabilitas. 5) Membangun
kerjasama dengan orang tua, agar memberi
kepercayaan dan motivasi kepada penyandang
disabilitas untuk menjadi pekerja (employment).
6). Pendampingan kerja bagi penyandang
disabilitas intelektual, atas pijakan nilai sosial
dan etos kerja kewirausahaan. Allternatif
solusi tersebut, diharapkan dapat meningkatkan
perlindungan hak-hak sosial kewarganegaraan
penyandang disabilitas intelektual, agar mampu
mandiri dan mengurangi beban sosial baik bagi
keluarga, masyarakat maupun negara.
SIMPULAN
Penyandang disabilitas intelektual,
memiliki legalitas hukum yang sama untuk
memperoleh kehidupan yang layak baik secara
sosial maupun secara ekonomi. Pemenuhan hak
sosial bagi penyandang disabilitas intelektual
bukan saja memberikan jaminan atas hak
kewarganegaraannya, melainkan juga
meringankan penanganan masalah sosial terkait
dengan kualitas sumber daya manusia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, hakikatnya
secara normatif perlindungan hak sosial
terhadap penyandang disabilitas intelektual
telah dipenuhi yakni melalui perlindungan
konstitusional UUD NRI 1945 dan UU No 8
tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Namun secara empirik, kuantitas keterlibatan
penyandang disabilitas dalam bekerja, masih
sangat kecil, mengingat potensi yang
dimilikinya belum seimbang dengan tuntutan
dunia kerja. Secara praxis, masih ditemui
masalah antara lain: kesenjangan antara
kemampuan kerja dengan tuntutan dunia kerja,
kesediaan dunia industri untuk menerima tenaga
kerja penyandang disabilitas intelektual,
persepsi masyarakat yang belum positif menilai
penyandang disabilitas intelektual,
kekurangpahaman, kesabaran dan ketekunan
instruktur dalam melatih kesiapan kerja,
motivasi kemandirian untuk kerja dari keluarga
belum optimal. Upaya mengatasi masalah
tersebut dapat dilakukan dengan kemitraan
pembinaan antara lembaga pendidikan, lembaga
pelatihan, dunia usaha dan keluarga untuk
sebesar-besarnya memberikan perlindungan
sosial bagi penyandang disabilitas intelektual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI