“orangnya kayak apa sih Ninik ? cantiknya kira-kira kayak siapa?”
Mirip pemain-pemain sinetron itu lah, lit. tinggi, putih, langsing, mancung. Kata Yusa, Kinanti juga pinter,” jelas Ninik. “Erwin itu kata masmu juga sebenarnya pinter, tapi kebanyakan keluyuran. Naik gunuuung saja kerjaannya. Kalau nggak naik gunung, ya masuk hutan…. Nggak tau nyari apa. Belum lagi ikut demonstrasi ini-itu dan kerja gratisan di LBH…..”
“ummmm….. Ninik punya foto mbak Kinanti, nggak?” tanyaku lagi.
Ninik terdiam sesaat, kelihatan kebingungan. “wah Ninik ya nggak punya to nduk!” kata beliau agak lama kemudian. “ada apa to, kok sepertinya kamu tertarik banget sama Kinanti?”
Aku tersipu-sipu. “penasaran aja kok, Nik. Penasaran mas Erwin milih yang kayak apa di antara begitu banyak pilihan.!”
“pokoknya Kinanti cantik. Mereka cocok, wajah mereka ada jodoh. Tapi sejak Kinanti kerja di Jakarta tahun lalu, Ninik belum pernah dengar kabarnya lagi, dulu kinanti sempat kesini sebelum berangkat. Pamitan sama Ninik. Anaknya memang sopan.”
“terus, dulu zaman mas Erwin pacaran sama mbak Kinanti itu…. Apa juga ada perempuan-perempuan yang suka kesini nyari mas Erwin kayak sekarang, Nik?”
Ninik tertawa kecil. “ya iya…. Banyak! Tapi Kinanti itu anaknya sabaaaar! Pernah Ninik Tanya, apa dia nggak cemburu punya pacar yang didatang-datangi perempuan…. Dan kata Kinanti, yang kesini nyari Erwin memang orang-orang yang ada perlu sama Erwin, jadi buat apa cemburu…. Gitu! Aneh, ya?”
Aku tersenyum. “iya. Aneh, kalau aku yang jadi pacar mas Erwin, aku bakal ngambek deh kalau mas Erwin-nya terus-terusan didatangi perempuan lain!”
Ninik tertawa. “aduuuuh, jangan, nduuuuk! Ninik sih pinginnya kamu nggak ketemu jodoh yang seperti Erwin, Nduuuuk…….. makan atiii!”
Aku ikut tertawa , tapi jauh di lubuk hatiku sesuatu yang ganjil tiba-tiba terjadi.