Aku tahu bahwa dalam percakapan-percakapan terakhir kami mas Erwin sudah berusaha keras menyiapkan diriku untuk menghadapi kemungkinan terburuk, tapi ketika saat itu tiba, kutemukan diriku tak mampu menanggung-nya. Aku ingat aku memandang lelaki yang terbaring kaku tanpa nyawa itu sesaat-dari jarak lima meter seperti yang diminta mas Erwin-dan hatiku sungguh-sungguh yakin lelaki itu sama sekali bukan mas Erwin.
Mereka jauh berbeda.
Mas Erwin tak mungkin sekurus itu.
Mas Erwin tak mungkin sebeku itu.
Mas Erwin teramat hidup.
Mas Erwin akan menemaniku patah hati dan tak mungkin tega membiarkanku patah hati sendiri….
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar hari-hari itu tak lebih dari potongan-potongan baying-bayang yang mengabur dalam ingatanku, tapi entah bagaimana aku ingat mas Yusa tetap tak menangis saat ia memapahku di pemakaman. Aku tidak tahu dan tidak sempat memikirkan bagaimana kakakku bisa setabah itu. Mungkin rasa tanggung jawabnya sebagai kakak yang membuatnya merasa harus lebih kuat daripada aku, agar biasa membantuku melewati dukaku. Mungkin juga karena mas Yusa terlalu terpukul untuk bereaksi secara wajar menhadapi kematian sahabatnya.
Aku tidak tahu mana yang betul.
Saat itu aku sedang terlalu sibuk dengan diriku sendiri…. Terlalu sibuk berusaha meyakinkan diri bahwa kematian mas Erwin hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir begitu aku membuka mata.
Tak mungkin mas Erwin sudah sungguh-sungguh meninggal dunia.
Tak mungkin Tuhan setega itu padaku.