Selain mas Yusa, hanya mas Erwin yang sering masuk ke rumah induk. Mas Erwin ternyata cucu teman lama almarhum Mbah. Orangtua mama menyayangi mas Erwin sejak kecil, nyaris seperti mereka menyayngi aku, kakakku, dan sepupu-sepupuku…. Walau kulihat Ninik kadang-kadang dibuat sebal lantaran mas Erwin keseringan dicari perempuan.
Selama dua hari berlibur di rumah Ninik, akhirnya aku tahu dengan mata kepalaku sendiri bahwa mas Erwin memang laris-manis di kalangan para gadis. Tiap hari ada saja yang datang mencarinya. Ada yang cantik, ada yang biasa. Ada yang datang naik mobil keren, ada yang datang naik becak. Ada yang pemalu, ada yang kemayu. Macam-macam…. Tapi mereka semua punya satu kesamaan nasib: diam-diam jadi sasaran kecemburuanku.
Barusan waktu aku keluar sebentar ke beranda depan untuk mengagumi koleksi kembang sepatu milik Ninik, seorang gadis datang mencari mas Erwin. Waktu kubilang yang dicarinya sedang pergi, gadis itu bilang ia akan menunggu. Kupersilahkan gadis itu masuk lewat pintu samping, melewati carport tempat para cow memarkir mobil dan motor mereka, terus menuju halaman belakang, kuantar gadis itu menuju ruang duduk terbuka, bangunan terpisah berbentuk pendopo mini berukuran lima kali lima meter yang sengaja dibangun untuk menampung aktivitas para pemondok. Termasuk menerima tamu.
“silahkan kalu mau nunggu, tapi aku gak tahu kapan mas Erwin pulang.” Kataku.
Gadis itu mengangguk dan berterima kasih. Serombongan pemondok segera keluar dari sarangnya begitu kami tiba di pendopo belakang. Mereka rupanya mengenal gadis itu, dan itu jelas merugikanku, sebab para cowok itu jadi lebih tertarik mengamatiku daripada mengamati tamu mas Erwin. Setelah haha-hehe-hihi sebentar, aku pamit kembali kerumah Ninik.
“ada tamu cari mas Erwin, Ninik…..” laporku pada Ninik yang sedang nonton berita gossip di televise. Ih, ada ratis yang digampar suaminya lagi! “sudah kubilang mas Erwin-nya lagi pergi dan nggak tahu pulang kapan, eh, dia maksa mau nunggu!” lanjutku, kelepasan menggerutu.
Ninik menggeleng-geleng, lalu tertawa. “ah, si Erwin memang laris!” sahut beliau, “tiap hari pasti ada perempuan yang datang cari dia. Ninik sampai bingung, enaknya si Erwin itu diapain ya ? kalau pas ada dua perempuan datang bersamaan cari dia, Ninik suka takut mereka cakar-cakaran! Syukur Alhamdulillah, yang begitu belum pernah terjadi.”
Aku tertawa. “asal mas Erwin nggak macam-macam dan perempuan-perempuan itu nggak berantem di sini, ya mas Erwin-nya nggak usah diapa-apain dong , ninik!” sahutku. “aku penasaran nih, Ninik…. Dari segitu banyaknya perempuan yang suka datang kesini nyari mas Erwin, yang mana ya yang benar-benar pacarnya?”
“wah kalau yang sekarang sih Ninik juga nggak tahu, Alit. Dulu pernah ada satu yang kata Erwin memang pacarnya. Anaknya ayu, dari Fakultas Hukum juga, seperti Erwin. Namanya Kinanti.”
“kok dulu? Memangnya sekarang sudah nggak?” Tanyaku buru-buru, berusaha menekan rasa cemburu sekaligus menekan harapan bakal mendengar cerita bahwa mas Erwin sedang Jomblo.
“Ninik nggak tahu persis, lit. Kinanti itu pinternya seperti masmu, jadi ya lulus lebih dulu dari Erwin. Kalau nggak salah ingat, sekarang Kinanti kerja di Jakarta.”