Mohon tunggu...
SofialWidad
SofialWidad Mohon Tunggu... Penulis - Latahzan innalloha ma'ana

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Instagram : _sofialwidad

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Titik Rata-Rata

29 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:38 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tak mungkin.

Sepanjang prosesi pemakaman mas Erwin-saat akhir-nya untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat mbak Tira dengan mata kepalaku sendiri-aku menyibuk-kan diri dengan terus-menerus memikirkan bahwa aku hanya sedang berada dalam salah satu mimpi burukku. Atau, kadang-kadang juga aku memutuskan menganggap diriku hanya sedang tersesat sementara di dunia-tak-mungkin yang parallel dengan dimensiku sendiri yang aman, tentram, dan damai.

Dengan hati hampa kusaksikan mbak Tira menangis histeris seolah baru saja menjadi janda, padahal dia sudah beberapa tahun resmi menjanda.

Dengan pikiran kosong aku melihat tante Tanti pingsan beberapa kali.

Sebuah lubang tiba-tiba menganga di dadaku siang itu, ditusukkan dengan paksa oleh takdir. Rasanya begitu menyakitkan… sehingga-sama seperti mas Yusa-seingatku aku bahkan tak bisa menangis….

Sampai sekitar tiga minggu setelah mas Erwin dimakamkan, aku masih juga belum merasa normal. Serasa semuanya mimpi

Sayang, ketika aku merasa rindu kepadamu. Sosok siapa yang harus aku lihat? Walaupun, kemarin aku dan kamu masih bukan siapa-siapa bolehkah aku berharap kepada Tuhan. Di kehidupan yang akan datang kita hidup bersama dan bahagia, tak perlu ada siapa-siapa, tak perlu ada kisah menyedihkan seperti ini.

Mas Yusa kurasa mengkhawatirkanku juga. Ia selalu sudah tiba dirumah waktu aku pulang memberi les pukul setengah Sembilan malam. Kakakku sama sekali tak pernah lembur di kantornya lagi pada malam hari. Kalau ada sisa pekerjaan yang masih harus dituntaskannya, mas Yusa membawa pekerjaannya pulang. Mendadak kami seperti sepasang makhluk yang asing satu sama lain dan tak tahu harus mengobrolkan apa.

Selama beberapa minggu, aku menolak percaya mas Erwin benar-benar telah meninggal dunia. Aku masih berharap mas Erwin akan datang suatu sore… diam-diam ingin bertemu denganku dan bukannya mengunjungi si nomor sekian seperti yang selalu ingin dikesankannya pada kakakku. Aku masih terus meyakinkan diri bahwa mas Erwin akan menungguku seperti yang di janjikannya di Bali dulu. Bukan justru meninggalkanku.

Lalu, barusan waktu aku pulang mengajar, mas Yusa mengangkat kepalanya dari majalah yang sedang dibacanya dan bertanya, “halo, Alit… apa kabar?” “baik, Alhamdulillah,” sahutku “mas?”

“mas Erwin nggak mampir mala mini, mas? Aku kangen banget….” Sejenak sunyi, lalu mas Yusa mulai…. Menangis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun