Mohon tunggu...
SofialWidad
SofialWidad Mohon Tunggu... Penulis - Latahzan innalloha ma'ana

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Instagram : _sofialwidad

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Titik Rata-Rata

29 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:38 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kita dulu sepakat menghidupkan generator di benak mereka sejak awal cerita hidup yang indah, biar terbaca selalu. Aku pun akan menyerah padamu wahai kemesraanku yang dulu, melepas hati, dan melepaskan kebekuan dalam diriku.

Apalagi hal yang paling indah, selain rebahmu dan menyerah dalam buaian kemesraan kepada Tuhan? Masih bisahkah aku berucap semesra itu?

Kekasih, kamu tahu saat – saat kehilanganku saat – saat aku mencari sebuah sosok ketenangan yang selama ini ada dalam setiap cerita hidupku, aku berjalan dari sisi ke sisi sambil membawa wajahmu. entah akan ada yang sama denganmu atau tidak aku tak tau hanya saja aku meyakini jika ada yang sama dengan lukisan wajahmu yang tertera dalam ingatanku mungkin dia bisa menggantikanmu saat kamu tak lagi bersamaku. Iya, seperti saat ini kamu pergi dari dekatku, aku menimbang –nimbang dunia sungguh berat dan cukup sangat luas untuk seukuran diriku yang bernama manusia. Semua hal itu layakkah aku dan mereka berjalan tanpamu?

Kamu tahu pasti, aku limbung terus saat jatuh diri tersesat dalam kerinduan hanya sekedar mencari tokoh figur yang hanya mirip denganmu atau sejatinya aku mencarimu tapi tidak sebenar –benarnya mencarimu, entah mengejar kenangan suka –duka kita yang dulu mungkin cukuplah indah sehingga mampu menciptakan gelak tawa diantara kita. Aku tak tahu pasti apakah dunia diciptakan hanya sekedar untukmu saja, yang aku tahu dari degup gema di rabuku. Dunia adalah ruang amat indah karena ada kamu di dalamnya.

Di malam –malam begini, aku mengembara karena kesal dan jemu dijerang kesepian sementara kamu jauh dariku, membangun negeri –negeri baru, mengapa tak satu pun negeri dicipta Cuma buat kamu dan aku? Negeri –negeri barumu yang tak pernah terlacak olehku dan kamu yang hidup didalamnya tak lagi bersamaku, jauh dan asing, kabur dan lenggang. Daerah –daerah perkasa yang siap menendangku kapan saja jika aku sampai menginjakkan kaki di negerimu, yang siap menendangku menyepakku keluar jauh –jauh sebagai anjing kampung buluk tak terurus yang tak jelas arah pulang. Ingatkah kamu padaku?

Masa – masa tak tentu diri kembali lagi kini, aku berlari dalam setiap mimpi ke dalam mimpi yang lain teriakkan namamu, menerobos jalan tak jelas tuju, menghambur mimpi yang tak berbentuk. Hanya saja satu pertanyaanku yang tak miliki jawaban yaitu ingatkah kamu padaku?

Masih ingatkah saat –saat pagi jadi keindahan beribu atau berjuta musik yang lebih berwarna dari lautan lukisan sejuta maestro? Masih ingatkah kecupan –kecupan mesra selamat pagi yang ditaburkan hidup di pipi kita? Setiap pagi yang kita lewati dengan menikmati kesejukan embun didedaunan sana, hal sedemikian kita lewati berdua. Selalu seperti pagi pertama alam ini, penuh dan utuh? Hanya saja itu telah hidup dalam sebuah ingatan yang aku nikmati permainannya ketika datang bertamu dalam pikiran, aku tidak mencoba menghapusnya tidak mencoba membuang dan melupakannya seperti halnya sampah tanpa memiliki makna dan sebuah nilai yang berharga.

Kini entah dijalan mana aku teriakkan namamu yang mendesak –desak dari ujung jari kaki hingga ujung rambutku. Aku, sang perempuan yang kehilangan akal, tersesat dalam lautan nama, namamu, mencoba membuat sungai dengan air mata yang cukup amat teramat sangat panjang jika bisa dibilang panjangnya mengalahkan sungai Mahakam, cukuplah dramatis bukan, semuanya penuh dengan kepura –puraan yang kamu ciptakan sehingga ku tak lagi bisa bergeming dari setiap ingatan yang datang perihal mengapa aku pergi dan mengapa kamu menolakku untuk datang kembali memperbaiki setiap kerusakan kisah yang sebenarnya ingin aku rajut kembali, semua hal yang datang dalam pikiran hanya mengundang satu pertanyaan. Masih kenalkah kamu padaku?

Lihatlah bermiliaran suaraku di udara, keruh bergemuruh bicara padamu, berdesakan dengan bintang, tersengal dijegal mendung pejal, tersebar mencarimu, terpatah –patah mencarimu. Kamu akan tau itu adalah bingkisan –bingkisan doa yang telah rusak akan kepergianmu dan hancurnya harapanku, masihkah kamu kenali mereka? Masihkah kau mendengarku?.

Begitulah, di malam –malam seperti ini aku ingat Cinta, sumber gerak –gerikku, dunia yang menghidupiku!

Hampa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun