Mohon tunggu...
SofialWidad
SofialWidad Mohon Tunggu... Penulis - Latahzan innalloha ma'ana

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Instagram : _sofialwidad

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Titik Rata-Rata

29 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:38 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

 Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur yang hanya muat satu orang saja, aku lihat sekeliling ruang. Entah apa yang sedang aku lakukan sekarang, hanya terdiam tidak melakukan apa –apa ku hela nafas panjang, aku pikirkan. Selain menulis, aku lebih banyak jalan –jalan ketimbang kuliah. Aku nimkati film –film yang diputar di bioskop –bioskop 21. Kuliah semakin membosankan. Isinya lurus –lurus saja. Barang kali karena aku terlalu memeras tenaga ketika SMA. Hanya saja yang paling aku senangi adalah membaca buku terus saja membaca buku entah buku fiksi atau non fiksi, buku psikologipun tak luput aku baca entah apa yang ingin ku ketahui, musik –musik yang menemani begadang saat aku tak bisa tidur.

 Lalu datanglah kegemaran menulis, godaan dari buku –buku yang kubaca mendorongku menulis. Sedikit demi sedikit, lalu menjadi kebiasaan. Tapi hal itu hanya bisa dinikmati teman –temanku tidak untuk hal layak umum. Sampai saat aku rebahan merenung berlama –lama ketika harus memilih jurusan di perguruan tinggi. Ternyata aku tak hanya memikirkan kuliah apa yang akan kuambil. Kupikirkan juga apa mauku yang tak kunjung jelas. Kupikirkan siapa aku yang maunya tak kunjung jelas. Kupikirkan mengapa terjadi diri yang tak jelas dengan mau yang tak jelas. Kupikirkan lagi mengapa ada diriku dan segala hal tak jelas yang melingkupinya. Terus berlama –lama, berulang –ulang. Siapa diriku? Siapa aku? Siapa aku?

 Ternyata pertanyaan itu susah dijawab, amat pelik. Bukan karena seluk –beluk dan liku –likunya rumit, tetapi karena aku tan punya pendekatan untuk menemukan jawabannya, taka da metode, tak punya teori, siapa aku? hah! Siapa? Bagaimana menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan klise para filsuf sepanjang zaman siapa aku?

 Kutemukan sebuah risalah memuat baris –baris kata yang memberi sebuah celah untukku mengintip diri sendiri. Menulis, begitu risalah itu kuringkas, dapat membantu manusia menemukan diri, membantu perempuan mengurai lagi sejarah hidup dan menemukan jejak –jejak asal yang masih bersih dari peradaban. Kalimat –kalimat yang belum tegas dan kurang jernih itu menjadi penuntunku dalam kebingungan. Bagi mereka yang bingung, sepercik kata saja bisa jadi penanda bagi sederetan patok yang menuntun tindakan. Kata –kata mutiara, seberapa pun membingungkannya, betapa pun tidak realistisnya, bisa jadi insight  yang menggerakkan benak menemukan solusi bagi masalah. Dan itulah yang kurasakan, menulis membantuku mengenali diri sendiri. Saat itu memang masih angina –anginan, aku menulis saat mood menggenangi dan hanya mengalunkan saja kata –kata yang terlintas, tidak menggali, tidak menimbang –nimbang dan belum mempergunakan keseluruhan diri untuk meramu kata.

 Menulis adalah mengurai diri, mengurut pengalaman, merunut jati diri. Menulis adalah pembebasan. Begitu tegas kata –kata itu menekan di otakku, membentuk kerangka bagi penalaranku setelah kukacaukan diri dengan ketidakjelasan. Lepaskan semua, biarkan pergi. Datanglah kepada huruf dan hiruplah tubuhmu dengan kata. Itu inspirasi yang terhembus dan merajut di lamunanku berbulan –bulan. Namun, jangan langsung percaya pada kata sebelum sempat mengupas huruf –huruf. Jangan gunakan huruf sebelum membelah bagiannya. Bongkarlah, bedah dan cermati liku –likunya, ikuti liuk –liuknya, pahami seluk –beluknya. Begitu nasihat memberi janji kebebasan di sana. Janji pemahaman diri. Biarkan tubuh mengalami, biarkan hasrat menghendaki, dan biarkan kecemasan memetakanmu, sebab itu saja yang jelas kupunya. Dan hanya dengan kupunya aku menulis.

 Semua ingatan yang hadir membuatku jenuh, dan aku berhenti memutarnya dalam otakku. Seketika itu kuberikan segenap pikiranku kedalam alam bawah sadar yang membawaku untuk bermimpi kembali akan angan –angan yang telah lama pergi meninggalkan untuk berlalu dan bercanda dengan semua yang sudah menjadi bahan imajinasi semata saja. Aku menunggu kejalasan atas semua mimpi dan ingatan yang jelas –jelas datang dan tak bisa di lewatkan semua hal itu memutar dengan sendirinya membentuk layar pertontonan seolah –olah diri ini berada di sebuah bioskop besar.

 Menunggu kejelasan sangatlah membosankan, apa salahnya jika aku tak punya jawaban atas semua pertanyaan hidup yang tidak masuk akal. Aku tak punya jawaban jelas untuk pertanyaan –pertanyaan itu. Menjelaskan kepada semuanya tidak perlu meski berguna. Imajinasi dan semua hal itu adalah dunia yang berbeda. Iya semuanya tak seindah dalam imajinasi waktunya sadar diri, penerimaan mereka akan semua imajinasi yang aku utarakan tidak perlu meski berguna. Aku sudah memilih banyak hal tak berguna dan apa ruginya kalau sekarang kutambah lagi satu untuk menunggu hal yang mungkin tak pasti bahagia pada akhirnya, ah itu hanya tentang menunggu atau berhenti menunggu.

 Menunggu. Banyak hal yang kutunggu dari pertanyaan di setiap sudut kehidupanku, Tuhan aku butuh jawaban. Hari inipun aku selalu bertanya di setiap kejadian, kenapa harus angkatan LDR? Karena keadaan genting ini pun Yudisium dan Wisuda dilaksanakan secara online. Hai Maret, kenapa kau datang dengan wajah yang penuh dengan luka dan lusuh? Apa karena masa ini banyak kedukaan dari setiap keluarga yang kehilangan jiwa yang amat dicintai karena kematian yang tak terfikirkan sebelumnya? Virus ini terlalu jahat untuk memisahkan jiwa-jiwa yang amat dicintai dengan waktu yang singkat tanpa pamit yang manis. Karena hal ini pula grup wisuda yang tadinya sepi sekarang ramai di penuhi oleh banyak perdebatan dan usulan-usulan agar wisuda tetap berjalan seperti biasa. Pada masa ini banyak hal yang harus ditunda dan banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan demi menjaga keselamatan banyak pihak.

 Indonesia benar-benar berduka. Angkatan pertama yang LULUS tanpa wisuda bertemu dengan pelukan, berpisan tanpa berjabat tangan. Dear Mahasiswa, angkatan ini akan menjadi angkatan pertama yang penuh cinta dimana disaat segalanya sudah direncanakan dengan rapi, disusun sedemikian rupa namun tidak akan terlaksanakan, hingga begitu saja. Sebut saja angkatan ini “angkatan LDR Corona” tetapi jangan khawatir angkatan kalian akan terkenang sepanjang masa. Dimana nilai ijazah pertama kali diambil dari nilai tugas-tugas secara online dan daring (dalam jaringan), dimana kelas dilaksanakan dalam online tatap muka jarak jauh. Untaian demi untaian pada masa ini memiliki makna yang menyentuh, ada kecewa da nada rasa kesal didalamnya. Menurut ego semua tidak akan apa-apa jika ruang yang diadakan dalam acara wisuda lebih di sterilkan lagi. Tapi, secara akal sehat semua ini demi kebaikan untuk semua orang. Selalu bersyukur karena siapapu yang tidak ada di vase ini sungguhlah menyenangkan karena bisa wisuda seperti biasa, melakukan aktivitas normal diluar rumah dan semua sistem berjalan lancar dan normal, bersyukurlah.

 Beberapa bulan telah berlalu dari usainya acara kelulusan itu. Semua ingatan itu masih tetap terpatri dibenak serta membekas dalam sanubariku, banyak angan-angan yang ingin kugapai sampai akhirnya kutemui suatu masa dimana banyak kematian karena virus yang begitu menakutkan. Tanyaku berkali-kali pada diriku sendiri “kenapa? Kenapa Allah mengujiku seberat ini.? Padahal banyak yang harus aku gapai banyak hati yang ingin kubuat bahagia dan bangga. Kenapa?” banyak usaha yang kulakukan untuk menggapai apa yang telah menjadi rencana jangka panjangku sebelum kelulusan itu. Sekarang semuanya menjadi berhenti.

 Allah. Apa? Apa semua ini? Cerita ini bahkan taklagi sama dengan apa yang ada dalam pikiranku sendiri. Semuanya luluhlantah bahkan serasa aku terpojok dengan masa ini masa Covid-19 berjaya. Hidupku semakin bergantung pada ke-2 orang tuaku aku hanya bagaikan beban untuk mereka. Allah. Boleh aku mengeluh? Terlantarlah semua mimpi kemarin, terabaikanlah rencana A, B, dan C, terhentilah langkahku disini. Di ruang yang semakin hari semakin membuatku terasa terbunuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun