Pikirku bagaimana membuat semua orang terutama orang tuaku mau menerima imajinasi? Semua imajinasi dalam pikiranku yang terkadang tak masuk akal, tapi mengapa banyak orang yang bilang “ah itu hanyalah khayalanmu saja, jangan banyak menghayal yang pada akhirnya mengecewakan jika hal semua itu tidak terjadi.” Ucap mereka setiap kali aku menceritakan perihal tujuan –tujuan hidupku, aku terus –menerus menulis apapun yang menjadi tujuan hidupku tanpa aku utarakan lagi kepada mereka dan hanya aku dan Tuhan yang tau. Aku menulis memeras otak kanan, membayangkan semua kejadian aneh yang mungkin terjadi di benak. Kutuangkan dalam tulisan. Wajar kalau jadinya aneh, beda dengan yang lain. Kutunjukkan pada seorang dosen yang memang menyukai karya –karya tulis ilmiah dan bahkan sudah paham dalam literatur penulisan yang sangat apik dibidangnya. Lalu apa katanya.
“Siapa yang mau baca tulisan seperti ini? Buku yang kemarin kamu beli kan bilang seorang penulis harus mempertimbangkan pembaca. Kalau tulisan seperti ini kamu buat, siapa yang mengerti. Baca dong bukunya.”
Hufts… ucapan beliau benar, tapi tidak juga. Kebenaran dan ketidakbenaran sekaligus numpuk dalam ucapannya. Namun bagaimana menjelaskannya? Beliau doyan sekali sama logika. Paradoks seperti itu mana mau dia terima. Dalam satu hal hanya ada satu esensi, tidak boleh ada dua hal yang bertentangan di dalamnya. “Mana ada kebenaran sekaligus ketidakbenaran menyatu dalam satu penjelasan?” begitu kubayangkan beliau akan berbicara nantinya. Ia akan berkeras mengatakan pendapatnya benar karena jelas rujukannya, jelas argumentasinya.
Lalu bagaimana membuat beliau memahami bahwa imajinasi yang kutuliskan ada gunanya?
Perempuan yang melubangi dada setiap bertemu kekasihnya, sinar matahari yang menjelma menjadi sebuah platina berkilauan, cahaya bulan yang menghujani dengan taburan emasnya, gadis –gadis yang bermain riang di titian pelangi, organ –organ tubuh yang saling berdebat, pesta –pesta dibalik awan sana, angin yang sudah bosan untuk bergerak, perempuan yang merajut kain indah dengan kerinduannya hingga menjelma sebuah hutan aneka warna, surga yang jatuh ke bumi karena terlalu tua dan lapuk.
Mengapa beliau tak dapat memahaminya?
“kalau kamu mau jadi penulis, jangan egois dengan tulisanmu. Ingat –ingat pembaca. Tulisanmu harus dibaca orang, kalau tidak, buat apa kamu menulis. Lihat di Eropa dan Amerika, penulis –penulisnya banyak yang kaya dari hasil tulisannya. Itu baru sukses. Kenapa mereka sukses? Karena mereka mempertimbangkan pembaca. Mereka menulis apa yang disukai pembaca.” Kata –kata beliau terngiang –ngiang lagi di kepala.
Aku memahaminya, aku juga membaca buku –buku tentang menulis itu dan menulis seperti yang disarankan buku –buku itu. Namun sering kali aku juga ingin menulis yang lain, ada setusan –cetusan di dada yang ingin kutuangkan dalam tulisan yang berbeda, yang mengalir, yang tak tertahan oleh kesenangan pembaca. Aku mencurahkannya saja. Semua mengalir. Semua terhambur begitu saja, bagaimana membuat beliau mengerti betapa menyenangkannya berimajinasi?
Kalau beliau sedang bicara ketika aku meminta bimbingan akan semua tulisan yang kucoba rangkai kedalam sebuah karya, maka beliau akan berbicara dan menjelaskan bagaimana seharusnya menjadi penulis yang baik. Akan tetapi hal semua yang beliau jelaskan dan sarankan menurutku cukup monoton, aku diam saja. Kepalaku cuma dipenuhi pertanyaan “kok beliau enggak ngerti ya?” aku memandanginya saja. Aku barang kali seperti kebanyakan anak manis yang mendengarkan nasihat –nasihat orang tua.
Keesokannya aku pulang kerumah tempat tinggal sesunggunya Bondowoso dengan menaiki motor aku melajukan kecepatan minimum banyak ingatan –ingatan yang diutarakan dosen pembimbing tentang tulisan –tulisanku saat di kampus tadi. Aku berfiki beliau sebagai seorang yang lebih tua dank arena dianggap lebih berpengalaman, bicara terus dengan penilaian dan nasihatnya. Ia bicara sebagai orang tua dan aku mendengarkannya sebagai anak. Kita berdua bukan orang dewasa yang sedang saling memahami. Dalam pikiran beliau barang kali belum pernah tersirat bahwa anak gadis di depannya itu sangat mungkin jadi orang dewasa, atau bahkan beliau tidak pernah memiliki anak gadis maka dari itu beliau tak pernah paham imajinasi seorang anak perempuan yang mencoba diutarakan kepadanya yang posisinya sebagai orang tua.
Sesampainya di rumah kuucapkan salam kepada kedua orang tuaku, ternyata ibu bapakku sedang asik menonton serial TV di ruang keluarga. Aku berbaur diantara mereka “gimana kuliahnya nduk?” pertanyaan ringan ketika aku pulang. Aku hanya bisa menjawab “Alhamdulillah lancar bu.” “kapan lulus, sudah sampai mana tugas akhirmu? Dan bagaiaman, sudah dapat ancang –ancang (pandangan) perihal kamu mau kemana setelah lulus/wisuda nanti?” bapakku yang sendari tadi diam fokus ke TV didepannya sekarang berbalik pula menanyaiku perihal pertanyaan yang tak henti –hentinya kudengan saat pulang. Aku hanya terdiam dan berfikir keras akan jawaban yang aku berikan, “entahlah pak. Ini masih proses pengerjaan tugas kahir, mengenai pandangan kemana setelah wisuda itu masih menjadi pandangan saja. Doakan saja semoga lancar dan sukses toh.” Aku menjawabnya sambil berlalu dan memasuki kamarku.