Sejenak sepi, lalu mas Erwin bicara lagi, “Kamu siap-siap aja buat berangkat. Nanti biar kuminta temanku di Jogja ngurus mobil dan lain-lainnya. Jangan pergi dulu. Kamu tunggu di rumah sampai aku datang. Paling lambat dua jam lagi aku sampai disitu. Oke?”
Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara di telepon.
“oke,Alit…? Tunggu aku…. oke? Jangan pergi tanpa aku!” ulang mas Erwin.
Aku mengiakan. Kemudian mas Erwin memutuskan hubungan sementara aku menangis lagi…… membekap wajahku sendiri dengan bantal agar Ninik tak sampai mendengar sendu sedanku.
Oh, mbak Ava….
Oh, mas Yusa….
Pemakaman mbak Ava diselenggarakan di bawah guyuran gerimis tipis, seolah langit ikut menangis. Yang datang banyak sekali, dan mas Erwin membimbingku menyingkir…. Menjauh dari liang lahat tempat para kerabat almarhumah berdesakan. Takut aku tergencet orang, katanya.
Di bawah langit yang muram, aku dan mas Erwin berdiri di pinggir kompleks pemekaman. Tangan kanannya memeluk bahuku, sementara tangan kirinya menggenggam gagang paying ektrabesar berpola zebra yang tadi kami temukan di mobil mas Hans. Dalam kemuraman hati dan cuaca, kami mengikuti prosesi pemakaman mbak Ava dari jarak jauh. Kakakku tak kelihatan. Terkurung dalam kerumunan pelayat berdukua.
Seusai pemakaman, mas Yusa dan mas Hans mendekati kami. Kakakku meminta kami menginap semalam di Wonosobo. Sekalian menunggu orangtuaku yang sudah tiba di Semarang beberapa jam lalu dan kini sedang dalam perjalanan menuju Wonosobo.
Gerimis sudah reda, tapi mendung masih menggantungkan tebal di langit. Kulirik jam tanganku saat kami berjalan berdampingan menuju tempat mobil mas Hans diparkir. Belum lagi pukul empat sore, tapi mendung membuatku merasa seolah magrib sudah hampir tiba.
Déjà vu melandaku