Mohon tunggu...
SofialWidad
SofialWidad Mohon Tunggu... Penulis - Latahzan innalloha ma'ana

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Instagram : _sofialwidad

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Titik Rata-Rata

29 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:38 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mas Yusa tertawa bersama mama dan papa. Aku tersenyum lebar.

“Berarti kalau tante bikin restoran di deket rumah Ninik, kira-kira bakal laris dong, ya?” sahut mama.

“Oh, pasti, Tante! Dan yang paling pasti, tante akan punya dua langganan yang nggak akan pernah absen: Yusa dan Aku.”

“Wah, kalau yang datang makan cuman kalian, bisa bangkrut dong tantemu, Er!” papa ikut nimbrung setelah berhasil berhenti tertawa. “apalagi langganan yang satu bisa dipastikan nggak bakalan bayar!”

“Aku, Maksud Oom?” mas Erwin berlahak pilon. Mata-nya yang jenaka menggerling kea rah kakakku.

Senang sekali rasanya berkumpul lagi dengan kakakku, terlebih karena kali ini ia membawa teman yang lucu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menykai mas Erwin. Pemuda itu benar-benar jago meramaikan suasana. Hanya sehari setelah kakakku membawanya ke rumah kami, aku yang cenderung agak pendiam sudah asyik mengobrol dengan mas Erwin seolah kami sudah kenal bertahun-tahun. Pembawaannya yang luwes bukan saja memikatku, tapi juga memikat kedua orangtuaku juga.

Mas Erwin lebih tua beberapa bulan daripada kakakku. Orangtuanya berasal dari Sungai Liat, Pulau Bangka, tapi mas Erwin hanya numpang lahir disana. Sejak berusia tiga bulan mas Erwin dibawa orangtuanya pindah ke Jakarta. Logatnya jadi Betawi banget.

Sejak masuk Fakultas Hukum Universitas Sleman, mas Erwin kos di Pondok milik ibu mama dan tak pernah pindah. Padaku, ia mengaku sangat kerasan tinggal di salah satu dari sederet kamar yang berjajar di halaman belakang rumah Ninik. Waktu kutanya apakah itu karena ninik baik sekali padanya, mas Erwin menyeringai jail dan berbisik, “Ninik sebenarnya bawelnya minta ampun, tapi jambu biji di halaman belakang sering berbuah, buahnya benar-benar manis, dan yang paling hebat… Ninik sama sekali nggak keberatan kami anak-anak kos melahap habis jambu-jambu itu!”

Waktu itu mas Erwin dan aku sedang ngobrol di beranda rumahku. Aku tertawa terkikik-kikik mendengar kata-katanya sampai-sampai mama datang tergopoh-gopoh menemui kami. “wah, ada apa nih?” sapa mama dengan ceria. “Tumben Alita bisa ketawa seramai ini!” aku tersipu mendengar kata-kata mama, melirik mas Erwin sekilas. “mas Erwin cerita, jambu biji di halaman rumah Ninik di Jogja maniiis banget,” sahutku malu-malu.

“Terus, lucunya di mana.?” Tanya mama kebingungan. Aku nyaris buka mulut, tapi lewat ekor mata kulihat mas Erwin menggeleng panic. Aku mulai cekikikan lagi melihat tingkah mas Erwin. Sampek tersendak dan ternatuk-batuk. Mama menggeleng-geleng dan buru-buru menyuruhku pergi ke dapur untuk minum.

Mas Yusa sedang di dapur juga, sedang minum juga. Masih sambil terbatuk-batuk, aku menyambar gelas bekas mas Yusa, lalu menuangkan air dingin dari kulkas. Sementara aku minum, kakakku menepuk-nepuk punggungku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun