Mohon tunggu...
SofialWidad
SofialWidad Mohon Tunggu... Penulis - Latahzan innalloha ma'ana

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Instagram : _sofialwidad

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Titik Rata-Rata

29 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:38 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari kedua lumayan, aku sudah bisa dekat dengan adik-adik komunikasi berjalan baik. Mereka banyak bertanya tentang materi yang aku sampaikan. Pergaulan remaja, masa kecil yang bahagia. Dan sebagainya. Aku jawab hati-hati dan sebisa mungkin membuat suasana tidak tegang dengan proporsi bahasa mereka. Aku dan Abi merasa berhasil hari ini dengan puas aku menceritakan semuanya kepada Syafira. Tak ketinggalan Syafirapun sukses menjalankan tugas dan menang dalam menyampaikan materi bersama Safwan.

Dan hari berikutnyapun seperti hari-hari yang sebelumnya, serta keakrabanku dengan Abi. Ternya dia baik dan rajin Sholat sepulang dari masjid seperti biasa aku pulang dengan Syafira. Selang beberapa menit Syafirapun membuat suasana bungkam menjadi obrolan entah apa yang akan di bicarakan Syafira kepadaku “Azka, aku boleh bertanya kan .?” “boleh lah Fir, emang kamu mau bertanya apa.?” Syafira terasa gugup mengungkapkan suatu hal kepadaku akhirnya dia mengusir kebungkaman ini dari kami “emph.. Azka kamu sukakan pada Abi.?” Pertanyaan Syafira seakan membawa halilintar kepada fikiran dan hatiku, sejenak aku berfikir apakah aku melakukan kesalahan ya Allah, aku tak bisa memendam perasaan dosa ini kepada orang yang bukan mahromku. Apakah aku sudah jatuh cinta.? Segera ku jawab pertanyaan itu “gk Syafira aku menganggap Abi sebagai teman akrabku yang baru aku kenal, kenapa apakah kamu menyukainya non.?” Rayuku, dan sebenarnya aku telah berbohong kepadanya dan kepadaku sendiri..

“iya Azka, begini aku menyukainya karena dia itu perhatian kepadaku, terus orangnya pintar, baik dan taat beribadah. Dan akupun menaruh hati padanya, tapi ka aku takut hal itu dapat merusak hatiku, apa lagi dia bukan mahromku gimana.?” Aku tersenyum dan mencoba bersabar untuk mendengarkan curahan hati sahabatku ini meskipun terasa sesak yang menyelimutiku. Ketika ia sudah menyelesaikan semuan curahan hatinya, maka aku mancoba memberi masukan padanya.

Tidak banyak yang kusampaikan, karena ada gemuruh dalam hatiku ketika Fira menyampaikan kegundahannya jujur, rasa nyeri menyayat ketika aku menyampaikan solusi dan nasihan untuknya, setelah itu kita berpisah di persimpangan jalan komplek. Syafira tersenyum bahagia dengan masukan yang kuberikan “terimakasih ka, solusinya kamu sahabat terbaik. Assalamualaikum.” “waalaikumsalam” kalimat itulah yang menjadi penutup perjumpaan kita karena hari semakin sore aku bergegas pulang dan menyiapkan materi yang besok harus aku ajrkan dan sampaikan kepada mereka malaikat kecil yang tak memiliki dosa.

Sesampainya di rumah ada pesan dari Abi masuk ke ponselku. Smsnya selalu kubaca berulang kali, aku sendiri tak mengerti apa karena aku belum paham dengan perintahnya atau ada hal lain yang aku rasakan, ah. Perasaan aneh ini selalu menghantuiku akhir-akhir ini, ya Allah lindungilah aku dari penyakit hati, tugasku masih belum selesai, pada hari ke empat aku berangkat dengan teman seangkatanku yang juga sukarelawan di masjid dimana aku bertugas, Zahro. Sepanjang jalan. Waktu kami isi dengan guyonan setelah banyak topik obrolan yang kita bahas, akhirnya kita sampai pada topik obrolan masalah pribadi, Zahro mencurahkan isi hatinya kepadaku.

“Azka aku sedang menyukai salah seorang Ikhwan, aku tahu ini memang salah. Tapi, sungguh.! Sulit sekali menghilangkan perasaan ini, ketika rapat acara buka bersama atau sekedar bertemu di jalan dulu. Jujur aku salah tingkah” aku terhenyak, diam, bisu seribu kalimat tak dapat keluar dari mulutku dan tak berkomentar apapun, beberapa saat. Tak banyak yang kusampaikan padanya, karana sekali lagi. Perasaan sakit dan sesak hinggap di dada jelas aku tau pusat pembicaraan ini adalah Abi, selama di tempat mengajarku secara sukarela ini telah kutemukan 3 kasus hati merah jambu yang salah satunya ku alami sendiri, dan semuanya menuju ke satu objek yaitu Abi. Serta semuanya telah membuatku sakit dan sesak, karena kenyataannya akupun terjangkit penyakit yang sama dengan mereka, aku sadar ini dosa dan aku tak ingin dimurkai Allah karena aku berbicara sedangkan aku sendiri belum pernah mengalaminya walaupun hanya 1 kali.

Kutenangkan diri, kutarik nafas dalam-dalam dari kucoba membuka kembali pemahamanku tentang amal, ikhlas dan cinta ”ketika kau ingat dia satu kali, maka ingatlah Allah sepuluh kali. Ketika kau ingat dia 10 kali maka ingatlah Allah 100 kali. Belum tentu dia yang terbaik bagimu, jangan buang waktu dan mengotori hati dengan hal yang belum pasti dan yakinlah bahwa Allah akan memberi yang terbaik bagimu.” Kalimat itulah yang selalu kusampaikan pada orang-orang yang mencurahkan masalah hatinya padaku dan sebenarnya aku mengatakan itu semua untuk diriku sendiri, Rabbi, beri aku kekuatan untuk senantiasa menjaga hati, beri kekuatan padaku untuk menjaga hatiku dari kepalsuan dunia dalam fikiran berkecamuk seakan batinku menghujam. “hey, ada cinta lain yang hadir. Cinta yang tak sepantasnya untuk di berlarut-larutkan dan mungkin itu adalah hal yang bisa mengotori hati.” Perasaanku berkata lirih.

Menjelang hari terakhir aku menjalani rutinitasku bersama mereka entah apa yang aku rasakan disaat berdekatan dengan Abi teman sepatnerku “Azka, sudahlah focus,focus,focus.” Tolakku dengan batin aku mencoba rileks mungkin bersamanya karena tidak mungkin aku memiliki perasaan yang sama dengan sahabat-sahabatku yang lain “ka, kamu kenapa dari tadi kayak yang bingung sendiri.?” Pertanyaan Abi membuyarkan semuanya “hemmh… nggak ada apa-apa kok Bi hehe.” Aku dan Abi meneruskan pembelajaran sampai pada waktunya “aku gak bisa membohongi perasaanku sendiri terhadap dia (Abi) sahabatku sendiri, dia harus tau aku harus jujur. Ya… Azka kamu harus jujur apapun resikonya jujur itu lebih baik daripada begini, berapa banyak dosa lagi yang akan timbul.” Kebingunganku meresahkan diriku sendiri entah mengapa.? Waktu hari ini serasa lambat sekali Syafira mengajakku pulang “ka, ayok pulang entar kemalaman lagi besokkan musti pagi sekali, kan besok  perpisahan sama anak-anak panti dan besok kamu terakhir disini ka ayok..!!!” “oh yaudah aku duluan ya, emh tadinya aku mau cerita tentang hal yang sangat spesial ke kamu. Tapi ya udah besok ajadah Assalamualaikum ka.!” Jawabnya sambil mengakhiri percakapan “waalaikumsalam.” Hari semakin petang tak terasa tugasku sudah kelar “humph akhirnya.” Aku beranjak pergi dan pulang selang beberapa langkah dari depan pintu, ada sesuatu yang mencegatku “Assalamualikum ka.?” Suara yang aku kenal “waalaikumsalam bi.” Ternyata Abi yang aku kenal “eh ka kamu ada waktu nggak.?” “ehm nggak bi ada apa yaa.?” “kalau kamu bisa, bisa kan ikut aku sebentar ke tepian danau dekat pesantren ini. Penting ka. Aku mau minta pendapat kamu, mau kan.?” “iyya” aku dan Abi berjalan sejajar, badai beserta gemuruh seakan ada dalam hati ini, apa ini ya Allah dosakah aku memiliki perasaan ini.?

Sesampainya di tepian danau dengan cahaya yang mulai redup pertanda hari mulai sore aku dan Abi terdiam tak ada yang memulai perkataan “emh, oya. Bi sebelum kamu cerita apa masalah kamu, bolehkah aku bertanya.?” Mencoba membuka pembicaraan “ ya ka kamu mau bertanya apa.?” Tanya Abi seolah mengorek jawaban yang akan aku lontarkan. Perasaanku sedingin es di kutub sana menunggu cair dan bahagia seolah hari ini aku mengaduh nasib entah mati ataupun hidup hemh.. “mungkin.. dosanya aku bilang seperti ini ke kamu bi, tapi perlu kamu tau kalau aku telah salah memiliki perasaan yang tak seharusnya aku ungkapkan. Intinya…. Aku.. suka kamu bi.” Ya Allah serasa aku terbakar dengan mengucapkan kalimat itu, ya Allah dosakah aku.?

Kami terdiam, aku tertunduk di depan Abi seakan aku tak ingin melihat wajahnya “ka, Azka..” panggilnya dan dia mengeluarkan setangkai mawar merah dan ditangkainya ada kertas ucapan disodorkannya mawar itu ke depan wajahku. Aku baca kertas itu.!

“Assalamualaikum Akhi, berdosakah aku memiliki perasaan ini padamu, aku tulus menyatakan ini padamu mungkin cinta yang lewat di selembar kertas ini tak seputih dan sesuci cinta siti Khadijah kepada Rosulullah, aku mohon kamu mengerti bisa apa aku dengan terleburnya perasaan ini apakah aku harus menghentikannya.? Salahku adalah kenapa aku jatuh cinta.!(Syafira)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun