Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gadis Barista (Bagian 6 - 8)

30 Desember 2023   06:53 Diperbarui: 19 Januari 2024   16:44 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 6

Setibanya aku kembali di kedai setelah makan siang di luar, Mutia langsung mengatakan padaku bahwa tadi Mba Lidya menanyakan aku pada mereka.

"Mel.. Tadi Mba Lidya dateng-dateng nanyain kamu.. Si Amel potong rambut ya?"

"Terus?"

"Kata dia, tadi Saya lihat Amel kayaknya pas lagi mau nyeberang."

Aku terdiam seraya mengenakan celemek hijauku kembali. Kemudian Faris berpamitan padaku untuk keluar makan siang. Aku mengangguk padanya, "Hmm.." dia pun berlalu menuju ruangan di belakang kami.

Benar saja tebakanku, tadi Mba Lidya melihatku dari dalam mobilnya. Kalau dia bisa melihatku dengan jelas, berarti dia juga melihat di sampingku ada Henry. Padahal aku sudah menunduk, tapi dia masih bisa mengenaliku. Sungguh, sampai kapan aku harus merasa tidak enak padanya. Aku telah menjadi sedikit canggung tiap kali berhadapan dengannya, padahal Mba Lidya terlihat masih bersikap wajar, masih sama seperti biasanya kepada ku. Meski mungkin hatinya sangat cemburu tiap kali melihat diriku.

Belum selesai lamunanku memikirkan Mba Lidya, tiba-tiba saja suaranya terdengar memanggil namaku. Dia sudah berdiri tegap seraya tersenyum simpul memandangku.

"Mel, tolong buatin Saya kopi latte ya, pake es."

Aku mengangguk, mengiyakan seraya melirik dirinya yang sedang menjatuhkan diri di kursi tinggi, samping meja kerjaku, "Iya Mba.." tangan-tanganku pun sigap mengambil peralatan untuk menyiapkan pesanannya. Mba Lidya masih mengamati pekerjaan tanganku sambil sekali-sekali menoleh ke luar area kedai dengan bertopang dagu.

Aku sangat bersyukur mengenal Mba Lidya, sebetulnya kalau dia mau, sejak jauh-jauh hari bisa saja dia memecat ku dari kedai ini. Mana mungkin dia bisa menahan rasa cemburunya berhadapan dengan perempuan yang dicintai oleh lelaki yang dicintainya. Mba Lidya sangat bisa dan berhak mengusirku dari sini kalau dia mau. Tapi dia tidak melakukan itu. Dia sangat profesional dalam pekerjaannya. Dia sangat menghargai tenagaku di sini.

Mba Lidya adalah wanita yang sangat baik dan rendah hati. Namun hanya karena kesalahannya di masa silam, Henry jadi enggan berurusan dengannya lagi. Padahal sudah jelas, setiap orang sebaik apapun orang itu, dia tetap tidak pernah luput dari kesalahan dan juga dosa. Aku jadi merasa Henry lah yang begitu berlebihan. Harusnya Henry tahu, di dunia ini tidak ada kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.

"Mba, ini silahkan.." seraya tersenyum aku menyodorkan mug tinggi berisi pesanan Mba Lidya kepadanya.

"Oh.. Iya, makasih ya.." dia tersenyum meraih mug itu serta langsung menyeruputnya perlahan sedikit demi sedikit.

"Hmm.. Seger Mel.. Kok rambut kamu dipotong sih?"

"Sudah kepanjangan Mba, repot ngurusnya."

"Hmm.. Gitu.." Mba Lidya mengangguk-angguk dan memindahkan pandangan matanya dari diriku ke arah meja tamu yang terhampar luas di depan meja barista. Sambil meminum es kopi lattenya dengan santai, dia membuka ponselnya. Tampaknya dia sedang iseng membaca-baca artikel dari internet.

Aku mengisi waktuku yang sedang luang dengan membersihkan, mengelapi sekitar area kerjaku menggunakan kain lap. Toples-toples kaca dan semua botol yang terjangkau oleh mataku, satu per satu juga ku bersihkan bagian luarnya. Dari lirikan mataku, Mba Lidya sedang menenggak kopi terakhirnya. Pasti tidak lama lagi dia akan beranjak pergi dari hadapanku.

Ya, benar saja. Perlahan dia turun dari kursi kayu yang cukup tinggi itu. Tumben sekali, dia tidak mengucapkan apapun lagi. Matanya masih fokus menatap ke layar ponselnya ketika dia turun dari kursi dan kemudian berlalu pergi begitu saja. Rena bertanya padaku dari posisinya di meja kasir yang tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri sekarang,

"Mana Mel? Mba Lidya. Sudah pergi?"

"Iya, dari tadi."

"Lho, tumben ngilang gitu aja."

Mutia yang sedang membaca laporan persediaan snack, hanya tertawa lirih mendengar percakapanku dan Rena.

Kini sudah pukul setengah empat sore, aku dan Faris sedang sibuk-sibuknya menyiapkan pesanan pelanggan yang belum usai sejak pukul setengah tiga tadi. Hari ini kedai cukup ramai. Ada kelompok tim olah raga yang merayakan kemenangan mereka dengan mengopi bersama di sini. Tiga orang mahasiswa yang sedang kerja kelompok di ujung sana, juga terlihat masih betah berlama-lama di sini.

"Mel, kalau mau balik ngga apa-apa, sebentar lagi jam empat." ucap Faris padaku.

"Oh.. Iya Ris ngga apa-apa, gue santai kok ngga buru-buru. Ini biar gue selesaian dulu kapucino sama matchanya."

Aku menyelesaikan sisa tugas hari ini dari pelanggan yang terakhir memesan padaku. Faris meminta kami bertukar posisi, saling bergeser agar Faris yang berdiri lebih ke depan sehingga jika ada pelanggan yang baru datang akan memesan langsung pada Faris.

Usai sudah pekerjaanku hari ini. Aku berpamitan pada Faris hendak melangkah ke ruang belakang. Aku masih mengenakan celemek hijauku, menjatuhkan diri di kursi kayu dekat meja peralatan. Aku merogoh ponselku dari saku celemek dan menariknya keluar. Ku letakkan ponselku di meja peralatan.

Aku bangkit berdiri dari kursi kayu itu, melepas celemek dan membopongnya sambil berjalan ke arah pintu samping. Aku membuka pintu itu cukup lebar agar udara sore bebas keluar masuk ruangan ini. Aku melipat celemek hijauku sambil berdiri di depan pintu loker milikku. Kemudian menyimpannya di dalam sana setelah ku lipat rapi.

Seperti biasanya, waktu lima puluh menit menunggu kepulangan Henry aku isi dengan mendengarkan lagu-lagu yang ku putar lewat mp3 dalam ponselku. Sambil menikmati rayuan angin sore. Tampak cuaca di luar telah normal kembali setelah hujan yang cukup deras mengguyur tadi pagi.

"Mel, belum balik?" Mutia muncul dari arah depan dan menyapaku yang sedang duduk selonjoran dekat pintu.

Aku menggeleng dan tersenyum, "Nunggu Henry."

"Oh.. Aku duluan ya Mel.."

Mutia telah melangkah semakin jauh dari pintu samping kedai, aku menghela nafas. Masih melanjutkan kegiatanku bersantai sore menikmati angin ini. Hingga tibalah pukul lima sore. Aku menghentikan alunan musik yang sedari tadi ku dengarkan. Aku bergegas memakai jaket cokelat serta menyelempangkan tasku. Tak lupa ku tutup pintu samping dari luar dan melangkah menuju area parkir.

Tanpa saling mengabari lagi, aku langsung menuju kesana.

"Mel !" sontak aku pun menoleh ke arah datangnya suara itu.

Astaga.. Mba Lidya. Aku menghentikan langkahku , tidak mampu berpikir lagi lewat mana Mba Lidya bisa sampai kesini. Mungkin saat ini ekspresiku sangat tidak enak jika dilihat. Pasti aku sedang terlihat seperti orang bodoh.

"Iya Mba.."

"Kok baru keluar?"

"Ah.. Oh.. Iya.. Itu.. Nunggu....." sebelum aku selesai bicara, tiba-tiba Henry sudah menarik tanganku, menyeret langkahku menjauh pergi dari hadapan Mba Lidya. Ya Tuhan.. Aku menoleh dan berpamitan pada Mba Lidya dengan rasa sangat tidak enak, sedang Henry masih memegangi tanganku untuk mengikuti langkahnya.

"Mba.. Maaf ya.. Saya duluan.."

Terlihat dari kejauhan, Mba Lidya hanya tersenyum melihat tingkah Henry yang begitu mengesalkan ini. Bahkan Mba Lidya masih mau melambaikan tangannya ketika aku berpamitan padanya dari jauh.

"Mas, sakit.. Lepas dulu tangan aku!" Henry melepaskan tanganku seketika menghentikan langkah kami sejenak. Wajahnya terlihat sedikit kesal, tanpa berkata apa-apa. Aku pun melanjutkan apa yang ingin ku katakan padanya, "Kok kamu gitu sih? Mba Lidya itu bos aku. Biar gimana pun aku mesti sopan sama dia."

"Oke.. Maafin aku.."

"Kenapa sih kamu kesel banget sama dia? Dia aja kelihatan biasa aja sama kamu. Kalau kamu masih ngga terima pernah disakitin sama dia, sampe kapan pun justru kamu sendiri yang ngga bakal bisa lupain dia." aku berlalu melangkah lebih dulu meninggalkan Henry yang masih berdiri mematung mendengarkan ucapanku.

Ketika langkah kakiku telah hampir sampai di pagar area parkir, Henry baru bergerak. Melangkah cepat menghampiriku. Dia tahu aku tidak sepenuhnya marah, buktinya aku tetap melangkah ke arah tempatnya memarkirkan motor. Kalau aku benar-benar marah pasti sudah ku tinggal dia ke arah lain.

"Maafin aku ya Mel.." Henry mengucapkannya sekali lagi dan sekarang kami sudah berjalan berdampingan lagi.

"Ya, tolong kamu jangan kaya gitu. Mba Lidya baik sama aku. Jangan libatin emosi kamu ke dalam hubungan aku sama dia."

"Iya.. iya.. Maaf.."

Kami telah sampai di depan motor Henry, dia sedang bersiap-siap menghidupkan motornya. Kemudian memintaku segera naik setelah dia siap pada posisinya untuk berangkat. Dalam perjalanan, aku berusaha mencairkan suasana dengan menceritakan hal apapun yang dapat membuat Henry melupakan kesalahannya padaku tadi. Aku tidak ingin terlihat masih menaruh rasa kesal padanya.

Aku melakukan ini agar dia tidak mengira kejadian sore tadi lah yang mempengaruhi jawaban yang akan ku sampaikan nanti setibanya kami di rumahku. Karena kejadian sore tadi dengan Mba Lidya terjadi di luar dugaanku. Sedang jawaban yang tepat untuk Henry telah ku siapkan sebelumnya, beberapa hari belakangan ini.

Petang hari ini jalan menuju ke rumahku bisa dibilang cukup lancar. Hanya ada kepadatan namun dapat terurai dengan cepat. Haduh.. Aku malah semakin deg-degan untuk menyampaikan jawabanku ini. Rumah sudah semakin dekat. Aku menepuk punggung Henry untuk mengulur waktu.

"Eh, kenapa Mel?"

"Berhenti dulu, aku mau beli siomay."

"Yah kelewatan.."

"Sudah ngga apa-apa, aku jalan sedikit. Kamu juga mau ya..?"

"Iya boleh."

Aku memesan empat porsi siomay untuk dibungkus. Untukku, Henry, Mama dan papa nanti malam. Semakin banyak aku memesan, akan semakin lama siomay itu siap untuk dibungkus. Haduh.. apa aku perlu memesannya untuk satu RT?! Bagaimana pun aku tetap harus menyampaikan jawabanku pada Henry hari ini.

Sambil berdiri di samping gerobak siomay keliling, sesekali aku memandangi Henry dari jauh. Apa pun resikonya nanti, aku harus bisa menyampaikannya. Aku tidak bisa menundanya lagi.

"Neng, sudah.."

"Oh.. Iya Bang maaf.." si Abang tahu saja kalau aku sedang melamun. Setelah membayar aku kembali menghampiri Henry dengan sekantung plastik merah yang cukup besar dijinjing oleh tangan kananku.

"Tunggu, aku turun dulu buka pager." seraya kaki kiriku melangkah turun lebih dulu menginjak aspal diikuti kaki yang satunya. Hmm.. aku harus sambil pegangan pada pundak Henry. Karena kawasaki ninja ini cukup tinggi bagiku.

Henry memperhatikanku membukakan pagar untuknya. Sehingga dia langsung menerobos masuk ke pekarangan rumahku setelah pagar itu terbuka lebar untuknya. Mama menyambut kehadiran kami dengan raut senyum di wajahnya. Kantung plastik tadi ku bopong sampai ke dalam rumah dan ku biarkan Mama berbasa-basi dengan Henry sejenak.

"Ma.. mama.. Maaf Ma, tolong deh ini...." aku terpaksa memanggil Mama ke dalam untuk menghentikan pembicaraanya dengan Henry dan aku bisa leluasa bicara berdua dengan Henry di teras.

Mama melongok dari depan pintu, terlihat sedikit menggerutu dan pamit ke dalam pada Henry, "Apa Mel..?" seraya berjalan menghampiriku ke meja depan televisi.

Aku telah menyiapkan tiga buah piring kosong dengan sendok untuk siomay kami, yang dua hendak ku bawa ke teras dan yang satu lagi ku sodorkan kepada Mama.

"Ma, ini ada siomay. Satu buat Mama, satu buat papa. Ini piring Mama. Aku makan di depan dulu ya sama Henry"

Mama hanya mengangguk-angguk dan langsung mengambil posisi duduk di depan televisi sambil tangannya membuka bungkusan siomay miliknya. Aku telah sampai di teras dengan kedua piring kosong dan bungkusan siomay kami. Haduh, aku lupa bawa air minum.

"Sebentar ya.. Minumnya belum." aku kembali ke dapur setelah meninggalkan piring serta plastik itu di meja bundar. Henry tampak tidak sabar, mungkin dia lapar. Tidak perlu waktu lama, aku sudah kembali lagi ke teras bersama dua buah gelas kosong dan sebotol air mineral dingin.

Kami membuka bungkus siomay kami masing-masing dan meletakannya di atas piring. Kami mulai mengaduk-aduknya kemudian menyantapnya bersama-sama, kompak. Hari sudah tampak semakin gelap. Aku sampai lupa melihat jam ketika tadi sampai di rumah. Siomay ku habis lebih dulu. Ku letakkan piring kotor itu di bawah kursi bundar yang ku duduki. Kemudian aku pun minum cukup banyak.

Tampak Henry sudah selesai juga dengan makan sorenya. Aku menyodorkan tanganku padanya untuk menerima piring kotor yang dipegangnya. Ku lihat, dia juga minum cukup banyak.

"Kenyang ya.. Lumayan ngga?"

"Iya lumayan Mel.."

"Hmm.. Mas.. Kok kayaknya mendung sih, jangan-jangan mau hujan lagi kaya tadi pagi" ucapku seraya memandangi langit yang memang terlihat cukup berawan.

"Iya ya, agak mendung.."

"Sebelum hujan, aku mau bilang sesuatu sama kamu."

"Apa Mel?" Henry terlihat mulai penasaran dengan mengubah posisi duduknya, bergeser ke kanan sedikit agar dapat menghadap kepada ku.

"Soal tiga bulan lalu.. Aku belum jawab.. Itu.. Aku.. Aku belum bisa terima kalau hubungan kita lebih dari teman. Maksudnya.. Lebih nyaman kalau kita berteman aja, ngga lebih."

"Belum bisa kan? Bukannya ngga bisa?"

Haduh, aku salah bicara.. Bodohnya aku..

"Iya, apapun itu tapi yang jelas saat ini dan ke depannya aku sudah membebaskan kamu dari menunggu jawaban aku. Kamu bebas mau deket sama cewek manapun, siapa pun, mau sama Mba Lidya lagi juga terserah. Kamu bebas deket sama siapa pun yang kamu mau. Aku ngga berhak melarang kamu."

Kali ini Henry hanya terdiam mendengar serentetan kalimat yang terlontar dari mulut ku. Bahkan aku masih berani melanjutkan kalimat ku. "Maaf ya Mas.. Aku sama sekali ngga bermaksud membuang-buang waktu kamu. Sejak tiga bulan terakhir kemarin aku emang masih berpikir untuk nemuin jawaban ini. Makanya, sebelum terlalu lama lagi, aku harus ngomong sekarang."

"Iya, ngga apa-apa kok Mel. Kamu berhak atas jawaban apapun."

Aku hanya tersenyum simpul memberi semangat padanya. Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan bagaimana hubungan pertemanan kami selanjutnya. Biarlah nanti mengalir begitu saja, kami tidak perlu membahas apapun lagi saat ini.

Kini ada senyum yang dipaksakan tergambar dari celah wajah Henry yang lelah. Akhirnya petir menggelegar memecah keheningan kami berdua sejak kalimat terakhir terucap dari mulut Henry tadi.

"Mel, aku pulang deh.. Bakal hujan gede nih."

"Oke. Ma.. Mama.." aku memanggil Mama tapi mama tidak menyahut juga.

"Di kamar mandi kali Mel, sudah aku titip salam aja ya. Sudah petir gitu tadi." Henry bergegas melangkah menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat duduk kami. Aku pun berlari mendahuluinya hendak membukakan pagar untuknya.

"Hati-hati ya..!" entah Henry mendengar teriakanku atau tidak, dia langsung memacu motornya dengan kecepatan yang tinggi. Aku kembali ke dalam rumah dengan rasa bersalah yang cukup besar. Aku tidak berhenti memikirkannya. Aku jadi lupa, selama ini apa aku sudah pernah bilang padanya kalau aku menyayanginya? Tapi rasanya, aku belum pernah sekalipun mengatakan hal itu padanya.

Mungkin kalau nanti aku sudah kehilangan dirinya, aku baru akan mengerti sebenarnya aku hanya menyayanginya sebatas teman atau aku telah mencintai dirinya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok dan hari-hari berikutnya, tapi mulai saat ini aku tidak perlu lagi berharap dapat bertukar kabar dengan Henry setiap hari, bertemu dengan Henry setiap hari, makan siang bersama Henry lagi, pergi bersama saat libur. Aku harus kembali menjadi diriku berbulan-bulan yang lalu ketika aku belum berteman dekat dengan Henry.

"Mana Henry?''

"Sudah pulang dari tadi. Mama di kamar mandi ya tadi? Aku panggil-panggil. Henry buru-buru, sudah petir. Salam aja katanya."

"Petir kok malah pulang.."

"Iya maksudnya sudah mau hujan gede, Mama.."

"Kamu pacaran sama dia?"

"Ngga Ma.." aku harap Mama tidak menimpali lagi jawaban singkatku ini. Aku beranjak dari ruang televisi meninggalkan Mama seorang diri. "Ma, jangan hidupin tivi lagi. Nanti petir. Mama tunggu papa pulang di kamar aja. Aku juga mau ke kamar. Oke Ma?"

"Ah.. Pinter ngatur aja kamu Mel."

Aku melemparkan diriku ke atas ranjang. Menghela nafas. Aku sungguh-sungguh ingin mendengar kabar darinya malam ini. Setelah tadi melepas kepulangannya di bawah langit yang sangat gelap tertutupi awan mendung. Tapi apa mungkin Henry masih mau membalas pesanku setelah semua ucapanku panjang lebar tadi kepadanya. Apa aku telah sangat menyakiti perasaanya? Oh Tuhan.. Kenapa sekarang justru aku yang menangis?!

Aku sama sekali tidak ingin menyakiti orang yang telah mencintaiku selama ini. Tapi aku juga tidak mau menyakiti Mba Lidya yang telah begitu berjasa memberiku kesempatan bekerja untuk pertama kalinya setelah aku lulus dari kursus baristaku. Mba Lidya yang telah memberikanku kepercayaan selama ini. Aku tidak tega melihat wanita sebaik dia harus selalu menyaksikan lelaki yang dicintainya pergi bersama denganku.

Ingin rasanya aku keluar dari situasi yang menjerat dan membelengguku selama ini. Entah kemana aku bisa berlari? Atau sekedar istirahat sebentar dari peranku ini.

Ah.. Sudahlah.. Aku harus menyeka air mataku sekarang, membersihkan wajahku dan melakukan apapun yang ku inginkan sekarang. Aku menatap penunjuk waktu di kanan atas layar ponselku. Pukul delapan lewat sepuluh menit. Terdengar gemericik air hujan masih menetesi genting-genting di atas sana. Ternyata sedari tadi aku memang betul-betul sibuk dengan pikiranku sendiri hingga tidak tahu pasti kapan hujan mulai turun.

Aku tidak peduli Henry akan menjawabku atau tidak, saat ini aku akan mengirim pesan padanya.

"Kamu sampe rumah jam berapa Mas? Kehujanan ngga?"

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit Henry belum juga membalas pesanku. Apa dia sedang balik menguji kesabaranku? Astaga.. Tidak seharusnya aku berpikiran buruk padanya. Di menit ketiga puluh lima, ponselku berbunyi.

"Aku sampe jam delapan tepat. Maaf ya baru sempat buka hp."

Oh.. Syukurlah.. Henry masih mau bicara padaku. Aku tidak menjawab lagi pesan itu. Aku harap dia bisa segera beristirahat tanpa terganggu oleh siapa pun. Dan aku harus benar-benar belajar mengurangi frekuensiku menghubungi dirinya. Aku ingin dia bisa membuka dirinya dan hatinya lagi untuk orang lain. Mungkin dengan tidak menghubunginya terlalu sering dan mulai menjaga jarak, Henry dapat melupakan diriku perlahan-lahan dengan sendirinya seiring waktu yang masih berjalan.

Kini telah masuk musim hujan, Oktober tinggal beberapa hari lagi akan tiba. Setiap hari aku berhadapan dengan hujan. Pagi, siang, malam.. Sudah satu minggu yang lalu terakhir kali Henry mengantarkanku pulang ke rumah petang itu. Sejak hari itu, dia sama sekali tidak pernah datang ke kedai kami. Dia tidak pernah lagi mengirim pesan padaku, hingga aku pun semakin enggan memulainya lebih dulu.

Satu minggu tanpa melihat batang hidungnya di kedai kami, membuat tim personil kedai kami cukup gaduh, silih berganti mempertanyakan padaku, "Kemana Henry?" bahkan ada yang bertanya, "Sudah putus ya?" Hmm.. Memulai pacaran saja belum pernah, bagaimana kami bisa putus. Terkadang aku penasaran apa dia baik-baik saja. Aku tidak mau bertanya tentang dirinya pada siapa pun.

Namun aku sedikit lega ketika pernah satu kali melihat motornya melintasi samping kedai kami ketika dia hendak pulang dari kantornya, ketika itu aku mendapat jadwal shift siang, maka itu aku dapat melihatnya melintas dari dalam kedai sekitar pukul lima sore lebih.

Ada sedikit rasa sakit melihatnya menunggangi motor itu. Disitu ada kenangan yang mungkin tidak akan pernah terulang kembali. Pertama kalinya Henry mengantarkanku pulang ke rumah, hari-hari ceria bersamanya hingga saat terakhir kalinya dia mengantarkanku pulang.

Satu minggu ini aku juga telah memutuskan untuk selalu membawa bekal dari rumah. Karena aku tahu, jika aku masih terus makan siang atau makan sore di sekitar kedai, semua kenangan bersama Henry akan terus menghantuiku. Setidaknya aku melakukan semua ini untuk berusaha melanjutkan hidupku tanpa kehadirannya di dalam hari-hariku.

Sudah satu minggu ini juga, sikapku yang sempat canggung saat berhadapan dengan Mba Lidya telah kembali normal seperti kala dulu lagi. Mungkin Mba Lidya sendiri bisa merasakan perubahan itu, ketika melihat ku sudah bisa tertawa lepas lagi di hadapannya, bersama teman-teman yang lain. Hingga detik ini pun, Mba Lidya dan aku masih sama-sama memendam tanya tentang Henry. Karena kami tidak pernah berbicara tentang dirinya.

Namun aku tidak menduga, kalau akhirnya Mba Lidya tidak dapat menahan rasa penasarannya hingga akhirnya dia bertanya padaku malam ini.

"Mel, sini deh.. Ikut Saya sebentar.."

"Oh.. Iya Mba.." aku pun lantas berjalan membuntuti langkahnya menuju kursi tamu yang paling pojok dalam area kedai.

"Dion.. Tolong handle ya.." seraya berjalan Mba Lidya memberi kode pada Dion untuk menghandle tugasku sementara, jika ada pelanggan yang memesan.

Aku dan Mba Lidya telah duduk berhadapan, di tengah kami terdapat meja bundar berukuran sedang yang terbuat dari kayu.

"Hmm.. Maaf ya Amel. Saya bukan mau bicara soal pekerjaan, tapi sedikit pribadi. Sory.. sory banget ya Mel. Ngga apa-apa kan ya?" sembari senyuman itu tidak luput dari wajah Mba Lidya.

Aku pun mengangguk, mengiyakan ucapannya, "Iya Mba. Ngga apa-apa. Silahkan aja Mba. Kalau Saya bisa jawab pasti Saya jawab kok Mba."

"Maaf, yang Saya tahu belakangan ini kan kamu cukup deket ya sama Henry, sering jalan bareng dia juga. Kalian hanya berteman atau gimana tuh Mel ? Hehe.. Maaf ya Mel.."

"Hehe.. Ngga Mba, Saya sama dia berteman dekat aja. Mungkin kalau yang ngga tahu memang dikiranya kita pacaran, karena sering kelihatan bareng. Tapi sebetulnya kita ngga pacaran Mba.."

Mba Lidya mengangguk dengan tatapan mata yang sedikit heran seraya kedua tangannya dilipatkan di bawah dadanya. Ekspresinya begitu serius, teliti mendengarkan kata demi kata yang terucap dariku.

"Lho terus, kok belakangan ini juga.. Ya belum lama juga sih ya, kok Saya ngga pernah lihat dia nemuin kamu lagi di sini? Beberapa kali Saya juga lihat kamu pulang jalan sendirian ke depan situ." seraya matanya mengarah pada pagar utama area ruko.

"Iya Mba, kalau itu.. Sekarang kita memang sudah ngga sedekat kemarin-kemarin."

"Lho kok bisa gitu Mel?"

"Maaf ya Mba, dia sudah pernah bilang kalau dia suka sama Saya dan minta Saya jadi pacarnya, tapi Saya ngga bisa Mba kalau lebih dari teman."

"Terus.. Kalian menjauh gini karena kamu nolak dia?"

"Ya, bisa dibilang gitu Mba. Saya sih berusaha biasa aja, tetap pingin berteman. Cuma mungkin, kita masing-masing juga butuh waktu untuk saling ngelupain apa yang ngga mungkin kita terusin bareng lagi."

"Hmm.. Iya juga sih."

"Saya harap dia bisa buka diri lagi Mba, untuk siapa pun orangnya selain Saya."

"Kamu ngga suka Mel sama dia?"

"Hehe, sukanya cuma sebagai teman dekat Mba. Kalau lebih, Saya ngga siap."

"Hmm.. Ya sudah Mel, makasih ya kamu sudah mau berbagi sama Saya. Maaf banget ya, Mel.."

Kami pun kembali pada posisi kami masing-masing. Masih sekitar satu setengah jam lagi waktuku untuk pulang ke rumah. Sedang Mba Lidya telah kembali ke atas, ke ruang kerjanya. Aku merasa lega telah menjelaskan padanya panjang lebar tentang yang sebenarnya. Kenyataan yang belum diketahui olehnya selama ini. Sesuatu yang telah membuatnya penasaran selama ini telah terjawab olehku.

Sepuluh menit kemudian Mba Lidya terlihat menuruni anak tangga dengan membawa tas tangan abu-abu yang dijinjing olehnya di tangan kiri. Sambil berlalu menuju pintu depan kedai, dia berpamitan pada kami semua hendak meninggalkan kedai lebih dulu. Tiba-tiba hujan turun lagi, dari dalam kedai tampak Mba Lidya menutupi kepalanya dengan tangan sebelah kanannya berlari dari ujung teras kedai menuju mobil yang diparkirkannya di area depan kedai kami.

Ah.. Aku ingat pernah meningalkan jas hujan di dalam lokerku. Agar yakin, sebaiknya aku mengeceknya lebih dulu ke ruang belakang.

Syukurlah, jas hujan warna marun model daster itu masih ada dalam lokerku. Meski terlihat tipis namun lumayan untukku kenakan jika nanti masih hujan saat waktunya aku harus pulang.

Hujan di luar masih cukup deras, sepertinya sudah tidak akan ada lagi pelanggan yang mampir selarut ini. Sambil menunggu waktu, aku, Dion dan Mutia mengobrol tentang banyak hal. Membicarakan tentang masa sekolah kami masing-masing hingga kebiasaan-kebiasaan kami di rumah. Riuh tawa beradu dengan suara desiran hujan memecah keheningan dalam kedai kami.

Tersisa waktu lima belas menit, aku menelpon Pak Iwan memastikan keberadaan dirinya saat ini. Menurutnya, sekarang posisinya berada sudah tidak jauh lagi dari kedai, mungkin sekitar lima atau sepuluh menit lagi dia akan sampai disini. Aku dan yang lainnya bersiap-siap menutup operasional kedai hari ini.

Dengan teliti, aku membaca ulang laporan harian hari ini. Tampilan pada layar monitor menunjukkan laporan sedang diproses oleh system untuk closing. Aku merasa loadingnya lebih lambat dari sebelumnya, aku protes menggerutu, mengeluhkan jalannya system yang sangat lamban.

"Ini kenapa sih? Lama banget jalannya.."

Dion menyahuti gerutuanku dari kejauhan, "Kan hujan Mel, internetnya jadi goyang."

"Apanya goyang sih Yon? System kita kan ngga pake internet segala."

"Hahaha.. Iya ya.. Tanya tuh sama yang tadi pake komputer seharian.."

Tidak terima dengan ucapan Dion yang terkesan menyudutkan, Mutia balas menyahut dari arah depan pintu kedai. Sambil tangannya bergerak mengunci pintu dari dalam, dia berkata, "Lah emang gue apain Yon? Kan gue cuma pake buat kasir."

"Hahaha.. Maap.. maap.. Becanda Mut.."

Aku jadi merasa bersalah karena gerutuanku terdengar oleh mereka, mereka malah jadi berdebat. Sekarang proses loadingnya tampak sudah hampir selesai. Aku juga telah melihat kedatangan Pak Iwan dari balik meja Mutia. Pak Iwan sedang duduk di atas motornya, tidak jauh dari pos satpam. Dia mengenakan jas hujan warna biru bermodel sepasang, atasan dan bawahan.

Sudah lama juga aku berlangganan ojek malam dengannya. Kalau musim hujan begini rasanya kasihan aku harus mengganggu waktu istirahat malamnya. Terkadang, kalau aku mendapat bonus mingguan yang cukup lumayan dari Mba Lidya, aku sering menyisipkannya untuk memberi tambahan pada Pak Iwan. Agar dia bertambah semangat dalam pekerjaannya mengantar atau menjemputku.

Mungkin saat ini usianya sekitar lima puluhan lebih. Yang aku tahu dia memiliki tiga orang anak, namun yang ikut dengannya tinggal di Jakarta hanya istri dan seorang anak. Kedua anak lainnya disekolahkan di kampung, diasuh oleh Ibu dari istrinya.

Huh, selesai juga tugas-tugasku hari ini. Saat aku menutup system dan hendak mematikan komputer, terdengar suara roda-roda kendaraan yang berputar beradu dengan aspal yang basah di jalan raya depan sana. Hujan tinggal rintik-rintik. Jas hujan marun yang tadi ku temukan dalam lokerku, tetap ku bawa pulang namun ku lipat dan ku masukkan ke dalam tas ramah lingkungan pemberian Mama.

Kami bertiga telah siap meninggalkan ruang utama kedai menuju ruang belakang. Tidak lupa aku mengenakan jaket bomber berwarna hijau, kesayanganku. Setelah menunggu Mutia selesai mengenakan kardigannya, kami bertiga kompak keluar dari pintu samping dan menunggu Mutia menguncinya dengan teliti dan sangat hati-hati. Kami ikut mengeceknya, memastikan pintu telah terkunci dengan benar.

Kami bersama menyusuri jalan samping kedai menuju area depan kedai. Dion dan Mutia menghampiri tempat dimana motor mereka masing-masing diparkirkan. Sedang aku bergegas menghampiri Pak Iwan. Dia pun segera menghidupkan motornya ketika melihatku sedang berjalan mendekat padanya. Pak Iwan memacukan motornya mengantarkanku pulang di bawah tetesan gerimis kecil.

Bagian 7

Sekarang sudah hari Rabu, sudah masuk minggu kedua Henry tidak pernah menyambangi kedai kami lagi. Mungkin, aku rindu padanya. Tapi rindu hanyalah rindu, aku hanya perlu berusaha untuk terus menahan diri. Hari ini rintik hujan masih terus mewarnai hari sejak pagi hingga sore ini. Sejak aku membawa bekal makanan dari rumah, aku hanya menghabiskan waktu istirahatku di ruang belakang kedai.

Sejujurnya, aku cukup bosan. Dan kerap kali merindukan suasana makan siang atau makan sore di luar. Namun masih dalam waktu dekat-dekat ini, aku memilih untuk menghindari makan di luar. Aku masih selalu terbayang kebersamaan kami saat jam istirahat kala dulu. Kadang tidak sengaja aku sampai meneteskan air mata jika bayangan itu terlintas di benakku.

Apa seperti ini rasanya kehilangan seorang sahabat? Apa aku betul-betul hanya menganggap Henry sebagai seorang sahabat selama ini? Tak jarang aku dibuat bingung oleh perasaanku sendiri, yang bahagia kala melihat dirinya dan lantas berubah jadi sangat merindukannya ketika dia tidak ada lagi dalam hari-hariku. Aku senang jika melihatnya senang, aku sedih jika dia terluka. Namun sayang, justru aku yang membuatnya terluka.

Di musim penghujan seperti ini, situasi kedai kami tetap sama seperti biasanya. Pelanggan tidak bertambah ramai ataupun bertambah sepi. Semua tampak normal. Gerimis sepanjang hari atau hujan deras yang tidak mengenal waktu, pelanggan kami masih selalu hadir silih berganti. Aku senang ketika pelanggan sedang ramai-ramainya, sehingga tidak ada jeda waktu untukku bisa senggang dan malah memikirkan Henry lagi.

Beberapa menit lagi tiba waktuku untuk pulang, aku akan menerobos gerimis di luar sana dengan jaket tebal yang berkupluk. Kini, setiap kebagian shift pagi, aku selalu langsung pulang ke rumah, tidak perlu menunggu Henry lagi hingga pukul lima sore. Hanya sekali-sekali aku bersantai dahulu di ruang belakang, mengobrol dengan teman yang lain baru kemudian beranjak pulang.

Aku berpamitan pada Faris seraya melangkah ke ruang belakang, ku tanggalkan celemek hijauku yang sudah hampir dua tahun ini ku kenakan selama mengemban tugasku di kedai. Aku melipatnya rapi dan ku raba halus pin bundar yang bertuliskan namaku. Pin itu tertempel pada celemek hijauku. Aku tersenyum membaca namaku tertulis disana. Setelah melipatnya, aku memasukkan celemek itu ke dalam tasku agar bisa dicuci di rumah, besok aku akan membawa celemek yang lainnya sebagai ganti. Walaupun warnanya sama-sama hijau.

Aku bergegas mengenakan jaket dan tasku kemudian pergi meninggalkan kedai lewat pintu samping. Baru dua langkah keluar dari pintu, aku pun terhenti, tercengang memandang lelaki yang sedang berjalan sedikit menunduk di hadapanku. Astaga.. Seseorang yang belakangan ini selalu ku pikirkan dan ku rindukan, terlihat di depan mataku. Aku melihat Henry dengan mata kepalaku sendiri. Dia mendongak dari tunduknya seraya memandang ke arahku berdiri.

Oh Tuhan.. Terima kasih telah mempertemukan kami sore ini. Meski ku tahu ini hanya sebatas pertemuan singkat. Tapi bisa melihatnya secara sehat dan utuh, itu sudah sangat cukup bagiku.

Cukup lama tatapan mata kami beradu, saling berpandangan dengan jarak sekitar tiga langkah saja. Diiringi aroma gerimis yang sendu, perlahan dia melemparkan senyumnya padaku. Lantas aku pun membalasnya dengan tulus. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir kami. Hingga akhirnya ku teruskan perjalananku melintasi dirinya yang masih berdiri mematung di tempatnya.

Sambil berjalan aku menahan diri untuk tidak menengok ke belakang, namun tetap saja aku tidak sanggup menahan keinginanku untuk menoleh padanya. Aku pun membalikkan diri ke arah kanan, kembali menoleh ke arahnya, namun dia terlihat telah mulai berjalan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Aku rasa, dia juga enggan menoleh ke belakang untuk melihat diriku lagi.

Jika mengucap seribu maaf dapat menebus segala kekhilafanku padanya, ingin rasanya ku ucapkan sekarang juga di hadapannya. Aku terpaksa melukai hatinya. Bukan karena aku tidak menyayanginya. Tapi karena aku tidak ingin semakin melukai hati Mba Lidya. Selagi aku masih sanggup untuk menahan perasaanku pada Henry, biarlah.. Biar ku nikmati sendiri perasaanku padanya.

Aku sempat bertanya-tanya sendiri ketika berpapasan tadi dengan Henry. Belum tiba pukul lima sore, tapi.. dia hendak pergi kemana? Penampilannya lengkap dengan jaket serta tas kerjanya. Ah.. Sudahlah.. Kalau memang mau bertanya, bisa saja ku tanyakan sendiri kepadanya tadi. Tapi aku sendiri juga yang memilih diam, bahkan melangkah pergi lebih dulu darinya.

Sedari tadi memikirkan hal ini, untung aku tetap sadar ketika bus kota yang ingin ku tumpangi melintas sedikit lagi di depanku. Aku buru-buru menyetopnya dan segera naik perlahan-lahan saat busnya telah berhenti. Aku berdiri di tengah para penumpang lain yang juga berdiri. Kami berpegangan pada besi panjang yang menggantung di tengah langit-langit bus. Ini sumber kuman, ini hal yang paling tidak ku sukai saat menaiki bus yang penuh.

Aku masih terbayang oleh pertemuan singkat yang baru terjadi beberapa menit yang lalu. Tatapan mataku memang memandang ke arah luar jalanan, tapi rasanya aku hanya memandang kosong, pikiranku sedang melanglang kemana-mana. Di tengah guncangan bus kota yang sesekali mengerem mendadak ini, aku perlu berhati-hati menjaga keseimbangan tubuhku agar tidak oleng dan terjatuh.

Jika Henry dan Mba Lidya tidak pernah saling mengenal sebelumnya, apakah aku bisa menerima Henry sepenuhnya dalam hidupku?! Entahlah.. Inilah garisan takdir yang sesungguhnya, yang harus kulewati sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Segalanya telah mengubahku menjadi sosok yang lebih dewasa saat ini.

Sampai di rumah, Mama masih sering bertanya, "Henry kemana?" sejak terakhir kali mengantarku pulang hampir dua minggu yang lalu, Henry tidak pernah terlihat lagi bertandang ke rumah kami. Padahal aku sudah bilang pada Mama kalau aku telah menolaknya. Tapi terkadang Mama terus bertanya, entah itu sengaja meledek atau ingin membuatku menyesal telah menolaknya. Aku bosan menjawab pertanyaan Mama. Sehingga terkadang aku asal-asalan menjawabnya.

"Ngga dianter Henry?"

"Ngga Ma.. Musim hujan gini."

"Oh.. Kalau sudah ngga musim hujan berarti dianter lagi ya nanti?"

"Aduh.. Terserah Mama aja deh.."

Setelah puas menggodaku, biasanya Mama tertawa sendiri. Aku tidak pernah menceritakan pada Mama atau pada siapa pun perihal sebabnya aku tidak dapat melanjutkan hubungan dengan komitmen yang serius bersama Henry. Aku tidak ingin dikatakan bodoh karena mengorbankan perasaanku sendiri demi Mba Lidya yang sangat ku hormati, sedangkan Henry sendiri belum tentu mau kembali pada Mba Lidya.

"Mel.. Amel.. Ada yang cari nih.." Mama sudah memanggilku lagi padahal aku baru saja meletakkan tasku di meja kamar.

"Iya sebentar Ma.." aku selesaikan dulu membuka jaket yang baru terbuka risletingnya. Lalu segera bergegas keluar meninggalkan kamarku.

Aku hampiri suara Mama yang terdengar sayup-sayup seperti sedang mengobrol di teras. Aku semakin mendekat ke luar pintu dan akhirnya aku dapat melihat dengan jelas, sedang mengobrol dengan siapa Mama di teras.

"Hai Mel !"

"Hai.." Aku menjawab datar sapaan lelaki itu dengan nada yang masih sedikit terkejut serta kebingungan.

"Mama tinggal ke dalem ya." seraya Mama beranjak meninggalkan kami berdua di teras.

"Ayo duduk.." ku persilahkan Henry duduk dikursi bundar yang biasanya.

Aku pun ikut mengambil posisi duduk pada kursi bundar yang satunya lagi. Aku menoleh padanya dan tersenyum, "Dari mana?"

"Habis ketemu rekanan bos, kantornya ngga jauh dari jalan raya depan sana."

"Oh, mampir kesini karena dekat ya? Sekalian?"

"Ya, ngga juga sih. Pingin kesini aja, sudah lama ngga kesini."

"Hmm.. Ya, kenapa ngga kesini dari kemarin-kemarin? Kan aku ngga larang kamu main kesini. Kamu juga sudah ngga pernah mampir ke kedai lagi."

Henry tidak menjawab dengan ucapan apapun, dia hanya tertawa kecil seraya menunduk. Kami terdiam bersama beberapa saat.

"Sekali lagi aku minta maaf ya Mas, sama kamu. Kalau emang ada sikap aku yang sudah menyakiti kamu selama kita kenal, aku sama sekali ngga bermaksud begitu."

"Ngga Mel.. Kamu ngga perlu minta maaf lagi. Kamu ngga salah. Apa kita boleh tetap berteman Mel?"

"Ya ampun Mas, aku juga ngga pernah bilang kan kalau aku sudah ngga mau berteman sama kamu lagi? Kita tetap bisa berteman baik sampai kapan pun. Cuma, kamu juga mesti punya waktu untuk membuka diri kamu buat cewek lain. Kalau kita terlalu sering bareng-bareng kayak kemarin-kemarin, gimana kamu bakal punya waktu untuk itu.."

Lantas Henry mengangguk mengiyakan ucapan ku barusan.

"Kalau mau mampir ke kedai, ya dateng aja Mas.. Kalau sebelum-sebelumnya kamu bisa cuek saat ketemu Mba Lidya, mungkin nanti lama kelamaan hati kamu luluh sendiri pas ketemu dia."

"Apaan sih Mel? Ngga usah bahas dia sekarang."

"Hmm Iya deh.. Maaf.."

Karena mengobrol sejak tadi, aku jadi lupa mengambilkan air minum untuknya.

"Oh iya, aku ambil minum dulu ya sebentar."

"Eh ngga usah Mel, ini aku mau balik."

"Oh.. Ya sudah. Maaf lho aku sampe lupa ambilin dari tadi. Mama panggil aku pas aku belum lama masuk kamar. Mau balik sekarang? Aku panggil Mama ya"

Mama menghampiri kami ketika aku berteriak memberi tahunya bahwa Henry akan pulang.

"Kok ngga minum dulu, Henry? Buru-buru, cuma sebentar kesininya."

"Iya Tante.. Sebelum hujan gede lagi. Saya pamit ya Tante.." seraya cium tangan pada Mama.

"Iya hati-hati lho, licin di jalan."

"Iya Tante, makasih.."

Henry tersenyum simpul padaku, memberi kode dirinya akan pergi sekarang. Dia menghampiri motornya yang diparkirkan di luar pagar rumah kami. Aku mengikuti langkahnya untuk mengantarnya sampai di pagar. Ku tunggu dan ku amati dirinya ketika naik ke atas motor. Setelah dia mengenakan helmnya, dia mengangguk tanda pamit sekali lagi padaku.

"Hati-hati ya.." hanya itu yang mampu ku ucapkan.

Aku masih tidak habis pikir. Bahwa akhirnya dia masih mau datang kemari menemuiku setelah pertemuan yang sangat garing terjadi baru sore tadi di samping kedai. Aneh sekali rasanya bertemu dengan orang yang sedang kita rindukan. Mungkin semestinya aku sangat senang saat ini. Tapi, ini terasa mengalir begitu saja.

Aku jadi linglung, lupa untuk kembali ke kamar lagi. Aku malah menghampiri Mama yang terlihat sedang menonton televisi sambil selonjoran di atas karpet. Pandangan mataku memang tertuju pada layar televisi, namun lagi-lagi pikiranku mulai kacau.

"Mel, kenapa sih kamu ngga pacaran sama Henry? Dia baik kan?"

"Ya.. Kan buat jadi pacar, ngga cuma harus baik Ma.."

"Wih, pinter ya kamu. Benar juga itu. Hmm.. Ya sudah lah, yang lebih tahu Henry kan kamu, dibanding Mama."

"Eh ya ampun, aku tuh mau mandi Ma.." aku pun bangkit dari posisi dudukku di samping Mama, di atas karpet dan bergegas menuju kamarku.

Aku sangat jarang menggunakan kamar mandi bersama di dekat dapur, rasanya lebih praktis menggunakan kamar mandiku sendiri di kamar. Keran air yang sedang ku nyalakan, harus ku matikan sejenak untuk memastikan apakah di luar sudah turun hujan lagi. Benar saja, hanya terdengar suara derasnya hujan ketika keran air ku matikan sementara. Mungkin saat ini Henry sedang berteduh untuk mengenakan mantel hujannya. Ah.. Apa-apaan aku ini. Seharusnya aku tidak terlalu sering memikirkan dia sebelum aku menjadi gila sungguhan.

"Mel.. Sudah belum mandinya? Makan yuk.." Mama mengetuk pintu kamarku.

Aku langsung membukakan pintunya, masih dengan handuk berwarna biru yang membungkus kepalaku. Namun aku telah mengenakan daster cantik berwarna pink dengan gambar kaktus-kaktus kecil yang memenuhi seluruh bagian daster ini. "Makan? Waw.." aku menutup kembali pintu kamarku seraya membuntuti di belakang Mama.

"Tuh kesukaan kamu, ayam garang asem."

"Wih.. Mama ngga bilang-bilang dari tadi."

"Sudah, duduk! Makan yang banyak."

Kami hanya berdua menikmati makan malam kami. Papa belum sampai di rumah. Pasti beliau sangat pelan dan hati-hati melajukan motornya. Apalagi sekarang hujan terdengar masih cukup deras.

Makan malam ini begitu nikmat. Mama sangat pandai memasak, bahan masakan sesederhana apapun dapat disulap oleh kepiawaian tangannya hingga menjadi luar biasa rasanya. Meskipun sejak lulus kuliah beliau sibuk menjadi wanita karier, namun semenjak memutuskan untuk terjun menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya, beliau mulai rajin membaca buku-buku resep dan belajar giat dengan mempraktekkannya sendiri di dapur.

Sehingga, kini beliau sangat dipercaya dalam urusan masak-memasak. Terutama oleh keluarga besar kami. Jika diadakan acara kumpul keluarga besar atau arisan, ulang tahun dan semacamnya, sudah pasti tenaga Mama termasuk yang paling diandalkan untuk terjun di dapur menghandle konsumsinya.

"Makasih Mama cantik.." aku tersenyum sangat lebar hingga menyipitkan mataku, tanda aku sangat puas dan senang pada ayam garang asem buatannya. Mama masih belum menghabiskan makanannya, aku bangkit dari kursi makanku menuju ke dapur dengan membopong piring kotorku. Aku pun langsung mencuci piring itu sampai terlihat licin dan kinclong.

Aku membuka kulkas dan mengambil sekotak besar susu cair yang terletak di bagian pintu dalam kulkas. Aku menuangkannya ke dalam satu gelas berukuran tiga ratus mili. Setelah kotak susu tadi ku kembalikan ke dalam kulkas, aku pun berlalu menuju kamarku dengan segelas susu putih dingin di tanganku. Ketika aku hendak belok ke kamarku, terdengar suara pintu dibuka dari luar.

"Papa..!" aku menyapanya dengan riang, mengurungkan niatku belok ke kamar. Ku hampiri papa di dekat pintu. Ku pindahkan gelas susu dari tangan kanan ke tangan kiriku, lalu meraih tangan papa agar aku bisa mencium tangannya.

"Belum tidur Mel?"

"Baru habis makan pa, ini mau ke kamar. Papa pake jas hujan?"

"Iya, lumayan hujannya dari kantor sampe sini ngga berhenti-berhenti."

Papa berjalan lurus ke dalam menuju ruang televisi, sekilas ku lihat beliau meletakkan tas kerjanya di meja depan televisi dan meninggalkannya menuju kamar mandi. Aku pun langsung masuk ke dalam kamar.

Hari ini aku kebagian shift pagi lagi. Huh.. Kalau bukan karena aku anak rajin, siapa yang tidak malas bangun subuh-subuh begini untuk mulai beraktivitas, sedang cuaca diluar sangat mendukung sekali untuk tetap berada di ranjang, memeluk guling dan berselimut tebal. Aku bangunkan semangat dalam diriku untuk bergerak sekarang juga, menolak rasa ingin berleyeh-leyeh di kasur.

Aku menuju dapur menyiapkan sendiri minuman hangat serta sarapanku. Aku juga menggoreng beberapa buah nugget ayam yang tersedia di freezer. Bukan untuk sarapan, tapi untuk bekal makan siangku nanti. Semenjak aku membawa bekal, aku minta tolong dibelikan lauk siap goreng oleh Mama. Agar Mama tidak perlu repot-repot memasak ketika aku harus berangkat pagi-pagi seperti ini.

Untuk bekal, aku memang nyaris tidak pernah membawa sayuran. Cukup nasi dan satu atau dua macam lauk dilengkapi dengan saus sachet. Kalau aku kebagian shift siang, aku bisa membawa bekal sesuai dengan apa yang dimasak oleh Mama, biasanya Mama mulai memasak sepulang dari tukang sayur, sekitar pukul enam atau tujuh pagi.

Aku telah selesai menggoreng nugget ayam ku, aku meniriskannya dulu, dan baru bisa dimasukkan ke dalam kotak makan beserta nasi setelah hawa panasnya hilang. Hmm.. Seperti biasanya, aku cukup sarapan setangkup roti tawar hari ini bersama seduhan teh manis hangat yang sangat harum. Aku melanjutkan kegiatanku untuk menyiapkan diri berangkat ke kedai.

Kini aku sudah berada di dalam bus kota. Tampak diluar tidak hujan, tetapi awan masih gelap dan udara masih dingin karena hujan baru berhenti ketika tadi aku bangun dari tidurku. Jalan-jalan juga terlihat masih cukup basah. Aku mendapatkan kursi paling depan hari ini. Wah.. Jarang-jarang aku bisa melihat jalanan terhampar luas sejauh mataku memandang. Lewat kaca tembus pandang yang sangat luas membentang di bagian depan bus kota. Aku duduk sejajar dengan kursi pak sopir, namun di sampingku juga ada seorang bapak yang tampaknya juga sedang memperhatikan jalanan di depan, sama sepertiku.

Jalanan pagi ini masih cukup tersendat namun tiba-tiba bus kami herus berhenti cukup lama di tempatnya. Pak sopir berteriak pada sang kernet, memerintahkannya untuk mengecek ada kejadian apa di depan sana hingga mobil-mobil di depan kami belum ada yang bergerak satu pun sejak tadi, hingga riuh klakson kendaraan mulai terdengar satu demi satu menambah riuh suasana jalanan. Tidak lama, sang kernet pun telah tampak kembali, berjalan cukup cepat menghampiri pintu bus kami.

"Ada apa Lai..?" tanya pak sopir berteriak lagi padanya.

"Motor keserempet, orangnya jatuh di pertigaan situ. Rame orang pada nolong."

Duh.. Aku sangat ngilu mendengarnya. Kasihan sekali pengendara motor yang diserempet itu, meskipun aku tidak melihatnya langsung di depan mataku, semoga saja orang itu bukan sanak saudaraku atau teman yang ku kenal.

Sekali-sekali aku menatapi arloji hitam pada pergelangan tangan kiriku. Waw.. Amazing! Sudah hampir lima belas menit bus kami tetap di posisi yang sama. Pak sopir pun berteriak lagi pada kernetnya.

"Lama amat.. Parah Lai yang celaka?"

"Tadi lagi digotong ke pinggir."

Hmm.. Aku hanya dapat menghela nafas. Mungkin di pertigaan itu tidak ada orang yang mengatur jalannya lalu lintas, sehingga mobil dan motor tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Ah.. Sudahlah.. Lebih baik aku segera menghubungi Mutia, jaga-jaga kalau aku sampai telat tiba di kedai.

Akhirnya kami lolos dari kemacetan ini. Penumpang seisi bus nyaris kompak menoleh ke arah kiri jalan untuk melihat si korban yang terserempet tadi. Terlihat seorang bapak yang mungkin berusia lima puluhan mengenakan jaket kulit hitam sedang meringis kesakitan memegangi kaki kirinya, sepertinya juga ada luka yang cukup besar disitu. Di sekelilingnya tampak beberapa orang yang sedang menolongnya dan membantunya minum dari sebotol air mineral yang dipegangi oleh seorang lelaki muda.

Alhasil, aku pun telat sampai di kedai. Sudah lewat sepuluh menit dari pukul tujuh. Aku berlari kecil ketika sampai di depan pagar ruko. Tidak banyak berpikir lagi, aku langsung menuju pintu depan kedai, aku berniat masuk lewat sana. Aku yakin kuncinya sudah dibuka dari dalam oleh Mutia. Ya, benar. Pintunya tinggal ku dorong ke dalam, lalu terbuka. Dengan setengah ngos-ngosan, aku membalikkan papan stainless open closed kepada bagian yang tertulis open.

Huh.. Aku menuju ruang belakang melewati samping meja barista, untuk menaruh tas dan menanggalkan jaket yang ku kenakan. Bergerak gesit mengeluarkan celemek bersih dari dalam tasku, yang ku bawa dari rumah. Lantas mengenakannya sambil berjalan kembali menuju meja kerjaku, meja barista. Sambil cengar-cengir dan bersandar di dinding, aku menggoda Mutia dan Eka.

"Kok tadi ngga kalian buka aja papannya?"

"Terus kalau pas buka langsung ada yang dateng minta kopi, yang suruh bikin siapa?" jawab Eka sambil memanjang-manjangkan lehernya, menoleh sedikit ke arahku.

"Kamu sih telat.." Mutia menambahkan dengan nada suara datar.

"Hahaha.. Ya kalian lah yang bikin kopinya. Seduh aja kopi sachet instan. Hahaha.." jawabku bercanda pada keduanya.

Petir mulai menggelegar. "Waduh.." kami bertiga kompak terkejut.

Dari dalam kedai, angin tampak berhembus cukup kencang, membuat tangkai-tangkai pepohonan di area parkir depan berayun-ayun kencang, menggugurkan sedikit daunnya. Disusul kemudian hujan cukup deras membasahi aspal jalanan. Kedai terasa hening, hanya suara desiran air hujan yang terdengar. Aku, Mutia dan Eka keluar dari posisi kami masing-masing. Aku berdiri tiga langkah dari pintu depan, menghadap ke luar. Mutia duduk pada salah satu kursi tamu yang juga menghadap ke luar. Sementara Eka berdiri di depan meja kasirnya tampak menyandarkan tubuhnya disana.

Kami bertiga memandang ke arah yang sama, ke luar kedai. Entah apa yang berada dalam pikiran kami masing-masing saat ini. Apakah semua orang akan terbawa oleh perasaannya kala sedang berhadapan dengan hujan? Kala mata sedang memandang pada hujan. Apakah hujan hadir dengan membawa segala kenangan pahit dan manis yang pernah terjadi dalam hidup setiap manusia?

Entah sudah berapa lama kami bertiga asyik menikmati posisi kami masing-masing. Hingga kami buyar dalam sekejap ketika menyadari kemunculan mobil Mba Lidya yang tampak sedang mengatur posisi untuk parkir di depan kedai.

Mba Lidya membuka payung lipatnya yang berwarna pink kemudian bergegas dengan langkah hati-hati menuju pintu kedai. Dia menutup payung itu di teras kedai, sedikit mengibas-ngibasnya serta memasukkannya ke dalam tas ramah lingkungan yang ditenteng olehnya. Lalu perlahan mendorong pintu kedai.

"Pagi semuanya.." dia tersenyum ramah menyapa kami seraya berlalu menuju tangga ke lantai dua. Kami menjawab salamnya dengan kompak. Disusul dengan komentar kami saling lirih, "Tumben pagi-pagi.."

Tidak lama setelah Mba Lidya naik, pelanggan pertama kami akhirnya tiba. Aku pun mulai melaksanakan tugasku menyiapkan kopi hangat pesanan seorang bapak yang tadi terlihat turun dari mobilnya. Setelah membayar ke kasir, beliau kembali ke hadapanku sambil menelpon. Tampaknya beliau sedang mengatur janji untuk bertemu dengan rekan bisnisnya.

"Silahkan Pak.." dengan senyum dan berhati-hati aku menyerahkan secangkir kopi pesanannya ketika beliau telah mengakhiri pembicaraannya di telpon. Beliau pun menerimanya dengan kedua tangannya seraya berterima kasih padaku.

Faris telah tiba di kedai. Dia masuk lewat pintu depan, hari ini dia memarkirkan motornya di area depan. Sambil senyam-senyum dia melangkah menuju ruang belakang untuk mempersiapkan dirinya bekerja. Dengan sumringah dia kembali ke meja barista dengan membopong sebuah benda yang dari kejauhan terlihat seperti tumpukan karton berukuran buku tulis.

"Apa tuh Ris?" tanyaku kepo.

"Nih.. Buat Amel, Mutia, Eka." seraya membagikannya pada kami bertiga.

Sontak aku terkejut dibuatnya ketika membaca nama Faris dan Mytha di sampul bagian depan benda yang diserahkan Faris. Astaga.. Si rese' ini akan segera menikah.

"Wah.. Selamet ya Ris.. " ucapku dan kedua teman lainnya yang nyaris berbarengan. Kami ikut senang dan gembira mendengar kabar bahagia itu. Jika dilihat hari dan tanggalnya, jatuh pada Minggu depan aku pun berinisiatif melihat jadwal yang terpampang di dinding belakang tempat kami berdiri.

"Minggu depan.. Aku masuk apa ya..?" Mutia dan Eka pun mengikuti langkahku menatapi jadwal bulanan kami.

"Wah.. Aku pagi dong.." ucapku riang karena Faris mengadakan resepsi pada malam hari.

"Mutia juga pagi.. Yah.. Aku siang." ucap Eka dengan nada kecewa.

"Eka, kalau lo mau dateng pas akad ngga apa-apa Ka. Lo kan termasuk teman dekat gue juga, bareng sama sepupu-sepupu gue nanti, ngga apa-apa." Faris menghibur Eka.

"Ya.. Tapi kan kurang asyik Ris.." Eka masih kurang puas dengan komentar Faris.

"Ya kamu bareng datengnya, sama yang masuk siang juga kerjanya." tambahku.

"Nah.. Iya bener kata Amel." Faris dan Mutia setuju pada pendapatku.

"Amel ajak si Mas ya.. Hahaha.. Mas Henry."

Hmm.. Si Faris ini.. Masih saja iseng menggodaiku dengan Henry. Aku lebih baik diam kalau begini urusannya. Kami pun kembali pada posisi kami masing-masing dan mulai bekerja lagi melayani pelanggan yang sudah mulai hadir.

Di belakang dua orang Ibu yang telah selesai kami layani pesanannya, tampak seorang lelaki tinggi, mengenakan kaus berkerah warna biru dongker yang sedang bercelingak celinguk seperti sedang mencari seseorang, aku pun menawarkannya untuk segera memesan.

"Silahkan Pak.."

"Oh.. Ngga Mba.. Lidya ada ya?"

"Oh.. Mba Lidya.." aku sengaja tidak langsung menjawabnya karena takut salah. "Coba kami lihat dulu ke atas ya Pak." aku melanjutkan ucapan ku tadi.

"Oh, ngga usah. Saya telpon aja dari sini." dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menelpon Mba Lidya di depan mataku. Aku rasa Mba Lidya menyuruhnya langsung naik ke ruangannya. Kemudian lelaki itu memberitahu pada ku. "Sudah Mba, Saya langsung ke atas aja katanya."

"Silahkan Pak, tangganya yang sebelah sana." aku menunjukkan dengan sopan ke arah letaknya tangga menuju ruangan Mba Lidya.

Hmm.. Mungkin itu teman atau saudara Mba Lidya. Kami belum pernah melihat orang itu sebelumnya.

Beberapa menit setelah lelaki itu pergi dari hadapan kami, yang hadir selanjutnya adalah seseorang yang cukup membuatku terkejut. Hmm.. Siapa lagi kalau bukan Henry. Kemarin malam dia sudah mulai datang lagi ke rumahku dan sekarang dia pun muncul di kedai. Aku termangu memandang kehadiran dirinya. Aku sengaja tidak bereaksi apapun. Hingga dia lebih dulu yang bersuara.

"Mel! Bengong?!"

"Woi.. Mas Henry tuh mau pesen, didiemin aje.." Faris meledekku lagi.

"Ini sudah jam istirahat ya?" aku membuka suara pada pada Henry.

Dia menggeleng, "Habis dari luar nemuin orang. Terus pingin mampir aja kesini."

"Mau ngopi ngga?"

"Ngga usah, cuma sebentar."

"Oh.. Cuma pingin lihat Amel ya Mas? Hahaha.. Oh iya, hari Sabtu di minggu depan Saya nikahan, dateng ya sama Amel. Ini undangannya." Astaga ternyata Faris juga sudah menyiapkan satu undangan buat Henry, dia menyerahkan undangan itu ke tangan Henry di depan mataku.

"Wih.. Selamet ya.. Makasih ini undangannya." ucap Henry kepada Faris.

Tiba-tiba saja kami semua dikejutkan oleh suara grasak-grusuk dari tangga pojok kedai. Kami semua kompak menoleh ke arah datangnya suara itu. Kemudian tampak Mba Lidya sedang mendorong-dorong lelaki berbaju biru tadi dari arah belakangnya. Mba Lidya tampak sangat kesal dan meminta lelaki itu untuk segera pergi dari kedai.

"Ya aku sudah bilang kalau kamu mau kesini sebates ngobrol biasa ngga apa-apa, kenapa kamu masih ngga berubah? Aku ngga bisa nikah sama kamu!" suara Mba Lidya cukup terdengar sampai di telinga kami.

Untungnya pelanggan hanya tersisa sekitar tiga orang disini. Yang lainnya sudah pergi sejak tadi.

Lelaki tinggi itu tampaknya terus memaksa Mba Lidya, terlihat sekali dia tetap tidak mau pergi dari sini meski Mba Lidya terus mendorongnya tubuhnya. Kami masih diam karena tidak ingin terkesan ikut campur masalah mereka. Namun akhirnya Henry tergerak menolong Mba Lidya ketika Mba Lidya berteriak.

"Panggil satpam, Faris! Tolong Faris, panggil sekarang!" Mba Lidya masih terus berusaha mendorong lelaki itu ke arah pintu depan. Faris sigap memenuhi perintah Mba Lidya, dia berjalan secepatnya ke arah pintu untuk pergi ke pos satpam. Tapi sebelum Faris sampai di pintu, Henry telah mendekat pada Mba Lidya dan lelaki itu. Aku dibuat terkejut lagi oleh aksinya kali ini.

"Lo ngga denger dia suruh lo pergi dari tadi?"

"Eh.. Siapa lo?! Ikut campur urusan gue.." akhirnya lelaki itu buka mulut juga. Aku jadi takut membayangkan yang terjadi selanjutnya.

"Ya lo jangan begitu sama perempuan! Dia ngga mau, jangan lo paksa!"

Dengan tangan kirinya, lelaki itu mulai menyincing kemeja bagian depan yang dikenakan Henry, sedang tangan kanannya mengepal tinggi hendak menonjok wajah Henry. Haduh aku harus menghentikan lelaki itu sekarang juga.

Sebelum aku melancarkan aksiku menarik lelaki itu dari arah belakang, akhirnya Faris muncul bersama seorang satpam bertubuh kekar. Dia bukan Pak Otong ataupun Pak Jarwo, mungkin satpam baru disini. Lantas Faris dan satpam itu melerai tindakan lelaki itu yang sedikit lagi hampir menonjok wajah Henry.

Satpam keren itu menggiring si lelaki keluar dari kedai dengan sedikit menyeretnya. Tampak si satpam mengantarnya sampai di mobil lelaki itu. Dan memastikan hingga mobil lelaki itu pergi meninggalkan area ruko.

Mba Lidya terduduk lemas di salah satu kursi tamu dekat meja barista. Sungguh aku merasa bersalah membiarkan lelaki itu naik ke ruangannya. Aku belum berani mendekatinya sekarang dan meminta maaf padanya. Di depan mataku kini, Mba Lidya tidak hanya sendirian tetapi ada Henry yang duduk di hadapan Mba Lidya membawakan sebotol kecil air mineral yang didapatnya dari tangan Mutia.

Aku melihat dengan jelas Henry menyodorkan botol itu tepat di depan wajah Mba Lidya yang sedang menunduk. Raut wajah Mba Lidya menampakkan kekagetannya pada sikap Henry. Dia mendongak dan termangu menatap wajah Henry, lelaki yang masih sangat dicintainya hingga kini.

Bagian 8

Aku sempat mengira setelah kejadian terakhir di kedai, sikap Henry akan lebih melunak pada Mba Lidya. Namun kenyataannya, Henry masih bersikap dingin pada Mba Lidya. Sikapnya masih sangat kaku ketika mereka bertemu atau sekedar berpapasan. Menurut Henry, siapapun orangnya yang berada dalam situasi terpojokkan seperti Mba Lidya waktu itu, berhak untuk mendapat pertolongan.

Hari itu, Mba Lidya langsung pergi meninggalkan kedai setelah beberapa menit kondisi pikirannya dapat ditenangkan oleh Henry. Aku tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan berdua kala itu. Soal itu, Henry tidak mengatakan apapun padaku. Keesokan harinya setelah kejadian itu, aku memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Mba Lidya karena telah membiarkan lelaki bertubuh tinggi itu naik dan masuk ke ruangannya.

Namun Mba Lidya hanya tersenyum dan menggeleng, katanya.. "Ngga apa-apa Mel, bukan salah kamu kok. Dia memang hubungin Saya, katanya ada hal penting, tapi ternyata itu cuma akal-akalan dia aja."

Aku lega mendengarnya kalau memang kejadian itu bukan sepenuhnya kesalahanku. Aku akan selalu mengingat bahwa sekarang aku dan teman-teman di kedai harus lebih berhati-hati menerima tamu untuk Mba Lidya.

"Mel, boleh makan siang bareng?" Henry baru saja mengirimiku pesan.

"Maaf Mas, aku sudah bawa makan siang dari rumah."

"Oh gitu Mel.. Sekarang kamu selalu bawa ya?"

"Iya, sudah jarang jajan diluar. Biar irit juga, hehe."

Mungkin sebenarnya aku sangat senang dengan ajakan Henry untuk makan siang bersama hari ini. Namun sebaiknya, aku berusaha menolaknya.

Hawa di dalam kedai terasa lebih dingin hari ini. Padahal suhu dari AC telah kami sesuaikan dengan keadaan cuaca diluar. Namun tetap saja, rasanya aku hampir menggigil disini. Rintik gerimis masih terus membasahi sejak pagi tadi hingga menjelang siang ini. Aku rindu matahari. Mengapa dia harus bersembunyi di balik awan-awan gelap itu? Hmm.. Bisa jadi matahari tidak berbeda jauh dengan manusia, akan ada masanya matahari harus meredup sementara seperti kebahagiaan yang harus terhalangi dulu oleh kesedihan yang juga sementara.

Aku dan Dion masih sibuk melayani pesanan pelanggan. Sekuat tenaga aku tetap sigap menyiapkan pesanan mereka di tengah kondisi tubuhku yang sedang kedinginan. Hmm.. aku ini memang norak. Kadang kedinginan sedikit saja, aku tidak tahan. Aku heran melihat teman-temanku disini dan semua orang yang berada di sekelilingku saat ini, apa mereka semua tidak merasakan hal yang sama denganku? Kenapa mereka terlihat biasa-biasa saja ya? Seperti tidak merasa sedang kedinginan sama sekali. Atau jangan-jangan tubuhku sendiri yang sebetulnya sedang tidak sehat. Ah.. Sudahlah..

"Mel, itu pesanan siapa?" mata Dion memandang ke arah cangkir putih yang berada di tangan kiriku. Aku sedang menjadikan cangkir itu sebagai penadah air kopi yang mengalir lembut keluar dari mesin kopi.

"Hehe, pesanan gue dong. Ingetin ya! Nanti gue bayar kok."

"Hahaha sip. Kirain punya siapa itu."

Aku telah siap dengan secangkir kopi latte hangat di tanganku, untukku bawa serta ke ruang belakang kedai, "Gue makan dulu ya Yon.."

"Iya. Lo bawa bekel Mel?"

"Iya." aku pun membalikkan tubuhku berlalu melangkah pergi sekarang juga. Hmm.. Aku mengangkat tinggi cangkir putih mendekati indera penciumanku, harum sekali kopi buatanku ini. Aku tidak tahan jika harus meminumnya nanti. Sebelum memulai makan siangku, akhirnya aku seruput dulu kopi latte hangat itu barang sedikit. Wah.. Nikmatnya..

Pada cuaca yang sangat dingin seperti sekarang ini memang paling cocok untuk menikmati secangkir kopi hangat. Pantas saja kedai kami tetap ramai pengunjung meski diluar hujan masih sering mengguyur. Mereka yang tetap harus beraktivitas namun jauh dari rumah tentu sangat terbantu dengan adanya kedai kopi di sekitar mereka.

Bekal makan siangku kini telah tandas, yang tersisa hanyalah setengah cangkir kopi latte yang sudah tidak terlalu hangat lagi. Namun rasanya masih tetap nikmat. Kalau makan siang di ruang belakang seperti ini, aku bisa lebih santai, bisa selonjoran di lantai. Sedang kalau makan diluar waktu istirahat jadi terasa lebih cepat berlalu.

Sebelum aku benar-benar tertidur disini, lebih baik aku habiskan kopiku sekarang juga dan segera meninggalkan ruangan ini, kembali ke depan. Meski waktu istirahatku masih tersisa sepuluh menit lagi.

"Lho, sudah Mel istirahatnya?" tanya Dion padaku seraya matanya menatap ke arah arloji warna cokelat yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Aku menguap dan sigap menutupnya dengan telapak tanganku, "Sudah ah, lama-lama di belakang jadi ngantuk gue."

"Jajan dong keluar.. Biasanya dulu makan diluar terus lo."

"Bosen juga Yon, lagian bisa lebih irit, lumayan."

Tidak lama seusai pembicaraan kami, Dion pergi keluar makan siang. Sementara Mutia terlihat baru datang dari arah pintu depan.

"Jajan apa Mut?"

"Bakso di seberang, dalem ruko sini pada rame semua. Bingung mau duduk.."

Hmm.. Aku jadi ingat kalau dulu sering makan bakso di seberang bersama Henry.

Lelaki yang sedang ku kenang, tiba-tiba muncul di hadapanku. Dimana ku letakkan mata tadi sampai-sampai aku tidak melihat dirinya masuk lewat pintu depan?! Tahu-tahu sudah berdiri tegap menghadap padaku. Tanpa berbasa-basi, dia menyodorkan sebuah plastik kecil berwarna putih ke atas mejaku, "Ini, buat kamu Mel."

"Hah? Apa nih?" dengan ekspresi datar aku meraih plastik putih yang disodorkan olehnya tadi.

"Bolen pisang." jawabnya singkat diiringi senyum simpul.

"Wah.. Asyik. Makasih ya Mas."

"Oke, aku langsung ya.."

"Cuma ngasih ini? Ngga duduk dulu?"

"Ngga usah deh.. Duduk juga sendiri, kamunya lagi kerja."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya mengucapkan terima kasih sekali lagi. Henry lantas membalikkan tubuhnya ke arah pintu hendak melangkah pergi meninggalkan kedai. Namun dirinya malah hampir bertabrakan dengan Mba Lidya yang baru saja datang.

Mba Lidya memang tampak lebih sering menunduk ketika berjalan. Tidak heran jika cara berjalannya yang seperti itu membuatnya tidak menyadari keberadaan orang lain di depannya, apalagi kalau sambil buru-buru jalannya. Sudah pasti kacau jadinya, seperti yang terjadi saat ini. Langkah mereka sama-sama terhenti, kini keduanya berdiri berhadapan. Mba Lidya menepis tatapan matanya dari wajah Henry, dia bergerak maju melintasi sisi sebelah kanan tubuh Henry yang masih mematung di tempatnya.

Hendry menoleh ke belakang, tapi bukan ke arah Mba Lidya. Sorot mata itu jelas tertuju pada diriku. Dia menatapku dengan senyum simpulnya, lalu kembali pada posisinya untuk melanjutkan langkahnya pergi dari kedai. Aku tidak mengerti maksud dari senyum yang dilemparkannya barusan padaku. Apa dia berharap aku akan cemburu melihat adegan yang tidak disengaja itu?

Aku tidak peduli, itu bukan urusanku. Di tanganku kini masih terdapat bungkusan plastik putih yang tadi diberikan Henry padaku. Aku juga tidak sadar kalau aku telah meremasnya terlalu kencang hingga bagian atas plastik itu terlihat sangat lecek. Aku tidak tahu kapan persisnya aku mulai meremas kuat-kuat plastik yang malang itu. Tadinya aku hendak memberikannya saja pada Dion atau Mutia atau juga Eka. Namun kesadaranku telah kembali mengingat bolen pisang adalah kue yang sangat enak dan tentu aku menyukainya.

Oh.. Astaga.. Ada apa dengan diriku? Aku tidak mau menerima Henry untuk menjadi kekasihku, tapi mengapa rasa cemburu mesti terlintas, hadir dalam benakku. Aku juga sudah berjanji pada diriku sendiri untuk dapat mengendalikan perasaanku padanya. Hmm.. lama-lama kehadiran lelaki itu sungguh terasa mengganggu hidupku. Aku jadi tidak pernah berhenti memikirkan dirinya. Untungnya aku masih bisa berkonsentrasi ketika harus membuatkan kopi untuk para pelangganku.

Besok malam adalah acara resepsi pernikahan Faris. Tidak masalah jika harus berangkat sendiri dari rumah. Aku hanya perlu janjian dengan Mutia di lokasi acara. Aku bisa berangkat dan pulang menumpang taksi. Atau.. besok kan papa libur. Apa aku harus minta tolong diantar oleh beliau naik si Dul? Hmm.. Sekalian saja ajak Mama. Jadi, kami bisa kondangan sekeluarga. Astaga..

Dalam situasi seperti ini, ternyata memiliki kekasih juga sangat diperlukan ketika kita hendak ingin pergi kondangan. Atau ingin menghadiri undangan acara lainnya. Setidaknya, agar ada yang bisa menggandeng kita sebagai wanita. Ah.. Sudahlah.. Semoga saja besok malam cuacanya cerah, hujan mau berbaik hati memberikan sedikit pengertiannya untuk acara Faris.

"Besok rencanaya lo mau dateng Yon, ke akad nikahnya Faris?"

"Pinginnya dateng, mau gimana lagi. Kan gue jelas ngga bisa pergi malemnya."

"Lo dateng aja bareng Eka sama Rena. Janjian gitu dimana kek.."

"Apa tuh sebut-sebut nama gue?" tukas Eka dari balik meja kasirnya.

"Hahaha, besok Dion mau barengan tuh sama lo, dateng ke akadnya Faris."

"Iya Ka, si Rena juga ajakin bareng gitu.." Dion menimpali ucapanku.

"Jam sepuluh ya? Nanti hujan lagi.. Hahaha.." celetuk Eka menimpali Dion.

Hmm.. Berarti besok pagi aku hanya bertugas berdua dengan Mutia di kedai. Sabtu pagi dan hanya berdua, semoga saja kedai belum terlalu ramai sehingga pekerjaan masih dapat kami handle berdua saja.

Sekarang hanya tersisa waktu lima menit lagi, tugasku pun selesai hari ini. Satu pesanan di tanganku ini akan rampung dalam beberapa detik saja. Namun dari kejauhan, sekilas aku melihat segerombolan anak muda lelaki dan perempuan yang sedang berhenti di ujung area parkir. Tampaknya mereka sedang berdiskusi tentang sesuatu. Lalu kemudian mereka semua bergerak ke arah kedai kami. Hmm.. Bagus, aku memang senang kalau kedai kami ramai. Tapi ini sudah waktunya aku harus berhenti dari tugasku. Mana tega aku membiarkan Dion menyiapkan sendiri minuman untuk orang sebanyak itu.

Aku tetap tersenyum ramah ketika menyambut kehadiran mereka yang telah mengatur posisinya secara bergiliran untuk memesan padaku. Dengan sigap aku menyiapkan pesanan mereka seraya memberi komando pada Dion untuk membagi tugasku dengannya. Pesananan anak muda yang berikutnya benar-benar menguji tingkat kesabaranku. Hampir semua macam minuman yang tertera pada daftar menu ditanyakan penjelasannya. Aku pun telah menjawabnya satu per satu dengan penjelasan yang paling singkat namun tetap jelas.

Awalnya dia memilih kopi latte, lalu katanya, "Kapucino aja deh Mba." Ekspresi wajahku tetap tersenyum. Tapi tidak lama kemudian dia mengatakan lagi, "Eh moka enak kali ya?"

Aku terus tersenyum dan sedikit mengangguk, "Semuanya juga enak kok Kak.."

"Eh lo yang bener, Mba'nya bingung. Kelamaan lo.." akhirnya ada yang mewakilkan suara hatiku. Hahaha. Teman si anak muda yang berdiri di sampingnya telah menyikut lengan kanannya.

"Ya sudah, kopi moka aja Mba.." nada suaranya berubah jadi sedikit memelas seolah dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir lagi.

Sampai akhirnya aku baru selesai memenuhi segala pesanan segerombolan anak muda itu pada pukul empat lebih tiga puluh lima menit. Dion langsung mengusirku.

"Sudah Mel, pulang gih.."

"Oke deh.. Lelah gue Yon.. Haha.."

Di ruang belakang, aku menjatuhkan diriku di kursi kayu dekat loker. Huh.. Ku keluarkan ponsel dari saku celemekku. Aku melepas celemek itu, mengibas-ngibasnya serta melipatnya rapi. Rasanya malas sekali aku bangkit dari kursi ini. Huh.. Akhirnya aku tinggalkan juga kursi kayu itu. Aku segera menyelesaikan persiapanku untuk pulang. Aku tidak melihat jam lagi ketika meninggalkan kedai lewat pintu samping.

Aku berjalan kaki menuju pagar depan ruko. Dan menghentikan langkahku di trotoar, menunggu bus kotanya melintas. Hmm.. Tampaklah motor yang bodynya sangat ku kenal itu, semakin mendekat menghampiri tempatku berdiri.

"Neng! Bareng yuk..!" lelaki itu menaikkan kaca helmnya dan menggodaku.

"Nang neng, nang neng! Emang ada helmnya?"

"Ngga lihat? Nih..." dia memamerkan helm satunya yang diletakkan di atas tangki depan motornya. Dan langsung menyerahkannya padaku untukku kenakan.

Aku pun mengenakan helm itu sambil menggerutu, "Ya lihat, masa segede gini ngga lihat. Kamu rajin banget ya bawa-bawa helm dua segala. Ngga ribet naro disitu?!"

Aku telah naik di atas motor Henry, kami sedang dalam perjalanan menuju rumahku.

"Kamu emang selalu bawa helm dua ya?" aku melanjutkan ucapanku sedangkan yang tadi saja belum dijawab oleh Henry.

"Iya.. Buat cadangan aja kalau ada teman yang mau bareng."

"Huah.. Baik banget ya kamu.. Kirain pulang kerja sekalian ngojek."

"Iya sih kadang.." datar sekali intonasinya. Aku jadi tidak dapat membedakan dia sedang bercanda atau serius. Ah.. Biarlah..

"Mel, besok aku jemput ya ke nikahan Faris."

"Hah?" aku masih bingung harus menjawab apa. Ya sudah kalau gitu aku jawab, "Iya deh, tapi kalau hujan gimana?"

"Ya naik taksi, motor ini taro di rumah kamu."

"Hmm, terserah.."

Kalau tidak dengan Henry, sebetulnya aku juga kurang nyaman harus berangkat sendirian. Kalau ternyata di sana aku bertemu Mutia tapi dia malah sibuk dengan pacarnya, sama saja bohong. Aku tetap merasa sendirian. Mau bagaimana lagi? Ya sudah, aku setuju saja pada ajakan Henry.

"Bolen pisangnya enak Mel?"

"Eh, belum aku makan. Tadi aja hampir ketinggalan, aku sudah ke belakang jadi balik lagi. Tadi belum sempat dimakan, kedai rame banget."

"Oh, kirain pelit ngga mau bagi sama yang lain.." Henry meledekku sambil tertawa kecil.

"Hmm.. Iya juga sih. Kan kamu beliin cuma buat aku. Nanti aku makan sendiri aja di kamar."

"Ih dasar ya.. Pelit.. Hahaha.."

Cukup lama juga kami tidak bercengkrama seperti ini di atas motor, aku jadi mulai canggung lagi padanya. Mungkin, karena sebetulnya aku merasakan sesuatu yang tidak ku pahami terhadap dirinya. Entah apa namanya rasa itu. Aku benar-benar belum mampu memahami sesuatu yang ku rasakan itu.

Langit mulai tertutupi awan mendung lagi ketika kami hampir sampai di depan rumahku. Setelah aku turun di depan pagar rumahku, Henry pun langsung meluncur kembali. Dia pamit padaku untuk langsung pulang saja. Hmm.. Baguslah tidak usah mampir, nanti Mama malah heboh lagi. Aku melangkah santai menuju ke dalam rumah. Tumben pintunya sudah ditutup, biasanya jam segini Mama masih membuka pintu.

Aku coba membuka pintu sendiri, namun pintunya dikunci. Baru mau diketuk, Mama sudah membukanya duluan dari dalam. "Dor!" katanya.

Aku langsung mencium tangan Mama lalu masuk ke dalam. "Tumben sudah tutup pintu jam segini?"

"Kirain tadi mau hujan gede, Terus Mama mau ke kamar mandi, jadi dikunci pintunya."

Setelah mendengar penjelasan Mama, aku bergegas masuk ke kamar. Ku tinggalkan Mama yang sedang duduk di ruang tamu sambil memandangi layar ponselnya. Terpikirkan olehku, besok pergi ke acara Faris mau pakai baju yang mana ya..? Sehabis mandi, aku langsung mengobrak-abrik isi lemariku. Hmm.. Tapi aku tidak seberantakan itu, aku mengeluarkan satu per satu pakaian bagus dari dalam lemari, yang dilipat, yang digantung. Aku meletakkan semuanya di atas tempat tidurku. Kemudian aku mulai memilihnya dengan cermat.

Butuh waktu cukup lama juga untuk akhirnya dapat memutuskan satu yang paling sesuai untukku kenakan besok. Yang jelas, aku tidak mau pakai rok. Aku akan tetap mengenakan celana bahan yang cukup kecil pada bagian betisnya. Sedangkan atasannya aku memilih blus lengan panjang warna pink yang bermodel lebar pada bagian tangannya. Aku tidak perlu mengenakan sepatu yang berhak tinggi. Menurutku, aku sudah cukup tinggi. Lagipula bisa-bisa nanti aku terjatuh ketika mengenakan sepatu macam itu.

Pakaian yang tepat sudah ku dapatkan, sekarang waktunya ku bereskan kembali isi lemariku. Setelah semua beres, aku pun keluar dari kamar menuju ruang makan. Aku ingin tahu hari ini Mama masak apa. Kenapa Mama diam saja dari tadi, belum menyuruh atau mengajak aku makan. Aku membuka tudung saji berwarna biru yang telah berusia ribuan tahun itu. Hahaha, tidak selama itu. Mungkin sekitar belasan tahun lalu ketika itu aku masih berseragam sekolah dasar. Aku lupa kelas berapa waktu Mama membelinya dari tukang perabotan yang lewat di depan sekolahku.

Ya ampun Mama, seperti tidak ada tukang perabot yang dekat rumah saja. Kala itu beliau sedang duduk-duduk bersama Ibu-ibu yang lain di depan gerbang sekolahku. Beliau hendak menjemputku pulang. Aku baru saja keluar dari kelas dan menghampiri Mama, namun beliau tidak melihatku datang. Beliau malah meghampiri mobil tukang perabot yang kebetulan sedang berhenti di pinggir jalan.

Aku menunggu Mama di tempat sebelumnya beliau duduk. Tidak lama sudah ada tudung saji biru itu di tangannya. Mama menoleh padaku dan memanggilku untuk mendekatinya. Akhirnya aku tidak jadi minta dibelikan batagor. Takut Mama marah.

Dengan riangnya Mama membawa pulang tudung saji itu dan memandanginya sepanjang perjalanan kami menumpang bajaj. Waktu itu aku tidak tahu apa istimewanya sebuah tudung saji yang terlihat biasa-biasa saja. Namun kini aku sudah menemukan jawabannya. Hmm.. Ternyata tudung sajinya awet. Terbuat dari bahan plastik yang sangat tebal. Ah.. Ini bukan waktunya membahas tudung saji kami.

Aku menemukan kentang balado dan sayur lodeh di dalam tudung saji yang telah ku angkat. Mama memergoki aku sedang memandangi masakannya itu.

"Mel, makan! Kenapa dilihatin?"

"Makan bareng yuk.."

"Ngga.. Mama belum laper."

Hmm.. Mama menolak ajakanku mentah-mentah. Aku lantas menyiapkan seporsi makan malamku dan membopongnya ke ruang televisi. Aku menyantap makan malam ku ditemani Mama sambil menonton televisi.

"Ma, besok malem aku kondangan."

"Si Faris? Kamu pergi sama siapa?"

"Hmm.. Sama Henry."

"Oh, Mama kira kamu ngga mau pergi sama dia."

"Ya daripada sendiri Ma, aku juga ngga tahu disana Mutia dateng sendiri atau sama siapanya.."

"Jauh? Mau naik motor gitu?"

"Lumayan, di Cawang. Aku lupa nama tempatnya. Iya naik motor aja."

Aku kembali ke kamar setelah menghabiskan makan malam ku. Tidak lupa aku mengunci pintu kamar, karena sekarang aku hendak menyantap bolen pisang pemberian Henry. Ada empat buah. Aku merasa berdosa jika tidak memberikannya satu buah saja pada Mama. Aku putuskan untuk mengambil selembar tisue dan meletakkan satu buah bolen berukuran cukup besar di atas tisue itu. Aku kembali ke hadapan Mama dan memberikannya padanya. Mama sedang asyik nonton, beliau tidak bertanya apa-apa. Hanya mengucapkan terima kasih padaku. Sekarang, aku sudah aman bisa melahap semuanya tanpa merasa berdosa lagi.

Keesokan paginya, aku kembali melakukan rutinitasku seperti biasanya. Namun hari ini aku bertambah semangat, karena malam ini aku akan melihat pengantin. Aku jadi tidak sabar ingin cepat-cepat malam tiba. Diiringi hujan yang masih cukup deras, aku berangkat ke kedai. Semoga saja Sabtu pagi ini jalanan tetap lengang meskipun diguyur hujan.

Namun kenyataannya, seluruh pengendara harus berjalan dengan sangat lambat karena di depan sana ada genangan air cukup tinggi. Tampaknya sepanjang jalan itu telah mengalami kerusakan pipa sehingga saluran pembuangan airnya tidak memadai lagi. Bus kami dapat berjalan normal kembali setelah melalui jalan tergenang yang cukup panjang tadi.

Hujan telah berganti dengan gerimis kecil. Aku dapat tepat waktu sampai di kedai. Lima menit sebelum kedai dibuka. Mutia mengatakan bahwa dirinya juga belum lama tiba. Kami hanya membersihkan sedikit bagian kedai yang kotor lalu langsung membuka operasional kami. Selama belum ada pengunjung yang datang tentu kami menghabiskan waktu dengan mengobrol santai.

Mutia mengatakan bahwa malam ini dia akan pergi ke acara Faris bersama teman dekatnya yang baru. Ternyata sudah sejak satu bulan yang lalu Mutia putus dengan kekasihnya yang bernama Indra. Kini Mutia sedang dekat dengan salah satu teman sekolahnya dulu. Aku dan Mutia memang sangat jarang mengobrol. Aku kira, dia masih berpacaran dengan Indra, yang pernah sempat datang ke kedai dan dikenalkannya kepada kami. Aku tidak menyangka kini dirinya sudah punya gebetan baru.

Pelanggan yang ditunggu-tunggu sejak pagi akhirnya tiba juga. Sekalinya datang, tidak hanya satu orang, tapi langsung empat orang. Aku gesit memenuhi pesanan minuman mereka seorang diri. Sedangkan Mutia melayani di etalase snack merangkap meja kasir. Syukurlah, meski cuma seorang diri membuatkan banyak minuman dengan macam varian yang berbeda, aku tetap dapat menguasai diri. Artinya aku tidak perlu melakukannya terburu-buru ataupun gerogi. Aku selalu mengutamakan hasil dan kualitas.

Aku kira pelangganku berikutnya orang lain, tapi ternyata Henry yang muncul. Dia sudah mulai keranjingan lagi datang kesini. Untuk apa lelaki ini masih berkeliaran diluar pada jam segini? Harusnya dia sedang sibuk di dalam kantor mengurus pekerjaannya sendiri. Apa dia kesini untuk memantau pekerjaanku?!

"Enak bolennya?" dia menyodorkan dirinya ke meja kerjaku. Astaga..

"Hmm.. Beliin lagi lah. Kamu lagi santai ya di kantor? Jam segini bisa main-main diluar."

"Hahaha.. Iya santai. Kan hari Sabtu."

"Ya libur aja sekalian."

Menyadari kehadiran pelanggan, Henry menggeser tubuhnya kemudian duduk pada salah satu kursi tamu di dekat meja barista. Dia itu sadar atau tidak sih kalau kedatangannya kesini mengganggu konsentrasi kerjku?! Aku pun langsung melayani pelanggan berikutnya. Setelah itu, Henry kembali menghampiriku.

"Aku balik kantor dulu Mel, nanti malem sebelum jemput aku kabarin kamu dulu ya."

"Hmm.. Iya.. Silahkan.." aku jadi sedikit malas bicara dengannya.

Henry malah tertawa mendengar ucapanku barusan. Dia beranjak pergi meninggalkan kedai. Aku memperhatikan dirinya dari belakang. Lelaki ini benar-benar membuatku bingung. Bisa membuatku kesal, tapi juga bisa membuatku merindukannya. Terbuat dari apa dia?! Tetapi, aku sama sekali tidak pernah menyesali pertemuanku dengannya. Aku tetap senang bisa mengenalnya.

Aku telah menyiapkan sekotak biskuit di dalam tasku. Aku membawanya karena tahu hari ini aku tidak bisa istirahat tepat waktu. Dion belum datang karena izin menghadiri akad nikah Faris. Kalau aku tinggalkan meja ini, bagaimana mungkin Mutia bisa menghandle pesanan kopi. Tidak apalah, toh pada hari-hari lain aku selalu bisa beristirahat pada tepat waktu. Belum ada tanda-tanda pelanggan lagi yang akan datang, aku berlari secepatnya ke belakang untuk mengambil biskuit itu dan membawanya ke mejaku di depan.

Lantas aku menawarkannya pada Mutia agar kami bisa mencemilnya bersama. Mba Lidya tidak melarang kami untuk memakan makanan ringan pada jam kerja, hanya kami harus selalu menyesuaikannya dengan norma kesopanan. Jangan sampai kami mengunyah sesuatu saat sedang berhadapan dengan pelanggan. Jadi, curi-curi waktu untuk ngemil, itu masih diizinkan oleh Mba Lidya.

Sampai pukul satu siang ini kedai sudah cukup banyak dikunjungi pelanggan yang datang silih berganti. Aku lupa sudah berapa cangkir dan gelas yang telah ku buatkan untuk mereka. Saat membaca laporan harian nanti, aku baru tahu jumlahnya. Mba Lidya belum terlihat hadir sampai detik ini. Mungkin nanti sore atau malam, atau mungkin memang tidak hadir hari ini.

Terlihat Dion, Eka dan Rena datang bersama dari arah belakang. Aku lega karena mereka telah sampai disini.

"Gimana pengantinnya, cantik?" tanyaku pada Eka penasaran.

"Cantik lah.. Masa pengantin ngga cantik? Hahaha.."

"Kalian pada ketemuan di lokasi?" tanya Mutia ke arah Dion.

"Iya, mana di jalan gerimis. Eh pas sampe sana cerah." jawab Dion.

Dion mempersilahkan padaku agar aku segera pergi makan siang bersama Mutia. Namun aku sudah membawa bekal dari rumah sehingga Mutia harus pergi sendiri untuk makan siangnya. Belum jauh kami melangkah meninggalkan area barista, aku dan Mutia sampai terkejut dan menoleh mendengar suara gedebuk dari meja kerjaku. Astaga.. Dion yang bertubuh cukup gemuk itu terplanting jatuh di bawah mesin kopi yang letaknya di samping kiri meja kami.

Aku dan Mutia hanya bisa tertawa melihat insiden itu. Karena Rena dan Eka telah menolongnya terlebih dulu dan membantunya untuk bangkit. Bagaimana kami tidak tertawa, yang jatuh saja malah tertawa, dia malu atau menahan sakit? Ada-ada saja Dion, dia kan bukan anak kecil lagi, sudah besar masih jatuh. Mungkin tapak sepatu yang dipakainya itu terlalu licin atau memang Dion sedang ngantuk.. Entahlah.. Aku dan Mutia melanjutkan niat kami untuk makan siang setelah menyaksikan Dion telah berhasil bangkit dari jatuhnya tadi. Hebat juga Rena dan Eka, mereka kuat membantu Dion untuk kembali berdiri.

Waktu telah berlalu dengan cepat hari ini. Aku baru saja keluar dari pintu samping kedai dan hendak langsung pulang ke rumah. Pukul empat lewat lima menit sore, udara diluar sudah tidak terlalu dingin, namun jalanan masih agak basah, aku tidak perlu lama berdiri untuk menunggu bus kota. Selangkah keluar dari pintu ruko, bus kota itu muncul tepat di hadapanku. Pas sekali, aku bergegas naik perlahan dan duduk di bangku pertama dekat pintu depan.

Aku memandang sepanjang jalan raya yang nampak sudah mulai padat oleh kendaraan yang mungkin mereka akan menghabiskan waktu malam minggu mereka di luar rumah. Hmm.. Kenapa mereka tidak diam di rumah saja sih, istirahat. Kalau semua orang keluar rumah begini, jalanan jadi padat dan macet. Huh.. Tidak ada bedanya pulang jam segini di hari biasa maupun di hari Sabtu. Sama-sama macet.

Aku tiba di rumah sekitar pukul setengah enam lewat, aku langsung bergegas mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi lagi. Ketika aku di jalan tadi, Henry sudah mengabariku dan mengatakan dia akan brangkat ke rumahku pukul enam tiga puluh nanti.

Tidak butuh waktu lama untuk diriku bersiap-siap. Aku telah mengenakan pakaian bagus yang semalam telah ku siapkan. Seuntai kalung mutiara putih telah melingkar di leherku, jatuh tepat di bagian atas blus pink yang ku kenakan. Aku juga mengenakan gelang yang masih satu seri dengan kalungku ini. Hmm.. Setidaknya aku bisa tampil sedikit feminim malam ini, meski tidak mengenakan rok.

Sling bag kecil berbentuk kotak persegi panjang warna putih telah ku siapkan di atas meja ruang tamu. Warna putihnya senada dengan kalung serta gelangku. Sedangkan sepatu yang hendak ku pakai berwarna hitam, modelnya ceper nyaris seperti sepatu balet. Namun di bagian depannya terdapat semacam kancing berwarna keemasan.

Hmm.. Sudah berapa kali aku bolak balik mematutkan diri di depan cermin itu. Aku hanya mengenakan riasan tipis di wajahku, dan mempertegas riasan di bagian mata dan bibir. Model rambutku yang sekarang sangat mendukung diriku terlihat lebih segar. Aku benar-benar puas dengan hasil potongan Mba Lina.

Baru saja aku mengambil ponsel hendak menelpon, orangnya sudah tiba di depan pagar rumahku. Aku bergegas keluar dari kamar dan menyabet sling bag putih ku.

"Ma.. Aku jalan ya.. Papa mana?"

"Iya.. Mana Henry? Papa di kamar mandi"

"Henry di depan." seraya aku berjalan menuju keluar rumah diikuti langkah Mama di belakangku. Rupanya Henry sudah berdiri di ujung teras. Kami pun pamit sekali lagi pada Mama kemudian berlalu pergi meninggalkan rumahku.

Wah tampaknya cuaca telah bersahabat. Semoga kami selamat dari hujan hingga acara malam ini berakhir. Henry melajukan motornya dengan kecepatan normal. Tetap saja masih tersendat, kenapa lagi kalau bukan karena padatnya jalan raya. Kami tidak banyak bicara dalam perjalanan. Hanya sesekali saja membicarakan hal yang ringan.

Hingga tidak terasa kami telah tiba di lokasi resepsi pernikahan Faris. Sorotan sinar lampu dan untaian bunga-bunga yang begitu cantik memenuhi seantero ruangan itu. Aku dan Henry melangkah memasuki ruangan yang terbentang luas di hadapan kami. Sang pengantin diapit kedua orang tua mereka berada di tengah-tengahnya. Di atas panggung yang sangat menawan. Nuansa putih dan pink tampak begitu nyata disini.

Meski berjalan berdampingan, Henry tidak berusaha menggandeng tanganku lagi seperti dulu. Mungkin dia telah lupa pada kebiasaannyaa itu. Yang selalu mencuri kesempatan ingin meraih tanganku untuk digandengnya. Kami langsung menuju ke atas pelaminan untuk memberi ucapan selamat pada mempelai pengantin dan kedua orang tua mereka. Tidak lupa, Faris meminta kami berfoto dulu dengan pengantin sebelum kami turun.

Seusai berfoto bersama, Faris mempersilahkan kami menikmati hidangan di meja tamu. Aku melihat Mba Lidya sedang berdiri seorang diri memegang sebuah gelas di dekat meja tamu. Tampak dia mengenakan pakaian formal yang tidak berbeda jauh dari kesehariannya saat bertandang ke kedai.

"Mba Lidya..!"

Dia pun menoleh dan dengan wajah riang menyapa diriku. "Hai Mel..!"

Lantas aku segera menghampirinya.

Namun Henry yang sejak tadi berada di sampingku mendadak jadi patung beberapa langkah di belakangku. Dia memilih meja tamu yang lain untuk menikmati suguhan malam ini. Tentu Mba Lidya tahu pasti Henry juga ada disini. Pandangan matanya sempat melintas ke arah belakang tubuhku ketika aku menghampiri dirinya tadi. Aku dan Mba Lidya masih bercakap-cakap sambil berdiri. Kami mengomentari pengantin dan dekorasi ruangan malam ini. Lalu Mutia menghampiri kami seorang diri, dia hanya tersenyum malu-malu ketika ku tanyai, "Lho kok sendiri Mut?" Dia pun ikut bergabung dengan aku dan Mba Lidya.

Kami bertiga kompak ingin berfoto selfie, namun kami masih kurang puas karena hasilnya tentu kurang bagus. Ada wajah yang terpotong diantara kami bertiga. Spontan aku memanggil Henry yang terlihat hanya sedang duduk-duduk sambil minum soda.

"Mas, sini! Tolong fotoin.." jarak kami tidak terlalu jauh, hanya empat langkah saja.

Mungkin dia merasa tidak enak jika menolakku, makanya dia langsung bangkit dari kursi itu dan melangkah menghampiri kami. Namun ternyata ponsel yang kami gunakan sedari tadi untuk berfoto adalah ponsel milik Mba Lidya, aku juga tidak ngeh tadi. Dan kini ponsel itu berada di tangan Mba Lidya sendiri masih dalam posisi camera on. Henry sudah terlanjur mendekat pada kami, Mba Lidya spontan menyerahkan ponselnya pada Henry diiringi senyum yang terkesan ragu-ragu, dia menatap wajah Henry.

Ponsel itu telah berpindah tangan, Henry telah menerima ponsel itu tanpa membalas senyum Mba Lidya sedikit pun. Dia fokus pada benda yang ada di tangannya sekarang. Mba Lidya telah kembali ke posisi paling ujung diantara kami bertiga. Henry siap mengambil foto kami. Kami mengganti pose dua kali.

Setelahnya, Henry menghampiri kami dan menyerahkan ponsel tadi kepada pemiliknya.

Mba Lidya mengangguk dan tersenyum lagi pada Henry, "Makasih."

Namun lagi-lagi Henry hanya diam saja. Aku melihat kesedihan di balik raut wajah Mba Lidya saat ini. Tidak hanya kesedihan, tapi penyesalan yang menyiksanya telah terbiasa bersembunyi di balik wajah anggunnya.

Aku masih mencuri pandang memandang wajah Mba Lidya, Henry malah mendekatiku, berbicara lirih padaku mengajak untuk makan kemudian pulang. Aku semakin tidak enak pada Mba Lidya karena sikap Henry yang seperti ini.

"Mba, maaf ya.. Saya mau makan dulu.. Mba Lidya sudah?"

"Oh iya iya Mel, Saya sudah tadi. Kamu makan aja dulu sama Mutia sekalian."

Aku pun mengajak Mutia ikut ke meja Henry, melangkah meninggalkan Mba Lidya. "Ayo Mut.." aku menggiring Mutia di sampingku.

"Mari Mba.." kami kompak berpamitan pada Mba Lidya.

Dia pun tersenyum dan menyahut ramah, "Iya.."

Karena ada Mutia diantara kami, aku dan Henry lebih baik saling diam sejenak. Tidak perlu ada yang kami bahas di depan Mutia. Hingga kami bertiga selesai dengan makan malam kami, aku putuskan mengakhirinya sekarang.

"Mut, kamu bawa motor?"

"Iya Mel.."

"Hmm.. Hati-hati ya kamu sendirian gitu. Aku duluan ya.. Kayaknya Mas Henry sudah ngantuk tuh. Dia kan mesti nganter aku dulu." aku bicara pada Mutia tapi mataku menatap Henry dengan sedikit sinis.

Henry buru-buru menghabiskan minumannya, dia bergerak dari posisi duduknya, segera berdiri ketika ku beri kode dengan mimik wajahku.

"Eh bareng deh ke parkiran." Mutia mencegat aku yang sedang berancang-ancang hendak berdiri.

"Oh.. Iya, ayo sekarang."

Mutia meraih tas tangan yang diletakkannya di atas meja kemudian melangkah bersama aku dan Henry menuju area parkir. Aku menoleh ke tempat dimana kami meninggalkan Mba Lidya sendirian tadi. Tapi aku tidak berhasil menemukannya. Mungkin dia sudah pulang duluan karena sudah datang sejak tadi, lebih dulu daripada kami. Atau dia enggan pamit karena melihat kami sedang makan bersama Henry.

Hmm.. Entahlah.. Aku berharap Mba Lidya baik-baik saja. Aku jadi urung membahas tentang senyum Mba Lidya yang diacuhkan tadi oleh Henry. Kadang kala tidak ada gunanya berdebat dengan Henry.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun