"Ya aku sudah bilang kalau kamu mau kesini sebates ngobrol biasa ngga apa-apa, kenapa kamu masih ngga berubah? Aku ngga bisa nikah sama kamu!" suara Mba Lidya cukup terdengar sampai di telinga kami.
Untungnya pelanggan hanya tersisa sekitar tiga orang disini. Yang lainnya sudah pergi sejak tadi.
Lelaki tinggi itu tampaknya terus memaksa Mba Lidya, terlihat sekali dia tetap tidak mau pergi dari sini meski Mba Lidya terus mendorongnya tubuhnya. Kami masih diam karena tidak ingin terkesan ikut campur masalah mereka. Namun akhirnya Henry tergerak menolong Mba Lidya ketika Mba Lidya berteriak.
"Panggil satpam, Faris! Tolong Faris, panggil sekarang!" Mba Lidya masih terus berusaha mendorong lelaki itu ke arah pintu depan. Faris sigap memenuhi perintah Mba Lidya, dia berjalan secepatnya ke arah pintu untuk pergi ke pos satpam. Tapi sebelum Faris sampai di pintu, Henry telah mendekat pada Mba Lidya dan lelaki itu. Aku dibuat terkejut lagi oleh aksinya kali ini.
"Lo ngga denger dia suruh lo pergi dari tadi?"
"Eh.. Siapa lo?! Ikut campur urusan gue.." akhirnya lelaki itu buka mulut juga. Aku jadi takut membayangkan yang terjadi selanjutnya.
"Ya lo jangan begitu sama perempuan! Dia ngga mau, jangan lo paksa!"
Dengan tangan kirinya, lelaki itu mulai menyincing kemeja bagian depan yang dikenakan Henry, sedang tangan kanannya mengepal tinggi hendak menonjok wajah Henry. Haduh aku harus menghentikan lelaki itu sekarang juga.
Sebelum aku melancarkan aksiku menarik lelaki itu dari arah belakang, akhirnya Faris muncul bersama seorang satpam bertubuh kekar. Dia bukan Pak Otong ataupun Pak Jarwo, mungkin satpam baru disini. Lantas Faris dan satpam itu melerai tindakan lelaki itu yang sedikit lagi hampir menonjok wajah Henry.
Satpam keren itu menggiring si lelaki keluar dari kedai dengan sedikit menyeretnya. Tampak si satpam mengantarnya sampai di mobil lelaki itu. Dan memastikan hingga mobil lelaki itu pergi meninggalkan area ruko.
Mba Lidya terduduk lemas di salah satu kursi tamu dekat meja barista. Sungguh aku merasa bersalah membiarkan lelaki itu naik ke ruangannya. Aku belum berani mendekatinya sekarang dan meminta maaf padanya. Di depan mataku kini, Mba Lidya tidak hanya sendirian tetapi ada Henry yang duduk di hadapan Mba Lidya membawakan sebotol kecil air mineral yang didapatnya dari tangan Mutia.