Satu minggu ini aku juga telah memutuskan untuk selalu membawa bekal dari rumah. Karena aku tahu, jika aku masih terus makan siang atau makan sore di sekitar kedai, semua kenangan bersama Henry akan terus menghantuiku. Setidaknya aku melakukan semua ini untuk berusaha melanjutkan hidupku tanpa kehadirannya di dalam hari-hariku.
Sudah satu minggu ini juga, sikapku yang sempat canggung saat berhadapan dengan Mba Lidya telah kembali normal seperti kala dulu lagi. Mungkin Mba Lidya sendiri bisa merasakan perubahan itu, ketika melihat ku sudah bisa tertawa lepas lagi di hadapannya, bersama teman-teman yang lain. Hingga detik ini pun, Mba Lidya dan aku masih sama-sama memendam tanya tentang Henry. Karena kami tidak pernah berbicara tentang dirinya.
Namun aku tidak menduga, kalau akhirnya Mba Lidya tidak dapat menahan rasa penasarannya hingga akhirnya dia bertanya padaku malam ini.
"Mel, sini deh.. Ikut Saya sebentar.."
"Oh.. Iya Mba.." aku pun lantas berjalan membuntuti langkahnya menuju kursi tamu yang paling pojok dalam area kedai.
"Dion.. Tolong handle ya.." seraya berjalan Mba Lidya memberi kode pada Dion untuk menghandle tugasku sementara, jika ada pelanggan yang memesan.
Aku dan Mba Lidya telah duduk berhadapan, di tengah kami terdapat meja bundar berukuran sedang yang terbuat dari kayu.
"Hmm.. Maaf ya Amel. Saya bukan mau bicara soal pekerjaan, tapi sedikit pribadi. Sory.. sory banget ya Mel. Ngga apa-apa kan ya?" sembari senyuman itu tidak luput dari wajah Mba Lidya.
Aku pun mengangguk, mengiyakan ucapannya, "Iya Mba. Ngga apa-apa. Silahkan aja Mba. Kalau Saya bisa jawab pasti Saya jawab kok Mba."
"Maaf, yang Saya tahu belakangan ini kan kamu cukup deket ya sama Henry, sering jalan bareng dia juga. Kalian hanya berteman atau gimana tuh Mel ? Hehe.. Maaf ya Mel.."
"Hehe.. Ngga Mba, Saya sama dia berteman dekat aja. Mungkin kalau yang ngga tahu memang dikiranya kita pacaran, karena sering kelihatan bareng. Tapi sebetulnya kita ngga pacaran Mba.."