Huh.. Aku menuju ruang belakang melewati samping meja barista, untuk menaruh tas dan menanggalkan jaket yang ku kenakan. Bergerak gesit mengeluarkan celemek bersih dari dalam tasku, yang ku bawa dari rumah. Lantas mengenakannya sambil berjalan kembali menuju meja kerjaku, meja barista. Sambil cengar-cengir dan bersandar di dinding, aku menggoda Mutia dan Eka.
"Kok tadi ngga kalian buka aja papannya?"
"Terus kalau pas buka langsung ada yang dateng minta kopi, yang suruh bikin siapa?" jawab Eka sambil memanjang-manjangkan lehernya, menoleh sedikit ke arahku.
"Kamu sih telat.." Mutia menambahkan dengan nada suara datar.
"Hahaha.. Ya kalian lah yang bikin kopinya. Seduh aja kopi sachet instan. Hahaha.." jawabku bercanda pada keduanya.
Petir mulai menggelegar. "Waduh.." kami bertiga kompak terkejut.
Dari dalam kedai, angin tampak berhembus cukup kencang, membuat tangkai-tangkai pepohonan di area parkir depan berayun-ayun kencang, menggugurkan sedikit daunnya. Disusul kemudian hujan cukup deras membasahi aspal jalanan. Kedai terasa hening, hanya suara desiran air hujan yang terdengar. Aku, Mutia dan Eka keluar dari posisi kami masing-masing. Aku berdiri tiga langkah dari pintu depan, menghadap ke luar. Mutia duduk pada salah satu kursi tamu yang juga menghadap ke luar. Sementara Eka berdiri di depan meja kasirnya tampak menyandarkan tubuhnya disana.
Kami bertiga memandang ke arah yang sama, ke luar kedai. Entah apa yang berada dalam pikiran kami masing-masing saat ini. Apakah semua orang akan terbawa oleh perasaannya kala sedang berhadapan dengan hujan? Kala mata sedang memandang pada hujan. Apakah hujan hadir dengan membawa segala kenangan pahit dan manis yang pernah terjadi dalam hidup setiap manusia?
Entah sudah berapa lama kami bertiga asyik menikmati posisi kami masing-masing. Hingga kami buyar dalam sekejap ketika menyadari kemunculan mobil Mba Lidya yang tampak sedang mengatur posisi untuk parkir di depan kedai.
Mba Lidya membuka payung lipatnya yang berwarna pink kemudian bergegas dengan langkah hati-hati menuju pintu kedai. Dia menutup payung itu di teras kedai, sedikit mengibas-ngibasnya serta memasukkannya ke dalam tas ramah lingkungan yang ditenteng olehnya. Lalu perlahan mendorong pintu kedai.
"Pagi semuanya.." dia tersenyum ramah menyapa kami seraya berlalu menuju tangga ke lantai dua. Kami menjawab salamnya dengan kompak. Disusul dengan komentar kami saling lirih, "Tumben pagi-pagi.."