"Soal tiga bulan lalu.. Aku belum jawab.. Itu.. Aku.. Aku belum bisa terima kalau hubungan kita lebih dari teman. Maksudnya.. Lebih nyaman kalau kita berteman aja, ngga lebih."
"Belum bisa kan? Bukannya ngga bisa?"
Haduh, aku salah bicara.. Bodohnya aku..
"Iya, apapun itu tapi yang jelas saat ini dan ke depannya aku sudah membebaskan kamu dari menunggu jawaban aku. Kamu bebas mau deket sama cewek manapun, siapa pun, mau sama Mba Lidya lagi juga terserah. Kamu bebas deket sama siapa pun yang kamu mau. Aku ngga berhak melarang kamu."
Kali ini Henry hanya terdiam mendengar serentetan kalimat yang terlontar dari mulut ku. Bahkan aku masih berani melanjutkan kalimat ku. "Maaf ya Mas.. Aku sama sekali ngga bermaksud membuang-buang waktu kamu. Sejak tiga bulan terakhir kemarin aku emang masih berpikir untuk nemuin jawaban ini. Makanya, sebelum terlalu lama lagi, aku harus ngomong sekarang."
"Iya, ngga apa-apa kok Mel. Kamu berhak atas jawaban apapun."
Aku hanya tersenyum simpul memberi semangat padanya. Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan bagaimana hubungan pertemanan kami selanjutnya. Biarlah nanti mengalir begitu saja, kami tidak perlu membahas apapun lagi saat ini.
Kini ada senyum yang dipaksakan tergambar dari celah wajah Henry yang lelah. Akhirnya petir menggelegar memecah keheningan kami berdua sejak kalimat terakhir terucap dari mulut Henry tadi.
"Mel, aku pulang deh.. Bakal hujan gede nih."
"Oke. Ma.. Mama.." aku memanggil Mama tapi mama tidak menyahut juga.
"Di kamar mandi kali Mel, sudah aku titip salam aja ya. Sudah petir gitu tadi." Henry bergegas melangkah menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat duduk kami. Aku pun berlari mendahuluinya hendak membukakan pagar untuknya.