Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gadis Barista (Bagian 6 - 8)

30 Desember 2023   06:53 Diperbarui: 19 Januari 2024   16:44 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Sejujurnya, aku cukup bosan. Dan kerap kali merindukan suasana makan siang atau makan sore di luar. Namun masih dalam waktu dekat-dekat ini, aku memilih untuk menghindari makan di luar. Aku masih selalu terbayang kebersamaan kami saat jam istirahat kala dulu. Kadang tidak sengaja aku sampai meneteskan air mata jika bayangan itu terlintas di benakku.

Apa seperti ini rasanya kehilangan seorang sahabat? Apa aku betul-betul hanya menganggap Henry sebagai seorang sahabat selama ini? Tak jarang aku dibuat bingung oleh perasaanku sendiri, yang bahagia kala melihat dirinya dan lantas berubah jadi sangat merindukannya ketika dia tidak ada lagi dalam hari-hariku. Aku senang jika melihatnya senang, aku sedih jika dia terluka. Namun sayang, justru aku yang membuatnya terluka.

Di musim penghujan seperti ini, situasi kedai kami tetap sama seperti biasanya. Pelanggan tidak bertambah ramai ataupun bertambah sepi. Semua tampak normal. Gerimis sepanjang hari atau hujan deras yang tidak mengenal waktu, pelanggan kami masih selalu hadir silih berganti. Aku senang ketika pelanggan sedang ramai-ramainya, sehingga tidak ada jeda waktu untukku bisa senggang dan malah memikirkan Henry lagi.

Beberapa menit lagi tiba waktuku untuk pulang, aku akan menerobos gerimis di luar sana dengan jaket tebal yang berkupluk. Kini, setiap kebagian shift pagi, aku selalu langsung pulang ke rumah, tidak perlu menunggu Henry lagi hingga pukul lima sore. Hanya sekali-sekali aku bersantai dahulu di ruang belakang, mengobrol dengan teman yang lain baru kemudian beranjak pulang.

Aku berpamitan pada Faris seraya melangkah ke ruang belakang, ku tanggalkan celemek hijauku yang sudah hampir dua tahun ini ku kenakan selama mengemban tugasku di kedai. Aku melipatnya rapi dan ku raba halus pin bundar yang bertuliskan namaku. Pin itu tertempel pada celemek hijauku. Aku tersenyum membaca namaku tertulis disana. Setelah melipatnya, aku memasukkan celemek itu ke dalam tasku agar bisa dicuci di rumah, besok aku akan membawa celemek yang lainnya sebagai ganti. Walaupun warnanya sama-sama hijau.

Aku bergegas mengenakan jaket dan tasku kemudian pergi meninggalkan kedai lewat pintu samping. Baru dua langkah keluar dari pintu, aku pun terhenti, tercengang memandang lelaki yang sedang berjalan sedikit menunduk di hadapanku. Astaga.. Seseorang yang belakangan ini selalu ku pikirkan dan ku rindukan, terlihat di depan mataku. Aku melihat Henry dengan mata kepalaku sendiri. Dia mendongak dari tunduknya seraya memandang ke arahku berdiri.

Oh Tuhan.. Terima kasih telah mempertemukan kami sore ini. Meski ku tahu ini hanya sebatas pertemuan singkat. Tapi bisa melihatnya secara sehat dan utuh, itu sudah sangat cukup bagiku.

Cukup lama tatapan mata kami beradu, saling berpandangan dengan jarak sekitar tiga langkah saja. Diiringi aroma gerimis yang sendu, perlahan dia melemparkan senyumnya padaku. Lantas aku pun membalasnya dengan tulus. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir kami. Hingga akhirnya ku teruskan perjalananku melintasi dirinya yang masih berdiri mematung di tempatnya.

Sambil berjalan aku menahan diri untuk tidak menengok ke belakang, namun tetap saja aku tidak sanggup menahan keinginanku untuk menoleh padanya. Aku pun membalikkan diri ke arah kanan, kembali menoleh ke arahnya, namun dia terlihat telah mulai berjalan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Aku rasa, dia juga enggan menoleh ke belakang untuk melihat diriku lagi.

Jika mengucap seribu maaf dapat menebus segala kekhilafanku padanya, ingin rasanya ku ucapkan sekarang juga di hadapannya. Aku terpaksa melukai hatinya. Bukan karena aku tidak menyayanginya. Tapi karena aku tidak ingin semakin melukai hati Mba Lidya. Selagi aku masih sanggup untuk menahan perasaanku pada Henry, biarlah.. Biar ku nikmati sendiri perasaanku padanya.

Aku sempat bertanya-tanya sendiri ketika berpapasan tadi dengan Henry. Belum tiba pukul lima sore, tapi.. dia hendak pergi kemana? Penampilannya lengkap dengan jaket serta tas kerjanya. Ah.. Sudahlah.. Kalau memang mau bertanya, bisa saja ku tanyakan sendiri kepadanya tadi. Tapi aku sendiri juga yang memilih diam, bahkan melangkah pergi lebih dulu darinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun