Tidak lama setelah Mba Lidya naik, pelanggan pertama kami akhirnya tiba. Aku pun mulai melaksanakan tugasku menyiapkan kopi hangat pesanan seorang bapak yang tadi terlihat turun dari mobilnya. Setelah membayar ke kasir, beliau kembali ke hadapanku sambil menelpon. Tampaknya beliau sedang mengatur janji untuk bertemu dengan rekan bisnisnya.
"Silahkan Pak.." dengan senyum dan berhati-hati aku menyerahkan secangkir kopi pesanannya ketika beliau telah mengakhiri pembicaraannya di telpon. Beliau pun menerimanya dengan kedua tangannya seraya berterima kasih padaku.
Faris telah tiba di kedai. Dia masuk lewat pintu depan, hari ini dia memarkirkan motornya di area depan. Sambil senyam-senyum dia melangkah menuju ruang belakang untuk mempersiapkan dirinya bekerja. Dengan sumringah dia kembali ke meja barista dengan membopong sebuah benda yang dari kejauhan terlihat seperti tumpukan karton berukuran buku tulis.
"Apa tuh Ris?" tanyaku kepo.
"Nih.. Buat Amel, Mutia, Eka." seraya membagikannya pada kami bertiga.
Sontak aku terkejut dibuatnya ketika membaca nama Faris dan Mytha di sampul bagian depan benda yang diserahkan Faris. Astaga.. Si rese' ini akan segera menikah.
"Wah.. Selamet ya Ris.. " ucapku dan kedua teman lainnya yang nyaris berbarengan. Kami ikut senang dan gembira mendengar kabar bahagia itu. Jika dilihat hari dan tanggalnya, jatuh pada Minggu depan aku pun berinisiatif melihat jadwal yang terpampang di dinding belakang tempat kami berdiri.
"Minggu depan.. Aku masuk apa ya..?" Mutia dan Eka pun mengikuti langkahku menatapi jadwal bulanan kami.
"Wah.. Aku pagi dong.." ucapku riang karena Faris mengadakan resepsi pada malam hari.
"Mutia juga pagi.. Yah.. Aku siang." ucap Eka dengan nada kecewa.
"Eka, kalau lo mau dateng pas akad ngga apa-apa Ka. Lo kan termasuk teman dekat gue juga, bareng sama sepupu-sepupu gue nanti, ngga apa-apa." Faris menghibur Eka.