Cerita Angker Museum Lubang Buaya
(30 September 1965, Lubang Buaya)
'Apa yang terjadi? Mengapa aku tak mampu mengendalikan tubuhku?'
Suara hentakan kaki dari para prajurit pengkhianat itu berhasil membuatku muak. Mendadak saja mereka menarik tanganku dan menyeretku ke suatu tempat. Sebenarnya apa yang terjadi padaku?
Aku tak sanggup membayangkan rasa cemas dari istriku juga anak-anakku saat ini. Seharusnya saat itu aku tak perlu membantah, diam-pun rasanya sudah cukup.Â
Tiba-tiba saja mereka menembaki tubuhku untuk yang ke sekian kalinya. Entah mengapa, namun semua luka tembak yang bersarang di tubuhku tak dapat lagi kurasakan...
(27 Maret 2023, Museum G30SPKI, Jakarta Timur)
'Apa-apaan ini tidak ada sinyal di ponselku. StudyTour kali ini benar-benar membosankan.'Â
Itulah yang ku ucapkan dalam hati, karena hari ini aku dan teman-teman satu angkatanku tengah berkunjung ke sebuah museum Monumen Pancasila Sakti yang berada di Jakarta Timur.
Aku sendiri tidak yakin apa makna yang bisa diambil dari semua hal yang telah kami lalui di tempat yang seringkali disebut angker ini. Tapi yang pasti tempat ini tak seburuk yang kelihatannya.
"Baiklah murid-murid, sekarang ibu mau kalian semua membuat kelompok studi, ya!" seru salah seorang guru pada kami.Â
"Andra, apa kau mau satu kelompok denganku?" tanya Maya temanku.
"Tidak, terima kasih," jawabku enggan.
"Cih, kau ini dingin sekali ya, pantas saja banyak perempuan yang menyerah untuk mendekatimu," tambahnya.Â
"Ha? Yang benar saja, aku tak pernah merasa ada perempuan yang ingin mendekatiku," balasku lagi.
"Huft, dasar tidak peka?!" balasnya dan berlalu begitu saja.
Aku hanya bisa terdiam melihat perilakunya itu. Dasar perempuan, mereka memanglah makhluk yang membingungkan.
"Oke... anak-anak, seperti yang telah kita ketahui tujuh orang Jendral yang telah meninggal di tangan PKI diantaranya : Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen S. Parman, Letjen M. T. Haryono, Mayjen D. I. Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo dan Jenderal Nasution, dan bisa kalian lihat disini, seperti inilah para PKI menyiksa jendral-jendral yang telah mereka culik...," jelas seorang kurator museum.
Ia menunjuk ke arah sebuah miniatur-miniatur kecil berbentuk manusia yang diatur sedemikian rupa hingga terlihat seolah-olah beberapa dari mereka tengah menyiksa miniatur-miniatur lain yang berpakaian selayaknya jenderal.
Aku yakin seratus persen jika teman-temanku sama sekali tidak menghiraukan apa yang kurator museum itu katakan, mereka pasti sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.Â
Dan benar saja buktinya ada di depan mata kepalaku sendiri. Salah satu dari mereka ada yang tengah asyik berfoto ria, sedangkan yang lainnya tengah asyik bermain video game bersama dan yang lebih parahnya lagi ada yang malah sibuk bermesraan di gedung museum ini.
Jika sudah begini, rasanya gedung ini sudah tak layak lagi disebut sebagai sarana edukatif dan malah lebih cocok disebut sebagai sarana permainan bagi para remaja yang malas belajar. Perlu digaris bawahi, para remaja yang disebutkan disini berperilaku aneh kecuali diriku.
"Andra, ayo kita main game! selagi para guru dan pengawas sedang sibuk ngobrol" seru Kemal, salah satu teman sekelasku.
"Hm.. aku tidak mau. Sebaiknya kau bermain game dengan yang lain saja," jawabku karena sinyal ponselku yang buruk.Â
"Oh iya sudah..jika kamu menyukai acara membosankan ini," ucapnya dengan nada mengejek seraya pergi mendekati kawan-kawan nya yang lain.
Dasar Kemal dia terlalu kekanak-kanakan. Padahal kita sudah duduk dibangku kelas tiga SMA. Aku menghela nafas berat dan mencoba berdiam diri sejenak, melihat teman-temanku pergi mengikuti si kurator museum. Hingga dalam beberapa detik saja aku sudah tak bisa melihat batang hidung mereka dari tempatku berdiri.
Entah mengapa tapi aku merasa jika tempat ini terasa sangat hampa. Rumor yang beredar soal museum yang digadang-gadang sebagai tempat angker ternyata tidak sepenuhnya salah. Mendadak saja bulu kudukku jadi merinding. Dan tiba-tiba saja... aku merasa jika seseorang menepuk bahu kananku dari belakang...Â
Aku terkesiap dan segera berbalik badan. Rupanya yang menepuk bahuku tadi hanyalah seorang penjaga museum berkacamata hitam.
"Maaf ya,dik. Bapak mengagetkan adik ya?" tanyanya dengan khawatir.
"Huft... tidak kok, Pak," jawabku ramah.
"Saya sebenarnya sedang butuh bantuan, tapi teman-teman saya yang lain sedang mengantar murid-murid SMA untuk study tour. Bila berkenan apakah adik mau membantu saya?" Tanya-nya lagi.
Aku berpikir sejenak, alangkah baiknya jika aku menolongnya. Mungkin saja ia memang membutuhkan bantuanku. Aku jadi teringat dengan pesan nenekku, ia pernah berkata jika aku harus senantiasa menjadi orang yang sabar dan sering membantu orang lain.
"Baiklah, aku akan membantu bapak," jawabku.
"Bagus, sekarang ayo ikut saya!" seru-nya sembari berjalan ke suatu tempat.Â
Aku segera mengikutinya dari belakang. Ia mengantarku ke sebuah lorong yang cukup gelap. Langkah kakinya begitu cepat, rasanya aku tak mampu lagi untuk mengejarnya.
"Bapak! Maaf, bisakah bapak berjalan dengan sedikit perlahan?" tanyaku sembari sedikit berlari untuk mengejarnya.
"Oh iya, maaf," jawabnya lagi dan ia mulai memperlambat langkah kakinya.
"Ngomong-ngomong, bisakah kau membawa kunci ini untuk sementara waktu?" tanyanya seraya memberikanku sebuah kunci kuno berkarat.Â
Aku hanya bisa menerimanya dan menggenggamnya seperti yang ia perintahkan. Ia benar-benar sigap selayaknya seorang tentara.Â
'Apakah pelatihan penjaga museum sama seperti pelatihan militer?' Aku bertanya-tanya.Â
Beberapa lama kemudian, sebuah anomali muncul dari lorong gelap tak berujung ini. Rasanya aku seperti menghirup bau aneh yang sangat menyengat.
"Maaf ya jika disini sedikit bau, karena kami petugas museum diharuskan membakar beberapa kemenyan," ucapnya seraya berjalan.Â
Aku hanya bisa mengiyakan apa yang ia katakan. Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah ruangan aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya.Â
Di salah satu sudut ruangan itu, terpampang dengan jelasnya sebuah lukisan besar seorang jenderal yang angkuh dan gagah. Namun anehnya terdapat pula beberapa sesajen di depannya.Â
Tiba-tiba saja petugas museum itu mengeluarkan sebuah keris dari sabuk celananya. Sejak kapan seorang penjaga museum memiliki senjata tajam seperti itu. Astaga...
"Sekarang saya akan melakukan ritual tertentu. Tolong jangan berpindah tempat!" pintanya.Â
Saat itu juga ia melukai lengan kirinya sendiri dengan benda tajam itu. Seketika darah segar mengalir dari lengannya. Aku terdiam karena saking ngerinya.Â
Aku pikir orang ini sudah gila. Ritual aneh macam apa yang dimaksudkannya ini. Dengan keris yang berlumuran darahnya itu ia mulai menggambar lingkaran dengan pentagram diatas lukisan pahlawan itu. Setelahnya ia mengeluarkan tiga buah lilin dari saku celananya dan meletakkannya tepat di depan lukisan itu sembari menyalakannya satu persatu.Â
Dan.. hal aneh pun terjadi.Â
Lingkaran pentagram yang digambar dengan darah itu berubah menjadi api yang berkobar dan mulai membakar lukisan itu secara keseluruhan.
"Astaga! Apa yang terjadi?" umpatku terkejut bukan main.
"Dengan ini aku.. akan mengantarkan mu ke suatu tempat. Di sanalah kau akan memperbaiki lini waktu!" serunya padaku.Â
Aku kebingungan bukan main dan tiba-tiba saja, jantungku rasanya seperti berhenti berdetak. Rasa sesak ini benar benar menyiksaku. Kepalaku jadi terasa amat berat. Mataku pun jadi ikut berkunang kunang. Hingga akhirnya aku pun tersungkur dan tak sadarkan diri.
(1939, Batavia)
"Waduh.. kowe ora opo opo?"Â
Tiba-tiba saja aku bisa mendengar suara seorang wanita dengan dialek jawa dari telingaku. Apa aku sudah gila? Aku harus segera membuka mataku. Akhirnya dengan paksa kubuka kedua mataku.Â
Dan betapa terkejutnya diriku begitu melihat lingkungan sekitarku yang bukan lagi lorong perpustakaan melainkan lingkungan kota yang terlihat bahari seperti foto di koran koran lama milik kakek ku.
Begitu ku melihat ke arah si wanita yang mengatakan sesuatu padaku tadi, aku semakin kaget dibuatnya. Wanita itu mengenakan kebaya kuno. Dan ia tidak sendirian, teman-temannya yang lain juga mengenakan pakaian yang sama kunonya dengan dia. Apalagi gaya rambut mereka yang terlihat jadul itu.Â
"Astaga..." ucapku terperangah.
"Dwk kenopo?" Tanya wanita itu lagi.Â
"Ha?" tanyaku balik.
Aku kebingungan bukan main. Jika dilihat dari wajah mereka kelihatannya usia mereka tak jauh berbeda dariku. Sekitar tujuh belas hingga delapan belas tahun.Â
"Die kagak bisa basa Jawa," kata salah satu dari mereka.Â
"Ente gimane ceritane bisa ada di sini?" Ucapnya.
Mungkin ia bertanya mengapa aku bisa berada di tempat ini. Untung saja ada seseorang yang memiliki dialek betawi di sini, aku jadi sedikit mengerti.
"A.. aku.. eh.. maksudnya sa..saya juga bingung," jawabku terbata-bata bak batu bata.Â
Semoga saja apa yang kuucapkan bisa mereka pahami. Tiba-tiba saja ada seorang pemuda yang menghampiri kami. Ia melihat ke arahku dan melirik ke arah benda yang kugenggam saat ini. Iya, apalagi jika bukan kunci berka-... tunggu.. tunggu sebentar mengapa kunci ini jadi terlihat seperti baru?
"Loh ini kunci rumahku! kau maling ya!" serunya tiba-tiba.Â
"Ha? Apa? Tidak-tidak! Aku tidak tahu sejak kapan kunci ini ada di tanganku," jawabku sekonyong-konyongnya.Â
"Yani, kamu kagak boleh asal nuduh die! Die ini baru aje pingsan," bantah salah seorang wanita dengan dialek betawi.
"Bisa jadi dia nemuin kunci rumah engkau," tambah yang lain.Â
Ngomong-ngomong mengapa mereka begitu membelaku?Â
"Mosok iyo lanang sebagus ini nyuri konci rumah," kata wanita yang lain.Â
"Dasar kalian ini, sekalinya bertemu pemuda rupawan langsung disanjung-sanjung seperti dewa," balasnya.
"Kamu ini, minta maaf dulu sono!" seru salah satu wanita itu.
"Ya sudah aku minta maaf, terima kasih sudah menemukan kunci rumahku," tambahnya lagi.
"Iya tidak apa," ucapku seraya memberikan kunci yang dikata-kata miliknya itu.
Oh tidak... bagaimana ini? Aku tidak mungkin terjebak di masa lalu, bukan? Jika iya aku harus apa? Haruskah aku mencari keberadaan rumah nenekku. Tapi memangnya ia akan mengenaliku? Ya Tuhan, aku benar-benar benci situasi seperti ini!
"Kau kelihatannya kebingungan. Ada apa?" Tanya si pemuda itu padaku.Â
Aku tak mungkin bisa memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Bisa-bisa aku disebut orang aneh atau bahkan orang gila olehnya.Â
"Dimana rumahmu? Apa kau mau berjalan pulang bersamaku?" tanyanya.Â
Aku hanya bisa terdiam. Rupanya ia orang yang cukup peduli.Â
"Oh iya aku belum memperkenalkan diri ya! Perkenalkan namaku Ahmad Yani, biasa dipanggil Yani," katanya seraya menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.Â
Aku menghela nafas berat dan segera membalas jabat tangannya itu.Â
"Namaku Andra, dan sepertinya saat ini aku tersesat..," jawabku berbohong.
"Apa? Tersesat. Ya ampun, sebaiknya kau datang ke rumahku dahulu. Siapa tahu ayah atau paman ku bisa membantumu," ajaknya ramah.Â
Padahal kita tidak saling mengenal namun ia malah berusaha membantuku. Aku jadi merasa tidak enak, namun mau bagaimanapun juga aku memang memerlukan bantuannya.Â
"Ba... baiklah terima kasih," balasku. Kami akhirnya memutuskan untuk mulai berjalan meninggalkan para wanita itu.Â
"Hati-hati yoh," seru salah seorang dari mereka.
"Kalau boleh tahu, kita ini ada dimana ya?" tanyaku padanya.
"Ahahaha mana mungkin kau tidak tahu tempat ini, ini kota Batavia. Sepertinya kau memang benar-benar tersesat ya," jelasnya sembari tertawa cekikikan.
Batavia.. bukankah itu nama ibu kota Jakarta di era sembilan belasan? Rupanya aku telah melintasi waktu. Ya tuhan rasanya ini seperti mimpi. Aku mencoba untuk mencubit tanganku sendiri, dan benar saja rasanya sakit. Astaga...Â
Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku melihat ke arah sekelilingku. Semuanya terasa tak biasa sejauh mata memandang. Ada beberapa orang belanda yang berlalu lalang, juga ada beberapa orang bertelanjang dada yang membawa karung besar di bahu mereka, kelihatannya mereka seperti tukang panggul.Â
"Tunggu sebentar apa ini?" tiba-tiba saja Yani berhenti dan memungut sebuah kertas yang ada di jalanan.Â
"Dicari pribumi yang bersedia menjadi angkatan bersenjata..." gumamnya seraya membaca kertas itu dengan wajah serius.Â
"Apakah aku boleh melihat kertasnya?" tanyaku penasaran.Â
"Oh iya ini," jawabnya seraya memberikan surat edaran itu padaku.Â
"Apa arti dari surat ini?" tanyaku.Â
"Sepertinya orang-orang Belanda sedang membutuhkan pasukan militer," jelasnya.
"Apakah kau mau bergabung?" tanyaku basa basi.
"Aku sendiri tidak yakin... karena saat ini aku tengah belajar di AMS, dan hanya tinggal satu tahun setengah lagi baru akan lulus," ujarnya dengan kecewa.Â
"Tapi apa kau tertarik dengan militer?" tanyaku lagi.
"Hehe jika soal itu.. mungkin saja," balasnya cengengesan.Â
"Ngomong-ngomong orang tuamu bekerja dimana?" tanyaku.Â
"Oh Ayahku bekerja di pabrik gula milik Belanda, memangnya kenapa?" tanyanya balik.Â
"Eh tidak bukan apa-apa, aku hanya sedang mencari pekerjaan sekarang ini, dan oleh.. karenanya aku tersesat," jawabku membual.Â
"Oh begitu ya," balasnya mengangguk angguk.
Setelah berjalan beberapa menit kami akhirnya sampai di sebuah rumah kecil. Yani membuka pintu rumah itu dengan kuncinya.Â
"Ayo masuk!" ujarnya padaku.Â
Aku segera mengikutinya masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan yang tengah menyisiri rambut anak perempuannya yang panjang.
"Oh iya ini ibuku," ucap Yani padaku.Â
Aku tersenyum dan mencium tangan ibunya itu.
"Siapa ini,Yani? Kok temanmu ini cakep betul?" tanya wanita itu.Â
"Andra namanya, kami bertemu di jalan," jawabnya.
"Apa kau sudah makan, Nak?" Tanya wanita itu padaku.Â
"Sudah, Bu. Terima kasih," jawabku berusaha untuk terlihat sopan.Â
"Jangan malu-malu ayo sini, makan dulu!" Ajaknya.
Pada akhirnya aku malah menginap di rumah tersebut. Aku dan Yani membicarakan banyak hal. Dan rasanya kita telah akrab hanya dalam beberapa waktu saja. Namun tetap saja perasaan resah dan gelisah berkecamuk dalam kepalaku.Â
'Kalau sudah begini aku harus bisa mencari nafkah sendiri' kataku dalam hati. Rasanya aku terpaksa harus bergabung dengan angkatan bersenjata Belanda itu. Aku tidak mungkin bisa terus menerus tinggal di rumah Yani. 'Tapi bagaimana jika aku mati kala berkhianat?' Aku bertanya-tanya.
Keesokan paginya aku menghampiri Yani di ruang tamunya. Aku rasa mulai hari ini aku harus berusaha keras. Walau terjebak di masa ini aku tetap tidak mau hidup sengsara.Â
"Maaf ya jadi merepotkanmu," ucapku pada Yani.Â
"Tidak perlu meminta maaf. Bukankah membantu sesama itu sebuah keharusan? Lagi pula kau sudah menemukan kunci rumahku, " jawabnya ramah.
"Aku rasa hari ini aku sudah bisa pulang ke rumahku," ucapku berbohong untuk yang kedua kalinya.Â
"Eh? Yang benar? Jadi sekarang kau tidak jadi mencari pekerjaan?" tanyanya khawatir.Â
"Iya aku rasa begitu," kataku berbohong untuk yang ketiga kalinya, sial memang...
"Baiklah jika memang begitu, jangan segan segan untuk meminta pertolonganku lagi!" serunya.Â
Aku pun berpamitan kepada kedua orang tua Yani dan bergegas pergi dari rumah itu. Entah mengapa tapi rasanya tak peduli jika saat ini adalah masa lalu atau masa depan, aku selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Rasanya tidak ada satu pun orang terdekatku yang peduli dan ingin membantuku.Â
Orang tuaku telah tiada akibat kecelakaan sejak aku kecil dan keluarga besarku lebih memilih untuk menempatkanku di panti asuhan. Rasanya terjebak di masa lalu seperti sekarang ini jauh lebih baik.Â
Baiklah kembali ke tugasku saat ini, mencari pekerjaan. Untungnya aku masih menyimpan kertas edaran itu. Pada alamatnya tertulis di.. tunggu sebentar, alamat ini sangat aneh...Â
Akhirnya dengan kebingungan aku terpaksa bertanya tanya pada orang sekitar, hingga bertemu dengan dua orang pasukan Belanda yang sedang berjaga di depan sebuah lapangan luas.
Jujur saja tapi aku ragu begitu melihat mereka. Bagaimana jika mereka tak bisa berbahasa Indonesia? Haruskah aku pergunakan bahasa Inggrisku tapi memangnya mereka bisa berbahasa Inggris? Ah sial, aku benci pikiranku.Â
Akhirnya tanpa rencana apa pun aku mendekati mereka.
"Hei anak muda, apa yang kau lakukan disini?" tanya salah seorang dari mereka.Â
Rupanya mereka dapat berbicara dengan bahasa Indonesia.Â
"Sebenarnya aku ingin bergabung dengan pasukan militer," jawabku seadanya seraya menunjukkan surat edaran yang kupegang pada mereka.
Mereka pun melihat selebaran kertas itu dan mulai memeriksaku.
"Masuklah!" perintah mereka.Â
Aku hanya bisa mengangguk dan memasuki lapangan luas itu. Di sana sudah ada beberapa orang pribumi yang dilatih oleh para prajurit militer Belanda. Aku segera mendekat dan ikut baris berbaris. Kami dilontarkan berbagai pertanyaan seperti 'Apa kalian sudah yakin untuk mengkhianati pribumi lain?' dan 'Selama kalian ada disini ikutilah perintah atasan tanpa pandang bulu!'Â
Kami bahkan di pukuli bila jawaban yang diucapkan salah atau ragu-ragu. Akibatnya wajahku jadi penuh dengan luka lebam. Setelah beberapa pertanyaan itu dilontarkan, dimulailah latihan fisik yang cukup menguras tenaga hingga sore hari.
Tak lupa aku pun menjalani pendidikan wajib militer hingga berhari hari bahkan sampai berbulan-bulan lamanya. Setelah bulan-bulan yang melelahkan itu akhirnya aku ditempatkan sebagai pasukan batalion X. Menurut mereka kemampuanku sudah sangat baik, hingga aku lebih cepat diresmikan sebagai tentara ketimbang pribumi-pribumi lain.Â
Dan di sanalah aku mengenal seorang tentara lain bernama Abdul Haris juga temannya yang bernama Kartakusuma, kami dapat dengan mudahnya akrab satu sama lain.
"Jika dilihat-lihat enak sekali ya orang-orang Manado itu, mereka dapat gaji tiga kali lipat juga makanan yang kelihatan jauh lebih lezat," ujar Kusuma saat kami mengobrol.
"Ya mau bagaimana lagi kita kan hanya orang Jawa biasa" balas Haris.Â
Tapi Kusuma memang ada benarnya. Terdapat banyak diskriminasi yang telah kami rasakan di tempat ini. Orang Belanda dan Manado adalah Kompi I sementara suku lain seperti Jawa termasuk ke dalam Kompi III. Skala gaji dan menu makanan pun memang sangatlah berbeda antara Kompi I dan Kompi III.
Dan keseharianku sebagai tentara pun dimulai bersama kedua temanku itu. Kegiatan kami sebagai serdadu adalah baris berbaris di lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Juga ada kalanya kami berlatih di luar lapangan yakni latihan tembak menembak di Sunter.Â
Sesekali Haris ikut komandan Kompi meninjau persiapan pembentengan di Cilincing. Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke barak-barak, kami mengalami kehidupan sosial yang amat berbeda.Â
Menjaga ketertiban bukanlah hal yang mudah, pada siang hari kamar-kamar perlu dikosongkan untuk inspeksi petugas piket.
Di tempat inilah kami mendapat julukan 'anak kolong' karena kamar yang sempit dibagi-bagi untuk beberapa orang (keluarga) hingga salah satu dari keluarga itu harus tidur di kolong kasur.Â
Namun ada hal aneh lain pula yang kerap kali dilakukan para prajurit disini, yaitu tiap kali ada seorang pribumi lain yang melewati lokasi ini maka akan dimaki maki dan di pukuli. Jadi tidak heran jika kami para prajurit rendahan sering diolok-olok sebagai 'anak kolong' karena kenakalan kami.Â
Garis bawahi aku tidak pernah memukul dan mengejek orang yang melintas namun tetap saja di cap sebagai 'anak kolong'.
Tidak hanya itu kesialan yang kuhadapi. Dalam lingkungan ini rasanya pergundikan bukan lagi hal yang tabu. Para istri dan anak-anak prajurit memiliki tempat tersendiri dalam barak-barak dan para serdadu Eropa hidup bersama gundik mereka.
 Rasanya hidupku ini jadi tidak memiliki privasi sama sekali. Pernah sekali ada seorang istri dari Letnan Belanda dan seorang gundik yang mencoba menggangguku. Aku dibuat geram karenanya dan memilih untuk tidak menggubris mereka, alhasil mereka pun menjauh secara perlahan.Â
Garis bawahi kembali dan catat di buku kalian aku tidak pernah sekalipun menyentuh para gundik kotor seperti mereka.
Di pagi hari keadaan barak-barak amat ramai dengan suara riuh bocah-bocah. Banyak istri dari para prajurit yang kerepotan untuk segera mengosongkan kamar. Bahkan pernah sekali, saat Kusuma tengah menjadi dinas piket ia mendapati seorang bocah yang buang air besar begitu saja di pekarangan. Karena saking tidak ada waktunya untuk pergi ke kakus.
(6-7 Maret 1942, Ciater)
Dan begitulah keseharianku dalam dua tahun terakhir ini. Hingga usiaku saat ini menginjak dua puluh tahun. Semuanya berakhir hingga para tentara Jepang menginvasi tahun 1942. Saat itulah aku mengalami peperangan berdarah yang sesungguhnya. Kami para prajurit diperintahkan untuk mundur hingga ke Bandung.Â
Dan di tempat itulah aku bertemu dengan sesosok Yani untuk yang kedua kalinya. Mungkin suasana kali ini tidaklah cocok menjadi tempat reuni antara dua sahabat lama.
"Sudah lama ya kita tidak bertemu," ucapnya dengan senyum pahit.Â
"Iya, aku tidak pernah menyangka jika kau akan masuk ke dunia militer," balasku.Â
"Hm... aku pun begitu. Kukira kau tidak akan menjadi seorang tentara, aku berharap kau mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari ini," katanya.Â
"Mau bagaimana lagi? Perjalananku sudah sampai disini. Aku tak mungkin bisa kembali ditengah jalan," jawabku.
Ia menghela nafas berat.Â
"Sejujurnya aku tak masalah jika kau menjadi seorang tentara. Namun kau tahu sendiri banyak dari kawan kita yang akan gugur di tempat ini," jelasnya dan aku hanya bisa terdiam.Â
"Jangan sampai mati, kawan! Aku percaya padamu!" ucapnya seraya menepuk-nepuk bahuku.
Pertempuran akhirnya dimulai, aku ditempatkan di Divisi V bersama Haris, dan disinilah perjuanganku sebagai tentara bermula.
Suara tembakan telah menjadi musik di telingaku. Mayat pribumi bergelimpangan dimana-mana. Aku hanya bisa terus menembaki para tentara Jepang itu. Namun kelihatannya mereka tak ada habis habisnya. Banyak dari temanku yang gugur akibat peperangan ini. Kami terus menerus dipukul mundur oleh pasukan musuh, sialnya lagi banyak dari para pasukanku yang malah menyerah dan hanya tersisa diriku, Haris juga para tentara yang dikirim dari Australia.Â
"Haris?! Awas di sampingmu ada granat?!!" seruku. padanya.Â
Lantas ia segera mengambil granat itu dan melemparnya kembali ke arah musuh. Sebuah ledakan pun tercipta di udara. Aku berusaha menembaki tentara Jepang itu. Namun tiba-tiba saja salah satu dari peluru mereka berhasil menembus kepalaku.Â
"Andra!!" teriak Haris.Â
Rasa sakit yang amat teramat sangat ini tak sanggup lagi kubendung dan mendadak saja semuanya menjadi gelap.Â
(. . .)
Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat gelap nan sunyi.Â
'Dimanakah ini, apakah aku sudah mati?' aku bertanya-tanya dan segera melihat ke arah sekelilingku.
Benar saja tak ada satu pun benda atau makhluk hidup yang ada di tempat ini. Semuanya benar-benar gelap dan sunyi.
"Hey! Kau kemarilah," tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang dari kejauhan.Â
Aku mencari-cari keberadaan suara itu dan saat berbalik badan aku bertemu dengan seorang pria asing yang wajahnya tak dapat ku lihat dengan jelas, karena saking gelapnya tempat ini.
"Mulai sekarang aku akan membantumu," ucapnya seraya memberikanku sebuah keris hitam.Â
Begitu aku menyentuh keris itu, seketika saja benda itu berubah warna menjadi semerah darah.
"Pergunakan itu untuk hal yang baik!" serunya padaku.Â
"Dengan benda itu kau mampu memanipulasi waktu," jelasnya.Â
"Apa maksudmu?" tanyaku.Â
"Kau akan memahaminya nanti, untuk saat ini lanjutkan apa yang sudah kau kerjakan! Ingatlah jangan membuang buang waktu!" perintahnya.Â
(15 Maret 1942, Ciater)
Aku terkesiap, dan terbangun begitu saja, rupanya semua itu hanyalah mimpi. Aku dibuat terkejut lagi karena saat ini aku sedang terduduk di atas tumpukan mayat prajurit yang sudah membengkak dan membusuk.Â
'Astaga... apa yang terjadi?' aku kebingungan.
Dengan segera aku beranjak dari sana. Setelah melihat sekeliling rupanya tempat ini masih di Ciater. Namun di manakah yang lain? Hutan ini benar-benar sepi. Dimanakah para serdadu Jepang itu? Aku berjalan dengan hati-hati sembari mengawasi sekitarku.
Akhirnya karena dirasa situasi sudah aman aku berinisiatif untuk berjalan keluar dari hutan ini dan betapa terkejutnya diriku karena semuanya sudah berubah. Aku tak menemukan jejak pasukan Belanda sedikit pun.Â
Aku segera melepas seragam tentaraku dan berjalan ke arah pedesaan terdekat. Namun di tengah jalan aku malah bertemu dengan seorang gadis kecil dari desa yang kakinya terluka seperti terkena gigitan hewan liar.Â
"Hey apa kau baik baik saja?" tanyaku.Â
Ia menangis karena kesakitan. Aku ingin membantunya tapi apa yang kumiliki saat ini? Saat ku hendak mencari sesuatu di sabuk celanaku tiba-tiba saja aku merasakan sebuah benda padat yang mengganjal di sana. Saat ku meraihnya rupanya itu adalah keris semerah darah yang ku dapat di dalam mimpi.
Aku tertegun bukan main. Apa artinya semua ini? Jangan bilang semua hal yang kulalui itu nyata. Aku terdiam dan segera menaruh keris itu kembali ke sabuk celanaku. Untuk saat ini aku perlu fokus menangani bocah ini terlebih dahulu. Lalu kucoba koreh kembali saku celana dan untungnya masih ada sisa gulungan perban yang bisa digunakan untuk mengobatinya. Ku segera melilitkan perban itu pada kakinya dan mengikat tiap ujungnya dengan rapi.
"Te... terima kasih, Kak," ucapnya.Â
"Iya tak masalah aku rasa, ngomong ngomong kenapa kau bisa ada di sini?" tanyaku padanya.Â
"Aku sebenarnya sedang mencari anjing peliharaanku di hutan ini tapi aku malah diserang oleh anjing liar," jawabnya.Â
"Tempat ini seharusnya tidak boleh dilewati sembarang orang. Memangnya orang tuamu tidak melarangmu?" tanyaku lagi.Â
"Ehe-Ehe," ia malah tertawa cengengesan.Â
Sepertinya anak ini cukup nakal.Â
"Aku rasa kau perlu kembali ke desamu," kataku.
"Tapi bagaimana dengan anjingku?" tanyanya lagi.
"Anjing memiliki insting yang mampu membuatnya kembali kepada pemiliknya, jadi kau tidak perlu khawatir. Sekarang apa kau mampu berjalan?" tanyaku.Â
Ia pun mencoba untuk berdiri namun kelihatannya ia agak kesakitan. Akhirnya dengan terpaksa ku gendong bocah itu di punggungku.Â
"Tunjukan jalan menuju desamu!" seruku padanya. Ia mengangguk dan mengantarku ke desanya.
Akhirnya setelah berjalan beberapa menit kami sampai di sebuah desa permai yang terlihat indah nan hijau. Ada beberapa warga yang berlalu lalang sembari membawa keranjang di atas kepala mereka. Ada juga yang tengah asik berkebun dan berternak kerbau. Suasana yang elok dan langka ini benar- benar membuatku ranah.Â
"Kak, sebenarnya aku masih memerlukan bantuan kakak," kata si bocah itu ditengah kesejukan ini.Â
"Apa maksudmu?" tanyaku.Â
"Sebenarnya alasanku mencari anjing peliharaanku itu karena kakekku," jelasnya.Â
"Memangnya ada apa dengan kakekmu?" tanyaku lagi.Â
"Aku merasa kasihan padanya karena ia selalu saja kesulitan mencari uang oleh karena itu aku selalu membantunya dengan menggembala kambing kepada seorang tuan dengan anjingku itu," jelasnya.
Aku merasa prihatin padanya.Â
"Tanpa anjingku itu aku tak mampu mencari nafkah untuk membantu keuangan kakekku," jelasnya lagi.
Aku menghela nafas berat.Â
"Baiklah aku akan mencoba mencari anjingmu itu, namun untuk saat ini tolong antarkan aku ke rumahmu," pintaku.Â
Begitu mendengar jawabanku wajahnya terlihat semringah dan ia segera mengantarku masuk ke dalam pelosok desa. Kami melewati banyak warga yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Tak jarang dari mereka sesekali menyapa si bocah.Â
"Euis, kamana wa atuh," serunya.Â
"Biasa , keur jalan-jalan," balas si bocah.Â
Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah panggung kolot yang terbuat dari susunan kayu. Begitu masuk, kudapati seorang pria tua berpakaian pangsi yang tengah terduduk di ruang tamunya.
 "Punteun, Ki. Euis pulang," salamnya begitu memasuki rumah.Â
"Loh kakimu kenapa?" tanya ayahnya khawatir.Â
"Kaki Euis tadi di gigit anjing liar sampai Euis tidak bisa jalan, untungnya Euis bertemu dengan kakak ini yang membantu Euis sampai ke sini," jelas bocah yang bernama Euis itu.Â
"Oh ya ampun, hatur nuhun nya, maaf jika cucu saya merepotkan," ucap kakek Euis padaku.Â
"Sama-sama, Pak," balasku.Â
"Oh iya Pak, jika boleh tahu, siapakah ketua adat di desa ini?" tanyaku.Â
Sejujurnya aku ingin tinggal di desa ini untuk sementara waktu namun aku memerlukan izin tersebut dari Ketua Adat.Â
"Saya sendiri Kepala Adat di desa ini hehe," jawabnya sambil tertawa.
"Eh maaf ya, Pak, jadi begini, apakah saya diperbolehkan untuk tinggal di desa ini sementara waktu?" tanyaku.Â
"Tentu saja kamu boleh tinggal, nak apalagi kamu sudah membantu anak saya, hanya saja kamu perlu memenuhi aturan yang ada disini," jawabnya.
"Baiklah, Pak. Terima kasih banyak," ucapku.Â
"Seharusnya saya yang berterima kasih," balasnya lagi sembari tersenyum.Â
"Tunggu sebentar, memangnya kau memiliki tempat tinggal?" tanyanya lagi dengan khawatir.Â
"Saya rasa tidak," jawabku.Â
"Sebaiknya kamu menginap di rumah saya saja ya, anggap saja ini balas budi saya karena kamu sudah membantu anak saya," ucapnya.Â
"Oh iya nama saya Asep Suwirjo, kamu bisa panggil saya Pak Asep," ucapnya lagi.
"Nama saya Andra, sekali lagi terima kasih banyak, Pak," balasku.Â
Ia hanya tersenyum sembari mengangguk-angguk.Â
Baiklah sekarang aku perlu mencari anjing milik bocah itu.Â
"Jika boleh tahu bagaimanakah bentuk anjing peliharaanmu itu?" tanyaku pada si bocah.Â
"Warna bulunya abu dan ia memiliki tubuh yang cukup besar hampir sepaha orang dewasa dan juga aku memasangkan kalung merah padanya," jelasnya panjang lebar.Â
Aku mengangguk dan segera mencari anjing itu. Ku mulai mencarinya dari ujung ke ujung desa hingga ke persawahan sampai akhirnya aku menemukannya di dekat sebuah sungai. Â Rupanya anjing itu tengah memakan beberapa ikan hasil tangkapan dari para pemancing.Â
Aku segera mendekatinya, rupanya anjing ini sudah terbiasa bergaul dengan manusia, buktinya ia sama sekali tidak menggigitku begitu ku membelainya. Ku segera membawanya kepada si bocah dan begitu ku sampai di halaman rumah. Ia segera menghampiri kami dan memeluk anjing miliknya itu. Ia berterima kasih padaku berkali kali hingga aku tak sanggup membalasnya.
Keseharian ku di desa itu pun dimulai. Aku bekerja sebagai seorang tukang panggul di sebuah pasar dan pendapatanku memang tak sebesar sebelumnya bahkan jauh lebih kecil. Aku selalu membayarkan uang ku itu kepada Pak Asep, kuanggap saja sebagai uang sewa selama tinggal di sana.Â
Terkadang aku dan Euis sering kali menggembala kambing bersama anjingnya itu. Entah sudah berapa lama aku tinggal di sana rasanya sudah hampir setahun saja. Terkadang aku selalu merasa merepotkan Pak Asep namun tiap kali aku berkata demikian, ia selalu berkata,
"Kamu ini tidak perlu merasa begitu, kamu sudah saya anggap Putera sendiri."
(1943)
Hingga suatu hari, pasukan Jepang akhirnya datang ke desa. Mereka mengumumkan penawaran untuk bergabung menjadi pekerja sukarela. Beberapa dari warga desa ada yang memilih untuk bergabung. Aku sendiri ikut bergabung dalam pasukan (PETA) bersama beberapa pemuda lainnya. Ujian tes yang kudapati rupanya tak jauh berbeda dari pelatihan tentara Belanda sebelumnya.Â
Setelah beberapa hari bergabung akhirnya aku diperintahkan untuk dipindahkan ke Prembun Kebumen dan disinilah akhir dari ceritaku di desa ini.Â
"Aduh sing lancar sadaya di sananya, nuhun pisan salami ieu geus bantuan Bapak," ucapnya kepadaku.
"Iya Pak, saya juga mau berterima kasih pada, Bapak. Semoga kita dipertemukan lagi, maaf ya Pak jika aku merepotkan Bapak," balasku.Â
Ia memelukku dan menepuk-nepuk punggung ku. Setelah berpamitan aku pun pergi menuju Prembun bersama prajurit pribumi lainnya.Â
Sesampainya di Prembun aku ditempatkan di salah satu asrama Renseitai yang ada di sana. Dan di tempat itulah untuk yang ketiga kalinya aku bertemu dengan Yani.Â
"Loh, kamu kan Andra?" serunya padaku dengan mata terbelalak.Â
"Iya lama tidak bertemu," balasku.Â
"Astaga..., untunglah kamu selamat di hari itu," ucapnya.Â
Disaat itulah tiba-tiba saja dua orang temannya menghampiri kami.Â
"Ini siapa, Yani?" tanya salah satu dari mereka.Â
"Ini teman lama saya, Andra namanya," jelasnya pada temannya itu.Â
"Kalo kamu teman Yani, maka kamu teman saya juga, nama saya Sarwo Edhie, biasa dipanggil Edi," ucap salah seorang dari mereka yang bernama Edi.
"Kalau saya Raden Mas, biasa dipanggil Mas," tambah salah seorang lainnya.
Di sanalah pendidikan militerku di mulai bersama ketiga temanku itu. Di sana, kami mendapat pelatihan fisik dan latihan yang bersifat akademik. Mengetik dengan mesin tik salah satunya.Â
Demi melancarkan keterampilannya di mesin tik, kami bahkan sampai kursus mengetik di sanggar ARTI yang ada di Purworejo. Dari sanalah kami berkenalan dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo, seorang wanita cantik berdarah Sumatera yang berprofesi sebagai guru mesin tik.
Yani seringkali membicarakan wanita itu kala kami tengah berbincang di asrama.
"Kau ini tidak ada bosan bosannya membicarakan Yayuk," ucap Edi.Â
"Ya mau bagaimana lagi rasanya semua pikiranku hanya ada dia seorang," balas Yani.Â
"Haha dasar kau ini, sedang dimabuk asmara ya!" Seru Mas sembari tertawa diikuti oleh kami bertiga.
Namun rupanya saat itu Yani dan Yayuk telah bertunangan. Yani sering kali mengendarai sepedanya hanya untuk menemui kekasihnya itu. Padahal Jarak Prembun ke Purworejo sekitar 25 km. Tapi menurut Yani jarak adalah tembok besar yang harus dituntaskan sesegera mungkin.Â
Setelah berbulan bulan di Renseitai, aku dan Yani mendaftarkan diri untuk ditempa lagi sebagai calon perwira berpangkat shodancho di Bogor pada Oktober 1943 bersama sekira 100 jebolan Renseitai Magelang, termasuk Sarwo Edhie.Â
Di Bogor, kami berkenalan dengan banyak pemuda seperti Zulkifli Lubis yang datang dari Renseitai Cimahi. Selama pendidikan shodancho berjalan, regu kami dinilai oleh pelatih Jepang cenderung lebih maju daripada yang lain. Sebagai bekas Renseitai dan regu yang dinilai cukup baik, regu kami tak lagi ikut merangkak dalam latihan fisik tetapi lebih sering menjadi pembantu pelatih.Â
Biasanya memerankan kelompok musuh dan saat menunggu latihan serangan dimulai, kami memilih menghabiskan waktu menunggu itu dengan menyeduh kopi. Saat regu lain mulai menyerbu, barulah regu kami bersiap dan sudah menghabiskan kopi masing-masing.
Di masa inilah Yani selalu kelayapan ke luar markas tanpa seizin Jepang. Itu dilakukannya dengan melompati pagar. Sebagai imbalan tutup mulut untuk ku dan teman-temannya yang lain, ia selalu membawakan buah tangan berupa singkong atau pisang goreng.Â
Yani benar-benar orang yang sangat nekat bahkan di hari sebelum pelantikan kelulusan, Yani membuat onar lagi hingga berujung pada hukuman berjaga semalam suntuk bagi seluruh peleton. Namun untungnya di keesokan harinya, kami tetap dilantik di Lapangan Gambir dan resmi menyandang pangkat shodancho.Â
Saat itu Yani ditempatkan ke Daidan Perimbun sementara aku ditempatkan ke Blitar. Oleh karenanya sebelum berpisah kami memutuskan untuk berkumpul bersama dengan teman-teman lainnya sembari mengobrol santai.Â
"Wah jika sudah begini kau bisa dekat lagi dengan Yayuk," ucapku.Â
"Hehehe iya, saya rasa juga begitu. Tapi untuk kali ini akan ada yang berbeda, saya akan melamarnya," balasnya.Â
"Tunggu sebentar, bukankah shodancho seperti kita dalam kurun waktu tertentu belum diperbolehkan menikah?" tanya temannya yang lain karena keheranan.Â
"Ah, itu kan hanya peraturan konyol. Saya tetap akan menikahi Yayuk," ucapnya.Â
Dasar dia ini memang keras kepala seperti biasanya.
(1945, Blitar)
Keesokan harinya, aku dipindahkan ke Blitar oleh pasukan Jepang bersama Muradi teman karibku selama di Bogor. Di sana kami bertugas mengawasi romusa. Namun dalam satu hari saja, aku sudah merasa muak dengan kekejaman orang-orang Jepang yang memperlakukan romusa dengan semena-mena.Â
Aku merasa tidak sanggup lagi bekerja seperti ini. Aku selalu dihantui perasaan bersalah. Aku menyaksikan sendiri rakyat pribumi yang diposisikan sebagai romusa diperlakukan secara keji. Sering kali aku mencoba memberi mereka makanan saat para prajurit Jepang tidak melihat. Namun semua itu tidak ada apa apanya dengan perlakuan keji yang mereka lakukan.
Hingga suatu hari saat mobil pengangkut pekerja paksa datang kemari, aku menemui seorang pria tua yang wajahnya sangat kukenali. Iya tak salah lagi, ia Pak Asep. Tubuhnya telah berubah menjadi kurus kerontang bak tulang balut kulit.Â
"Bapak? Kenapa bapak bisa ada disini?" tanyaku padanya.Â
"Kamu.. Andra? Astaga kamu betulan Andra kan?" tanyanya padaku.Â
"Iya, Pak, saya Andra," jawabku.Â
"Tolong bantu saya, Nak. Saya mohon, Euis saat ini telah dijadikan gundik, saya merasa bersalah menjadi seorang Bapak. Tolong bantu ia, Nak," ucapnya sembari dibanjiri air mata.Â
"Ba..bagaimana bisa?" tanyaku tidak percaya.Â
"Ia diculik saat aku bekerja menjadi romusa," jawabnya sembari menangis.Â
"Pak, untuk saat ini saya hanya bisa membawa Bapak kabur dari pekerjaan busuk ini, saya tidak tahu dimana keberadaan Euis," jawabku sedih.Â
"Tidak, saya mohon, saya sudah tidak peduli dengan diri saya sendiri yang penting cucu kesayangan saya baik-baik saja," katanya sembari menangis.Â
Akhirnya rasa geram yang tak terbendung ini membuatku nyaris gila. Pada saat itulah nubuat buruk dalam sekejap muncul dikepalaku.
'Aku harus melakukan sesuatu,' ucapku dalam hati.
Kuceritakan hal itu pada Muradi dan rupanya tidak sedikit anggota PETA lainnya yang mendukung rencana gila hasil gagasanku itu.
Ditemani Muradi dan beberapa perwira PETA lainnya, aku sempat menghadap Sukarno yang saat itu sedang pulang ke Blitar untuk meminta masukan atas rencana pemberontakan ini. Sukarno sebenarnya kurang yakin apakah kami sudah punya kekuatan yang cukup untuk melawan Jepang.
"Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya, saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja," ujar Sukarno.Â
"Kita akan berhasil!" jawabku, yang merupakan pimpinan tertinggi dalam rencana ini.Â
"Saya berpendapat bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," ucap Sukarno.
"Kita akan berhasil!" ucapku lagi tetap bersikukuh dan berupaya meyakinkan Sukarno.
Soekarno bahkan mengingatkan agar kami bercermin kepada insiden yang baru saja terjadi di Manchuria, ketika satu kompi tentara Jepang yang sudah gerah terhadap perilaku rekan-rekannya melakukan pemberontakan dan ditindas secara kejam.Â
"Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaklah sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua!" kata Sukarno.Â
"Apakah Bung tidak bisa membela kami?!" tanyaku.
 "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis..." jawab Sukarno.
Akhirnya tanpa mendengarkan apa yang Sukarno katakan kami tetap bersikeras menjalankan apa yang telah di rencanakan sebelumnya. Tanggal 14 Februari 1945 kupilih untuk menuntaskan rencana ini karena bertepatan dengan acara pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang akan digelar di Blitar. Diharapkan, mereka akan bergabung dalam aksi nanti dan aksi tersebut memantik daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa.Â
(14 Februari 1945, Blitar)
Pada pukul 03.00 pagi di hari yang telah dijanjikan kami menembakkan mortir pada sebuah hotel yang di duduki para perwira militer Jepang, aku juga memerintahkan Muradi dan pasukan yang dipimpinnya membersihkan para serdadu Jepang yang ada di dalam kota Blitar secara diam-diam.Â
Setelahnya kuperintahkan ia menarik mundur pasukannya ke dalam hutan untuk membuat kubu-kubu pertahanan dan sewaktu-waktu menyerang pada saat yang tepat. Selama rencana ini tidak sampai ke telinga musuh, seharusnya akan berhasil.Â
Namun di tengah perjalanan pemberontakan ini secara mendadak saja kepalaku jadi terasa amat sakit.Â
'Sial, jangan sekarang,' ucapku dalam hati dan seketika itu pula aku tak mampu lagi merasakan tubuhku hingga seluruh penglihatanku menjadi buta...
(1950, Jawa Tengah)
Beberapa bulan telah berlalu, Indonesia akhirnya menyatakan dirinya telah merdeka. Walaupun kemerdekaan ini belum mutlak tapi kami tetap mengusahakannya dengan seluruh jiwa raga yang kami miliki hingga akhirnya Indonesia diakui telah menjadi negara yang berdaulat pada tahun 1950.
 Namun semua itu belum selesai sampai di situ saja karena banyak dari saudara-saudara kami yang malah memberontak. Hingga suatu hari aku diberi tugas untuk melawan tentara pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah.Â
Saat itu aku membentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus, hingga akhirnya pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, aku kembali ke Staf Angkatan Darat.
"Pak Yani, saya rasa Soeharto telah melakukan bisnis penyelundupan kepada orang Tionghoa," jelas Soebandrio.Â
"Ha, Penyelundupan? Yang benar kamu!" Tegasku lagi.Â
"Iya Pak, saya tidak bohong," ucapnya lagi.Â
Saat itulah amarahku berhasil terpancing.Â
"Antarkan saya pada Soeharto, sekarang!" Kataku padanya.Â
Kami pun segera pergi menemui Soeharto. Sesampainya di sana kutampar Soeharto begitu saja 'Plak'.Â
"Kamu ini telah mempermalukan korps Angkatan Darat. Bedebah sekali kamu!" Bentakku padanya.
Namun akhirnya aku malah dilerai oleh salah seorang perwira yang ada di sana. Nasution bahkan sampai memecat Soeharto karena kebebalannya itu. Sejak saat itu aku tak mau lagi melihat batang hidungnya atau bagaimana keadaannya saat ini.Â
(1955)
Pada tahun 1955 aku disekolahkan ke Amerika di Command and General Staff College di Kansas, Amerika Serikat, selama sembilan bulan. Namun saat berpulang kembali ke Indonesia terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat, aku yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus.Â
Pada waktu itu aku ingin mengadakan sebuah inspeksi ke suatu tempat mengendarai mobil jeepku. Aku segera memerintahkan sopirku untuk mengemudikan mobilku itu.Â
"Bapak Yani, apakah tidak mau membawa pasukan pengawal karena rute yang dilalui masih cukup rawan?" tanyanya.Â
"Tidak usah, saya yakin jalan nya tidak seseram itu kok," jawabku asal-asalan.Â
Kami pun bergegas menggunakan mobil jeep itu tanpa seorang pengawal pun, namun di tengah perjalanan tiba-tiba saja mobil kami ditembaki dari semak-semak hingga terperosok ke selokan. Kami terpental dan segera mencari perlindungan. Di saat itulah sopirku terus-terusan mengomel.Â
"Apa kata saya tadi? Kenapa kita berangkat tanpa pengawalan? Apa kita harus mati konyol?" ujarnya.
Apa yang ia katakan ada benarnya juga. Hingga akhirnya aku mengangkat sopirku itu sebagai sopir khusus Panglima Operasi 17 Agustus, karena kesiagaan juga kewaspadaannya itu.
Bertahun tahun berlalu begitu saja, namun selama itu aku belum pernah mendengar nasib dari kawan lamaku, Andra. Tak ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Padahal Sukarno sudah menetapkannya sebagai Menteri Pertahanan, tapi ia tak kunjung menunjukkan dirinya, alhasil posisinya itu digantikan oleh orang lain. Aku sendiri yakin dengan pasti jika ia masih hidup saat ini, karena setahuku dia pemuda yang tangguh.Â
(1959 - 1962)
Sampai ditahun 1959 Sukarno mengumumkan Nasakom sebagai konsep politik. Saat itu hubungan Sukarno dan Nasution menjadi amat buruk. Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden Soekarno yang gencar mengampanyekan konsep Nasakom.Â
Olehnya, pada 23 Juni 1962, aku ditunjuk sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan.Â
Hingga suatu hari aku sedikit berdebat dengan Sukarno perihal pembentukan angkatan kelima usulan PKI. Aku yang menentang hal tersebut disetujui bersama dengan jenderal lain.
"Pembentukan itu tidak efisien, pasukan sipil bersenjata sudah ada dalam wujud Pertahanan Sipil dan Hansip. Bukan hal yang tidak mungkin angkatan kelima berbahaya bagi TNI AD sendiri," jelasku untuk menentangnya.Â
Saat itulah hubungan kami jadi tidak begitu baik.
(. . .)
Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat aneh yang pernahku kunjungi sebelumnya.Â
'Astaga tempat ini lagi' ucapku dalam hati.Â
Dan untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengan Pria Asing itu.Â
"Kau malah membuang-buang waktu," ucapnya sembari berjalan mendekat.
Ia memperlihatkan sosok dirinya yang sesungguhnya. Betapa terkejutnya diriku, rupanya ia memiliki paras wajah yang amat mirip denganku.Â
"Astaga siapa kau?" tanyaku.Â
"Aku adalah dirimu, dirimu yang gagal membongkar kebenaran," jawabnya.Â
"Apa maksudmu?" tanyaku lagi masih dengan kebingungan.Â
"Aku adalah dirimu yang gagal menyelamatkan salah seorang Jenderal dari kejadian 30 September," jelasnya lagi.
"Maaf aku terpaksa membawamu kemari dari museum itu. Astaga.. rasanya agak aneh berbicara dengan diriku sendiri," tambahnya.Â
"Ha? Jadi kau itu si penjaga museum itu?" tanyaku.
"Iya itu diriku," jawabnya.Â
"Astaga kau telah membuatku melakukan semua hal ini," keluhku.Â
"Bukankah kau jauh lebih bahagia jika terjebak di waktu ini ketimbang di masa depan? Kau tahu sendiri bukan, bagaimana orang-orang di panti asuhan memperlakukanmu?" tuturnya lagi dan aku hanya bisa menghela nafas berat.
Sepertinya ia memanglah diriku.Â
"Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya aku akan membantumu sekaligus memberimu sebuah misi," jelasnya.Â
"Ha? Sebuah misi?" ulangku.Â
"Misi ini mungkin akan sedikit sulit, tapi aku yakin diriku yang berdiri di hadapanku saat ini, akan mampu melakukannya," katanya.Â
"Bagaimana bisa aku melakukannya jika diriku dari masa depan saja tak bisa," keluhku.Â
"Huft, kau pikir untuk apa aku membawamu kemari?" tanyanya lagi.Â
"Aku menaruh harapan besar padamu. Tidak, bukan hanya diriku tapi seluruh orang yang terfitnah menaruh harapan besar padamu," jelasnya lagi.
Sial, jika sudah berhubungan dengan orang lain aku tidak bisa mengelak.Â
"Ya sudahlah, akan aku usahakan," jawabku.Â
"Bagus, itulah yang ingin kudengar darimu. Kau punya misi untuk menyelamatkan salah seorang jenderal dari kejadian G30SPKI! Kau bisa saja menyelamatkan Yani jika kau mampu. Namun untuk sekarang aku akan mengajarimu bagaimana cara untuk memanipulasi waktu," ucapnya dan ia pun segera mengeluarkan sebuah keris dari sabuk celananya.Â
Keris itu sangat mirip dengan keris yang ia berikan padaku sebelumnya, hanya saja keris itu berwarna ungu gelap.Â
"Keris ini akan berubah warna seiring dengan penggunaannya, jika kau menggunakan untuk hal yang baik maka keris ini akan berubah menjadi kebiruan namun sebaliknya jika kau menggunakan ini untuk hal yang menguntungkan dirimu sendiri maka keris ini akan berwarna kehitaman," jelasnya.Â
"Baiklah sekarang mari kita mulai. Untuk melakukan ritual tentunya dibutuhkan pengorbanan, nah dalam ritual ini kau perlu mengorbankan darahmu sendiri. Ritual ini tidak akan berjalan dengan baik jika kau menggunakan darah milik orang lain. Karena ritual ini hanya bisa dilakukan oleh darah keturunan campuran suku tertentu seperti kita," tegasnya.Â
"Selanjutnya, kau perlu menggambar sebuah lingkaran pentagram dengan darahmu tiap kali akan melintasi waktu. Setelahnya tulislah dengan lengkap tempat, tahun, tanggal, bulan dan pukul berapakah kau ingin pergi melintasi waktu. Tulislah semua itu di setiap ujung sudut bintang pentagram yang telah kau buat. Ingat seluruh tulisan harus ditulis dari kiri sudut bintang!" terangnya dan aku hanya bisa mengangguk angguk.Â
"Baiklah, sekarang aku ingin kau mempraktikkannya. Pergilah ke istana negara tahun 1965 di bulan September pada tanggal 28 pukul dua belas siang!" serunya.
Aku segera melakukan apa yang ia perintahkan. Pertama-tama kugoresi tangan kiriku hingga darah segar mengalir dari tanganku menggunakan keris merah yang ia berikan itu.Â
Rasanya mungkin sedikit pedih tapi rasa sakit ini jauh lebih baik ketimbang peluru yang pernah menusuk kepalaku dari senjata serdadu Jepang. Setelahnya ku mulai menggambar lingkaran dengan pentagram didalamnya dengan darahku itu.Â
Ku mulai menulis tanggal, bulan, tahun, pukul hingga tempat sesuai dengan yang ia serukan.Â
"Setelah semua ini apa yang harus kulakukan?" tanyaku padanya.Â
"Berdirilah di tengah lingkaran itu!" serunya.Â
Dengan segera ku berdiri tepat di tengah pentagram itu. Seketika hal aneh pun terjadi. Pentagram itu berubah menjadi api yang menyala nyala. Aku bergidik ngeri dibuatnya dan hendak berpindah tempat.Â
"Jangan bergerak! Api itu tidak akan melukaimu ,api itu hanya akan mengantarmu ke waktu yang kau tuju," jelasnya lagi.Â
Aku pun diam sesuai dengan arahannya. Api itu mulai membakar diriku dan benar saja tak ada rasa terbakar sedikit pun dikulitku. Hingga....
(28 September 1965, Istana Negara, Jakarta)
Mendadak saja aku sudah berada di halaman istana negara diikuti dengan api ditubuhku yang padam begitu saja. Astaga rupanya aku telah berhasil berpindah tempat dan tahun dalam waktu sekejap mata. Aku segera melihat ke arah sekelilingku dan dari balik jendela istana negara aku bisa mendengar suara Sukarno yang tengah membentak seseorang dengan cukup keras.Â
"Kamu jangan PKI-phobi!" bentaknya.Â
"Tapi Pak, saya yakin Pak Yani itu masih setia dengan Bapak" ucap lawan bicara Sukarno.
 "Sudah! Jangan banyak bicara, jangan ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak dapat memakan anaknya sendiri," kata Sukarno.Â
"Waduh, kalau begitu bapak ini sudah jadi PKI," timpal lawan bicaranya lagi.Â
"Diam kamu! Tak tempeleng pisan kowe. Sudah-sudah pulang sana. Yang ngati-ati," pesan Sukarno.Â
Saat itulah aku sadar jika Sukarno telah tenggelam dalam kekuasaannya.
'Sial..., anak dan bapak ternyata sama saja,' pekikku dalam hati.Â
"Hei, siapa kamu?"Â
Tiba-tiba saja seorang TNI penjaga istana negara melihatku dan aku pun segera lari kalang kabut. Aku segera berlari-berlari dan berlari hingga ia tak sanggup mengejarku. Kemudian setelah dirasa aman ku ambil keris yang ada di sabuk celanaku dan segera memulai ritual.Â
Dengan itu aku akan pergi ke tahun 1965 pada bulan September tanggal 29 pukul 17:00, di kediaman Yani. Seketika itu juga pentagram yang kubuat dari darahku sendiri berubah menjadi api yang menyala nyala dan mulai melahap tubuhku dengan sangat cepat.
(29 -- 30 September 1965, kediaman Ahmad Yani)
Hingga dalam sekejap saja, aku sudah berada di halaman sebuah rumah bercat putih. Aku terkejut bukan main namun juga terkagum kagum pada ritual aneh ini. Tanpa pikir panjang aku segera kudekati pintu rumahnya dan langsung mengetuknya.Â
'Tok - Tok - Tok'.Â
Tak lama kemudian seseorang membuka pintu itu, dan itu rupanya Yani. Ia terkejut bukan main begitu melihatku.Â
"Loh Andra!, dari mana saja kamu? Saya sudah mencari kamu ke mana-mana. Kok muka kamu tidak tambah tua ya, awet muda juga kamu ini, he he," sapanya sambil tertawa.Â
"Iya Yani, sudah lama ya tidak bertemu," jawabku.
"Ayo masuk!, jangan sungkan," serunya.Â
Aku pun segera masuk mengekorinya dan duduk di salah satu sofa yang ada.Â
"Anggap saja rumah sendiri," ucapnya lagi.Â
"Iya terima kasih. Ngomong-ngomong ada yang mau saya bicarakan," ucapku padanya.Â
"Perihal apakah itu?" tanya ia dengan raut wajah serius.Â
"Ini menyangkut golongan kiri itu, aku mendengar kabar jika mereka akan melakukan penyergapan kepada beberapa Jenderal," jawabku.Â
"Intinya saya ingin kamu bersiaga pada esok hari!" tegasku.Â
"Baik saya bakal berhati-hati," ucapnya dengan raut wajah serius.Â
"Ya sudah, saya pamit dulu ya," ucapku dan segera keluar dari rumah itu.
Aku segera pergi menuju tempat yang dirasa sepi lalu melakukan ritual yang sama. Namun kali ini ku niatkan untuk pergi ke tanggal 30 September pada pukul 03.07 pagi di rumah Yani. Hingga akhirnya aku pun sampai di halaman rumah Yani. Ku lihat sekelilingku, semuanya benar-benar gelap gulita. Ku segera memperhatikan keadaan rumah Yani.Â
Namun rupanya ia tak menambahkan jumlah penjaga rumahnya. Sial ia tak mengindahkan peringatanku. Ku mengintip dari balik jendela, para PKI sudah memasuki rumah itu dan membunuh Ahmad Yani tepat di depan ruang kamarnya. Aku terdiam, perasaan takut dan merinding bergabung menjadi satu. Aku gagal menyelamatkan Yani. Tanpa pikir panjang lagi aku segera memulai ritual yang sama, untuk kembali ke tanggal 29 September.Â
'Aku harus menyelamatkan kawanku,' ucapku gigih.
Setelah sampai di waktu yang kutuju aku segera mengetuk pintu seperti sebelumnya. Setelahnya semua berjalan seperti biasanya. Yani berkata jika wajahku tidak terlihat semakin tua dan sebagainya.Â
"Yani!, esok hari akan ada PKI, kamu harus berjaga jaga!" tegasku dengan gamblang.Â
"Kamu ini tidak perlu cemas, lagi pula saya pernah diperingatkan akan ada pasukan tertentu di tanggal 20 September tapi itu tidak terjadi, toh," balasnya.
Sial.., ia ini sangat keras kepala.Â
"Jika memang begitu, besok pukul tiga pagi kamu harus ikut dengan saya!" seruku.Â
"Ha? Kenapa pagi-pagi sekali? Hendak ke mana kamu?" tanyanya.Â
"Saya akan membawamu ke tempat dimana saya menghilang selama ini," ujarku membual.Â
Aku pun kembali ke tanggal 30 September pada pukul 03.00 pagi dan berhasil mengajak Yani untuk pergi keluar dari rumahnya.Â
"Untunglah kamu mau ikut," ucapku.Â
"Hoam, aku ingin tahu kamu hendak pergi ke mana," balasnya sembari menguap.Â
Namun beberapa menit setelahnya tepat pukul 03.07 pagi, tiba-tiba saja ada sebuah truk yang melaju dengan sangat cepat dari arah depanku.
Yani segera mendorongku alhasil ialah yang menjadi korban tabrak truk itu. Ia meninggal di tempat dengan kondisi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Aku menggigit jariku karena saking ngerinya. Astaga...
Ku segera memulai ritual dan mencoba menyelamatkan Yani untuk yang ketiga kalinya. Berkali-kali, terus-menerus hingga aku sendiri lupa dan tak tahu sudah berapa kali aku melakukan ritual itu. Hingga rasanya aku sudah kehabisan darah karena terus menerus menggunakan ritual bodoh ini. Mataku akhirnya berkunang-kunang dan aku terjatuh begitu saja.
(. . .)
"Coba kau sebutkan siapa saja korban dari G30SPKI!" seru diriku yang sudah ada di hadapanku begitu saja.
Mendadak saja aku sudah berada di tempat gelap nan sunyi yang pernah ku kunjungi sebelumnya.Â
Aku segera menjawab pertanyaannya itu, "Ahmad Yani, Suprapto, S.Parman, Haryono, Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo."Â
Ucapku dengan suara bergetar karena masih merasa tegang dengan apa yang baru saja terjadi.Â
'Yani terbunuh begitu saja didepan mataku, berkali-kali' ucapku dalam hati.Â
"Kau melupakan satu orang lagi, Abdul Haris Nasution," jelasnya.Â
"Tunggu sebentar Abdul Haris.. maksudmu Haris?" tanyaku.Â
Ia mengangguk dan berkata, "Ingatlah, jangan buang-buang waktumu untuk mengubah takdir tuhan yang kekal."
(28 -- 30 September 1965, kediaman Abdul Haris Nasution)
Mendadak saja aku sudah terbangun di depan halaman rumah seseorang, tapi yang pasti rumah ini bukan lagi rumah kediaman Yani yang terus-menerus kukunjungi sebelumnya. Aku tertegun dan terdiam untuk waktu yang lama.Â
"Hei, apa yang kamu lakukan disini?" ku dengar suara Haris dari balik badanku.Â
"Eh, kamu kan Andra! ke mana saja kamu?" tanya Haris padaku begitu melihat wajahku.Â
"Iya, anu..," aku bingung hendak menjawab apa.Â
"Ya sudah, ayo masuk dulu!" serunya.Â
Aku pun menerima tawarannya itu. Setelah masuk ke dalam rumah. Haris segera meminta istrinya untuk segera menyiapkan dua cangkir teh untuk kami berdua.Â
"Rupanya benar apa kata orang, kamu benar-benar masih hidup. Padahal sewaktu dahulu kamu pernah tertembak di bagian kepala oleh orang Jepang. Syukurlah," ucapnya seraya tersenyum.
"Iya begitulah," jawabku.
"Kamu ini sudah dicari-cari oleh banyak orang. Untunglah kamu baik-baik saja," tambahnya.
"Iya, ngomong-ngomong tanggal berapakah sekarang ini?" tanyaku.Â
"Oh sekarang tanggal 28 September, memangnya kenapa?" tanyanya balik.Â
"Berdasarkan isu yang beredar saya rasa kamu perlu berjaga jaga mulai malam ini," ucapku.Â
"Pasti yang kamu maksudkan itu golongan kiri itu kan?" ucapnya dengan wajah serius dan aku pun mengangguk.Â
"Iya saya mohon agar kamu tetap berhati hati," jelasku.Â
"Baiklah saya mengerti," jawabnya.Â
Setelah mengatakan hal itu aku segera pamit undur diri dari rumah Haris. Untuk sekarang aku perlu memastikan jika Harus terbangun sebelum pukul 03.00 pagi, agar ia memiliki waktu untuk kabur namun apa yang harus kulakukan? Aku kebingungan dan duduk di jalanan.Â
Ku lihat sekelilingku, inilah keadaan Jakarta saat penjajah Belanda maupun Jepang telah tiada. Semuanya terasa berubah. Ku ingin bersantai sejenak dengan sedikit meluruskan kakiku.
Namun tanpa sengaja aku telah menginjak sebuah genangan air yang tercipta di jalanan. Ku lihat genangan air itu, dan rupanya genangan air itu sudah terisi oleh jentik- jentik nyamuk. Mendadak saja sebuah ide muncul dikepalaku.Â
'Iya kali ini pasti akan berhasil' tuturku dalam hati.
Kugunakan ritualku kembali, kali ini aku akan pergi ke tanggal 30 September 1965 pada pukul 03.00 pagi di halaman rumah Haris. Dan inilah hari penentuanku. Aku yakin Haris telah terjaga saat ini. Para PKI akhirnya muncul dan suara tembakan pun terdengar dari luar rumah Haris. Entah siapa yang mereka tembak semoga saja itu bukan Haris.Â
Setelah kuperhatikan rupanya Haris sudah kabur dari belakang rumahnya, aku tertegun bukan main. Itu artinya aku telah berhasil menyelamatkan salah seorang Jendral G30SPKI, misiku telah selesai.
Namun tiba-tiba saja aku melihat seorang wanita yang setengah berlari mengikuti Haris sembari menggendong anak balitanya yang telah berlumuran darah hingga mengotori baju si wanita. Astaga..., rupanya yang ditembaki itu bukanlah Haris melainkan seorang balita yang tidak bersalah. Seketika itu kepalaku jadi terasa pening sama seperti sebelumnya dan akhirnya aku tersungkur begitu saja.
(27 Maret 2023, Museum G30SPKI, Jakarta Timur)
Aku mencoba membuka mataku yang terasa begitu berat.Â
"Astaga dimana aku sekarang?" gumamku.
Saat itu juga aku tersadar jika saat ini aku telah kembali berada di ruangan museum.Â
'Jadi semuanya yang kulalui itu hanya mimpi?' aku bertanya tanya.
Ku lihat ke arah sekelilingku, lukisan Jenderal Nasution yang terpajang di dinding sebelumnya berubah menjadi lukisan seorang anak balita yang mirip dengan wajah anak yang berlumuran darah karena tembakan para PKI di mimpiku sebelumnya.
Aku tertegun, 'apa artinya semua itu bukanlah mimpi dan dengan ini aku telah mengubah lini waktu.'
'Oh iya di manakah petugas museum itu?' aku bertanya-tanya.
Aku kebingungan dan tiba-tiba saja aku tak sengaja menginjak sebuah keris merah yang telah kugunakan dalam mimpiku sebelumnya. Aku segera mengambilnya dan pada bagian bawah keris terdapat sebuah kertas yang sudah terlipat lipat. Lantas aku segera membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca isinya.
'Terima Kasih, Kau telah Berhasil,' itulah isi dari kertas itu.Â
Aku tertegun sekaligus kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Namun, yang pasti semua hal yang telah kulalui itu bukanlah mimpi. Itu artinya dengan keris merah ini aku mampu pergi ke waktu-waktu tertentu dengan mudahnya.
"Andra! Apa yang kau lakukan di sini?" tiba-tiba saja salah seorang temanku memanggilku.Â
Iya siapa lagi jika bukan Kemal bersama dengan gerombolan teman-teman lainnya. Aku segera memasukkan keris itu ke dalam tasku, dan menghampiri mereka.
"Ya ampun, ibu guru sudah mencari-carimu, loh!" katanya.
"Iya mau bagaimana lagi aku tersesat," balasku.
Mereka malah tertawa terbahak-bahak.
"Makanya kalau jalan itu bareng-bareng, jadi enggak kesasar, ha ha ha. Kesasar kok di museum," tambahnya sambil tertawa.
Akhirnya aku menjalani kehidupan remaja ku seperti sedia kala. Namun, aku masih penasaran dan ingin mecoba ritual itu kembali. Karena, dengan ritual itu aku mampu berteleportasi ruang dan waktu dalam waktu yang singkat. Mungkin saja, aku bisa berpetualang ke luar negeri dengan hemat tanpa harus mengeluarkan biaya menaiki pesawat, he-he-he.
(22 November 1965, Solo, Jawa Tengah)
"Boleh ya, rokok ini saya bawa," ucap Aidit pada salah seorang prajurit yang berhasil menangkapnya.
"Bawa saja rokok itu, nanti biar kau rokok-an dengan Gatot Subroto," balas si prajurit.
Para tentara prajurit itu memperlihatkan Aidit sebuah sumur tua yang berada di batalyon 444.
"Tahu kamu artinya apa seorang Menko? Seorang Wakil Ketua MPR Sementara kemari? Apa ini sumur? Untuk apa?" tanya Aidit.
"Saya mengerti pak, dan kalau bapak mau tahu sumur ini untuk apa? Ini buat bapak. Bapak tahu bukan kalau Pak Yani juga dimasukan sumur seperti ini?" tegas Yasir.
"Jangan tergesa-gesa, saya mau pidato dulu," ucap Aidit.
Aidit pun mulai berpidato dan pada akhir pidatonya ia berteriak "Hidup PKI!"
Seruan itu berhasil membuat Yasir naik pitam dan menembaknya ditempat begitu saja.Â
Jasad Aidit dimasukkan kedalam sumur tua, persis seperti pahlawan yang gugur dimasukkan kedalam lubang buaya. Di atas jasadnya itu para prajurit mulai menimbun batang pisang, kayu kering dan lainnya, lalu membakarnya begitu saja.
The End?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H