"Mulai sekarang aku akan membantumu," ucapnya seraya memberikanku sebuah keris hitam.Â
Begitu aku menyentuh keris itu, seketika saja benda itu berubah warna menjadi semerah darah.
"Pergunakan itu untuk hal yang baik!" serunya padaku.Â
"Dengan benda itu kau mampu memanipulasi waktu," jelasnya.Â
"Apa maksudmu?" tanyaku.Â
"Kau akan memahaminya nanti, untuk saat ini lanjutkan apa yang sudah kau kerjakan! Ingatlah jangan membuang buang waktu!" perintahnya.Â
(15 Maret 1942, Ciater)
Aku terkesiap, dan terbangun begitu saja, rupanya semua itu hanyalah mimpi. Aku dibuat terkejut lagi karena saat ini aku sedang terduduk di atas tumpukan mayat prajurit yang sudah membengkak dan membusuk.Â
'Astaga... apa yang terjadi?' aku kebingungan.
Dengan segera aku beranjak dari sana. Setelah melihat sekeliling rupanya tempat ini masih di Ciater. Namun di manakah yang lain? Hutan ini benar-benar sepi. Dimanakah para serdadu Jepang itu? Aku berjalan dengan hati-hati sembari mengawasi sekitarku.
Akhirnya karena dirasa situasi sudah aman aku berinisiatif untuk berjalan keluar dari hutan ini dan betapa terkejutnya diriku karena semuanya sudah berubah. Aku tak menemukan jejak pasukan Belanda sedikit pun.Â